Monday, October 27, 2025

Pongah Jadi Menko Tiga Kali


Tiga kali jadi Menko! Hebat, katanya. Luhut Binsar Pandjaitan tampak bangga betul dengan rekam jejaknya di kabinet: Menko Polhukam, Menko Marves, dan “Menko Segala Urusan.”

Ia menepuk dada, seolah negeri ini berdiri tegak di atas keringat dan kebijakannya. Padahal, kalau mau jujur sedikit saja, kursi-kursi empuk itu bukan hasil prestasi gemilang, melainkan hasil konspirasi elitis —persekutuan antara kekuasaan dan kekayaan. Sebuah oligarki yang merayakan dirinya sendiri.

Luhut adalah simbol sempurna dari wajah politik Indonesia hari ini: gabungan antara kekuasaan, bisnis, dan kesombongan. Dalam dirinya melebur semua itu. Ia bicara soal nasionalisme, tapi bisnisnya lintas benua. Ia mengaku cinta lingkungan, tapi konsesi tambangnya mengoyak bumi. Ia menggurui rakyat soal moral kerja keras, tapi kekayaannya tumbuh subur di lahan yang dulu hijau.


Katanya, jadi Menko itu pengabdian. Tapi rakyat tahu, pengabdian macam apa yang menghasilkan pulau-pulau nikel yang rusak, sungai-sungai yang mati, dan hutan yang tinggal legenda. Di bawah pengawasan “tangan besi”-nya, ribuan hektar hutan di Papua dan Kalimantan hilang demi sawit dan tambang. Sementara di Jakarta, ia sibuk bicara tentang ekonomi hijau dan investasi bersih. Ironis? Tidak. Itu memang jurus khas pejabat senior negeri ini: bicara etika di podium, berbisnis di belakang layar.

Tiga kali jadi Menko, tapi apa hasilnya? Ekonomi rakyat tetap saja jongkok, pengangguran masih menganga, utang menumpuk, dan kekayaan alam terus dikeruk tanpa malu. Tapi Luhut tetap pongah. Seolah negeri ini tak bisa berjalan tanpa dirinya. Ia bercerita tentang “kepercayaan presiden” seolah itu lisensi untuk kebal kritik, kebal hukum, bahkan kebal logika.

Padahal, kalau tidak karena “restu sang majikan”, mungkinkah ia bisa sekokoh itu di istana? Semua tahu, karier politik Luhut menanjak bukan karena kejeniusan ekonomi, melainkan karena kesetiaan personal —loyalitas yang dibayar dengan kekuasaan. Ia bukan teknokrat yang menumbuhkan ekonomi rakyat, tapi penjaga gerbang istana yang memastikan bisnis keluarga besar tetap aman sentosa.


Di luar sana, rakyat antri minyak goreng, harga beras melambung, listrik naik, air susah. Tapi di ruang rapatnya, angka-angka pertumbuhan ekonomi terlihat manis. Luhut tampil dengan presentasi menawan, bicara “optimisme nasional”, “resiliensi ekonomi”, “transformasi digital.” Kata-kata yang hanya indah di PowerPoint, tapi hampa di dapur rakyat.

Pongahnya luar biasa. Ketika dikritik, ia balas dengan nasihat. Ketika rakyat protes, ia bilang “jangan baper.” Seolah kritik adalah dosa, dan pejabat seperti dirinya adalah nabi yang tak boleh disentuh. Padahal, dari proyek tambang hingga bisnis karbon, semuanya berputar di lingkar yang sama: nama-nama lama, kroni lama, dan kepentingan lama. Semua terhubung rapi dalam jaringan “trust fund” kekuasaan yang tak tersentuh hukum.

Lucunya, ia sering menasihati pejabat muda agar tak serakah. Padahal siapa yang lebih serakah dari pejabat yang sudah sepuh tapi masih ingin mengatur segalanya —dari energi, tambang, pariwisata, hingga politik luar negeri. Semua ingin dikontrol. Semua ingin dipegang. Mungkin di kamusnya, “pengabdian” memang sinonim dari “kekuasaan tak terbatas.”


Kini, saat rakyat menuntut pemerintahan bersih dan transparan, Luhut malah pamer pengaruh. Tiga kali jadi Menko, katanya, itu bukti kepercayaan. Tapi kepercayaan siapa? Rakyat jelas tidak. Investor mungkin iya. Oligarki tentu saja. Ia bangga dipuji presiden, tapi lupa bahwa sejarah tak menulis gelar, melainkan jejak. Dan jejak Luhut, sayangnya, lebih banyak meninggalkan lubang daripada kesejahteraan.

Bayangkan, tiga kali jadi Menko, tapi tak ada tonggak kebijakan monumental yang benar-benar mengubah hidup petani, nelayan, atau buruh. Yang berubah justru peta konsesi tambang dan daftar perusahaan tambang nikel yang makin panjang. Semakin besar tambang, semakin dalam kantong para penguasa. Negeri ini dijual potong demi potong, dengan senyum pejabat yang berkata, “Demi kemajuan bangsa.”

Kalau tiga kali jadi Menko adalah prestasi, maka hutan-hutan yang habis, sungai yang tercemar, dan laut yang berlubang juga pantas disebut karya besar. Mungkin begitulah ukuran kebanggaan zaman ini: makin besar dampak kerusakannya, makin tinggi pangkatnya.

Luhut Binsar Pandjaitan dan menantunya, Jenderal TNI Maruli Simanjuntak yang kini menjabat Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD).

Jadi, wajar kalau rakyat nyinyir. Karena di negeri yang masih banyak anak putus sekolah dan desa tanpa listrik, pejabat tua yang pongah karena jabatan tiga kali itu bukan inspirasi —melainkan ironi.

Bangga jadi Menko tiga kali? Harusnya malu! Karena jabatan tanpa manfaat rakyat, hanya akan tercatat sebagai noda sejarah. Dan Luhut, dengan segala keangkuhannya, sedang menulis bab terakhir dari sebuah era di mana kekuasaan dan keserakahan masih bersatu padu di bawah bendera “pengabdian.”

Dan ketika nanti sejarah menilai, mungkin satu-satunya kalimat yang pantas disematkan adalah ini: ia memang kuat, tapi tak bijak; ia berkuasa lama, tapi tak meninggalkan apa-apa selain kerakusan.

Syaefudin Simon
Kolumnis
https://web.facebook.com/eldin.ibnuathiyyah

Tuesday, October 21, 2025

Budaya Baca Bangun Otak Cerdas


Kemampuan membaca bukan bawaan lahir. Otak manusia tidak dirancang untuk itu. Kemampuan itu ialah penemuan budaya yang baru. Tidak ada jalan pintas membangun sirkuit membaca. Belajar membaca ialah rekayasa otak.

Di zaman AI ini, membaca semakin penting. Dunia baru saja merayakan Laszlo Krasznahorkai. Sastrawan Hongaria itu meraih Hadiah Nobel Sastra 2025.

Karyanya disebut 'visioner' dan 'mengukuhkan seni'. Karya tulis epik ialah buah dari tradisi membaca yang kuat. Sementara itu, kita masih menghadapi minat baca yang lemah dan rendah. Paradoks itu mengandung sebuah pelajaran berharga.

Laszlo Krasznahorkai, "Ahli Kiamat" Hongaria. Peraih Nobel Sastra 2025.

Membaca memaksa otak membangun jaringan saraf baru. Jaringan itu meminjam sistem bahasa lisan. Juga meminjam sistem penglihatan yang sudah ada. Proses itu mengubah struktur fisik otak kita. Area temporal superior memproses fonem. Area itu ialah unit suara terkecil dalam bahasa. Visual word form area (VWFA) mengenali huruf. Area itu hanya aktif pada orang yang bisa membaca. Itu membuktikan area tersebut dibentuk oleh pengalaman.

Pembaca pemula memulai dengan proses decoding. Mereka memetakan huruf ke suara yang sesuai. Lalu menggabungkan suara menjadi sebuah kata. Proses itu membutuhkan koordinasi visual yang baik. Juga membutuhkan koordinasi auditori dan kognitif. Latihan terus-menerus membuat mata lebih lancar. Perlahan pemrosesan kata menjadi otomatis. Tujuan akhirnya ialah pemahaman lancar tanpa hambatan.


Tantangan Literasi Kita
Data kemampuan baca kita dari PISA sangat memprihatinkan. Sekitar 70% siswa kesulitan memahami ide pokok teks. Mereka bisa membaca kata-kata dengan baik. Namun, sering kali mereka buta terhadap makna. Kondisi itu diperparah dengan harga buku yang mahal. Juga masih minimnya perpustakaan yang berkualitas.

Sementara itu, media digital ditengarai memperburuk keadaan. Konten instan menghambat kesadaran fonemik. Gerakan mata menjadi terputus-putus di layar. Hal itu mengganggu perkembangan VWFA di otak. Akibatnya fondasi neural tidak terbangun dengan kukuh. Pemahaman teks pun menjadi dangkal dan cepat lupa. Mereka hanya melihat cepat, lalu cepat lupa juga.

Padahal pada era kecerdasan artifisial (AI) ini, kemampuan membaca justru semakin krusial. Mesin AI bisa meniru hasil tulisan manusia. Namun, AI tidak bisa membangun sirkuit saraf manusia. Proses decoding dan memahami teks ialah latihan kognitif. Itu merupakan latihan terbaik bagi kecerdasan kita.


Membaca karya yang kompleks melatih ketahanan kognitif. Setiap kata yang dipahami akan memperkuat jalur saraf yang ada. Hal itu niscaya akan membangun kapasitas otak untuk berpikir yang kompleks. Kemampuan itulah yang akan menjadi 'kompas nalar' di era informasi. Kita harus tahu kapan tidak menggunakan AI. Kita juga perlu paham cara kerja dan bias di balik AI. Literasi AI tidak hanya bisa menggunakannya saja. Literasi sejati berarti mampu mengkritisi hasil dari AI.

Kemampuan AI membuat tulisan tidak serta merta meniadakan perlunya kemampuan manusia menulis. Dengan adanya AI, manusia justru harus memperkuat perlunya kemampuan menulis. Dengan demikian, kemampuan membaca pun menjadi semakin penting. AI membantu orang dengan keterampilan dasar. Namun, manfaat terbesar didapat orang berkemampuan tinggi. Sama dengan kalkulator, paling berguna bagi yang mahir berhitung.


Solusi Integratif
Kembali ke masalah mendasar, yaitu minat baca. Ada beberapa langkah yang perlu dilakukan bersama. Pertama, pendekatan pengajaran membaca harus ilmiah. Pengajaran fonik sistematis sangat penting bagi tingkat dasar. Itu akan membangun kesadaran fonemik dasar decoding. Teks khusus perlu digunakan untuk melatih decoding. Latihan harus terus menerus dilakukan hingga prosesnya bisa berjalan otomatis. Langkah ini niscaya akan membentuk fondasi neural yang kukuh.

Kedua, gerakan perbanyak membaca buku fisik. Buku fisik mendukung fiksasi mata yang lebih stabil. Itu berbeda dengan layar digital yang penuh gangguan. Setiap halaman buku yang dibalik melatih sistem visual. Hal itu memfasilitasi pemahaman dan memori lebih baik. Otak menafsirkan teks cetak dan digital secara berbeda. Pemahaman mendalam sering kali lebih baik pada buku fisik. Membaca buku fisik juga memberikan pengalaman sensorial yang unik. Membaca buku fisik bisa menjadi bentuk digital detox sederhana. Ini adalah istirahat bagi mata dan otak kita dari paparan radiasi sinar digital.

Walaupun hanya di teras rumah, sudut kecil Library Corner ini adalah langkah jitu dalam upaya strategis membangun ekosistem literasi di lingkungan kita masing-masing.

Ketiga, ubah paradigma tentang kegiatan membaca. Membaca bukan lagi kewajiban dari sekolah semata. Membaca ialah kebutuhan jiwa dan investasi neural. Aktivitas membaca merupakan latihan otak untuk menghadapi dunia. Orang tua dan guru harus menjadi teladan hidup. Mari kita ciptakan lingkungan kaya bacaan di rumah masing-masing. Lingkungan itu harus mendukung aktivitas literasi.

Kekayaan cerita sejarah, fiksi, bahkan dongeng di Indonesia ialah modal yang amat berharga. Kita punya potensi lahirkan karya-karya yang visioner. Jadikan membaca sebagai fondasi untuk menghadapi tantangan hidup dan masa depan. Membaca memberi kita kekuatan untuk bertahan. Dengan fondasi yang kuat ini, semoga lahir aneka karya besar anak bangsa. Membaca ialah gerbang menuju bangsa yang pintar, budaya yang pandai dan peradaban yang cerdas. Itulah investasi terbaik untuk masa depan anak-cucu kita semua.

Ismunandar
Staf Ahli Menteri Kebudayaan,
Mantan Dubes/Wadetap RI UNESCO

Media Indonesia, 15 Oktober 2025

Wednesday, September 17, 2025

Merawat Demokrasi


Cukup lama James C. Scott dalam Seeing Like a State (1998) mengingatkan bahaya ketika negara modern terjebak dalam logika prosedur teknis yang kaku dan menafikan kearifan lokal. Negara, kata Scott, sering terpesona pada data, tabel, dan rancangan birokratis, tetapi gagal memahami kehidupan riil warga. Politik semacam itu menjauhkan pemerintah dari rakyat, sekaligus membuat demokrasi kehilangan 'rasa'.

Fenomena ini nyata di Indonesia hari ini. Saat harga kebutuhan pokok melambung, solusi instan impor pangan kembali ditempuh meski menyingkirkan hasil tani dalam negeri. Proyek infrastruktur digenjot, namun kerap menabrak ruang hidup masyarakat. Rancangan undang-undang bergulir cepat, tetapi lebih sering menguntungkan elite ketimbang menjawab aspirasi publik.

Namun persoalan tidak hanya datang dari atas. Di akar rumput, ekspresi politik rakyat juga kerap kehilangan bentuk yang sehat. Demonstrasi yang mestinya menjadi kanal aspirasi, sering kali berubah menjadi ajang anarki: fasilitas publik dirusak, pengguna jalan menjadi korban, dan solidaritas rakyat justru terkoyak oleh amarah. Demokrasi pun tampil kering, sekadar mekanisme prosedural tanpa empati —baik di meja elite maupun di jalanan.


Elite dan Rakyat
Kenyataan itu semakin ironis jika melihat perilaku sebagian elite. Data BPS (2023) mencatat ada 26,36 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan. Pada saat sama, anggota DPR memperoleh fasilitas dan tunjangan hingga miliaran rupiah per tahun. Kontras ini menyingkap jarak antara amanat rakyat dan praktik kekuasaan. Wajah demokrasi akhirnya dipersepsi sebagai pesta elite, bukan ruang bersama untuk kesejahteraan.

Nabi Muhammad saw., dalam catatan sejarawan W. Montgomery Watt (Muhammad: Prophet and Statesman, 1961), menolak simbol kemewahan sebagai kritik terhadap feodalisme Mekkah. Alas tidurnya hanyalah kulit berisi sabut, dan beliau kerap menahan lapar agar tidak membebani umat. Kepemimpinan beliau berakar pada amanah, bukan privilese. Kesederhanaan itu bukan sekadar gaya hidup, melainkan ekspresi dari rasa —empati, kepekaan, dan tanggung jawab sosial.

Sayangnya, etika ini makin absen dalam praktik politik kita. Anggota dewan yang mestinya pelayan rakyat kerap bertingkah bak raja kecil: menikmati fasilitas mewah, mengabaikan aspirasi konstituen, dan menguras keuangan negara demi kepentingan pribadi. Demokrasi kehilangan roh.


Scott lantas membedakan antara techne —pengetahuan teknis yang terukur— dan metis, yakni kearifan praktis yang hidup dalam masyarakat. Demokrasi Indonesia terlalu larut dalam techne: prosedur, aturan, dan data pertumbuhan ekonomi. Namun ia abai pada metis: pengalaman sehari-hari petani, buruh, nelayan, atau masyarakat kecil yang merasakan langsung dampak kebijakan. Ketika metis ini tak lagi menjadi rujukan, politik kehilangan “rasa,” dan negara kian jauh dari rakyatnya.

Dalam khazanah Jawa, Ki Ageng Suryomentaram menempatkan rasa sebagai pusat hidup manusia —jalan memahami diri dan kenyataan. Penderitaan, menurutnya, lahir dari “kepenginan”: ingin dipuji, ingin memiliki, ingin berkuasa. Demokrasi yang kehilangan rasa pun jatuh pada kepenginan serupa: elite sibuk mengejar legitimasi, kelompok massa sibuk mencari pengakuan, sementara kebutuhan riil rakyat terabaikan.


Kurikulum Cinta
Di tengah krisis rasa inilah Kementerian Agama menawarkan Kurikulum Cinta. Kurikulum yang berperan sebagai kerangka pendidikan yang berupaya menjahit simpul-simpul kebangsaan melalui kasih sayang, empati, dan penghargaan pada perbedaan.

Konsep ini menekankan lima pilar: cinta kepada Tuhan, cinta kepada diri dan sesama, cinta pada ilmu pengetahuan, cinta lingkungan, dan cinta tanah air.

Jika politik hari ini sibuk dengan kepentingan sesaat, Kurikulum Cinta justru menyiapkan generasi yang cerdas sekaligus hangat hati. Generasi yang tumbuh di madrasah ramah anak, terbiasa menyelesaikan konflik tanpa kekerasan, dan terbuka merawat keragaman. Di sanalah demokrasi bisa menemukan kembali rasa yang hilang: rasa percaya, rasa adil, dan rasa peduli.

Sayangnya, yang kerap muncul dalam demonstrasi belakangan ini justru sebaliknya. Tuntutan keadilan berujung anarki, solidaritas berubah jadi kecurigaan, dan suara rakyat larut dalam amarah. Demokrasi tanpa rasa cinta hanya melahirkan kegaduhan, bukan dialog.

Membumikan Kurikulum Cinta berarti mengembalikan politik pada rasa rakyat. Ia bukan dokumen pendidikan belaka, melainkan ajakan untuk menolak kepenginan elite dan menghidupkan empati dalam relasi sosial.


Suluh Bumi Pertiwi
Momentum Maulid Nabi saw. memberi peluang refleksi atas krisis ini. Perayaan Maulid tidak semestinya berhenti pada ritual seremonial, melainkan menjadi pengingat bahwa kepemimpinan sejati tak mungkin dilepaskan dari rasa cinta: cinta kepada rakyat kecil, kepada kebenaran, dan kepada keadilan.

Sebagaimana wejangan Ki Ageng, jalan pulang manusia adalah jalan pulang kepada rasa. Politik pun mestinya demikian. Pulang kepada rasa rakyat. Bukan rasa yang dikuasai kepentingan sesaat, melainkan rasa yang jujur dalam mendengar penderitaan, menimbang aspirasi, dan mengupayakan keadilan.

Indonesia hari ini membutuhkan lebih dari sekadar prosedur demokrasi lima tahunan. Ia membutuhkan keberanian moral untuk membumikan Kurikulum Cinta ke dalam praktik politik. Tanpa itu, demokrasi hanya akan menjadi panggung glamor yang menampilkan elite dengan segala fasilitasnya, sementara rakyat dibiarkan di pinggir jalan sejarah.

Maulid mengingatkan: tanpa rasa cinta, demokrasi kehilangan jiwa.

Prof Dr M Khusna Amal SAg MSi,
Wakil Rektor I UIN Kiai Haji Achmad Siddiq (KHAS) Jember
SKH Kedaulatan Rakyat, 8 September 2025
KRjogja.com