Jokowi sudah mengawali tugasnya sebagai Gubernur DKI Jakarta, dengan blusukan ke beberapa perkampungan kumuh (SM, 17/10/12). Kendati tidak mutlak, kemenangannya dalam Pilgub DKI Jakarta dianggap sebagai babak baru kepemimpinan di Indonesia.
Dia yang low profile dan apa adanya lebih dipilih ketimbang Foke, incumbent (petahana) yang mendapat dukungan koalisi partai-partai.
Tulisan ini mengambil contoh sosok Jokowi tidak untuk menyanjungnya karena dia manusia biasa. Namun salah satu yang menarik dari mantan Wali Kota Solo itu adalah kemampuannya menampilkan praktik kepemimpinan yang terhubung langsung dengan warga. Ia terbiasa turun ke bawah dan saat bertemu warga terlihat seperti tidak ada jarak pemisah.
Hal ini sulit dilakukan oleh pejabat pada umumnya. Praktik seperti ini sontak menarik perhatian. Saya kira, rakyat dengan daya kritis yang meningkat mendambakan sesuatu yang baru.
Ada contoh menarik saat keterpilihan Barack Obama dalam Pilpres AS 2008. Waktu itu saya mengikuti sebuah program pertukaran ke AS. Dalam program itu, saya beruntung bertemu Obama saat masih senator, namun sudah resmi maju mengikuti Konvensi Partai Demokrat.
Saya menghadiri acara constituent coffee yang ia gelar di kompleks Capitol Hill, Washington DC. Acara temu konstituen itu untuk mendengar langsung aspirasi warga dari dapilnya. Terlihat ia juga akrab dengan warga, mendengarkan dan memberikan jawaban yang jujur dan tulus.
Lebih kaget lagi, saat saya berkunjung ke kota kecil, Clarkdale di Mississippi. Wali Kota Henry Espy menemui kami di pinggir jalan. Sangat jauh dari kesan formal dan kaku. Ia berjalan sendiri dari kantor wali kota tanpa ajudan atau staf. Menyambut kami secara rileks. Praktik kepemimpinan yang egaliter seperti ini, saya kira yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Dalam beberapa literatur, Kouzes dan Posner misalnya melalui penelitiannya menyatakan ada lima praktik mendasar pemimpin yang memiliki kualitas kepemimpinan unggul. Pertama; pemimpin yang menantang proses (challenging the process). Pemimpin yang menampilkan sesuatu yang berbeda: out of the box. Sosok yang menarik dan simpatik.
Ketiga; pemimpin yang mampu menggerakkan bawahan atau rakyat untuk berbuat sesuatu (enabling others to act). Kompleksitas persoalan bangsa, membutuhkan pemimpin yang mampu mendorong orang untuk berkontribusi. Mengajak rakyat untuk menjadi bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah.
Keempat; pemimpin yang mampu menjadi teladan atau contoh dan memberikan arah jalan (modelling the way). Dalam kehidupan dewasa ini, sosok pemimpin yang sederhana misalnya mungkin sudah menjadi figur langka. Namun kesederhanaan justru dapat menjadi media efektif untuk menggerakkan potensi rakyat karena faktor kepercayaan (trust) terhadap dirinya.
Kelima; pemimpin yang selalu memberi motivasi bawahan, membesarkan hati rakyat (encouraging the heart). Tugas pemimpin memang memberikan semangat dan motivasi. Ia harus menjadi salah satu sumber inspirasi rakyat. Karenanya, pemimpin haruslah sosok yang kuat dan tepercaya.
Kini menjelang Pilpres 2014, beberapa kandidat telah resmi akan maju sebagai calon presiden. Para capres itu hendaknya menyiapkan diri sebagai pemimpin sejati. Dekati rakyat dengan ketulusan, bukan pencitraan.
Pelaksanaan Pilgub Jateng 2013 pun tinggal 8 bulan lagi. Siapa pun yang memutuskan menjadi cagub, hendaknya menyiapkan diri sebagai pemimpin sejati. Sekali lagi, dekati warga provinsi ini dengan ketulusan, bukan pencitraan.
Sebaliknya, rakyat, media massa, dan semua pihak harus memberi kesempatan selebar-lebarnya bagi anak bangsa untuk tampil menjadi pemimpin. Sudah saatnya negeri ini, dan juga Jateng, dipimpin oleh putra terbaik. Menghadapi tantangan masa depan yang semakin kompleks, memang dibutuhkan pemimpin sejati.
M Hariman Bahtiar
Alumnus Unpad dan Pascasarjana Pengkajian Ketahanan Nasional UI, Wakil Indonesia dalam ASEAN+3 (Jepang, China, dan Korsel) Youth Leaders Symposium di Phnom Penh Kamboja
Koran SUARA MERDEKA, 18 Oktober 2012
No comments:
Post a Comment