Friday, March 20, 2009

Tiket Palsu Politik


DALAM seminar Pengawasan Pemilu dalam Perspektif Hukum dan Budaya yang diselenggarakan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) DIY di Yogyakarta (10/3), di mana saya menjadi salah satu nara sumber, mencuat keprihatinan soal suap politik alias politik uang. Jika suap politik itu dilakukan para oknum caleg, hal itu dianggap ‘biasa’. Namun menjadi hal yang kurang biasa jika suap politik justru diinginkan para calon pemilih (konstituen). Repot.

Ketidakjujuran justru dikehendaki sebagian anggota masyarakat. Mereka punya dalih: jika lolos, para caleg itu kelak akan mendapatkan gaji besar dan berbagai fasilitas, maka sudah sewajarnya jika mereka membeli suara untuk menjadi anggota legislatif. Dan harga ‘tiket’ menjadi wakil rakyat itu, bisa ratusan juta. Hitung saja, jika setiap suara itu harganya Rp 50.000 dan dikalikan jumlah peserta pemilu dalam setiap daerah pemilihan (dapil).

‘Legalisasi’ atas suap dalam pemilu menunjukkan jebloknya moralitas para pelaku politik (caleg) dan konstituen. Ini sangat bertentangan dengan hakikat pemilu yang secara kebudayaan dapat diartikan sebagai wahana untuk membangun civil society (masyarakat/bangsa yang beradab) melalui demokrasi. Dan salah satu ciri civil society adalah menjunjung etika dan moral. Etika memberi orientasi kepada moralitas untuk mampu membedakan nilai baik-buruk. (Franz Magnis Suseno: 1989).

Membunuh Demokrasi
Suap politik baik yang dilakukan caleg maupun konstituen yang menginginkannya, sama-sama berpotensi membunuh demokrasi. Demokrasi akan kehilangan orientasi nilai perjuangannya dalam mewujudkan kedaulatan rakyat. Akibatnya, demokrasi hanya dinikmati kalangan yang berduit dan mampu membeli kekuasaan untuk mewujudkan kepentingan pribadinya. Pemilu, akhirnya menjadi ‘teater semu’ alias menjadi sekadar memenuhi syarat demokrasi. Ia tidak memiliki makna apapun untuk seluruh rakyat.

Suap politik dalam pemilu merupakan bentuk penyimpangan etika dan moral yang melahirkan tiket palsu politik untuk memasuki kekuasaan. Persoalan ini menjadikan pemilu, sebagai sebuah kerja kultural, kehilangan nilai-nilai substansialnya, yakni (1) etika-moral, (2) keadilan, (3) partisipasi, dan (4) transparansi.

(1) Etika-moral merupakan komitmen nilai peradaban bangsa yang tidak dapat ditawar. Etika-moral yang berorientasi pada nilai luhur semestinya menyifati setiap tindakan (politik) warga negara.

(2) Keadilan merupakan dasar-dasar objektif untuk memilih caleg dengan kriteria kualitatif: memiliki kemampuan, komitmen dan integritas. Munculnya para pembeli tiket palsu (politik uang) dalam pemilu, menggugurkan kriteria itu. Karena kriteria yang ada hanyalah kemampuan finansial. Praktik kotor ini berakibat pada tergusurnya sejumlah tata kelola politik dan dapat juga berujung pada peminggiran sejumlah potensi yang memenuhi syarat.

(3) Partisipasi terkait dengan keterlibatan publik secara aktif. Artinya pemilu harus terbuka bagi seluruh warga negara, tanpa deskriminasi suku, agama, ras, golongan dan budaya. Di sini, publik merupakan subjek politik, bukan objek politik. Rakyat bukan hanya menjadi stake-holders politik demokrasi melainkan pemilik sah kedaulatan. Suap politik atau tiket palsu politik menjadikan pemilu tidak lagi berwatak partisipatif, melainkan elitis dan eklusif (tertutup).

(4) Transparansi terkait dengan seluruh mekanisme pemilu yang harus terbuka (dapat diakses publik), jujur (terikat etika dan moral) dan adil (objektif).

Rakyat mestinya sadar, bahwa pemilu merupakan jalan untuk meraih kekuasaan yang akan langsung berdampak pada dirinya. Jika dukungan atau legitimasi itu ‘dijual’ secara material (uang, sembako dan lainnya) maka sesungguhnya rakyat telah menggadaikan hak kedaulatannya kepada mereka yang berduit.

Bawaslu dan Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu) tentu telah memiliki pasal-pasal hukum untuk menindak praktik suap politik. Yang menjadi masalah, tidak semua praktik penyimpangan itu gampang dideteksi, diidentifikasi dan diatasi (ditindak) secara yuridis administratif.

Hukum hanya berbicara ‘kebenaran’ material berdasarkan bukti-bukti dan saksi-saksi dan tidak mampu menyentuh kebenaran substansial yang terkait dengan etika dan moral. Suap politik tidak selalu bisa diatasi dengan tindakan yuridis, karena saksi dan bukti bisa dengan gampang dimanipulasi. Ini menunjukkan, suap politik telah memasuki wilayah mental, etika dan moralitas serta mindset bangsa dan hal itu juga berarti telah memasuki wilayah kebudayaan.

Pertanyaannya, bisakah mindset yang mengidentikkan pemilu adalah uang itu diubah?
Mengubah mindset masyarakat tidak dapat dilakukan secara instan, karena terbangunnya mindset juga tidak seketika dan berdiri sendiri. Mindset tersebut terkait dengan materialisme dan pragmatisme politik. Artinya, rakyat sesungguhnya merupakan pihak yang menjadi korban dari menguatnya dua hal di atas.

Dalam politik uang, rakyat dididik para elite politik untuk membuang idealisme politik. Demi pragmatisme politik, para elite politik membujuk rakyat untuk menjual dukungan suara dan legitimasinya. Di tengah kemiskinan yang akut, iman rakyat pun akhirnya goyah dan ambrol. Ini diperparah dengan tingkah polah elite sosial (tokoh-tokoh masyarakat, agama, budaya, politik) yang justru menghalalkan politik uang. Rakyat pun pada akhirnya kehilangan ketauladanan.

Jika mindset rakyat yang mengidentikkan pemilu adalah uang mau diubah, maka cara mendasar yang harus ditempuh adalah menghilangkan pragmatisme politik. Jagat politik (baca, pemilu) harus dikembalikan kepada idealisme: jujur, adil, partisipatif dan transparan. Selain itu negara dan perangkat-perangkat demokrasi harus mampu menciptakan pemilu yang berkualitas dan bersih, sehingga melahirkan para wakil rakyat dan pemimpin bangsa yang berkualitas pula.

Jika hal-hal itu tidak terwujud, maka suap dalam pemilu dan munculnya banyak tiket palsu, akan terus terjadi. Akibatnya, bukan hanya pemilu buruk yang dilahirkan tapi jebloknya mentalitas dan moralitas bangsa. Bangsa ini akan mengalami dekadensi dan degradasi secara nilai dan kultural.

Indra Tranggono, Pemerhati Kebudayaan
Kedaulatan Rakyat, 18 Maret 2009

No comments: