Ada begitu banyak hal yang menandakan ketidakberesan pada mental bangsa ini. Kriminalitas yang kian sadis, tawuran remaja, terorisme, ambang toleransi rendah terhadap perbedaan, memudarnya rasa malu, perilaku serakah lewat korupsi, dan seterusnya.
Dunia memang tengah memprihatinkan perihal depresi yang sudah menjadi masalah global. Beban kesakitan dunia bakal menjadi ledakan hebat pada 2020. Saat ini saja, lebih dari 350 juta penduduk dunia menderita depresi dalam berbagai gradasi. Angka tersebut selaras dengan meningkatnya kejadian bunuh diri serta kekerasan dan merosotnya kualitas hidup umat manusia.
Lebih memprihatinkan lagi, ternyata gagasan Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals/MDGs) tidak konkret menyentuh masalah kesehatan mental. MDGs tidak secara eksplisit menganggap kesehatan mental sebagai hal yang perlu segera diatasi. Bisa jadi karena kesehatan mental memang agak sulit diukur.
Saat ini perubahan yang cepat dalam berbagai bidang, kemunduran sosial-ekonomi dari efek globalisasi, kompetisi superketat, dan ketidakpastian masa depan, membuat sebagian masyarakat tidak mampu menghayati kebahagiaan lagi. Semua ini menjadi faktor pencetus depresi.
Salah satu dampak depresi yang berat adalah bunuh diri. Angka bunuh diri agak sulit diukur melalui kejadian yang tercatat di pusat layanan kesehatan semata karena kematian bunuh diri justru sering tercatat dengan penyebab lain, misalnya kecelakaan lalu lintas atau karena tidak dilaporkan keluarga. Kesadaran terhadap depresi dan akibatnya memang tidak selayaknya mengandalkan angka epidemiologik.
Apakah maraknya berbagai masalah kesehatan jiwa, termasuk depresi, selalu berkaitan dengan kemajuan tingkat kehidupan, termasuk kondisi ekonomi? Ada benarnya, tetapi ternyata tidak selalu begitu, bergantung pada tingkat resiliensi atau kekenyalan individu dan sistem di masyarakat tersebut.
Berbagai perubahan kehidupan yang cepat, ketidakpastian masa depan, termasuk melubernya pengangguran, dituding sebagai akar dari ketidakseimbangan. Dan kondisi ini amat relevan sebagai pemicu depresi saat ini. Banyak anggota masyarakat kehilangan pijakan akar budaya dan nilai-nilai kehidupan sosial yang dulunya bisa menjadi benteng pertahanan.
Mental kesegeraan (immediacy) dan pola pikir yang terdistorsi, menjadi semacam gaya hidup serta cara pandang yang justru kian diterima, seakan menciptakan norma baru dan diserap menjadi semacam kebenaran walaupun semu. Tak heran, kesenjangan yang kian meruncing dalam masyarakat akan cepat menimbulkan perilaku mal-adaptif, lantas menciptakan ketidakseimbangan dalam banyak sektor kehidupan. Kita kehilangan sistem sosial masyarakat yang tenang, nyaman dan semakin jauh dari budaya introspeksi sebagai landasan untuk maju menghadapi tantangan.
Mental kesegeraan bisa kita lihat saat orang ingin serba cepat, cepat kaya, cepat berkuasa, cepat sembuh, cepat populer, dan sebagainya, yang seringkali bukan lewat cara yang berorientasi pada proses dan daya juang. Krisis multidimensi di Indonesia yang memuncak pada tahun 1998 yang lalu merupakan tonggak sejarah penting yang seharusnya diantisipasi, karena jangka panjangnya bisa meluluh-lantakkan kualitas hidup masyarakat, termasuk di dalamnya kesehatan mental.
Saat ini kita sudah mulai menuai dampak reformasi itu yang ternyata memang pahit. Apalagi, pemangku kekuasaan sebagai regulator perikehidupan masyarakat sungguh mengecewakan, alhasil mengempaskan harapan masyarakat yang kadung dipasang tinggi-tinggi. Di situlah kumpulan individu bernama masyarakat kehilangan harapan yang amat berharga bahwa kehidupan layak diteruskan. Depresi marak karena kita kehilangan “sesuatu”, yakni harapan dan kepastian hidup.
Patut disimak pendapat Karen Horney tentang depresi bahwa kita tidak akan mengerti masalah depresi tanpa kita memahami seberapa besar harapan, nilai kehidupan, dan standar yang dipatok oleh individu dan masyarakat. Harapan yang begitu tinggi agar terjadi perubahan yang lebih baik —saat retorika reformasi diteriakkan— terempas oleh kenyataan, menyisakan ketidakberdayaan yang membuncah (overwhelming hopelessness).
Maka, kita perlu menurunkan ekspektasi agar mendekati kenyataan, betapapun pahitnya, sambil merestorasi kenyataan yang sedang tidak legit itu. Belajar merasa bahagia dan mempunyai harapan yang proporsional akan mengurangi angka perilaku mal-adaptif sebagai dampak dari depresi.
Mari kita mengembalikan nilai-nilai yang baik dan positif dari kearifan lokal serta menguatkan akar sosial budaya yang bisa meningkatkan kohesi sosial dan resiliensi mental di masyarakat sebagai sumber kebahagiaan otentik yang boleh jadi selama ini kita abaikan.
Nalini Muhdi
Psikiater di RSU Dr Sutomo FK Unair;
Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia
KOMPAS, 9 Oktober 2012
No comments:
Post a Comment