Tuesday, June 10, 2025

Elon Musk Pun Serukan Pemecatan Donald Trump


Aliansi politik kadang lahir dari kepentingan. Tapi lebih sering, ia tumbuh dari mimpi bersama tentang masa depan. Namun, aliansi itu bisa runtuh dalam semalam. Inilah kisah aliansi Donald Trump - Elon Musk yang historik, namun berakhir dalam permusuhan terbuka yang juga historik.

Kisah Donald Trump dan Elon Musk: tragedi atau komedi?

Pada 5 Juni 2025, Elon Musk secara terbuka menyatakan dukungannya terhadap pemakzulan Presiden Donald Trump.

Itu terjadi saat Musk membalas unggahan di platform X (sebelumnya Twitter) dari Ian Miles Cheong, yang menulis:

Trump should be impeached and JD Vance should replace him.
(Trump harus dimakzulkan dan Wapres JD Vance menggantikannya).

Musk menjawab hanya satu kata: “Yes.


Satu kata yang mengguncang. Satu kata yang mengakhiri satu dekade kedekatan dua tokoh besar.

Keesokan harinya, dunia maya menyaksikan gempa susulan yang lebih dahsyat.

Masih di platform X, Elon menulis: “Saatnya menjatuhkan bom besar: @realDonaldTrump tercantum dalam dokumen Epstein. Itulah alasan sebenarnya mengapa dokumen itu belum dipublikasikan. Semoga harimu menyenangkan, DJT!

Dokumen Epstein merujuk pada arsip investigasi Jeffrey Epstein, finansier yang terlibat dalam skandal perdagangan seks dan pelecehan anak di bawah umur.

Jika tuduhan Musk benar, ini bukan sekadar bom. Ini meteor. Mungkin peluru terakhir dalam drama pemakzulan Donald Trump.


Ya. Elon Musk, sang raja teknologi yang pernah duduk di samping meja Presiden, kini berdiri menentang. Amerika terpana. Dunia tertegun. Aliansi yang dahulu tampak kokoh, hancur hanya oleh satu kata.

Mari kita tarik waktu ke belakang, ke tahun 2016. Trump baru saja menang. Hampir seluruh elite Silicon Valley menutup pintu. Tapi Musk melangkah masuk. Ia bergabung dalam Presidential Advisory Forum —melawan arus.

Saya lebih baik berada di meja diskusi, mempengaruhi arah kebijakan, daripada berada di luar dan hanya mengeluh,” ujar Musk saat itu.

Tahun-tahun awal tampak hangat. Di balik layar, Musk melobi kebijakan energi hijau, teknologi luar angkasa, dan kontrak pemerintah. SpaceX tumbuh. Tesla meledak. Mereka tak selalu sejalan, tapi saluran komunikasi tetap terbuka.


Hubungan mereka kembali menguat saat Trump memenangkan Pilpres 2024. Musk memuji pendekatan Trump yang “pro-bisnis” dan terbuka terhadap deregulasi. Ia menghadiri pertemuan informal di Mar-a-Lago dan menyebut Trump “pragmatis yang tak bisa ditebak, tapi mengerti pasar.

Trump membalas pujian itu. Ia menyebut Musk sebagai “jenius paling berguna bagi Amerika.” Ia bahkan menunjuknya sebagai penasihat informal untuk DODGE. Ini Departemen Opportunity, Growth, and Development of the Economy.

Mereka tampil bersama dalam peluncuran proyek broadband pedesaan lewat Starlink. Pada Januari 2025, mereka difoto makan malam bersama para taipan industri. Banyak yang percaya: poros Trump–Musk adalah duet masa depan Amerika. Namun, di balik layar, benih perpecahan mulai tumbuh.


Retaknya aliansi ini bukan hanya soal gagasan. Ini juga benturan kepentingan yang tajam. Trump menyerang subsidi kendaraan listrik —tulang punggung Tesla. Ia menyebut EV (Electric Vehicle) sebagai “produk China yang merusak pekerjaan Amerika.

Musk terkejut. Ia telah memindahkan pabrik Tesla ke Texas. Menyerap puluhan ribu pekerja lokal. Membangun rantai pasok dalam negeri. Namun Trump tetap mengecam EV sebagai pengkhianatan.

Lebih jauh, Trump menyerang Starlink. Ia menyebutnya “alat globalis” dan mengisyaratkan ancaman penyelidikan kongres. Saham Tesla sempat anjlok 6% dalam dua hari setelah pidato Trump. Musk kehilangan lebih dari 14 miliar USD hanya dalam 48 jam.


Namun, yang paling melukai bukanlah kerugian finansial. Tapi rasa dikhianati. Tidak dihargai. Dalam wawancara dengan CNBC pada 4 Juni 2025, Musk berkata: “Saya memberikan banyak hal kepada negara ini. Teknologi, lapangan kerja, bahkan satelit untuk Ukraina dan negara-negara berkembang. Tapi Trump tak pernah mengucap terima kasih. Yang ia tahu hanya menyerang.

Sakit itu datang bukan dari musuh. Tapi dari tangan yang dulu bersalaman sebagai sahabat.

Banyak yang tahu bahwa Elon Musk menyumbangkan sekitar $277 juta. Itu setara Rp4,5 triliun, untuk mendukung kemenangan Donald Trump dan Partai Republik dalam Pemilu 2024.

Jumlah ini menjadikannya donor individu terbesar dalam siklus pemilu tersebut. Dananya disalurkan melalui sejumlah Political Action Committees (PAC), termasuk America PAC yang ia dirikan sendiri.


Dukungan itu bukan sekadar finansial. Ia adalah legitimasi. Dan ketika legitimasi sebesar itu berpaling arah, dunia mendengarnya.

Kini, setelah segala bentuk dukungan itu, Musk justru menyerukan: Setuju Trump dimakzulkan. Dipecat dari kursi presiden.

Sebelumnya, dunia menyaksikan bromance paling berpengaruh di planet ini: Elon Musk dan Donald Trump. Dua raksasa ego. Dua pusat gravitasi kekuasaan. Satu di dunia teknologi. Satu di panggung politik.

Hubungan mereka tampak personal. Penuh gestur saling puji, saling dukung, dan saling tampil. Elon Musk bahkan menyebut dirinya sebagai “teman pertama” presiden.


Kini, bromance itu berubah menjadi permusuhan terbuka. Retakan itu bukan hanya soal bisnis atau regulasi. Ini patah hati ideologis. Persahabatan itu runtuh.

Kita memetik tiga pelajaran dari kisah Donald Trump dan Elon Musk.

Pelajaran pertama: politik bisa menghancurkan persahabatan, bahkan yang tampak tak tergoyahkan. Elon dan Trump adalah simbol bahwa loyalitas personal tidak cukup bila bertentangan dengan prinsip.

Seakrab apa pun hubungan, jika arah moral tak lagi sejalan, perpisahan adalah keniscayaan. Bahkan untuk dua orang yang terbiasa berdiri di pusat panggung, kebenaran kadang datang dari bayangan.


Pelajaran kedua: dunia membutuhkan pemimpin yang berani berkata “tidak.” Elon bukan politisi. Ia tak dibatasi oleh kalkulasi elektoral. Maka saat Trump mengajukan “One Big Beautiful Bill” yang menghapus subsidi mobil listrik, mengancam kontrak SpaceX, dan memperbesar defisit, Musk menolak.

Ia menyebut RUU itu sebagai “menjijikkan.” Mungkin dunia butuh lebih banyak Musk: figur yang rela melawan arus ketika prinsip dikorbankan.

Pelajaran ketiga: retaknya dua tokoh ini adalah simbol pertarungan nilai. Trump mewakili nostalgia, populisme, dan retorika masa lalu. Musk mewakili masa depan, teknologi, dan imajinasi melampaui zaman.

Pecahnya mereka adalah simbol zaman yang sedang berbelok —antara mereka yang ingin mengulang masa lalu, dan mereka yang ingin menciptakan masa depan.


Namun agar pelajaran ini adil, kita juga perlu memberi kritik. Trump sering menggunakan emosi publik untuk tujuan politik jangka pendek. Ia memperlakukan loyalitas sebagai absolut, bukan ruang dialog.

Musk, meski jenius, kadang melompat terlalu cepat. Ia percaya teknologi adalah jawaban segalanya, padahal dunia juga butuh hati, bukan hanya algoritma.

Dari retaknya mereka, kita belajar: yang paling setia bukan kawan, uang, atau kekuasaan —melainkan nilai. Dan dalam sejarah manusia, mereka yang mempertahankan nilai, meski kehilangan segalanya, justru menciptakan warisan yang abadi.

Senator Barry Goldwater dan Presiden AS, Richard Nixon.

Kita pernah melihat kisah serupa dalam sejarah: persahabatan Senator Barry Goldwater dan Richard Nixon.

Goldwater, awalnya pendukung fanatik Nixon, akhirnya memimpin Partai Republik untuk meminta Nixon mundur dalam skandal Watergate. Katanya: “The party is bigger than one man.

Kini sejarah berulang —dengan wajah dan teknologi berbeda. Dalam dunia yang terus berubah, aliansi bisa pecah. Namun nilai seperti rasa hormat, etika, dan visi jangka panjang harus tetap hidup.

Elon Musk, dengan segala kontradiksinya, menunjukkan: Bahkan raksasa pun punya batas kesabaran. Kadang, suara paling jernih datang bukan dari gedung politik, tapi dari mereka yang membangun dunia dengan mimpi dan logika.


Namun, skeptisisme patut diajukan: apakah seruan pemakzulan Trump benar-benar lahir dari integritas? Ataukah ini bentuk balas dendam penuh kalkulasi dari Musk?

Sebagai pemilik platform X, ia menyadari kekuatan narasi publik. Dengan mengalihkan sorotan ke skandal Epstein, Musk tak hanya membalas dendam atas kebijakan Trump yang merugikan bisnisnya. Ia juga mengukuhkan citranya sebagai whistleblower yang berani melawan kekuasaan korup.

Di dunia di mana reputasi adalah mata uang baru, langkah ini bisa jadi kalkulasi genius: mengubah kerugian finansial menjadi keuntungan simbolis. Di zaman yang menghitung reputasi seperti saham, Musk tak meratap saat nilainya jatuh. Ia menciptakan pasar baru: pasar moralitas yang disiarkan langsung dari layar handphone kita.

Jakarta, 7 Juni 2025

Ditulis Oleh: Denny JA
www.facebook.com/DennyJAWorld

Referensi:
• OpenSecrets.org. “Top Individual Contributors: 2024 Cycle.” Center for Responsive Politics. https://www.opensecrets.org
• X.com / @elonmusk tweet, June 5–6, 2025.

Wednesday, May 28, 2025

Mengapa Amerika Keberatan dengan GPN dan QRIS?


Keputusan Indonesia meluncurkan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) dan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) bukan sekadar inovasi dalam dunia transaksi digital dan bukan cuma soal kemudahan transaksi digital. Lebih dari itu, ini adalah pernyataan tegas tentang kedaulatan ekonomi —tentang siapa yang mengendalikan arus uang, data, dan masa depan negeri ini.

Dari Ketergantungan ke Kemandirian
GPN diluncurkan Bank Indonesia Desember 2017, sedangkan QRIS April 2019. Sebelum GPN dan QRIS hadir, setiap kali masyarakat Indonesia menggunakan kartu debit berlogo Visa atau Mastercard, data transaksinya langsung mengalir ke luar negeri. Bahkan jika transaksi terjadi antar bank domestik, sistemnya tetap harus melewati jaringan asing. Ironis: kita seperti membayar "uang sewa" hanya untuk bertransaksi di rumah sendiri. Bank-bank lokal tak punya pilihan. Jika ingin terkoneksi secara global, mereka harus ikut tarif dan sistem yang dibuat pihak asing. Bahkan untuk belanja domestik, kita masih harus “minta izin” lewat Amerika.


Bank lokal terpaksa tunduk pada sistem dan tarif yang ditetapkan dua raksasa keuangan asal Amerika itu. Padahal, untuk setiap transaksi, mereka memotong biaya antara 1–3%. Kecil jika dilihat per transaksi, tapi jika dikalikan jutaan kali sehari, nilainya bisa mencapai miliaran Dolar per tahun. Dan akhirnya devisa kita tersedot ke Paman Sam. Indonesia, dengan ritel tahunan ribuan triliun Rupiah, adalah ladang emas.

Mereka juga mendapat sesuatu yang lebih mahal dari uang: data konsumen Indonesia. Mereka dengan leluasa menyedot data perilaku konsumen Indonesia —sumber daya strategis di era digital ini. Mereka tahu kecenderungan dan pola belanja setiap warga Indonesia pemegang kartu. Karena data adalah minyak baru (the new oil).


Apa Ruginya bagi Indonesia?
Pendapatan negara bocor ke luar negeri. Biaya transaksi tinggi karena pakai jaringan global. UMKM jadi enggan digitalisasi karena mahal, ekonomi digital mandek. Dan yang lebih mengkhawatirkan: kita tak berdaulat atas data transaksi kita sendiri.

Lalu Hadirlah GPN dan QRIS
GPN: menyatukan sistem antarbank nasional. Kartu debit bank lokal bisa digunakan lintas jaringan domestik. Dulu bayar pake debit BNI tapi mesin gesek (EDC)-nya BCA, maka transaksi itu harus lewat perusahaan switching atau pengalih. Yaitu Visa dan Master. Dengan adanya GPN, perusahaan switching-nya milik Indonesia: Artajasa, ATM Bersama, Alto.

QRIS: menyatukan semua QR Code jadi satu standar nasional. Pakai OVO, DANA, Gopay, ShopeePay? Semua tinggal scan satu QR. Ini bukan cuma efisiensi. Ini revolusi diam-diam dalam arsitektur keuangan nasional.


Kenapa QRIS Cepat Melejit?
Adalah COVID-19 yang membawa berkah melejitnya QRIS. Ketakutan orang terhadap uang kertas bisa membawa virus, menyebabkan QRIS dapat tempat.

- Satu QR untuk semua aplikasi: praktis dan hemat.
- Transaksi nyaris tanpa biaya untuk UMKM.
- Didukung penuh Bank Indonesia dan fintech lokal.
- Nyambung banget dengan gaya hidup digital masyarakat.


QRIS Menjadi Gerakan ASEAN
Hari ini, QRIS tak lagi eksklusif Indonesia.
- Turis Thailand bisa bayar makan di Bali pakai dompet digital lokalnya. Transaksinya Bath ke Rupiah. Dulu Bath ke Dolar baru ke Rupiah.
- Orang Indonesia bisa ngopi di Kuala Lumpur cukup scan QRIS. Bayarnya Rupiah langsumg ke Ringgit. Dulu Rupiah ke Dolar baru ke Ringgit.
- Malaysia, Thailand, Singapura, Filipina —semua sedang membangun interkoneksi lintas negara.

Inilah embrio dari ASEAN Pay —gerakan regional membangun sistem pembayaran sendiri, bebas dari dominasi jaringan asing. Bebas dari kewajiban konversi ke Dolar dulu.


Berapa Kerugian Visa dan Mastercard?
- Miliaran Dolar fee transaksi yang dulunya otomatis mengalir ke mereka kini menguap.
- Negara-negara besar seperti Indonesia, India, Brasil mulai membangun sistem sendiri.
- Kalau trend ini berlanjut, maka dominasi Visa dan Mastercard akan tergerus pelan-pelan.

Siapa Stakeholder Visa dan Mastercard?
- Google Pay, Apple Pay, PayPal, Amazon Pay —semua itu bernafas lewat jaringan Visa/Mastercard.
- GPN dan QRIS dianggap ancaman: mereka khawatir kehilangan kendali atas data dan pendapatan. Di Indonesia, tumbuh ekosistem sehat: OVO, Dana, Gopay, ShopeePay, LinkAja —bukan saling bunuh, tapi saling terhubung lewat QRIS.
- UMKM bisa masuk ekonomi digital tanpa tergantung pihak asing.
- Biaya turun, akses naik, dan data tetap aman di rumah sendiri.


Maka, keberatan Amerika terhadap GPN dan QRIS bukan hanya soal teknologi. Ini soal siapa yang mengontrol sistem keuangan global. Bagi Indonesia, ini adalah langkah berani dan strategis. Bagi ASEAN, ini adalah poros baru ekonomi digital yang inklusif dan berdaulat.

Jadi, GPN dan QRIS (di Indonesia), NetQR (Singapura), PromptPay (Thailand), DuitNowQR (Malaysia), QRPh (Filipina), VietQR (Vietnam), Bakong (Kamboja), MPU QR (Myanmar), BCELOne (Laos), nantinya akan terhubung satu sama lain dan menjadi ASEAN Pay.

Maka otomatis Amerika akan kehilangan pasar Dolar di ASEAN.

QRIS bukan cuma QR Code. Ia adalah gerakan pembebasan ekonomi digital dari ketergantungan pihak asing (Dolar Amerika). Ia adalah jalan pulang menuju kedaulatan.

H. Budhiana Kartawijaya,
Wartawan Senior,
Kamis, 24 April 2025
Jabar.nu.or.id
Teropongsenayan.com

Tuesday, April 22, 2025

Demokrasi di Persimpangan: Prabowo, Jokowi, dan Masa Depan Politik Indonesia


Peralihan kepemimpinan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada Presiden Prabowo Subianto menandai babak baru dalam dinamika politik Indonesia. Berbagai peristiwa terkini memberikan petunjuk mengenai arah politik yang mungkin ditempuh pemerintahan baru.

Artikel ini menganalisis tiga peristiwa utama: pertemuan antara Prabowo dan Megawati, kunjungan sejumlah menteri Kabinet Merah Putih ke rumah Jokowi, dan intimidasi terhadap penulis esai yang mengkritik Prabowo.

Melalui lensa teori politik dan referensi akademik terkini, kita dapat memproyeksikan kemungkinan arah politik Indonesia ke depan.


Politik Simbol dan Gestur Kekuasaan
Peristiwa menarik yang berhasil dipotret dan direkam para jurnalis kita dalam pekan kemarin menjadi data dan informasi yang penting untuk dikaji, bahkan dalam kajian ilmiah akademik.

Tentu saja tujuannya adalah memahami dan memprediksi bagaimana perpolitikan negara ini ke depan. Satu dari tiga sorotan media di pekan lalu adalah pertemuan antara Prabowo dan Megawati.

Pertemuan Prabowo dan Megawati pada 7 April 2025 di kediaman Megawati di Teuku Umar, Jakarta, memiliki makna simbolis yang dalam. Dalam teori politik, pertemuan semacam itu dapat dilihat sebagai upaya elite settlement, yaitu kesepakatan antara elite politik, untuk mencapai stabilitas politik (Burton & Higley, 1987).

Pertemuan empat mata selama 1,5 jam tersebut tidak hanya membahas hubungan pribadi, tetapi juga strategi politik ke depan.

Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani menegaskan, meski berada di luar pemerintahan, PDIP mendukung jalannya pemerintahan Prabowo. Hal itu menunjukkan adanya hubungan kooperatif antara kedua partai besar tersebut.


Sowan Para Menteri: Loyalitas Ganda dan Bayang-Bayang Jokowi
Media kita juga menyoroti fenomena menarik, yaitu beberapa menteri Presiden Prabowo sowan ke kediaman Joko Widodo di Solo, bersamaan dengan kepergian Presiden Prabowo menjalankan tugas negara ke luar negeri.

Artinya, sowan beberapa menteri itu pada saat Prabowo tidak di tanah air. Maka, pasti menjadi menarik untuk dicermati.

Fenomena sejumlah menteri Kabinet Merah Putih yang mengunjungi Jokowi di Solo selama kunjungan kenegaraan Prabowo pada 9 hingga 15 April 2025 menimbulkan pertanyaan mengenai loyalitas politik. Para menteri menyebut Jokowi sebagai “bos” mereka, menunjukkan adanya hubungan yang lebih dari sekadar hubungan kerja.

Dalam konteks teori shadow power, yang mana individu atau kelompok memiliki pengaruh meskipun tidak memegang jabatan resmi, kunjungan itu mencerminkan bahwa Jokowi tetap memiliki pengaruh signifikan dalam politik Indonesia (Higley & Burton, 2006). Hal itu dapat mempengaruhi arah kebijakan pemerintah dan dinamika koalisi politik.


Intimidasi Terhadap Penulis Esai: Awal Represi atau Anomali?
Sorotan media yang ketiga adalah adanya insiden intimidasi terhadap Hara Nirankara, penulis esai yang mengkritik Prabowo. Itu menimbulkan kekhawatiran mengenai kebebasan berpendapat di Indonesia. Dalam konteks demokrasi, represi terhadap kritik dapat menjadi indikator awal menuju otoritarianisme (Levitsky & Ziblatt, 2018).

Meski identitas pelaku belum terkonfirmasi, tindakan itu menciptakan suasana ketakutan dan dapat menghambat partisipasi publik dalam diskursus politik. Hal tersebut juga dapat mempengaruhi citra pemerintah di mata masyarakat dan komunitas internasional.


Prediksi Politik Indonesia ke Depan
Berdasar analisis di atas, terdapat beberapa prediksi mengenai arah politik Indonesia. Tentu prediksi ini bisa menjadi bahan diskusi panjang berikutnya, terutama jika kita berada pada posisi yang berbeda. Namun, artikel ini ditulis dalam posisi netral. Hanya, analisis dilakukan secara kritis. Berikut catatan kecilnya.

Pertama, transisi kekuasaan yang tidak sempurna. Loyalitas ganda para menteri dan hubungan kooperatif antara PDIP dan Gerindra menunjukkan bahwa transisi kekuasaan mungkin tidak sepenuhnya mulus. Hal itu dapat menyebabkan ketidakstabilan politik jika tidak ditangani dengan bijaksana.

Kedua, dominasi elite dan potensi populisme. Keterlibatan aktif elite politik seperti Jokowi dalam urusan pemerintahan dapat memperkuat dominasi elite dan membuka peluang bagi munculnya politik populis. Hal itu dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah dan hubungan dengan masyarakat.

Ketiga, ancaman terhadap kebebasan sipil. Insiden intimidasi terhadap penulis esai kritis menunjukkan bahwa kebebasan sipil mungkin terancam. Jika tidak ada langkah konkret untuk melindungi kebebasan berpendapat, Indonesia berpotensi mengalami kemunduran demokratis.


Penutup: Menjaga Keseimbangan Demokrasi
Perkembangan politik saat ini menuntut kewaspadaan dari semua elemen masyarakat. Penting untuk menjaga keseimbangan antara stabilitas politik dan kebebasan sipil. Peran aktif masyarakat sipil, media independen, dan akademisi sangat diperlukan untuk memastikan bahwa demokrasi Indonesia tetap berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip dasarnya.

Hanya dengan demikian, Indonesia dapat menghindari jebakan otoritarianisme dan memastikan bahwa pemerintahan yang terbentuk benar-benar mencerminkan kehendak rakyat.

Ulul Albab
Ketua ICMI Orwil Jawa Timur,
Akademisi Unitomo

Harian Disway, 17 April 2025