Artikel ini mencoba untuk menjelaskan apakah yang dilakukan Taliban itu sebuah pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip Islam dan umat Islam di belahan dunia lain? Ataukah hanya sebuah diplomasi yang jamak dilakukan oleh siapapun demi mendapatkan keuntungan strategis dalam upaya mendirikan negara atau merawat kekuasaan?
Afghanistan menyongsong fajar baru Taliban.
Taliban Mencuri Perhatian
Setelah AS secara fakta menghentikan misi di Afghanistan pada akhir Juli 2021 dan secara resmi pada 11 September 2021, Taliban kembali mencuri perhatian. Betapa tidak, 20 tahun lalu Taliban luluh lantak oleh serbuan mesin perang AS dan sekutunya, kini Taliban kembali menjadi kekuatan besar yang dianggap paling siap untuk mengendalikan Afghanistan. Satu demi satu desa dan kota berhasil direbut dari cengkeraman pemerintah boneka. Sebelumnya sang boneka begitu kuat karena disuplai tenaga oleh induknya, kini setelah sang induk pergi, kembali menjadi kerangka tanpa daya.
Taliban terbukti solid dan punya jaringan luas di seluruh penjuru Afghan. Taliban dimusuhi oleh AS dan sekutu yang karenanya seluruh dunia ikut memusuhinya, tapi Taliban dicintai oleh masyarakat Afghan, setidaknya bagi yang pernah merasakan keamanan di bawah kekuasaannya dahulu. Taliban terbukti lebih efektif dan efisien dalam menangani berbagai keluhan masyarakat. Terutama soal kriminalitas. Polisi pemerintah cenderung korup sehingga tak punya komitmen menyelesaikan permasalahan masyarakat. Sebaliknya pejuang Taliban lebih sigap sehingga dipercaya dan dicintai masyarakat.
Taliban punya pendekatan andalan dalam mencuri hati rakyat, yaitu penegakan hukum menggunakan syariat Islam. Pendekatan ini sangat mujarab di tengah masyarakat yang resah dan nyaris putus asa dengan kekacauan yang berlarut-larut. Masyarakat merasakan manfaat nyata di balik penegakan hukum Islam ini. Kriminalitas bisa dibasmi, masyarakat kembali hidup dengan aman. Kesuksesan ini membuat masyarakat sendiri yang kemudian minta kehadiran Taliban di wilayah mereka agar bisa meredam kriminalitas dan mengembalikan keamanan.
Dua mata pisau ini sangat efektif meluaskan kekuasaan Taliban di Afghan. Tentu saja dikombinasi dengan jurus ketiga, yakni edukasi alias dakwah secara persuasif kepada masyarakat. Sebab nama Taliban sendiri mencerminkan itu. Taliban artinya santri, yang sudah pasti sangat perhatian dengan ilmu dan dakwah. Ketika masyarakat tercerahkan ilmu syariat, banyak persoalan yang bisa diselesaikan dengan mudah. Tidak lagi debat kusir, tapi sudah ada hakimnya, yaitu ilmu.
Sebetulnya pendekatan ini bukan cara baru bagi Taliban. Mereka sudah melakukannya sejak tahun 90-an ketika Afghan kacau akibat konflik internal pasca hengkangnya penjajah Uni Sovyet dari Afghan. Para mantan komandan yang punya banyak pengikut saat jihad melawan Uni Sovyet saling berebut kekuasaan. Akibatnya, rakyat jadi korban. Rakyat tak terurus. Kriminalitas merajalela, hukum rimba berlaku secara liar. Kemenangan jihad yang digadang-gadang menjadi fajar baru yang cerah, demi lahirnya kedamaian dan keamanan bagi umat Islam, ternyata jatuh menjadi konflik internal yang kronis dan nyaris melumpuhkan seluruh sendi masyarakat.
Mullah Omar pemimpin Taliban yang legendaris.
Dalam kondisi seperti itu, tiba-tiba muncul sosok unik yang punya gagasan out of the box dalam menyelesaikan kekisruhan. Bukan dengan perang, tapi dengan pendekatan dakwah dan penegakan hukum syariat yang jujur. Karena rakyat sejatinya sudah letih berperang.
Namanya Muhammad Umar. Dipanggil mullah karena keulamaannya. Seperti kyai di Indonesia. Ia menghimpun murid-muridnya untuk bergerak membasmi kriminalitas dan menegakkan hukum syariat di lingkungan mereka. Karenanya nama kelompok ini Taliban –perkumpulan santri.
Prakarsa yang mereka lakukan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Berawal dari lingkup kecil, lama-lama meluas. Awalnya hanya di wilayah Kandahar, kemudian menyebar ke seluruh Afghan. Sampai akhirnya pemerintahan Afghan berhasil diambil alih. Tentu saja perkembangan ini membuat Barat cemas. Jika tak dibendung, bukan hanya tanah Afghan yang dikuasai, bisa saja akan meluas ke negara-negara tetangganya, dan tentunya akan makin sulit dijinakkan.
Tahun 2001 menjadi momen bersejarah. Pada 11 September 2001 terjadi serangan terhadap Amerika. Dua menara kembar WTC dihajar pesawat penumpang hingga terbakar dan runtuh. Juga gedung Pentagon, meski tidak banyak kerusakan yang terjadi.
Amerika sebagai imperium penguasa dunia murka sejadi-jadinya. Osama bin Laden sang pemimpin Al-Qaeda dituding sebagai otak pelaku. Padahal ia berada di Afghanistan yang saat itu dikuasai Taliban. Amerika memberi ultimatum kepada Taliban agar menyerahkan Osama bin Laden dan seluruh tokoh Al-Qaeda yang bersembunyi di Afghan. Jika tidak, Taliban akan dihajar. Mullah Umar –sang pemimpin Taliban– menolak ultimatum tersebut. Akibatnya bisa ditebak, mesin perang Amerika dan sekutunya dikerahkan untuk menggulingkan Taliban dan menghancurkan seluruh pelosok Afghan.
Afghanistan luluh lantak. Taliban jatuh. Sejak saat itu penjajahan dimulai. Kemarahan Amerika kepada Al-Qaeda dilampiaskan dengan membantai rakyat Afghan yang dianggap melindunginya. “Kesalahan” Taliban hanya satu, menolak menyerahkan orang yang dituduh Amerika sebagai otak pelaku. Sementara Taliban sendiri bukan pelaku, apalagi rakyat Afghan.
Namun Taliban meski ditumbangkan dari kekuasaan, mereka masih solid di desa-desa dan gunung-gunung. Inilah karunia Allah untuk Afghan, konturnya ekstrim, sehingga mesin perang paling canggih sekalipun kesulitan untuk menyapu seluruh kawasan. Benteng alaminya terlalu banyak dan sulit ditaklukkan.
Pemimpin Al-Qaeda, Osama bin Laden.
Para pejuang Taliban sabar menjalani ujian ini. Mereka tetap semangat menjaga ruh jihad. Sambil bertahan dari gempuran Amerika, mereka menancapkan pengaruh di masyarakat pedesaan yang jauh dari jangkauan pemerintah boneka. Keadaan ini membuat Afghanistan terbelah, ada wilayah yang dikontrol Taliban terutama di pedesaan, ada wilayah yang dikendalikan pemerintah boneka terutama di kota-kota.
Pertanyaan masih tersisa, mengapa Taliban bersikeras menolak menyerahkan Osama bin Laden kepada Amerika padahal terancam akan dibumi-hanguskan oleh Amerika jika menolak? Osama juga bukan warga pribumi Afghan. Ia dan para mujahidin Arab hanyalah warga pendatang. Mengorbankan segelintir orang apalagi pendatang demi keamanan jutaan orang lain apalagi pribumi bukankah sebuah pilihan yang wajar?
Sikap Taliban ini menarik dikaji. Pemahaman terhadap cara berpikir dan sikap Taliban terkait Osama bisa dijadikan sebagai barometer untuk memahami sikap Taliban di kemudian hari. Salah satunya, saat Taliban berkunjung ke China dan melakukan diplomasi di sana. Juga diplomasi dengan Rusia dan Iran.
Pertama, Osama muslim, Taliban juga muslim. Saudara seiman pantang dijual kepada orang kafir untuk dipenjara atau dibunuh. Jangankan menjual nyawanya, mencelanya saja dilarang. Catat, Taliban sangat komitmen terhadap aturan yang ada dalam ilmu syariat.
Kedua, Osama dan para mujahidin Arab punya rekam jejak bagus dalam membantu umat Islam Afghan melawan penjajah kafir –Uni Sovyet. Mullah Umar terikat akhlaq Islam, berterima kasih dan membalas budi orang yang pernah membantu. Menjual Osama kepada musuh (kaum kafir) sama saja dengan “habis manis sepah dibuang”. Catat, Taliban menjunjung tinggi akhlaq Islam.
Ketiga, Amerika mengancam (memberi janji) untuk membumi-hanguskan Afghan, tetapi Allah memberi janji akan menolong hamba-Nya sepanjang hambanya menempuh jalan lurus dan membela agama-Nya. Mullah Umar lebih yakin janji Allah dibanding janji Amerika. Karenanya dengan tawakkal kepada Allah, memutuskan menolak permintaan Amerika. Catat, Taliban berpegang kuat pada prinsip aqidah Islam.
Keempat, secara teori fiqh, menjual nyawa mukmin demi menyelamatkan nyawa mukmin yang lain itu tidak boleh dalam Islam. Sebab antara satu nyawa muslim dengan nyawa muslim yang lain posisinya sejajar dan harganya sama. Dalam kasus ini, menjual nyawa Osama bin Laden demi menyelamatkan nyawa ribuan muslim Afghan tidak dibenarkan dalam Islam. Sebab meski jumlahnya berbeda, keduanya sama derajatnya di hadapan Allah. Seandainya Islam membenarkan nyawa dijadikan tumbal nyawa, tentu hal ini akan dijadikan sebagai permainan oleh para penguasa yang gila kekuasaan. Catat, Taliban berpegang pada teori fiqh.
Pertama, Taliban tidak berpaham nasionalisme, terbukti berani menanggung resiko berat pada bangsanya sendiri justru karena membela orang asing –Osama bin Laden dan mujahidin Arab lain. Taliban sangat kuat memegang panji keumatan, bukan panji kebangsaan.
Kedua, Taliban komitmen dengan ilmu syar’iy. Bagi Taliban, politik dikendalikan oleh ilmu syar’iy bukan sebaliknya ilmu syar’iy dikendalikan oleh politik.
Ketiga, Taliban setia pada ikatan keimanan. Landasan politiknya iman. Taliban menolak bersekongkol dan berkolusi dengan musuh Allah dan musuh orang-orang beriman, dalam hal ini Amerika, dengan cara mengkhianati teman sendiri sesama mukmin.
Kelima, Taliban ingin menjayakan Islam dan umat Islam, bukan menjayakan bangsa Afghan. Meski Taliban duduk mewakili bangsa Afghan, tapi yang menjadi panglima tetap ilmu syariat dan panji keislaman, bukan nasionalisme nan jahiliyah. Bagi Taliban, persatuan Afghan diadopsi seperlunya untuk menjayakan Islam dan umat Islam, bukan kebalikannya Islam diadopsi seperlunya demi kejayaan bangsa Afghan.
Poin-poin ini sangat berguna untuk membantu memahami diplomasi yang dilakukan Taliban dalam kancah global. Seperti yang mereka lakukan saat ini, bernegosiasi dengan Iran, Rusia, China dan negara-negara lain. Sebelum itu, delegasi Taliban juga sudah mengunjungi Jakarta, tahun 2019 lalu.
Islam punya konsep niat, yaitu motif dan tujuan yang dicanangkan di awal kegiatan. Ibadah akan dinilai oleh Allah sesuai niatnya. Perjalanan seseorang juga sangat terkait dengan niat awal sebelum melangkahkan kakinya. Awal dari sesuatu akan menentukan proses susudahnya dan perjalanan yang ditempuhnya hingga tujuan. Niat (titik awal), tengah perjalanan dan tujuannya memiliki korelasi kauniyah ajaib yang kerap tak disadari. Ketiganya saling mempengaruhi.
Misalnya, jika di tengah perjalanan terjadi pembelokan dari niat awal, sebuah perjalanan biasanya akan bubar tidak sampai tujuan. Tapi jika terjadi pembelokan dari niat awal, lalu ada upaya untuk mengoreksi dan mengembalikan ke niat awal, perjalanan akan berlanjut dan berumur panjang hingga mencapai tujuan. Inilah sunnah kauniyah yang perlu dipahami terutama oleh para aktifis.
Korelasi ini bisa dijadikan sebagai salah satu alat untuk membaca alur perjalanan seseorang atau kelompok. Terhadap Taliban misalnya, pemahaman kita terhadap perjalanan Taliban saat ini bisa disimpulkan melalui bagaimana Taliban dahulu didirikan. Apa prinsip dan ideologi yang dijadikan haluan. Sepanjang tidak terdengar intrik pembelokan, berarti Taliban sekarang bisa disimpulkan sama dengan Taliban saat awal didirikan.
Teori kauniyah ini penting untuk menepis rumor dan kampanye hitam yang dilemparkan musuh kepada Taliban. Misalnya Taliban dinarasikan menerima syarat yang diajukan China untuk membasmi kelompok perlawanan Uighur sebagai harga dukungan China terhadap Taliban. Narasi ini janggal, sebab Uighur berada di wilayah China, bagaimana cara Taliban membasminya? Selain itu, jika kelompok perlawanan itu berbasis Islam (baca: jihad), track record dan niat awal Taliban yang meniti jalan dakwah dan jihad tidak mungkin menerima klausul seperti itu. Kecuali jika Taliban telah mengalami pembelokan serius dari khittah awal pendiriannya.
Taliban didirikan dengan niat menegakkan hukum Allah di tengah umat. Niat awal ini akan terus mengiringi perjalanan Taliban. Kecuali jika Taliban mengumumkan secara resmi bahwa mereka sudah berubah haluan menjadi partai politik yang sekedar mencari kekuasaan. Selama para tokoh Taliban masih konsisten dengan niat awal, apapun sepak terjang mereka dalam diplomasi politik perlu dipahami dalam bingkai niat awal tersebut. Sebab niat awal adalah tonggak kokoh, hanya bisa diabaikan jika muncul tonggak baru yang menggantikan tonggak lama.
Taliban juga sudah kenyang ditarbiyah selama 20 tahun dalam perang panjang melawan kekuatan terbesar dunia. Semua senjata paling canggih dikerahkan, tapi tak mempan juga untuk mencerabut Taliban dari bumi Afghan. Alih-alih tercerabut, Taliban justru mengakar lebih kuat. Tarbiyah ketegaran dan kesabaran panjang ini juga layak dijadikan barometer dalam melihat Taliban.
Dalam konflik panjang dan berdarah ini mereka ditarbiyah dengan izzah Islam. Nyawa mereka dikorbankan demi Islam. Harta mereka dibelanjakan demi Islam. Tenaga dan keringat mereka dikeluarkan demi Islam. Karenanya, Islam pasti mengakar begitu kuat di sanubari mereka. Tak akan mudah digeser oleh nasionalisme Afghan yang sempit.
Dalam seluruh babak tersebut, Taliban konsisten dibimbing ilmu. Jihadnya dipandu ilmu. Peradilan syariatnya dipandu ilmu. Dakwahnya dipandu ilmu. Dan kini diplomasinya juga dipandu ilmu. Tentu sebagai manusia biasa, di sana-sini terdapat kekurangan itu normal. Tapi secara global, in sya-Allah baik. Hingga saat ini kita masih melihat Islam menjadi warna dominan dalam sepak terjang Taliban.
Niat awal dan tarbiyah panjang puluhan tahun dengan menjunjung tinggi Islam dan umat Islam, dengan kawalan ilmu syar’iy yang kuat, agaknya bisa dijadikan jaminan bahwa Taliban sampai saat ini masih berjalan di haluan yang sama dengan apa yang dicanangkan sang pendiri –Mullah Umar. Jika ada tuduhan miring yang dialamatkan kepada Taliban, terpatahkan dengan sendirinya oleh konsistensi mereka dalam menempuh jalan jihad yang amat terjal selama dua dekade lebih, panduan ilmu sepanjang perjalanan mereka dan tonggak niat yang dicanangkan pendirinya. Karenanya, tak sepatutnya kita di sini yang statusnya hanya penonton berburuk sangka kepada Taliban, hanya karena melakukan sejumlah agenda diplomasi dengan China.
Bicara tentang kekuasaan pada level negara, tak bisa dipisahkan dari diplomasi dan negosiasi politik. Apalagi dalam tahap awal pendirian. Ibarat bayi yang masih merangkak, perlu sokongan negara lain untuk bisa berdiri dan berjalan.
Nabi Muhammad saw memberi contoh bagaimana mempraktekkan diplomasi dalam kerangka mendirikan negara. Tentu saja berdiplomasi dengan musuh Islam. Baik diplomasi yang berakhir dengan kesepakatan tertulis (surat perjanjian) maupun tidak.
Nabi saw setelah tiba di Madinah, segera mengunci pergerakan Yahudi dengan sebuah perjanjian. Orang biasa menyebutnya Piagam Madinah. Isinya, klausul bahwa antara umat Islam penduduk Madinah dengan Yahudi penduduk Madinah terikat dalam satu kesatuan. Jika ada musuh dari luar Madinah, menyerang kota Madinah, siapapun yang diserang baik muslim maupun Yahudi, seluruh warga Madinah harus bersatu padu untuk melawan.
Klausul perjanjian ini dilakukan Nabi saw untuk meredam potensi Yahudi menjadi ancaman bagi masyarakat muslim yang baru tumbuh di Madinah. Pada saat yang sama Nabi saw fokus menghadapi musuh utama, yaitu kekuatan Quraisy sebagai kelanjutan perseteruan semasa di Makkah. Jika Nabi saw menjadikan Yahudi dan Quraisy sebagai dua musuh sekaligus dalam waktu yang sama, tentu Nabi saw akan kewalahan. Satu petarung meski hebat akan sangat sulit mengalahkan dua lawan sekaligus, apalagi ketika masih lemah dan merangkak. Karenanya, Nabi saw menyicilnya satu per satu, tidak semuanya dijadikan musuh sekaligus.
Dengan demikian perang atau perjanjian hanyalah sarana untuk meraih kemenangan. Perang dan perjanjian sama-sama instrumen politik. Kepala negara bisa menggunakan keduanya sesuai kebutuhan situasi, demi kemaslahatan negaranya. Dalam konteks politik Islam, maka maksud dan tujuannya adalah demi kemaslahatan Islam dan umat Islam.
Karena itu, diplomasi yang dilakukan Taliban dengan Rusia, China dan Iran hanyalah cara yang dipilih Taliban untuk meredam musuh eksternal atau musuh jauh. Pada saat yang sama, Taliban fokus menyelesaikan musuh dalam negeri atau musuh dekat, yaitu pemerintah boneka yang disokong penjajah. Jika kita bandingkan, cara yang ditempuh Taliban ini sama persis dengan cara Nabi saw pada fase awal membangun negara di Madinah. Perbedaannya, Nabi saw fokus pada musuh jauh yakni Quraisy Makkah, sambil meredam musuh dekat yakni Yahudi. Sementara Taliban kebalikannya, meredam musuh jauh, sambil fokus menghadapi musuh dekat.
Taliban melakukan diplomasi demi mengamankan agenda mendirikan negara Islam di Afghan tanpa direcoki pihak eksternal. Sementara banyak aktivis Islam di Indonesia berharap Taliban melakukan sesuatu yang sesuai perasaan hatinya yang sedang sensi dengan China, apalagi China juga melakukan kejahatan kepada muslim Uighur. Taliban melakukan sesuatu dengan alasan internal mereka sendiri, sementara penonton menilai Taliban dengan perasaan hatinya sendiri. Jelas tidak nyambung.
Harus diakui, negara terkuat saat ini masih Amerika Serikat. Meski muncul kekuatan penantang yang potensial, China. Kemunculan China menjadi berkah tersendiri bagi Taliban.
Amerika saat ini sudah menemukan musuh potensial yang akan dijadikan sebagai common enemy bagi rakyatnya. Siapa lagi kalau bukan China. Secara ekonomi China sudah sangat kuat, hampir mengalahkan kekuatan ekonomi Amerika. Secara militer, China agresif meluaskan basis kekuatan. Secara politik, China juga pelan tapi pasti menginvasi negara-negara lemah, misalnya negara-negara Afrika. Apalagi didukung jumlah penduduk yang sangat besar, wilayah yang luas dan kepemimpinan yang solid.
Amerika lalu mengalihkan permusuhannya kepada China, yang sebelumnya kepada Islam. Jika laut China selatan dijadikan barometer, kehadiran kapal perang dan kapal induk Amerika dan negara-negara sekutu di sana akhir-akhir ini jelas mengindikasikan China telah resmi didapuk sebagai musuh bersama.
Sudah agak lama Al-Qaeda tidak lagi mengisi berita utama di surat kabar dunia. Tidak lagi terdengar pengeboman atau serangan mematikan terhadap Barat yang dipamerkan Al-Qaeda. Bisa jadi ini sebuah strategi yang sengaja dipilih Al-Qaeda. Bisa juga indikasi melemahnya jaringan Al-Qaeda. Berita tentang konflik Suriah juga mereda, meski perang masih terus berlanjut. Kondisi ini turut mendorong Amerika tidak lagi fokus pada gerakan jihad global. Tapi lebih fokus menghadapi China dan sekutunya.
Panggung utama pertunjukan dunia diisi konflik Amerika vs China, bukan lagi AS vs Al-Qaeda. Taliban mendapat berkah dari situasi ini. Amerika merasa tidak perlu lagi untuk mengeluarkan biaya dan tenaga besar untuk menjinakkan jihadis, toh musuhnya kini bergeser menjadi China. Karena itu, AS tak ragu untuk meninggalkan Afghanistan.
Tiga negara fokus menghadapi AS dan sekutu, sementara AS sibuk menghadapi tiga negara tersebut. Taliban? Seperti terlupakan. Inilah situasi dan kondisi secara kauniyah yang menguntungkan Taliban. Mirip sekali dengan situasi dan kondisi jazirah Arab pada zaman Nabi saw di tengah konflik keras antara Romawi vs Persia. Jazirah Arab seperti terlupakan. Sampai kemudian Islam hadir di jazirah Arab, tumbuh di lingkungan yang relatif bersih dari intervensi kekuatan super pada zamannya, lalu menaklukkan musuh-musuh lokal, barulah kemudian Romawi dan Persia terkejut karena kekuatan Islam tiba-tiba sudah demikian kuat dan tak lama kemudian berhasil menyapu dua imperium tersebut.
Inilah bedanya Islam dengan agama Nasrani. Islam tumbuh di tempat yang netral dari intrik politik negara kuat, sementara Nasrani lahir dan tumbuh di tengah hegemoni Romawi. Palestina adalah salah satu wilayah penting yang dikuasai Romawi, meski bukan ibu kotanya. Karena itu, Nasrani mendapat intervensi kuat dari politik Romawi. Ditambah persekongkolan Yahudi dengan para politisi Romawi. Sementara Makkah, hanya mendapat intervensi dari kekuatan lokal yang relatif kecil pada awal pertumbuhannya, yaitu kabilah Quraisy.
Taliban saat ini seperti mendapat momentum yang sama. Dua kekuatan utama dunia saling bersaing, Taliban terabaikan, karenanya bisa fokus konsolidasi internal dalam bentuk yang paling jernih. Inilah momentum Taliban untuk menguasai Afghanistan secara penuh dan menegakkan hukum Allah dengan jernih tanpa intervensi dari luar. AS juga tidak keberatan mengakui legalitas kekuasaan Taliban kelak, sebab Taliban dianggap bukan lagi ancaman terdekat bagi AS. Kalaupun dianggap ancaman, masih sangat jauh bagi AS, dan yang lebih layak khawatir justru China, Iran dan Rusia karena secara geografis lebih dekat.
Melihat momentum ini, Taliban buru-buru melakukan diplomasi ke tiga negara ini. Taliban mengirim delegasi untuk menemui mereka, di wilayah mereka.
Ibaratnya, Taliban mencuri start, dibanding pemerintahan boneka. Delegasi Taliban diterima. Penerimaan ini saja merupakan keuntungan politik. Sama artinya tiga negara tersebut mengakui eksistensi Taliban, bahkan eksistensinya sebagai perwakilan negara Afghanistan.
Sebelumnya, Taliban (dan juga Al-Qaeda) tidak diakui eksistensinya oleh kekuatan politik manapun pasca digulingkan AS tahun 2001. AS dengan jumawa juga bersumpah tidak mau bernegosiasi dengan Taliban (juga Al-Qaeda). Ketika kini delegasi Taliban diterima Rusia, China dan Iran, secara tidak langsung merupakan bentuk pengakuan diplomatik akan eksistensinya. Dan itu hanya kelanjutan dari pengakuan AS yang sebelumnya sudah duduk bernegosiasi dengan wakil Taliban di Qatar sejak 2019 lalu.
Sama dengan perjanjian Hudaibiyah, yang menuliskan nama Muhammad bin Abdullah (kaum Quraisy masih jumawa dengan tidak mengakui Muhammad Rasulullah) sebagai pemimpin entitas politik baru, yang menandakan sebuah pengakuan diplomatik dari musuh. Pengakuan ini disebut oleh Al-Quran dengan fathan mubina (kemenangan besar).
Secara tidak langsung, Rusia, China dan Iran mengakui bahwa Taliban adalah masa depan Afghanistan. Karenanya mereka membicarakan masa depan Afghan dengan Taliban, bukan dengan pemerintah boneka. Sebab mereka tahu, pemerintah boneka kekuatannya tergantung induk semang. Ketika sang induk semang pergi, pemerintah boneka tak lebih sebagai buih yang dengan mudah disingkirkan Taliban. Cepat atau lambat. Hanya soal waktu.
Pembicaraan Rusia, China dan Iran dengan Taliban menjadi bukti konkrit akan sebuah sunnatullah yang berlaku abadi. Bahwa kekuatan militer menentukan bobot diplomasi. Meski pemerintah boneka dipoles dengan bedak setebal apapun, tak akan membuat harga dirinya naik, sebab secara militer lemah. Sebaliknya Taliban, direndahkan seperti apapun akan tetap tinggi harganya secara diplomasi sebab punya basis kekuatan militer yang solid. Amerika saja dibuat mati kutu selama 20 tahun.
Karena itu, tiga negara tersebut dalam melakukan pembicaraan tentang masa depan Afghanistan, duduknya bersama delegasi Taliban. Bagi mereka Taliban merupakan representasi kekuatan riil yang menjadi penentu masa depan Afghan. Sudah waktunya untuk mengakui eksistensi politik Taliban, meski menyakitkan.
Kaum Quraisy juga awalnya tidak mau mengakui eksistensi politik umat Islam yang dipimpin Rasulullah saw. Tapi dengan makin kuatnya militer Rasulullah saw, mau tidak mau kaum Quraisy duduk berunding dengan Rasulullah saw.
Sunnah kauniyah ini yang bisa menjelaskan mengapa Al-Quran memerintahkan umat Islam agar mempersiapkan kekuatan militer dalam menghadapi kaum kafir. Seperti dalam surat Al-Anfal ayat 60. Tidak cukup hanya kekuatan narasi (dakwah) dan kekuatan ekonomi. Al-Quran mewakili sunnah syar’iyyah karenanya pasti selaras dengan sunnah kauniyah yang sama-sama berasal dari Allah SWT.
Taliban menjadi masa depan yang unik. Mereka punya keunggulan militer, dan warna Islamnya kental, tidak membawa aroma nasionalisme yang biasanya dijadikan celah musuh untuk melemahkan. Duduknya mereka dalam diplomasi mewakili sebuah harga yang mahal, tidak bisa didikte, sebab tangan mereka menggenggam kekuatan militer yang menakutkan. Kepala mereka tegak. Karena itu, kehadiran mereka ke China, Rusia dan Iran, tak sepatutnya dituduh sebagai kolusi dan pengkhianatan perjuangan. Tapi yang benar, mereka hadir ke sana sebagai ksatria yang gagah, bukan sebagai pengemis yang hina.
Taliban ingin fokus menyelesaikan musuh dalam negeri, karenanya tidak mau diganggu oleh musuh luar negeri. Maka Taliban mencoba meyakinkan, bahwa tanah Afghanistan tak akan dijadikan basis serangan kepada negara-negara tersebut. Tapi juga sebaliknya, Taliban minta jaminan bahwa negara-negara tersebut tak melakukan intervensi persoalan dalam negeri Afghanistan. Dengan cara ini, Taliban bisa perang habis-habisan melawan pemerintah boneka, tanpa khawatir ada intervensi dan bantuan apapun dari negara luar kepada pemerintah boneka. Cerdik !
Taliban seolah memotong aliran darah pemerintah boneka. Uluran tangan dari luar diputus melalui perjanjian tersebut. Pemerintah boneka baru saja ditinggal Amerika dan sekutunya, kini mereka ditinggal pula oleh Rusia, China dan Iran. Sementara negara-negara lemah di sekitarnya bisa apa dalam membantu pemerintah boneka. Mereka mengurus diri sendiri saja kesulitan, apalagi membantu negara lain.
Banyak aktifis Islam –tidak semuanya– yang tumbuh dan dibesarkan dengan doktrin aqidah. Mereka asing dengan cara pandang fiqh dan muamalat. Dan politik bagian dari fiqh. Doktrin aqidah memang cenderung hitam putih, meski tetap menyisakan khilafiyah dalam banyak masalah. Akibatnya, seolah mereka terpenjara oleh pengalaman itu. Mereka hanya punya satu sudut pandang dalam melihat segala persoalan yaitu perspektif aqidah.
Jika dilihat dengan perspektif aqidah, piagam Madinah yang merangkul kaum Yahudi menjadi satu umat dengan warga muslim Madinah bisa dianggap sebagai bentuk kolusi aqidah. Perspektif aqidah akan melahirkan pertanyaan kritis: Bagaimana mungkin Yahudi yang notabene musuh Islam dijadikan satu barisan bersama muslim? Bukankah ini akan merusak wala muslim?
Bagi para Sahabat yang menjadi saksi peristiwa dan mengetahui secara langsung situasi dan kondisi yang melingkupinya, bisa memahami kebijakan Nabi saw tersebut. Apalagi saat itu belum tampak kejahatan Yahudi kepada umat Islam, karena interaksi dengan Yahudi baru dimulai.
Kebijakan Nabi saw tersebut tidak sepatutnya dilihat dengan kaca mata aqidah. Tapi dengan perspektif strategi politik. Nabi saw ingin fokus menghadapi musuh jauh, maka musuh dekat diredam dulu. Selain itu untuk mengurangi kecurigaan Yahudi bahwa kehadiran Islam akan membuat Yahudi tersingkir dari Madinah. Kesan bersahabat ini sangat penting untuk meluluhkan hati mereka agar menerima Islam.
Demikian pula perjanjian Hudaibiyah. Secara aqidah, tidak sepatutnya Nabi saw terikat perjanjian dengan kaum musyrik. Bukankah hubungan muslim dengan musyrik itu permusuhan, lalu mengapa diikat perjanjian yang berkonsekwensi saling menghormati sesuai isi klausul perjanjian? Bukankah mengkhianati prinsip aqidah?
Kelanjutan dari cara pandang aqidah (atau aqidah centris) ini membuat banyak aktivis Islam menilai diplomasi yang dilakukan Taliban sebagai bentuk penyimpangan atau bahkan pengkhianatan. Apalagi di dalam negeri (Indonesia) sedang sensi dengan China selain bahwa China juga banyak melakukan kezaliman terhadap muslim Uighur. Maka diplomasi Taliban dengan China dianggap sebagai pengkhianatan.
Karena itu, penting bagi para aktivis Islam untuk melepaskan cara pandang aqidah centris. Ada kasus yang harus dibedah dengan perspektif Aqidah, ada yang cocoknya dibedah dengan perspektif fiqh, ada yang dibedah dengan perspektif muamalat, ada yang dibedah dengan perspektif taktik strategi politik dan ada yang dibedah dengan sudut pandang dakwah. Maka bedahlah kasus per kasus sesuai perspektif yang relevan, jangan melihat seluruh kasus dengan kaca mata tunggal –Aqidah.
Sebaliknya, cara pandang fiqh centris juga keliru. Seluruh kasus dilihat dengan perspektif tunggal –fiqh. Sebagaimana akan keliru jika melihat setiap kasus dengan perspektif konspirasi centris. Bijaksana adalah saat kita melihat kasus per kasus sesuai perspektif yang relevan, sebagaimana Nabi kita mencontohkan.
والله أعلم بالصواب
Penulis: @elhakimi
arrahmah.id, 10 Agustus 2021
No comments:
Post a Comment