Mohamed Bouazizi drop out dari SMP karena orangtuanya tak mampu bayar uang sekolah. Untuk memperbaiki nasib, mereka pindah ke kota lebih kecil, R’gueb, dan bekerja di peternakan saudaranya.
Namun, peternakan itu bangkrut karena jadi korban pemerasan aparat. Merasa sia-sia, Bouazizi dan keluarga balik lagi ke Sidi Bouzid, Tunisia tengah.
Ia memutuskan mencoba peruntungan sebagai penjual buah dan sayur dengan modal gerobak serta utang kanan-kiri untuk membeli dagangan. Sayang, usaha kaki limanya dilarang, gerobaknya jadi langganan disita polisi.
Namun, ia diusir polisi. Tak ada jalan keluar lagi, Bouazizi mengambil jalan pintas. Ia lalu membakar diri di depan kantor gubernur.
Aksi konyol itu membuat Bouazizi menderita luka bakar parah. Rakyat marah. Sepanjang akhir pekan setelahnya, massa melakukan demonstrasi dan menjarah.
Pembakaran dan penjarahan segera menyebar ke seluruh negeri. Perlahan tetapi pasti, rakyat tergerak mempersoalkan tingkat pengangguran yang tinggi dan korupsi para pejabat.
Aksi Bouazizi ditiru beberapa demonstran di Mesir dan Aljazair karena efektif memicu revolusi. Kurang dari dua bulan, ”Revolusi Melati” di Tunisia merembet ke sejumlah negara Timur Tengah.
Padahal, kultur membakar diri akibat frustrasi sosial tidaklah dikenal di kedua kawasan itu. Aksi itu lebih sering terjadi di Asia, terutama di kawasan Asia Timur dan Asia Selatan.
Sudah beberapa kali terjadi belakangan ini orang loncat dari gedung, menjatuhkan diri dari jembatan penyeberangan, atau membakar diri sekeluarga.
Padahal, budaya protes kita terhadap keadaan yang sumuk tidak begitu. Protes kita masih berwatak jinak, misalnya demonstrasi ke istana yang merupakan bentuk modern dari pépé (berjemur diri di alun-alun).
Apa yang dilakukan pembakar diri adalah perbuatan kurang waras dan bertentangan dengan agama walau Bouazizi terbukti periang dan religius. Satu-satunya motivasi kenapa mereka nekat adalah karena putus asa akibat kondisi sosial dan ekonomi terpuruk.
Pembakar diri memprotes rasa ketidakadilan. Dan, yang perlu digarisbawahi, para pemimpinlah yang bertanggung jawab atas terciptanya ketidakadilan tersebut.
Lihat ketiga cabang kekuasaan kita yang sering diguyoni dengan ”Trias Poli-thieves”. Ketiga cabang kekuasaan terdiri atas ”execu-thieves”, ”legisla-thieves”, dan ”judica-thieves”.
Tikus-tikus koruptor menguasai ketiga cabang kekuasaan. Korupsi tak lagi sekadar mengentit alias mengais-ngais dari anggaran belanja, tetapi juga menjarah anggaran untuk dibagi-bagikan sejak ia ditetapkan oleh eksekutif dan yudikatif.
”Judica-thieves”? Lihat saja sebagian keputusan Pemilu-Pilpres 2009 dan pilkada yang ternyata diperdagangkan oleh Mahkamah Konstitusi yang kini disidik Panitia Kerja Mafia Kursi DPR.
Betul kata judul buku politisi Partai Golkar, Bambang Soesatyo, Perang-perangan Melawan Korupsi. Pembasmian korupsi ibarat anak-anak yang bermain perang-perangan semata. Kepolisian dan Kejaksaan menjalankan peran memainkan ”penyidik-penyidikan” sekaligus ”penyelidik-penyelidikan” skandal-skandal korupsi. KPK bertindak sebagai aktor yang bermain ”periksa-periksaan” koruptor. Lalu Pengadilan Tipikor memainkan peran menjalankan ”sidang-sidangan” seperti yang dilakukan terhadap M Nazaruddin.
Selain membakar diri, muncul fenomena baru: dalam rangka peringatan Hari Antikorupsi Internasional, mahasiswa dan aktivis pendemo menyatroni rumah Ketua Umum Partai Demokrat.
Pembakar diri seperti Bouazizi atau Sondang bukan pencari sensasi yang haus perhatian dan ingin dikenang sebagai ”pahlawan”. Mereka bisa disebut sebagai ”korban” yang ingin agar rakyat ”bangkit”.
Kita wajib periksa diri: walau sistem demokratis, apakah the ruling elite yang berkuasa masih belum kapok korupsi? Percuma membanggakan demokrasi jika tujuannya tidak lebih dari sekadar memperkaya diri.
Budiarto Shambazy, Wartawan KOMPAS
Sumber : KOMPAS, 10 Desember 2011
No comments:
Post a Comment