Sunday, September 20, 2020

Catatan Dahlan Iskan: Jakob Oetama

 

Yacob Utama, Yakob Utama, Jacob Utama, Jakob Oetama.

Yang terakhir itu ejaan yang benar. Saya bernah bertanya langsung kepada beliau tentang ejaan  nama beliau itu –saking banyaknya versi di media.

Beliau juga menjelaskan secara khusus bahwa kata "Oetama" di situ harus dibaca: utomo.

Beliau kan orang Jawa Tengah. Lahir di desa sekitar candi Borobudur. Bahwa ''utomo'' itu ditulis ''Oetama'' justru itulah yang benar –menurut grammar bahasa Jawa: bunyi “o” harus ditulis “a” manakala kata itu berubah bunyi ketika diberi akhiran “ne”.

“Utomo” ketika diberi akhiran “ne” bunyinya menjadi “utamane”. Bukan “utomone”.

Jangan disangka hanya bahasa Inggris yang grammar-nya bikin pusing. Cukup sampai di situ kita bicara bahasa Jawa.

Kita kan lagi membicarakan sosok hebat tokoh pers Indonesia yang meninggal Rabu siang kemarin: Jakob Oetama. Baca: Yakob utomo.

Saya tengah dalam perjalanan dari Surabaya ke Jakarta (pakai mobil) ketika staf di Kompas TV menghubungi saya.

Kompas TV minta agar saya ikut memberi kesaksian tentang Pak Jakob. Saya diminta menyiapkan HP dan laptop untuk pengambilan suara dan gambar.

“Saya tidak membawa laptop,” jawab saya.

Lima menit kemudian saya baru tahu ada apa. Yakni setelah Joko “Jagaters” Intarto menghubungi saya: bahwa Pak Jakob meninggal dunia. Rabu, jam 13.00, di RS Mitra Keluarga, Jakarta.

Tentu saya tidak terlalu kaget. Saya sudah lama mendengar beliau sakit. Usianya juga sudah 89 tahun –beberapa hari lagi.

Saya langsung teringat semua kenangan lama. Pak Jakob adalah orang yang sabar, kalem, tenang, kalau berjalan tidak bergegas, kalau bicara lirih, ritme kata-katanya lamban dan wajahnya lebih sering datar –tidak bisa terlalu kelihatan gembira atau terlalu kelihatan sedih.

Pak Jakob, karena itu, adalah simbol sosok orang Jawa yang sangat sempurna.

Kepindahan beliau ke Jakarta tidak membuat beliau berubah menjadi “lu gue”. Tidak seperti saya: begitu pindah ke Surabaya langsung ikut menjadi bonek.

Kesantunan Pak Jakob itu mungkin karena budaya desa di Jawa Tengah sangat merasuk ke jiwanya. Mungkin juga karena roh Borobudur ikut mewarnainya. Mungkin sekali latar belakangnya sebagai guru masih terus terbawa. Mungkin pula kultur sekolah Seminari Katolik masih ada padanya –meski beliau tidak menyelesaikan seminarinya.

Rambut beliau lurus tapi dibiarkan agak panjang. Ibarat guru besar, Pak Jakob itu sempurna karena linier. Tidak seperti saya yang zig-zag: tamat SMA di Magetan langsung ke Kalimantan. Kawin pun dengan galuh Banjar, lalu jadi bonek, dan menjelang tua harus mengganti hati saya dengan hatinya orang Tionghoa dari Tianjin.

Pak Jakob adalah orang yang santun –santun yang linier. Dan itu tercermin dari gaya pemberitaan koran yang dilahirkannya: Kompas. Jurnalistik Kompas adalah jurnalistik yang santun. Terutama bisa dilihat dari Tajuk Rencananya. Yang bagi pengkritiknya dianggap sebagai tajuk dengan gaya yang muter-muter.

Di era saya muda, gaya Kompas seperti itu sangat menjengkelkan. Tidak radikal sama sekali. Tidak seperti Harian Kami-nya Nono Anwar Makarim yang dar-der-dor. Tidak seperti Harian Indonesia Raya-nya Mochtar Lubis yang memberontak. Atau tidak seperti Harian Nusantara-nya –aduh lupa siapa pemiliknya– yang menyerang-nyerang.

Keberanian Kompas yang paling berani –menurut anak-anak muda kala itu– hanyalah sebatas ini: menyindir.

Tapi “Purwodadi kutane, sing dadi nyatane”. Maksudnya: yang penting kan kenyataannya. (Di kalimat peribahasa itu terdapat akhiran “ne”. Maka kata “kuto” menjadi “kuta”, “nyoto” menjadi “nyata”).

Kenyataan adalah bukti yang sungguh tidak bisa diabaikan.

Kenyataannya: Kompas-lah yang paling hebat. Paling besar. Paling kaya. Kaya-raya.

Harian Kami, milik ayah Nadiem Makarim itu, tewas dibredel. Harian Nusantara, milik TD Hafaz, juga dibredel. Harian Indonesia Raya-nya Mochtar Lubis belakangan juga dibredel. Semua karena tidak mau tunduk pada kemauan penguasa.

Harian Kompas memang juga pernah dibredel. Tapi sangat sebentar –mungkin seminggu saja.

Koran saya dulu malah tidak pernah dibredel. Saya ikut gaya Pak Jakob yang sesekali harus mengalah –untuk menang. Lebih baik tetap bisa menyindir bertahun-tahun daripada sekali membentak lalu mati.

Waktu itu, perdebatan mana yang lebih baik –menyindir berlama-lama atau bisa membentak tapi hanya sekali– tidak pernah reda di kalangan wartawan saat itu. Topik perdebatan itu lebih disederhanakan: pilih jalan Mochtar Lubis atau Jakob Oetama. Terutama dalam memilih strategi perjuangan menegakkan demokrasi.

Perdebatan seperti itu kini tidak ada lagi di kalangan pelaku media masa. Tidak ada lagi yang perlu diperdebatkan. Bahan yang dibahas juga habis –tidak ada lagi mahasiswa yang galak. Yang mestinya membahas pun –para wartawan profesional– sudah lelah. Atau takut pada bos pemilik media.

Gaya Pak Jakob adalah gaya yang ternyata lebih bisa diterima siapa saja –kecuali yang progresif.

Nyatanya Kompas menjadi raja media masa di Indonesia. Lalu menjadi raja toko buku: Gramedia. Raja hotel: Santika-Amaris. Dan banyak lagi.

Bahkan bisnis Kompas melebar ke mana-mana: perkebunan, jalan tol dan bank –Bank Media yang kemudian dilepas.

Tapi Kompas telat masuk bisnis TV. Saya yakin itu karena idealisme yang berlebihan sebagai wartawan media cetak. Seperti juga saya.

Gak tahunya kue media terbesar adalah di TV. Pendapatan koran tidak ada seujung kuku pendapatan stasiun TV. Akhirnya bos-bos TV-lah yang menjadi raja media –bukan yang merangkak dari bawah: si wartawan.

Pada akhirnya Kompas mendirikan stasiun TV juga. Tidak sukses. Lalu dikerjasamakan dengan Chairul Tanjung menjadi Trans 7. Lalu kelihatannya menyesal: kok tidak punya TV lagi. Maka didirikan lagi Kompas TV. Yang seperti sekarang.

Mungkin juga Pak Jakob tidak menyesal bekerja sama dengan Chairul Tanjung. Stasiun TV-nya itu dari rugi bertahun-tahun menjadi laba. Dari “menggerogoti” keuangan Kompas menjadi “sumber pendapatan”. Toh Kompas Gramedia masih memiliki sekitar separo saham di TV 7.

Pak Jakob juga terasa telat ekspansi ke daerah-daerah. Itu juga karena tingginya kesantunan dan rasa tepo sliro pak Jakob: kalau Kompas ekspansi ke daerah-daerah akan terasa “yang besar  ‘memakan’ yang kecil”. Koran-koran daerah akan mati semua.

Pak Jakob tentu sering mendengar aspirasi koran-koran kecil di daerah seperti itu. Beliau adalah Ketua Umum Serikat Penerbit Suratkabar (SPS). Setiap kali rapat SPS muncul keluh kesah penerbit koran kecil: kalah bersaing dengan koran besar. Yang jumlah halamannya begitu banyak dengan harga jual yang begitu murah.

Tapi, akhirnya Kompas juga ekspansi ke seluruh Indonesia –setelah si Bonek dari Surabaya berlari kencang ke mana-mana.

Pak Jakob selalu “menjewer” saya dengan senyumnya dan pujiannya. “Ini lho anak muda yang hebat. Ekspansi ke mana-mana tanpa beban,” katanya kepada teman-teman penerbit yang lagi kumpul. Berkata begitu beliau sambil tersenyum dengan ekspresi mulut yang –dalam bahasa Jawa disebut– “mencep”.

Rosihan Anwar, Mochtar Lubis, dan Jakob Oetama.

Pak Jakob sebenarnya tidak mau jadi ketua umum SPS. Bukan agar tidak punya beban ekspansi. Tapi Pak Jakob memang bukan orang yang ambisius di bidang politik. Bahkan sama sekali tidak berpolitik secara praktis. Tidak pula punya sedikit pun keinginan di jabatan publik.

Rasanya itu sikap yang benar. Daripada seperti yang dilakukan si Bonek yang sampai terperangkap jebakan politik.

Bahwa akhirnya Pak Jakob mau menjadi ketua umum, itu karena terpaksa. Kami semua mendaulat beliau. Kami semua merasa Pak Jakob lah yang harus kami tuakan.

Sambil memaksa beliau, kami juga berdoa agar kali ini ketua umum SPS tidak meninggal dalam jabatan. Itu karena ketua-ketua umum sebelumnya selalu meninggal dunia sebelum mengakhiri masa jabatan mereka. Dan itu juga karena seseorang bisa menjadi ketua umum SPS sampai berapa periode sekali pun. Toh tidak banyak yang mau. Apalagi orang seperti saya: yang bekerja lebih baik dari berbicara.

Setelah beberapa periode, Pak Jakob benar-benar tidak mau lagi dipilih. Beliau merayu saya untuk menggantikan. Saya juga tidak mau.

Dalam suatu kongres SPS di Jakarta pak Jakob “menggalang” utusan: jangan lagi memilih beliau. Harga mati. Lantas beliau “menggalang” suara agar memilih saya.

Saya melihat gelagat itu. Menjelang acara pemilihan ketua umum, saya diam-diam ke bandara. Pulang ke Surabaya. Agar tidak bisa dipilih –ketentuannya jelas: calon ketua umum harus ada di arena pemilihan.

Saya pun lega: bisa pulang dari kongres tanpa beban apa-apa.

Gus Dur dan Jakob Oetama.

Ups... Begitu mendarat di Juanda saya ditelepon Pak Jakob.

“Mas Dahlan terpilih sebagai ketua umum,” kata beliau.

“Lho saya kan tidak ada di tempat? Kan anggaran dasar mensyaratkan itu?” jawab saya.

“Menjelang pemilihan tadi anggaran dasarnya sudah diubah. Dan saya yang menjamin bahwa Mas Dahlan pasti mau kalau saya yang minta,” kata beliau.

Tentu saya tidak berani untuk tidak tawaduk kepada Pak Jakob. Saya pun menerima jabatan itu –dengan doa jangan sampai saya meninggal dunia di jabatan itu.

Ternyata saya hampir meninggal dunia. Terkena kanker hati. Sampai harus ganti hati.

Rosihan Anwar, Jakob Oetama, Surya Paloh, dan Presiden Megawati.

Dan ternyata saya meninggal dunia beneran –secara politik. Saya dikenai perkara bertubi-tubi. Saya pun minta berhenti sebagai ketua umum: tidak pantas ketua umum SPS berstatus tersangka. Saya ajukan surat pengunduran diri itu: ditolak! Mereka tahu bahwa saya tidak seharusnya bernasib seperti itu.

Begitu diangkat menjabat sesuatu dulu saya juga sowan ke Pak Jakob. Minta restu beliau. Kepada beliau saya juga berjanji untuk selama menjabat akan menjaga nama baik institusi pers dan kewartawanan. Beliau tahu maksud saya: jangan sampai korupsi.

Ketika akhirnya saya jadi tersangka saya menghadap beliau lagi. Di kantornya yang megah di gedung Kompas Gramedia. Saya menceritakan apa yang sedang saya hadapi.

Tapi beliau sudah sulit mengikuti pembicaraan. Bahkan beliau awalnya tidak ingat siapa tamunya itu. Sampai-sampai saya harus mendekat ke beliau dan dengan agak lantang mengatakan siapa nama saya. Lalu beliau menganggukkan kepala.

Itu sudah enam tahun lalu. Setelah itu saya menghadap beliau lagi. Yakni setelah saya dibebaskan oleh Pengadilan Tinggi Jatim. Tapi beliau sudah semakin lemah dan semakin tidak ingat siapa saya.

Jakob Oetama dan Presiden SBY.

Kini Kompas memiliki gedung pencakar langit yang sangat tinggi dan sangat megah. Juga sangat baru. Saya tidak bisa lagi mengatakan gedung saya lebih bagus dari gedung Kompas –karena kini saya tidak punya gedung sama sekali.

Saya belum sempat berkunjung ke gedung baru Kompas itu. Saya berharap Pak Jakob sempat merasakan kemegahannya.

Ketika akhirnya saya juga tidak mau lagi menjabat ketua umum SPS –sudah tiga periode– saya menghadap putra beliau.

“Pak Lilik, tolong ganti Anda yang menjadi ketua umum SPS,” kata saya. Waktu itu saya didampingi Mas Jauhar, ketua harian SPS dan Mas Asmono, direktur eksekutif SPS.

Pak Lilik bergeming.

Segala jurus rayuan saya pun tidak mempan. Pak Lilik tetap tidak mau.

Jakob Oetama merayakan ulang tahun bersama para karyawan Kompas-Gramedia.

Saya sudah lama mendengar Pak Lilik tidak tertarik pada bisnis koran. Tapi baru hari itu saya mendengarnya sendiri. “Saya tidak paham koran. Ruwet,” katanya merendah.

Untuk mengurus koran, Pak Lilik mempercayakannya kepada kader-kader profesional ayahnya. "Untuk urusan media terserah beliau saja," katanya sambil menepuk pundak orang yang duduk di sebelahnya: Rikard Bagun, wartawan senior yang juga pernah jadi pemred di Kompas.

Pak Lilik sendiri pilih terus memimpin grup Santika. Yang sekarang berkembang mencapai hampir seribu hotel. Pak Lilik terlihat asyik sekali di bisnis hotel.

Kini Pak Jakob sudah tiada. Saya tidak tahu apakah kepemimpinan di Kompas selanjutnya akan dipegang keturunan Pak Jakob atau keturunan Pak Auwjong Peng Koen (P.K. Oyong, Petrus Kanisius Ojong). Yakni orang Sawahlunto yang mengajak dan memboyong Pak Jakob dari Yogya ke Jakarta. Semula untuk bersama-sama mendirikan majalah Intisari, kemudian harian Kompas.

Pak Ojong sudah lama sekali meninggal dunia, tahun 1980. Tapi pasangan Tionghoa-Jawa, UI-UGM itulah yang telah membuat sejarah penting pers di Indonesia. Kompas –nama yang diberikan oleh Presiden Soekarno itu, benar-benar telah terbukti bisa menjadi kompas di Indonesia. Termasuk kompas saya.

Prof. Dr. (HC) Dahlan Iskan
Mantan CEO surat kabar Jawa Pos dan Jawa Pos Group
Direktur Utama PLN (23 Desember 2009 – 19 Oktober 2011)
Menteri BUMN Ke-7 (19 Oktober 2011 – 20 Oktober 2014)

DISWAY, 11 September 2020


Friday, August 21, 2020

"Cabin Syndrome" Covid-19 Lantas Kalap Lepas Tambatan


Saya tidak menyalahkan kalau kebijakan melonggarkan pembatasan sosial keluar rumah disambut dengan melonjaknya jumlah orang bepergian. Wisata penuh, pesawat penuh, restoran, dan tempat hiburan penuh. Terkesan bagai kuda lepas dari tambatan. Sudah tidak tahan lagi terkungkung di rumah sekian lama.

Tidak semua orang punya sifat sebagai orang rumahan, yakni orang yang bisa berdiam diri berlama-lama hanya di rumah saja, dan mereka bisa menikmatinya. Terdapat lebih banyak orang yang gelisah kalau tidak keluar rumah. Membosankan rasanya, bahkan sebagian merasa depresi, galau, tidak tahu harus mengerjakan apa. Julukan untuk mereka yang sedang mengalami hal itu ialah "Cabin Syndrome", sindroma akibat berada lama di dalam ruangan rumah.


Tidak demikian bagi orang rumahan, yang bisa menikmati berlama-lama di rumah, dan mereka tidak galau. Rasa nyamannya justru bila berada di rumah.

Sikap kalap bagi yang tidak tahan berlama-lama di rumah, begitu sudah mulai dibolehkan bepergian itu pula yang nyatanya menambah kasus baru Covid-19 melonjak. Bukan salah kebijakan reopen-nya, melainkan kurang patuhnya orang menaati protokol kesehatan.

Banyak yang mengabaikan memakai masker, tetap berkerumun, mengobrol berdekatan, makan bersama kelompok. Itu sekaligus membuktikan bahwa apabila protokol kesehatan dilanggar, akibatnya memang malapetaka tertular Covid-19.


Persepsi risiko masyarakat tidak sama. Bahwa hanya karena kelalaian melanggar protokol kesehatan, memikul kekonyolan tertular Covid, kalau bukan langsung berisiko kehilangan nyawa. Ini mestinya menjadi pembelajaran bagi masyarakat untuk menyamakan persepsi risiko, bahwa inilah bukti tak terbantahkan, supaya persepsi risikonya sama.

Bahwa semua masyarakat mestinya menyadari betapa luar biasa besar risiko tertular dan kehilangan nyawa, padahal sekadar lalai berada di luar rumah. Bahkan sudah patuh protokol kesehatan sekalipun, celah Covid-19 bisa menerobos masuk tubuh masih besar. Dari mana?

Dari kesalahan memilih masker, dari kesalahan memakai masker, dan atau merawat masker yang dipakai berulang, serta cara membuka masker sewaktu makan. Selain itu, juga tidak teguh menjaga jarak, masih tetap mendekati kerumunan, pergi ke restoran, ke destinasi wisata, ke tempat hiburan yang kondisinya tidak mengindahkan protokol kesehatan. Masih memasuki hotel yang seluruh permukaan kamar hotel berisiko sudah tertempel Covid-19 bila sebelumnya bekas dihuni pembawa Covid-19, khususnya telepon kamar, remote TV kamar, sekalipun sudah didisinfektan, tetap selalu ada celah lain sebagai sumber penular Covid-19.


Sikap bijak masyarakat perlu dibangun untuk mampu menahan diri agar tidak memasuki kondisi yang memperbesar risiko mereka tertular. Bahkan tempat ibadah saja pun terbukti berisiko tinggi.

Kita membaca minggu lalu, bermunculan klaster baru di tempat ibadah, bukti bahwa protokol kesehatan saja belum jaminan masyarakat terbebas dari risiko tertular Covid-19. Maka kalau pergi beribadah saja kita perlu menahan diri, apalagi pergi untuk yang bukan prioritas, seperti ke tempat wisata, tempat hiburan, dan rekreasi.

Kita semua tentu tidak ingin mengalami nasib konyol, yang padahal untuk mencegah kejadian konyol tersebut hanya perlu cara yang mudah dan murah saja, yakni menahan diri untuk tidak memasuki wilayah yang berisiko tinggi tertular Covid-19, yakni semua ruangan tertutup: restoran, kafe, bar, gedung bioskop, karaoke, kamar hotel, tempat ibadah, yang kesemuanya tergolong berisiko tinggi tertular Covid-19.


Kalau memang harus keluar rumah, pilih tempat yang risikonya tidak tinggi, seperti ruangan terbuka dan tanpa ada yang berkerumun, apalagi berdesakan dan berhimpitan. Di tempat orang berkerumun, berdesakan dan berhimpitan, masker saja belum jaminan kita bisa terbebas dari penularan. Tidak pula cukup hanya dengan mengandalkan baca doa.

Salam sehat,

Dr Handrawan Nadesul
Nama asli, Gouw Han Goan
Dokter, Penyair, dan Penulis Artikel serta Opini Kesehatan,
Narasumber Masalah Kesehatan untuk Berbagai Media

Facebook.com, 4 Agustus 2020

Tuesday, July 14, 2020

Ke Mana Jokowi Akan Membawa Kita?


Saya adalah seorang pendukung Jokowi yang oleh sebagian orang dikatakan fanatik. Mungkin tidak terlalu salah. Sejak pilpres pertama, saya telah mendukung beliau. Sayalah yang membuat tulisan “10 alasan kenapa saya memilih Jokowi” yang kemudian jadi viral. Juga tulisan “10 alasan mengapa saya tidak akan memilih Prabowo” pada pilpres berikutnya.

Saya yakin benar saat itu bahwa memilih Jokowi adalah sebuah keputusan yang tepat. Baru pertama kali dalam perpolitikan Indonesia ada seorang calon Presiden yang benar-benar merakyat, jujur, berasal dari rakyat, bukan dari elite politik maupun kelompok kekuatan besar lain. Ternyata itu saja tidak cukup untuk menjadikan seorang pemimpin yang efektif.

Menyimak berbagai peristiwa yang terjadi berulang pada periode 2 pemerintahan Jokowi yang belum setahun ini, membuat saya menjadi makin sulit untuk membela Jokowi dan mengatakan bahwa Jokowi memang merupakan pilihan tepat sebagai Presiden RI. Tidak berarti bahwa bila waktu diputar kembali ke belakang, saya akan memilih Prabowo.

Kerja dan diamnya Jokowi pada periode kedua ini memunculkan berbagai pertanyaan yang tak terjawab. Mulai dari pemilihan para pembantunya yang tidak tepat dan berkualitas rendah.


Awal kekecewaan saya adalah ketika pada detik-detik terakhir beliau membatalkan Mahfud MD sebagai calon wakil presiden yang akan mendampinginya. Kabinet sekarang adalah kabinet yang tidak sesuai dengan janjinya yang katanya akan lebih banyak menempatkan menteri-menteri profesional pada bidangnya.

Posisi kabinet dihadiahkan lebih banyak kepada berbagai kekuatan partai politik pendukungnya serta mereka yang memiliki senjata. Kementerian kesehatan, umpamanya, dipimpin oleh seorang dokter tentara yang oleh IDI sendiri sempat dipertanyakan keprofesionalannya. Beliaulah antara lain yang menjadi penyebab utama terlambat dan berlarutnya penanganan kasus Pandemi Covid-19 di negeri ini, ketika negara-negara tetangga kita telah menunjukkan keberhasilannya.

Saat berbagai negeri sedang sibuk meneliti dan berupaya mengembangkan vaksin corona, beberapa lembaga dan bahkan sebuah kementerian memberi kejutan dengan mengumumkan keberhasilan memproduksi obat, bahkan kalung mujarab untuk penyembuh virus corona. Semua itu diumumkan secara terbuka bahkan langsung diproduksi dengan kemasan yang menarik, dan presiden kita diam, seakan merestui hasil hebat “penemuan” itu.


Perencanaan program kartu Pra Kerja yang kurang cermat berujung pada dugaan pemahalan harga yang nyaris dinikmati oleh perusahaan milik anak-anak muda yang keburu diangkat sebagai staf pembantu presiden, bila masyarakat tidak sigap dan segera berteriak.

Begitu cepat setelah Jokowi dilantik, muncul berbagai Undang-Undang dan Rancangan Undang-Undang baru yang bikin banyak pihak tersentak. Yang utama adalah UU No. 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas UU KPK.

Meski telah terjadi berbagai protes dan keberatan atas UU tersebut, Presiden tidak menggubrisnya. Inilah warisan (Legacy) utama yang akan ditinggalkan Jokowi dalam pelemahan upaya pemberantasan korupsi, bila Mahkamah Konstitusi nantinya menolak mengabulkan gugatan yang sedang dalam proses.

Ada kesan konspirasi antara pemerintah dan DPR untuk menghasilkan berbagai undang-undang secara kilat tanpa memperhatikan aspirasi dan masukan dari publik. Ada RUU Omnibus Law yang sedang dalam proses yang sangat berpihak kepada investor dan nyaris tidak mencerminkan kepentingan rakyat kecil. Juga banyak UU lain yang lolos yang menguntungkan hanya sponsornya, seperti UU Minerba yang bahkan telah menimbulkan korban jiwa dari anak mahasiswa yang demo protes.


Kasus penyiraman air keras kepada seorang penyidik KPK yang sudah berlarut dibiarkan sejak periode 1, berakhir dengan berita sangat mengejutkan. Peranan kejaksaan agung yang merupakan bawahan presiden, tidak mencerminkan tugas sebenarnya sebagai penuntut umum yang mewakili aspirasi rakyat tetapi lebih mengesankan sebagai pembela “terdakwa”.

Ujungnya, pada kasus besar yang mempunyai implikasi luas terhadap upaya pemberantasan korupsi ini, terdakwa dihukum sangat ringan. Ada kesan kuat para pengatur di belakang tindak kriminal ini telah dilindungi identitasnya.

Belakangan masih ada lagi kasus-kasus yang mengesankan pembiaran oleh pimpinan tertinggi negeri ini. Kasus menghilangnya Harun Masiku, fungsionaris PDIP dalam dugaan permainan penggantian antar waktu (PAW) anggota DPR. Kasus koruptor buron selama 11 tahun, Djoko Tjandra yang dibiarkan melenggang dengan bebas di ibu kota dan sampai saat tulisan ini diterbitkan belum tertangkap.

Djoko Tjandra dan Harun Masiku, sama-sama buron.

Kasus lain yang baru terungkap antara lain adalah bagi-bagi jatah ekspor benur Lobster oleh menteri kelautan baru yang menggantikan Susi Pudjiastuti kepada konco-konconya. Inilah menteri baru yang membatalkan beberapa kebijakan Susi, termasuk penenggelaman kapal-kapal asing yang mencuri ikan di laut kita.

Masih segar dalam ingatan kita ketika presiden pada pelantikan menjelang jabatan periode keduanya antara lain mengatakan di hadapan sidang MPR, 20 Oktober 2019: “Saya juga minta kepada para menteri, para pejabat dan birokrat, agar serius menjamin tercapainya tujuan program pembangunan. Bagi yang tidak serius, saya tidak akan memberi ampun. Saya pastikan, pasti saya copot.”

Belum berselang lama tersebar rekaman pidato presiden pada sidang kabinet tertutup yang menunjukkan kemarahan beliau terhadap kinerja menteri-menterinya dan lagi berjanji akan tidak ragu bertindak. Ketika tindakan presiden dinanti-nanti, Menteri Sekretaris Negara justru membantah dan menyampaikan tidak ada relevansi antara kegusaran presiden dan rencana kocok ulang kabinet.

Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (Paling Kiri) dan beberapa menteri yang lain sedang membicarakan ketahanan pangan nasional bersama Presiden Joko Widodo.

Kejutan terbaru pada saat saya menulis kolom ini adalah keputusan presiden untuk menugasi Menteri Pertahanan, bukan Menteri Pertanian, menggarap lumbung pangan. Alasannya, ketahanan pangan adalah bagian dari ketahanan nasional.

Bagaimana dengan ketahanan keuangan, telekomunikasi, pendidikan, dan lain sebagainya? Apakah ini juga bagian dari ketahanan nasional dan perlu juga ditugaskan ke Menteri Pertahanan?

Semua itu ditambah lagi dengan sikap presiden sebagai seorang ayah yang menduduki kekuasaan tertinggi di negeri ini, membiarkan putranya yang masih hijau dan tidak berpengalaman, maju sebagai Calon Walikota Solo. Presiden tidak berdaya membujuk putranya untuk sabar menanti lima tahun lagi setelah selesai masa baktinya sehingga tidak ada spekulasi macam-macam yang melibatkan kekuasaan tertinggi negara dalam proses pemilihannya.

Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi yang akan mencalonkan diri sebagai Walikota Solo.

Sesungguhnya banyak dari kami yang bertanya-tanya, apa sebenarnya yang sedang terjadi pada seorang Jokowi yang pada periode pertama menghasilkan prestasi yang cukup mengesankan? Bisa saja kita mengatakan bahwa Jokowi yang bukan petinggi partai apa pun memerlukan segala macam pembiaran itu. Karena bila tidak, maka rezimnya akan mengalami berbagai kesulitan dalam melaksanakan berbagai tugas tanpa dukungan kekuatan politik yang nyata.

Tidak sadarkah beliau bahwa masa bulan madu dengan politisi pendukungnya itu akan berumur tidak lebih lama dari dua tahun dari sekarang ketika mereka akan ramai-ramai meninggalkan misi presiden dan berkonsentrasi pada perebutan kekuasaan pada pemilu 2024?

Tidak lama setelah pelantikannya, Presiden Jokowi pernah mengungkapkan bahwa beliau tidak punya beban lagi. Kami menafsirkannya karena setelah 2 periode beliau tidak akan maju lagi sebagai presiden.

Pada mulanya orang bernapas lega karena tidak berbeban itu ditafsirkan sebagai tidak akan dapat disandera oleh kekuatan politik yang mengusungnya. Kenyataannya, dari berbagai peristiwa yang disebut di atas, “tidak berbeban” itu tampaknya bukan demikian maknanya, tetapi lebih sebagai tidak peduli dan bebas dari beban gangguan aspirasi, keberatan, serta protes dari rakyat pemilihnya.


Sebagai pendukung Jokowi, setelah memperhatikan begitu banyak kondisi suram yang lepas kendali atau terkesan dibiarkan dalam waktu yang sangat singkat, bahkan tidak sampai setahun dalam pemerintahan Jokowi periode dua ini, khususnya kondisi penegakan hukum yang makin memprihatinkan, sulit bagi saya untuk mengatakan bahwa dukungan saya kepada Presiden Jokowi masih dapat dipertanggungjawabkan.

Sikap ini, saya rasakan, juga disuarakan oleh banyak pendukung lain yang kecewa pada kinerja tahun pertama periode dua Jokowi yang mencuatkan berbagai kejutan yang menimbulkan kerisauan.

Bila dalam waktu dekat tidak muncul tanda-tanda yang mengindikasikan langkah-langkah nyata dalam rangka mengoreksi semua itu, maka akan sangat sulit bagi orang seperti saya dan banyak pendukung lain untuk bertahan sebagai barisan “pembela” Jokowi.


Tentu saja saya sama sekali tidak bermaksud mengatakan bahwa dukungan atau penolakan saya dan kawan-kawan punya bobot politik dan pengaruh terhadap nasib politik Jokowi ke depan. Tanpa kami pun Pak Jokowi bisa jadi akan sukses besar karena pandangan kami ternyata keliru oleh sebab ketidakmampuan kami menangkap apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Bila demikian, anggap saja tulisan pendek ini sebagai upaya meringankan beban moral yang saya pikul dan sekaligus sebagai penyalur unek-unek. Siapa tahu ada gunanya.

Semoga Tuhan memberi petunjuk kepada kita semua.

Abdillah Toha 
Pengamat Politik,
Peminat dan pemerhati sosial, politik, ekonomi, keagamaan.
Believe in God, freedom, peace, and human responsibility.
QURETA.COM, 10 Juli 2020