Tuesday, September 22, 2009

Idul Fitri dan Asketisme Sosial


Salah satu hari besar Islam yang paling fenomenal dan monumental adalah Idul Fitri. Secara asketis, Idul Fitri sering disebut sebagai momen penyucian diri kembali pada sifat fitri setiap manusia.

Namun, perayaan yang bersifat masif, serentak, dan penuh sukacita itu justru telah menggeser Idul Fitri dari makna transendennya. Di sini, Idul Fitri tidak lagi bermakna perayaan kemenangan dari ritual olah batin dan fisik sebagai laku asketis selama sebulan penuh menjalankan ibadah puasa. Idul Fitri telah masuk perangkap semiotika dalam berbagai dimensi kehidupan sosial dan kebudayaan kontemporer.

Secara sosial, Idul Fitri merupakan saat paling ditunggu-tunggu setiap orang, bahkan oleh narapidana yang berharap mendapat remisi. Idul Fitri juga mampu menggerakkan arus besar migrasi masyarakat urban, bahkan perputaran keuangan saat mudik, berlangsung secara masif sebagai suatu ritual sosial.

Tidak hanya itu, secara subtil Idul Fitri mampu mendorong pejabat membuka hati dan pintu rumahnya untuk saling memberi maaf kepada sesama dan kaum papa, dan kini menjadi tren silaturahim massal. Sedangkan dalam kebudayaan kontemporer, Idul Fitri menjadi ajang munculnya berbagai kebudayaan populer melalui penampakan tren busana yang selalu berganti setiap Lebaran atau hadirnya berbagai ragam musik dan jenis hiburan religius.


Pendek kata, Idul Fitri bukan saja sarat makna asketistik-spiritualistik yang bersifat transenden, tetapi benar-benar tumpah dalam bentangan luas fenomena sosial. Meski demikian, justru di sinilah letak paradoks makna Idul Fitri. Jika secara asketis Idul Fitri bermakna penyucian diri yang dirayakan setiap tahun, mengapa bangsa yang mayoritas berpenduduk Muslim ini belum beranjak ke arah penyucian diri sebagai sebuah bangsa?

Nafsu libidinal
Sebagai bangsa yang religius secara jujur harus mengakui, segala dimensi kehidupan kita masih menunjukkan nafsu libidinal yang tinggi terhadap segala bentuk kebutuhan materiil dan imateriil. Dalam sektor politik misalnya, nafsu libidinal imateriil itu mewujud dalam praktik pencitraan atau pembentukan pesona tiada henti sehingga yang tersaji hanya kepalsuan-kepalsuan. Demikian juga dalam sektor sosial. Nafsu libidinal menampakkan bentuknya dalam konsumsi gengsi dan corak mode tingkat tinggi sehingga mampu menstrukturisasi kelas masyarakat.

Sementara dalam sektor agama, nafsu libidinal justru gamblang terlihat dalam berbagai simulasi religius sehingga yang muncul adalah spiritualisme artifisial yang semu penuh kepura-puraan. Puncak nafsu libidinal material secara nyata dapat dilihat dalam berbagai praktik korupsi yang belakangan kian merajalela menggerogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Nafsu libidinal seakan menyumbat saraf sensitivitas sosial kita. Kita tidak lagi menjadi peka terhadap penderitaan orang lain seperti fakir miskin, korban gempa, atau siapa pun yang kurang beruntung pada perayaan Idul Fitri tahun ini. Kepedulian terhadap sesama seakan selesai dan berhenti seiring ditunaikannya kewajiban membayar zakat fitrah pada malam Idul Fitri. Kesalehan individual yang dibentuk dalam Ramadhan tidak meluber dalam bentuk kesalehan sosial.


Padahal, kesalehan individual seharusnya berdiri sebangun dengan kesalehan sosial. Ketimpangan itu dimungkinkan terjadi karena puasa yang dijalankan bersifat seremonial religius sebatas menahan haus dan lapar. Jika benar, mungkin tepat sinyalemen Nabi bahwa banyak orang berpuasa, tetapi tidak memperoleh apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga, karena intisari dan hikmah puasa belum menyentuh kesadaran paling dalam umat dan belum mampu membentuk pribadi manusia beragama/beriman yang matang, utuh, tangguh, yang dapat mempertautkan kesalehan individu, kesalehan sosial, dan kesalehan lingkungan dalam kehidupan luas.

Ritus peralihan
Falsafah ibadah puasa menegaskan perlunya dilakukan ”turun mesin” kejiwaan selama sebulan dalam setiap tahun. ”Turun mesin” merupakan proses meneliti, memeriksa onderdil dan hal-hal yang rusak, serta memperbaiki total.

Saat turun mesin, tidak ada lagi yang perlu ditutup-tutupi. Semua harus transparan, akuntabel, rela diperiksa, dikoreksi, dan diperbaiki. Semua peralatan dibongkar, dicek, dan diperiksa satu per satu lalu dilakukan perbaikan.


Karena itu, kegunaan praktis ibadah puasa adalah sebagai titik balik perubahan dan ritus peralihan. Berubah dan beralih dari satu keadaan ke keadaan lain yang lebih baik sehingga terbentuk kepribadian yang memiliki cara pandang yang inspiratif (membawa ide-ide segar), inovatif (mampu memperbaiki dan memperbarui), kreatif (mampu menciptakan pilihan baru), dan transformatif (dapat mengubah) dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Di sinilah makna keberagamaan yang sehat mewujud karena memiliki kemampuan membawa perubahan hidup yang dinamis, menggugah, dan imperatif.

Terbentuknya cara berpikir, mentalitas, cara pandang, pandangan dunia, dan etos keagamaan baru setelah mengalami turun mesin sebulan adalah bagian tak terpisahkan dan termasuk tujuan utama disyariatkannya ibadah puasa. Laisa al-’id liman labisa al-jadid, wa lakinna al-’idu liman taqwa hu yazid (Hari raya Idul Fitri bukan bagi orang-orang yang mengenakan baju baru, tetapi bagi orang-orang yang takwanya bertambah). Yakni bagi mereka yang mempunyai kemauan, semangat, dan etos untuk terus memperbaiki kehidupan pribadi, keluarga, dan sosial-kemasyarakatan, sosial-politik, berbangsa dan bernegara dengan landasan keagamaan yang otentik.

Nilai-nilai yang mendasar dan tujuan pokok ini sering tidak tampak di permukaan karena tertindih semangat dan sibuknya orang menyiapkan hal-hal terkait puasa berupa sahur dan berbuka pada bulan Ramadhan. Mudah-mudahan dengan mengenal tujuan syar’iy ibadah puasa, umat Islam selalu dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup keagamaan sehari-hari dalam masa sebelas bulan mendatang.

HM Amin Abdullah, Rektor UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
KOMPAS, 19 September 2009

No comments: