Monday, March 9, 2009

Menarik Investasi dari Negara Minyak



KETIKA negara tujuan utama investasi bangkrut akibat krisis finansial, ke manakah gerangan pemilik modal akan pergi menanamkan uangnya? Di saat Amerika Serikat dan Eropa berubah dari semula surga return dan yield tertinggi menjadi pusat loss terbesar dalam sejarah ekonomi, bukankah harus ada tempat tujuan lain sebagai alternatif?

Indonesia bersemangat untuk menjawab pertanyaan itu dalam Forum Ekonomi Islam Sedunia atau World Islamic Economic Forum kelima yang berlangsung di Jakarta 1-4 Maret lalu. Yaitu tempat tujuan alternatif tersebut kiranya adalah Indonesia.

Bagi investor, krisis finansial global memang telah mengubah Amerika Serikat dari tempat yang menggiurkan menjadi tempat yang menakutkan. Padahal, hukum besi dalam kepemilikan dan pengelolaan kapital telah menjadikan perputaran modal sebagai sebuah keniscayaan.

Kapital yang tidak bergerak adalah kapital yang tidak produktif karena cenderung tidak menghasilkan, bahkan dapat menyebabkan pengurangan nilai. Karena itu, tidak ada pilihan lain bagi investor selain menempatkan, menggerakkan, dan memutarkan kapital agar terus terjamin produktivitasnya.

Para pemilik dana masif di negara-negara Islam, khususnya jazirah Arab tentu saja bukan pengecualian dari pola dan kecenderungan seperti itu.Bila selama ini mereka memusatkan penempatan investasi atau portofolio mereka di Amerika Serikat atau Eropa, adalah masuk akal bila mereka membutuhkan tempat tujuan lain yang jauh lebih aman dari kerugian dan kebangkrutan. Pertanyaannya adalah mampukah negeri ini menjadi tempat tujuan alternatif itu?

Bagi Indonesia, investasi dari negara-negara Arab penghasil minyak sejatinya bukan sesuatu yang sama sekali baru. Dalam lima tahun terakhir, dua pemodal dari negara-negara Islam kaya minyak sudah masuk ke Indonesia. Qatar Telecom, misalnya, memiliki 65% saham Indosat dan Saudi Telecom menguasai 51% saham Axis.



Masuknya modal dari negara penghasil minyak itu tentu perlu ditingkatkan dan didiversifikasikan. Ditingkatkan dalam soal nilai investasi sehingga menambah jumlah modal yang masuk.

Didiversifikasikan terkait dengan sektor yang menjadi tujuan investasi sehingga penempatan kapital tidak hanya dalam bentuk portofolio pengambilalihan saham, tetapi juga berupa investasi langsung yang dapat menggerakkan sektor riil, misalnya di bidang pertanian, industri pengolahan, dan sektor padat karya lainnya.

Karena itu, pemerintah dan dunia usaha harus bersama-sama menghadirkan dan menciptakan iklim yang paling kondusif sehingga para investor Arab itu benar-benar menanamkan modalnya di negeri ini. Bukan janji semata. Yang tetap harus diingat adalah jazirah Arab, seperti bagian lain dari bola bumi, juga menerima akibat yang sama atas krisis yang berpusat di Amerika. Hal itu, di satu sisi, mempersulit dan memperumit upaya menarik petrodolar. Tetapi, di sisi lain, menjadi tantangan bagi lahirnya kreativitas dan kepiawaian.

Media Indonesia, 6 Maret 2009

1 comment:

KULYUBI ISMANGUN said...

Segera Main: Kapitalisme Jilid 3

Dani Rodrik
GURU BESAR EKONOMI POLITIK PADA JOHN F. KENNEDY SCHOOL OF GOVERNMENT, HARVARD UNIVERSITY

Kapitalisme tengah berada dalam krisis yang paling parah selama beberapa dekade ini. Kombinasi resesi yang dalam, dislokasi ekonomi global, dan nasionalisasi yang efektif meluas di sektor finansial di negara-negara paling maju di dunia, mengguncang keseimbangan antara pasar dan negara. Di manakah keseimbangan baru ini akan berjangkar, masih belum diketahui secara pasti.

Mereka yang meramalkan matinya kapitalisme harus berhadapan dengan satu fakta historis yang penting: kapitalisme punya kapasitas yang hampir tidak terbatas untuk mengubah diri. Sesungguhnya, kekenyalannya inilah yang membuatnya mampu mengatasi krisis yang terjadi berkala selama ini serta mengalahkan para pengecamnya, dari Karl Marx dan seterusnya. Pertanyaan riilnya bukan apakah kapitalisme bisa survive--ia bisa--melainkan apakah para pemimpin dunia bisa menunjukkan kepemimpinan yang diperlukan untuk membawa kapitalisme ke tahap berikutnya, sementara kita berupaya keluar dari kemelut yang kita hadapi saat ini.

Kapitalisme tidak punya pesaing yang setara dalam membebaskan dan mengerahkan energi kolektif manusia. Itulah sebabnya, semua masyarakat yang makmur di dunia ini kapitalistik dalam arti kata yang luas: masyarakat makmur itu terbentuk di sekitar kepemilikan swasta yang memungkinkan pasar memainkan peran yang besar dalam mengalokasikan sumber daya dan menetapkan imbalan ekonomisnya. Tapi baik hak kepemilikan maupun pasar ini tidak bisa berfungsi dengan kekuatannya sendiri. Mereka membutuhkan lembaga-lembaga pendukung lainnya.

Maka, hak kepemilikan bergantung pada pengadilan dan penegakan hukum, sedangkan pasar bergantung pada lembaga regulator yang mengerem penyalahgunaan dan mengoreksi pasar. Pada tingkat politik, kapitalisme membutuhkan mekanisme compensation and transfer untuk membuat apa yang dihasilkannya dapat diterima. Sedangkan krisis yang terjadi saat ini sudah membuktikannya lagi, kapitalisme membutuhkan pengaturan yang menstabilkan keadaan, seperti lender of the last resort dan kebijakan fiskal counter-cyclical. Dengan kata lain, kapitalisme bukan suatu sistem yang self-creating, self-sustaining, self-regulating, atau self-stabilizing.

Sejarah kapitalisme merupakan proses belajar dan belajar lagi. Masyarakat pasar yang diidam-idamkan Adam Smith membutuhkan tidak lebih dari suatu "negara jaga malam" saja. Apa yang perlu dilakukan pemerintah untuk menjamin adanya division of labor atau pembagian kerja cukup dengan menegakkan hak kepemilikan, menjaga ketertiban, dan memungut pajak untuk membiayai program-program yang terbatas untuk kebaikan publik.

Selama awal abad ke-20, kapitalisme diatur oleh visi lembaga-lembaga publik yang sempit yang diperlukan untuk mendukungnya. Dalam prakteknya, jangkauan negara sering melampaui konsepsi ini (seperti, katakan, dalam kasus pensiun hari tua yang diperkenalkan Bismarck di Jerman pada 1889). Tapi pemerintah tetap memandang peran yang dimainkannya dalam perekonomian dalam lingkup yang terbatas.

Semua mulai berubah ketika masyarakat berkembang menjadi lebih demokratis dan serikat buruh serta kelompok-kelompok lainnya memobilisasi diri melawan penyalahgunaan yang menurut mereka dilakukan oleh kapitalisme. Kebijakan antimonopoli dimulai di Amerika Serikat. Kegunaan kebijakan moneter dan fiskal yang aktivis ini diterima secara luas setelah terjadinya Depresi Besar. Pangsa belanja publik dalam pendapatan nasional meningkat dengan cepat di negara-negara industri dari rata-rata di bawah 10 persen pada akhir abad ke-19 menjadi lebih dari 20 persen sesaat sebelum Perang Dunia II. Dan setelah perang, sebagian besar negara menerapkan kebijakan kesejahteraan sosial yang menyerap rata-rata lebih dari 40 persen pendapatan nasional ke dalam sektor publik.

Model "ekonomi campuran" ini merupakan mahkota pencapaian abad ke-20. Keseimbangan baru antara negara dan pasar ini membuka jalan bagi era kohesi sosial, stabilitas, dan kemakmuran di negara-negara maju yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang berlangsung sampai pertengahan 1970-an. Model ekonomi campuran in mengurai mulai 1980-an dan seterusnya dan sekarang tampaknya sudah ambruk. Alasan ambruknya model ekonomi ini dapat dinyatakan dalam satu kata: globalisasi.

Ekonomi campuran pascaperang ini dibangun untuk dan berjalan pada level nation-state. Ia membutuhkan terkendalinya ekonomi internasional. Rezim Bretton Woods-GATT menuntut adanya suatu bentuk integrasi ekonomi internasional yang "dangkal" serta kontrol atas arus modal internasional yang, menurut John Maynard Keynes dan ekonom sezamannya, krusial bagi pengelolaan ekonomi dalam negeri. Negara-negara diminta melakukan liberalisasi perdagangan yang terbatas seadanya saja dengan memberikan banyak kekecualian bagi sektor-sektor yang dianggap sensitif dalam masyarakat (pertanian, tekstil, jasa). Kebijakan ini membiarkan negara-negara bebas membangun versi kapitalisme nasional mereka sendiri, selama mereka mematuhi beberapa aturan internasional yang sederhana saja sifatnya.

Krisis yang terjadi saat ini menunjukkan betapa jauh kita sudah beranjak dari model tersebut di atas. Globalisasi finansial, terutama, telah mengacaukan aturan yang lama. Ketika kapitalisme gaya Cina bertemu dengan kapitalisme gaya Amerika, tanpa katup pengaman yang memadai, terjadilah campuran yang eksplosif. Tidak ada mekanisme pelindung untuk mencegah berkembangnya banjir likuiditas global, dan kemudian, beserta gagalnya regulasi di Amerika Serikat, timbulnya booming perumahan yang spektakuler dan meletusnya gelembung tersebut. Begitu juga tidak ada perintang jalan internasional untuk mencegah menjalarnya krisis dari titik pusatnya.

Pelajaran yang bisa dipetik bukannya mengatakan bahwa kapitalisme sudah mati. Pelajaran yang bisa dipetik adalah, kita perlu menciptakan kembali kapitalisme bagi abad baru ketika kekuatan-kekuatan globalisasi ekonomi lebih kukuh daripada sebelumnya. Seperti dulu kapitalisme minimal Smith berubah menjadi ekonomi campuran Keynes, kita perlu mempertimbangkan transisi dari ekonomi campuran versi nasional ke ekonomi campuran yang global.

Ini artinya membayangkan keseimbangan yang lebih baik antara pasar dan lembaga pendukungnya pada tingkat global. Satu waktu ini membutuhkan diperluasnya lembaga-lembaga, sehingga menjangkau keluar dari nation state serta diperkuatnya global governance. Pada waktu lainnya, ia berarti mencegah meluasnya pasar ke luar jangkauan lembaga yang harus tetap nasional sifatnya. Pendekatan yang tepat bakal berbeda dari satu kelompok negara ke kelompok negara lainnya dan di antara kawasan-kawasan bersangkutan. Merancang kapitalisme berikutnya ini tidak mudah Tapi kita punya sejarah yang mendukung kita: apa yang menyelamatkan kapitalisme adalah bahwa ia mempunyai kekenyalan yang hampir tidak terbatas.