Saya tidak menyalahkan kalau kebijakan melonggarkan pembatasan sosial keluar rumah disambut dengan melonjaknya jumlah orang bepergian. Wisata penuh, pesawat penuh, restoran, dan tempat hiburan penuh. Terkesan bagai kuda lepas dari tambatan. Sudah tidak tahan lagi terkungkung di rumah sekian lama.
Tidak semua orang punya sifat sebagai orang rumahan, yakni orang yang bisa berdiam diri berlama-lama hanya di rumah saja, dan mereka bisa menikmatinya. Terdapat lebih banyak orang yang gelisah kalau tidak keluar rumah. Membosankan rasanya, bahkan sebagian merasa depresi, galau, tidak tahu harus mengerjakan apa. Julukan untuk mereka yang sedang mengalami hal itu ialah "Cabin Syndrome", sindroma akibat berada lama di dalam ruangan rumah.
Tidak demikian bagi orang rumahan, yang bisa menikmati berlama-lama di rumah, dan mereka tidak galau. Rasa nyamannya justru bila berada di rumah.
Sikap kalap bagi yang tidak tahan berlama-lama di rumah, begitu sudah mulai dibolehkan bepergian itu pula yang nyatanya menambah kasus baru Covid-19 melonjak. Bukan salah kebijakan reopen-nya, melainkan kurang patuhnya orang menaati protokol kesehatan.
Banyak yang mengabaikan memakai masker, tetap berkerumun, mengobrol berdekatan, makan bersama kelompok. Itu sekaligus membuktikan bahwa apabila protokol kesehatan dilanggar, akibatnya memang malapetaka tertular Covid-19.
Persepsi risiko masyarakat tidak sama. Bahwa hanya karena kelalaian melanggar protokol kesehatan, memikul kekonyolan tertular Covid, kalau bukan langsung berisiko kehilangan nyawa. Ini mestinya menjadi pembelajaran bagi masyarakat untuk menyamakan persepsi risiko, bahwa inilah bukti tak terbantahkan, supaya persepsi risikonya sama.
Bahwa semua masyarakat mestinya menyadari betapa luar biasa besar risiko tertular dan kehilangan nyawa, padahal sekadar lalai berada di luar rumah. Bahkan sudah patuh protokol kesehatan sekalipun, celah Covid-19 bisa menerobos masuk tubuh masih besar. Dari mana?
Dari kesalahan memilih masker, dari kesalahan memakai masker, dan atau merawat masker yang dipakai berulang, serta cara membuka masker sewaktu makan. Selain itu, juga tidak teguh menjaga jarak, masih tetap mendekati kerumunan, pergi ke restoran, ke destinasi wisata, ke tempat hiburan yang kondisinya tidak mengindahkan protokol kesehatan. Masih memasuki hotel yang seluruh permukaan kamar hotel berisiko sudah tertempel Covid-19 bila sebelumnya bekas dihuni pembawa Covid-19, khususnya telepon kamar, remote TV kamar, sekalipun sudah didisinfektan, tetap selalu ada celah lain sebagai sumber penular Covid-19.
Sikap bijak masyarakat perlu dibangun untuk mampu menahan diri agar tidak memasuki kondisi yang memperbesar risiko mereka tertular. Bahkan tempat ibadah saja pun terbukti berisiko tinggi.
Kita membaca minggu lalu, bermunculan klaster baru di tempat ibadah, bukti bahwa protokol kesehatan saja belum jaminan masyarakat terbebas dari risiko tertular Covid-19. Maka kalau pergi beribadah saja kita perlu menahan diri, apalagi pergi untuk yang bukan prioritas, seperti ke tempat wisata, tempat hiburan, dan rekreasi.
Kita semua tentu tidak ingin mengalami nasib konyol, yang padahal untuk mencegah kejadian konyol tersebut hanya perlu cara yang mudah dan murah saja, yakni menahan diri untuk tidak memasuki wilayah yang berisiko tinggi tertular Covid-19, yakni semua ruangan tertutup: restoran, kafe, bar, gedung bioskop, karaoke, kamar hotel, tempat ibadah, yang kesemuanya tergolong berisiko tinggi tertular Covid-19.
Kalau memang harus keluar rumah, pilih tempat yang risikonya tidak tinggi, seperti ruangan terbuka dan tanpa ada yang berkerumun, apalagi berdesakan dan berhimpitan. Di tempat orang berkerumun, berdesakan dan berhimpitan, masker saja belum jaminan kita bisa terbebas dari penularan. Tidak pula cukup hanya dengan mengandalkan baca doa.
Salam sehat,
Nama asli, Gouw Han Goan
Dokter, Penyair, dan Penulis Artikel serta Opini Kesehatan,
Narasumber Masalah Kesehatan untuk Berbagai Media
Facebook.com, 4 Agustus 2020
No comments:
Post a Comment