Wednesday, November 6, 2024

Penguasa Indonesia Hanyalah Budak Oligarki


Taipan etnis China, saat ini sudah bisa mengendalikan pemerintah, menguasai Indonesia dalam faktor teknis dan strategis, kepentingan publik di semua lini, dari sektor hulu hingga ke sektor hilir.

Taipan etnis China pada era Orde Lama dan Orde Baru hanya fokus pada bidang ekonomi yang terbatas dan elitis, kini sudah merambah ke semua sektor dan menguasai hajat hidup rakyat banyak.

Bisnisnya pun sudah diamankan dengan menggunakan aparat yang ditopang dengan undang-undang untuk mengembangkan gurita bisnisnya. Mereka semakin digdaya baik secara kualitatif maupun kuantitatif dalam hal penyelenggaraan negara.

Kekuatan kapitalistiknya sudah mampu mengatur konstitusi dan demokrasi. Dunia usaha yang mewujud menjadi oligarki, terus terstruktur, sistematik dan masif mengendalikan pemerintah dan negara.


Sumber daya manusia baik pejabat maupun rakyat serta sistem yang menghasilkan produk politik dan hukum, hampir sempurna telah dikuasai etnis China dalam tataran individu, kelompok dan sebagai representasi negara yang menjadikan kekuatan kapitalnya sebagai dasar, cara untuk menguasai Indonesia.

Tak puas dengan menguasai sumber daya alam meliputi minyak, emas, batubara hingga nikel. Mereka sudah merambah retail bisnis kecil seperti Alfamart, Indomaret, dan lain-lain, telah masuk hingga di pelosok pedesaan.

Bisnis bukan hanya terpusat pada industri perkotaan, namun merambah sampai ke pelosok-pelosok desa. Dari laut hingga ke pegunungan, dari sawah hingga ke perkebunan, tak lagi menyisakan kekayaan bagi rakyat Indonesia.

Sangat tragis hampir 80% lahan di Indonesia dikuasai oleh hanya 1% dari seluruh rakyat Indonesia, tak lebih dari 25 orang pengusaha.


Hanya dalam 2 (dua) periode kepemimpinan rezim Jokowi, oligarki korporasi yang dipimpin etnis China seperti 9 (sembilan) Naga telah hampir sempurna menguasai hajat hidup orang banyak.

Ekonomi nasional terkapar dengan beban utang yang menggunung, sementara institusi negara seperti Partai Politik, DPR-MPR, MA, Kejagung, MK, TNI-POLRI hingga KPU, tak lepas dari pengaruh oligarki, sang pemilik modal besar yang sudah terjun ke ranah politik.

Bahkan Pemilu dan Pilpres 2024 sudah direkayasa sedemikian rupa hingga hasilnya sudah santer terdengar meski pesta demokrasi belum dilaksanakan. Bahkan Pemilu, Pilpres 2029 dan 2034 sudah dalam skenario yang sistematis terorganisir untuk bisa menentukan siapa presiden dan pemerintahannya yang akan datang, yang digadang-gadang bisa menjadi boneka dan ternak- ternak oligarki.

Konstitusi dan demokrasi bisa dibeli, bahkan semua politisi, birokrat hingga presiden tak bisa lepas dari keinginan etnis China yang bertransformasi sebagai mafia oligarki. Dan pada akhirnya mereka akan melakukan kolonialisasi dan aneksasi terhadap NKRI.


Serbuan TKA yang disambut karpet merah, jerat utang dan penguasaan ekonomi politik China, memberi tanda SOS bagi keberadaan dan keberlangsungan NKRI. Hal ini jelas menjadi tanda-tanda akan adanya upaya untuk menjadikan Indonesia sebagai negeri jajahan China. Dalam bahasa yang getir, mereka akan mentransformasi dari Indonesia menjadi Indo-China.

Taipan etnis China yang tidak ada kontribusinya dalam perjuangan kemerdekaan RI, bahkan sebagian besar sebagai pengkhianat telah menjadi penguasa yang seolah-olah menjadi pemilik yang sah negeri ini.

Dominasi dan hegemoni etnis China dalam ekonomi politik nasional menjadi cermin bobroknya mentalitas pemimpin dan pejabat di negeri ini.

Perilaku menyimpang berupa korupsi, tradisi suap, dan upaya menghalalkan segala cara demi memenuhi ambisi dan tujuan meraih jabatan serta kekayaan telah menjadi konspirasi jahat antara taipan oligarki China yang meluas ke semua lini pejabat birokrasi.


Oligarki hitam yang eksploitatif berselingkuh dengan para pejabat bermental bejat. Kekuasaan para pelacur dan pengkhianat-pengkhianat bangsa Indonesia ini, perlahan tapi pasti telah mengancam kedaulatan NKRI yang akan membawa Indonesia ke dalam jurang kehancuran.

Rakyat pribumi dipinggirkan dalam selimut kemiskinan dan hidup menderita, sementara segelintir orang dan kelompok mereka berpesta pora menikmati kekayaan dan fasilitas negara.

Sepatutnya bangsa Indonesia sadar bahwa negerinya diambang kehancuran dalam genggaman negeri tirani China Komunis.

Rakyat harus berani, bangkit dan bersatu untuk melakukan langkah-langkah dan tindakan revolusioner. Akankah rakyat Indonesia memahami dan menyadari substansi realitas penguasa saat ini ?! Bahwa sejatinya penguasa Indonesia saat ini hanyalah budak kapitalis Taipan Oligarki.

Sutoyo Abadi
Koordinator Kajian Politik Merah Putih
FNN, 03 November 2024

Wednesday, October 9, 2024

Anies Tidak Akan Habis


Anies Rasyid Baswedan dianggap banyak pihak akan habis karir politiknya, seiring dengan kekalahan dalam Pemilihan Presiden 2024. Anggapan makin kuat ketika Anies gagal menjadi calon dalam kontestasi Pilkada Jakarta. Akan tetapi, pandangan itu sangat mungkin salah berdasar rekam jejak hidup Anies selama ini.

Bagaimanapun, Anies telah menjelma menjadi salah satu figur sentral dalam dinamika politik Indonesia selama beberapa tahun terakhir. Ketika Anies diberhentikan sebagai Menteri oleh Jokowi yang konon karena alasan tidak mau tersaingi dalam kontestasi Pilpres 2019, karir politiknya justeru menanjak.

Secara tidak terduga, karena pendaftaran pilkada Jakarta hanya berjarak sekitar dua bulan dari purna tugas sebagai Menteri. Tidak ada nama Anies dalam berbagai survei yang telah dilakukan saat itu, bahkan nama Anies belum menjadi wacana pilihan oleh partai politik.


Ternyata, Anies dicalonkan dan kemudian memenangkan kontestasi sebagai Gubernur Jakarta. Hal serupa terulang lagi, Anies yang tidak lagi menjabat sebagai Gubernur Jakarta, karir politiknya diprakiraan banyak pihak akan redup.

Dia dianggap akan menghilang perlahan dari ajang politik, karena tak punya jabatan publik dan tak menjadi tokoh partai politik. Namun Anies bisa melaju sebagai calon Presiden, meski hasilnya tidak lebih optimal ketimbang saat Pilkada.

Karir politik Anies bisa dikatakan banyak diwarnai berbagai kejadian yang terbilang dramatis. Belakangan terkait dengan Pilkada Jakarta, peluangnya mengikuti kontestasi begitu cepat berubah. Tak seperti sebelumnya, survei kali ini mengunggulkan dirinya, namun pada akhirnya tidak memperoleh dukungan satu partai politik pun.


Anies sempat memperoleh dukungan kuat dari tiga partai yang mengusungnya dalam Pilpres. Namun dukungan tersebut berubah dengan cepat ketika semuanya bergabung dalam koalisi KIM Plus. Peluang Anies pun nyaris nol berdasar aturan sebelum keluar Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Keputusan MK yang nyaris dianulir oleh DPR pun tetap dipakai dalam Pilkada 2024, setelah melalui dinamika tekanan gerakan masyarakat sipil. Gerakan tersebut tidak terkait langsung dengan Anies dan para pendukungnya. Peluang Anies untuk mengikuti kontestasi pun terbuka kembali.

Suasana seolah Anies akan dicalonkan oleh PDIP pun mengemuka di berbagai media termasuk di media sosial. Namun, ternyata PDIP mengajukan calonnya sendiri. Hingga tulisan ini ditulis (Rabu siang, 18 Agustus), peluang Anies diajukan sebagai calon kembali nyaris ke titik nol. Kecuali terjadi perubahan pada koalisi KIM Plus.


Seandainya hingga besok malam, ternyata Anies memang tidak dicalonkan, apakah karir politiknya akan habis? Pandangan ini terlampau dini, dan tidak cukup mengetahui rekam jejak Anies dalam politik. Sejarah hidupnya sejak masa sekolah dan kuliah, kiprahnya sebagai professional, dan saat dia menjalankan amanah jabatan publik, sangatlah cemerlang.

Kebetulan, penulis kenal dan bergaul selama 35 tahun dengan Anies. Anies adalah adik angkatan ketika menjadi mahasiswa Fakultas Ekonomi UGM. Mengenalnya sejak tahun pertama dia kuliah, dan berinteraksi sebagai sesama aktifis. Saya yang jauh lebih senior dan telah menjadi “tokoh” kala itu, sudah merasakan aura “orang hebat” pada dirinya.

Selama berinteraksi saat dia mahasiswa, saya melihat banyak kelebihan pada dirinya. Anies memiliki kemampuan bertutur kata yang santun dan efektif, cepat memahami pandangan orang lain ataupun ide yang tengah dibincangkan, selalu memiliki ide besar yang bisa diutarakannya dengan sangat baik.


Saya menjadi saksi bahwa apa yang diutarakan di depan publik atau orang banyak bersesuaian dengan apa yang dikatakan di lingkungan terbatas atau kehidupan sehari-harinya. Ketika dia tak menyukai seseorang pun akan dikatakan secara hati-hati di lingkungan pribadinya, apalagi di ruang publik. Hal demikian sudah jadi bawaan pribadinya sejak puluhan tahun lampau.

Banyak orang kemudian melihat dan menjadi saksi kemampuan Anies dalam bertindak. Termasuk ketika mengemban amanah jabatan publik. Kemampuan besar dalam berkonsep diimbangi dengan kemampuan administratifnya, yang kemudian diikuti dengan kapasitas kepemimpinan bertindak yang amat mumpuni.

Aspek lain yang nyaris tak terbantahkan adalah aura keramahan kepada tiap orang yang bertemu dengannya. Tidak hanya pada kawan atau bawahan, melainkan juga kepada lawan. Anies adalah figur yang humbel, hangat dan membuat nyaman orang yang berinteraksi.


Terlalu dini, jika mengatakan karir politiknya akan habis. Kondisi saat ini menurut penulis hanya ujian bagi Anies. Jika dia tetap bahkan terus berkembang sebagai dirinya sendiri seperti selama ini, maka soal waktu saja semesta akan kembali berpihak padanya.

Banyak hal yang dapat terjadi dalam dinamika politik dan kehidupan berbangsa bernegara waktu mendatang. Selalu ada “keajaiban” dalam sejarah tiap bangsa. Penulis masih memiliki keyakinan, Anies adalah salah satu faktor penting kehidupan Indonesia saat ini dan di waktu yang akan datang.

Tentu saja, penulis selalu menjadi pendukung Anies bukan karena kenal secara pribadi. Melainkan, harapan besar atas figur hebat sepertinya kelak akan bisa membawa perubahan besar bagi negeri kita. Bukan Anies yang akan habis jika tidak diberi kesempatan, tetapi rakyatlah yang berisiko akan kehilangan kesempatan untuk menjadi bangsa yang maju, makmur dan berkeadilan.

Awalil Rizky
Teman Anies Baswedan
Semarak.Co, 29 Agustus 2024
Sumber: WAGroup PENA JAKARTA SATU (post Rabu 28/8/2024/dharulfitrah)

Monday, September 30, 2024

Obituari: Salam Terakhir Faisal Basri


Tulisan terakhirnya adalah sebuah puisi, “Rumah Indonesia, Rumah Kita”, yang ia tulis pada 9 Desember 2023 dan ia perbarui pada 18 Agustus 2024 dan ia unggah di blog pribadi untuk menyambut ulang tahun kemerdekaan negaranya.

Ia memilih bentuk puisi, yang mungkin tidak akan pernah dianggap sebagai puisi oleh pengamat sastra, tampaknya karena bentuk itu membuat ia bisa mengekspresikan perasaan terdalamnya. Indonesia di dalam benaknya adalah rumah bersama yang sedang digerogoti rayap, dan ia mengingatkan kita: "Mereka kian menggerogoti segala penjuru rumah kita."

Puisi itu seperti menjadi salam terakhir Faisal Basri. Ia telah menyampaikan semua yang harus ia sampaikan di sepanjang tahun-tahun pengabdiannya sebagai pemikir ekonomi dan aktivis politik. Dan semua argumen rasional, yang ia perkuat dengan ketekunannya menggeluti data, tampaknya tidak cukup untuk memicu perubahan.


Lahir dari keluarga sederhana, menjalani masa kanak-kanak di rumah berpenerangan lampu teplok dan petromaks, dengan orang tua yang harus berjuang memenuhi kebutuhan sehari-hari, Faisal Basri memilih kuliah ekonomi ketimbang masuk Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) atau Akademi Ilmu Statistik, meskipun ia diterima juga di dua perguruan tinggi tersebut setamat SMA.

Orang tuanya menyarankan STAN, sebab mahasiswanya dibiayai negara dan menjadi pegawai negeri setelah lulus, tetapi ia lebih memilih ekonomi. Ia berpikir dengan memahami ekonomi ia bisa membantu meningkatkan kualitas hidup masyarakat kecil. Itu keyakinan yang ia pertahankan, dan itu pula yang melandasi kritik-kritiknya kelak terhadap kebijakan ekonomi dan perilaku politik pemerintah.

Belum lama ia masuk kuliah, adiknya meninggal dan tak lama kemudian ayahnya, dan itu membuat ekonomi keluarganya lebih sulit. Ia belum bisa membantu ibunya, tetapi tidak ingin merepotkan, maka ia memutuskan harus mencari uang sendiri untuk menyelesaikan kuliahnya. Lalu segala sesuatu dalam hidupnya digerakkan oleh kebetulan-kebetulan, atau ia menyebutnya kecelakaan, yang membawanya pada kesuntukan akademis dan kemudian aktivisme politik.

Kebetulan pada waktu itu ada eksodus besar-besaran di kalangan staf pengajar FEUI karena mereka dianggap pengkritik dan tidak bisa menjadi pegawai negeri. Ada tempat lowong di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM). Ia masuk sebagai peneliti pada tahun ketiga kuliahnya, 1981, dan mengerjakan urusan-urusan paling bawah di lembaga itu. Di situ ia menjadi akrab dengan data.


Kemudian ia harus mengajar, sebagai dosen pengganti ketika pengajar utama, yang menjadi pejabat pemerintah, tidak punya cukup waktu karena terlalu sibuk. “Perut saya mulas ketika pertama kali mengajar,” katanya. “Saya tidak berani beradu pandang dengan para mahasiswa.

Kebetulan berikutnya mendorong Faisal menjadi direktur LPEM. Pada 1991, ia diangkat menjadi wakil direktur riset, dan tak lama kemudian Darmin Nasution, direktur utama LPEM, ditarik oleh menteri Hartarto sebagai asisten. Posisi direktur utama kosong. Iwan Jaya Azis menolak ketika ditunjuk oleh dekan fakultas ekonomi untuk mengisi jabatan itu. Arsjad Anwar, sang dekan, kemudian meminta Faisal. “Bismillah saja, Sal,” kata Arsjad.

Itu siksaan terberat baginya. Ia baru 32 tahun, belum lama meraih gelar masternya, harus memimpin para doktor, sebagian besar profesor. Ia hanya unggul dalam satu hal dibanding mereka —jam terbang risetnya paling banyak. Dan jam terbang riset itulah yang memberinya amunisi bagi sikap kritisnya terhadap ketidakadilan ekonomi dan kebijakan-kebijakan pemerintah yang ia nilai tidak berpihak kepada masyarakat luas. Ia tidak mungkin diam ketika data di tangannya memperlihatkan bahwa 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 45% kekayaan seluruh negeri.

Kegelisahannya terhadap ketimpangan itu membawanya turun ke jalan, dengan tas ransel di punggung, dengan celana warna khaki, dan dengan kemeja biru muda. Dalam penampilan seperti itulah ia diingat orang.


Kebetulan berikutnya terjadi setelah Reformasi 1998. Ia melihat jatuhnya Soeharto sebagai peluang untuk memperbaiki tata kelola negara, untuk mengupayakan kebijakan-kebijakan yang mampu meningkatkan kesejahteraan warga, untuk membangun sistem ekonomi yang lebih adil, inklusif, dan tidak mengutamakan kepentingan segelintir elite. Dan untuk itu, ia berpikir tidak bisa hanya berdiri di luar: Untuk menata Indonesia yang baik, katanya, tidak bisa di jalanan terus, harus ada negosiasi politik di parlemen.

Maka, harus ada partai sebagai kendaraan politik yang bisa mengangkut orang-orang kritis ke Senayan. Ia ikut mempersiapkan partai baru, belajar aspek-aspek detail kepartaian dari berbagai negara, terutama ANC dari Afrika Selatan, dan setelah itu lahirlah Partai Amanat Nasional (PAN). Amien Rais sudah pasti menjadi ketua umum; ia figur sentral selama proses reformasi. Mencari sekjennya lebih sulit. Beberapa orang yang diminta tidak bersedia, dan akhirnya Faisal Basri.

Dalam refleksinya bertahun-tahun kemudian, ia menyebut momen itu sebagai pengorbanan keluarganya yang paling berat. “Saya tidak punya apa-apa,” katanya. “Istri jualan kue, jualan baju, ambil dari Bandung. Sabtu dan Minggu, ketika orang-orang berolahraga, dia jualan di Senayan, sehingga jika saya masuk lagi ke gerakan politik, ibu saya, istri saya, anak-anak saya akan langsung trauma.

Dan ia hanya bertahan tiga tahun sebagai sekjen PAN. Pada 2001 ia mengundurkan diri karena kecewa terhadap arah partai. Ia berangkat dengan optimisme, sebagaimana para aktivis lain, bahwa PAN bisa menjadi trendsetter —menjadi partai modern, inklusif, menawarkan gagasan-gagasan segar, termasuk membuka wacana tentang federalisme. Bentuk terbaik dari otonomi, menurutnya, adalah federalisme. Dengan sistem itu, setiap daerah memiliki kuasa yang cukup untuk mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang dimilikinya.


Namun PAN menganggap ide tentang federalisme terlalu berbahaya buat partai dan akhirnya mencoret gagasan tersebut dari platform PAN. Partai itu juga kemudian kehilangan kepercayaan diri untuk menjadi partai yang inklusif dan mengubah asasnya menjadi iman dan taqwa, sesuatu yang tidak pernah terbayangkan oleh Faisal pada saat ia ikut mempersiapkan berdirinya partai itu. Karena fondasinya sudah dirombak, ia berpikir tidak ada gunanya lagi ia ada di dalam partai.

Optimismenya terhadap reformasi sebagai peluang untuk membangun sistem ekonomi dan praktik politik yang berpihak pada kepentingan masyarakat luas pupus di hadapan fakta bahwa yang terjadi pada 1998 itu hanyalah Presiden Soeharto turun dari kekuasaan, tetapi rezimnya bertahan. Dan kegagalan terbesar reformasi, menurutnya, adalah tidak ada sanksi apa pun terhadap Golkar, yang selama era Orde Baru telah menjadi kendaraan penguasa untuk menciptakan dan mempertahankan sistem yang memungkinkan segelintir elite politik dan ekonomi menguasai negara.

Golkar, menurutnya, telah menjadi alat bagi kepentingan penguasa untuk memperkuat cengkeraman mereka terhadap sumber daya ekonomi nasional dan menciptakan ketimpangan yang sangat tinggi antara kelompok kecil penguasa dan rakyat banyak. Namun, partai ini tidak pernah menghadapi konsekuensi apa pun atas keterlibatannya dalam sistem otoriter Soeharto. Ia tetap bisa ikut pemilu setelah reformasi, dan berhasil melanjutkan pengaruhnya tanpa ada pertanggungjawaban yang berarti atas peran mereka di masa lalu.

Tetap kokohnya Golkar itulah yang ia lihat sebagai faktor utama kenapa reformasi tidak menghasilkan perubahan rezim, dan kondisi Indonesia mengarah ke Orde baru lagi. Golkar tetap menjadi kekuatan besar, dan orang-orangnya tetap berkuasa: Surya Paloh, SBY, Luhut Pandjaitan, Prabowo Subianto.


Dulu namanya konglomerasi, sekarang namanya oligarki,” katanya. “Penguasaan kekayaan alam, sama. Modus operandi, sama; mereka menggunakan cara-cara lama.” Dan, cara-cara lama adalah cara-cara Golkar.

Jadi, meskipun demokrasi elektoral sudah dijalankan, dan itu perkembangan yang bagus bagi Indonesia, tetapi ada masalah besar di dalamnya. Ada banyak partai, tetapi tidak ada perbedaan signifikan di antara partai-partai itu, dan tidak ada satu pun partai yang punya ideologi. Inilah yang ia lihat sebagai masalah besar: “Dengan banyak partai, dan semuanya sama, yang muncul kemudian adalah pragmatisme.

Dan pragmatisme politik itu menenggelamkannya. Ia tetap kritis, tetapi suaranya hilang disapu gelombang percakapan di tengah masyarakat yang lebih menyukai sensasi dan pertengkaran. Ia tetap mengingatkan pemerintah, tetapi politik yang transaksional dan didominasi oleh kepentingan elite, membuatnya tampak sebagai orang baik yang tidak relevan: Sebuah “lonely voice”, seorang idealis yang kurang realistis dalam melihat dinamika politik dan ekonomi Indonesia.

Anak isteri dan keluarga Faisal Basri Batubara di pusara, tempat peristirahatan terakhir.

Tetapi untuk apa realistis jika itu artinya menyerah? Faisal Hasan Basri Batubara tidak mungkin menyerah; ia terlalu mencintai negerinya. Sepekan sebelum ia meninggal pada 5 September 2024, ia berada Medan, menikmati durian di Dairi, dan mengatakan kepada kawan yang mengantarnya ke stasiun kereta yang akan membawanya ke bandara bahwa ia akan datang lagi: Saya akan paparkan data-data kebobrokan ekonomi Indonesia di masa pemerintahan Jokowi kepada para mahasiswa di Medan.

Ia tidak sempat melakukannya.

Mata saya basah oleh seruan di akhir puisinya: “Saatnya kejujuran yang memimpin bangsa ini.” Dan ia menyusun kalimat itu sebagai bait, yang membuatnya terasa seperti seruan yang terbata-bata.

Saatnya
Kejujuran
Yang memimpin
Bangsa ini

Mungkin ia berpikir bahwa puisi masih sanggup menyentuh nurani.

AS Laksana
Sastrawan, pengarang, kritikus sastra, dan wartawan Indonesia yang dikenal aktif menulis cerita pendek di berbagai media cetak nasional di Indonesia.

Facebook.Com, 7 September 2024