Wednesday, February 10, 2010

Disonansi Politik


“Saya akan melihat setiap bukti tambahan yang ada untuk mendukung opini yang saya miliki”
(Lord Mason, 1903-1991)

Pada tahun 2003, publik Amerika tahu bahwa tidak ada senjata pembunuh massal di Irak. Namun, banyak orang dari kubu Republik tetap percaya bahwa senjata seperti itu telah ditemukan. Kubu Demokrat yang tadinya mendukung kebijakan invasi Irak berbalik menyalahkan kubu Republik sebagai telah salah hitung, salah informasi, atau Presiden berdusta. Ketidakcocokan pengetahuan yang dimiliki masing-masing kubu tidak disikapi dengan pengakuan salah atau permintaan maaf kepada publik, tetapi dengan pembenaran diri. Sebuah solusi mudah untuk disonansi kognitif.

Kesalahan memang terjadi, tetapi saya sama sekali tidak terlibat di dalamnya, seperti dikatakan Carol Tavris and Elliot Aronson dalam Mistakes Were Made (But Not by Me): Why We Justify Foolish Beliefs, Bad Decisions, and Hurtful Act (2007). Pansus DPR tentang Hak Angket Bank Century tampaknya akan terbelah karena fokus selama ini lebih pada siapa yang bertanggung jawab untuk kebijakan yang salah benarnya dapat diperdebatkan.

Jika publik dan media menyikapi kasus cicak-buaya dengan suara bulat, tidak demikian dengan kasus Century. Sejauh ini, substansi polemik jauh dari persoalan dugaan korupsi yang memicu upaya mengungkap kasus itu. Opini publik digiring ke wilayah lain.


Jika kultur korupsi (politik) tak tersentuh, kesepakatan-kesepakatan di balik panggung teater politik akan lebih menentukan. Itu karena kontrol dan pengawasan atas penyelenggara negara belum berlangsung semestinya. Praktik yang sering terjadi adalah upaya terselubung untuk saling menyejahterakan. Padahal, rakyat menitipkan kesejahteraannya kepada penyelenggara negara.

Kesejahteraan rakyat adalah tujuan tertinggi bernegara. Dalam negara demokratis, rakyat memiliki legitimasi untuk mengingatkan dan mengoreksi penyelenggara negara yang menyeleweng dari tujuan itu. Dari perspektif itulah kritik dan tuntutan para pengunjuk rasa dapat dibaca. Realistis tidaknya isi tuntutan adalah soal lain, substansi unjuk rasa itu adalah kontrol atas kekuasaan.

Tujuan kontrol bukan merongrong negara, tetapi agar negara sungguh-sungguh kuat. Negara kuat dibutuhkan untuk melindungi warga dari keterpurukan karena bencana alam dan karena kompetisi dengan warga yang lebih kuat. Negara kuat dibutuhkan untuk melindungi industri rakyat dari keruntuhan akibat banjir produk impor. Negara kuat dibutuhkan untuk menguasai sumber daya alam negeri bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.


Utang politik
Kritik kepada pengemban amanat rakyat dipicu oleh dua sisi kepemimpinannya, yang (tidak) dilakukannya sebagai pemimpin. Pemimpin belum melakukan yang seharusnya. Pemimpin melakukan hal-hal yang mungkin menjadi haknya, tetapi tidak cocok dengan realitas negeri yang masih memprihatinkan.

Saat kesejahteraan puluhan juta rakyat kecil belum membaik, maka sulit diterima logika akal sehat atas pemberian berbagai fasilitas mewah dan kenaikan gaji pejabat hingga 20 persen. Jika benar keuangan negara berlebih, tidakkah lebih elok untuk mendahulukan kesejahteraan jutaan prajurit, penyuluh, guru, pegawai honorer, dan pegawai golongan rendah? Tidakkah lebih baik kelebihan itu disalurkan untuk hal-hal produktif yang dapat menciptakan lapangan kerja?


Watak penguasa yang menjabat kembali adalah mabuk kemenangan. Lupa dengan sekian banyak program dan kewajiban yang belum lunas pada periode kekuasaan lalu. Sebut saja, di antaranya adalah soal pelanggaran HAM berat, pemberantasan korupsi, pembangunan sektor riil, reformasi birokrasi, penegakan hukum, pemberantasan mafia hukum serta diskriminasi ruang tahanan, hukum yang memihak rakyat kecil, dan penghambatan sistematis bagi kaum minoritas untuk beribadah.

Pemimpin kita tak pernah menyatakan di depan publik tentang apa saja kekurangan dan kesalahan dalam kepemimpinan lalu. Tak terlihat semangat untuk membayar utang kepemimpinan yang belum lunas. Suasana kepemimpinan bangsa seperti itulah yang hari-hari ini menghilang dari ruang publik. Yang tampak adalah merayakan kemenangan dengan membagi-bagi kue kekuasaan. Penguasa sibuk memusatkan kekuasaan di sekitar istana. Kekuatan parlemen yang notabene wakil rakyat pun ingin diserap sebagai perluasan jejaring Istana. Yang tergambar dalam imajinasi rakyat, penguasa adalah raja dalam kemegahan dan kebesaran, dikelilingi hulubalang yang berjalan membusungkan dada. Rakyat dibuat terkesima dengan kemegahan tahta.


Keberhasilan perjalanan lima tahun ke depan memang tidak ditentukan oleh 100 hari pertama. Namun, alangkah memprihatinkan jika 100 hari itu tak terlihat gejala-gejala pemerintah membayar utang kesejahteraan kepada rakyat. Rakyat tak butuh imbauan dan janji, tetapi tindakan kongkret. Kebutuhan pokok terjangkau. Kebutuhan dasar terpenuhi. Rakyat benar-benar hidup dari tanah dan air negerinya, bukan menonton negerinya dieksploitasi.

Betapa malangnya rakyat Indonesia yang elite politiknya silau dengan kekuasaan. Politisinya menutup mata terhadap kepentingan bangsa yang lebih besar. Laku politiknya minus keutamaan. Lalu, warisan (legacy) macam apa yang akan ditinggalkan oleh kepemimpinan politik macam ini?

Yonky Karman, Pengajar di Sekolah Tinggi Theologi Jakarta
KOMPAS, 2 Februari 2010

No comments: