Masih lekat dalam ingatan kita, pada awal Agustus 2021 lalu publik dihebohkan dengan munculnya lukisan mural yang menggambarkan wajah mirip presiden Jokowi dengan mata tertutup dan tulisan “404:Not Found” di Batuceper, Kota Tangerang. Ini menjadi heboh saat graffiti itu langsung di blok cat hitam, dan pelaku pembuat mural tersebut diburu oleh pihak kepolisian.
Fenomena mural di beberapa daerah tersebut kemudian dinilai oleh beberapa pengamat sosial sebagai wujud ekspresi masyarakat yang protes terhadap situasi yang dialaminya. Ini merupakan ungkapan suara hati yang mereka wujudkan dalam bentuk lukisan maupun tulisan.
Tidak hanya dengan sarana mural lukisan atau tulisan di tembok/dinding, protes dan kritik kini dapat dituangkan dalam bentuk image (foto atau meme) maupun tulisan, dengan memanfaatkan berbagai platform media sosial, seperti Instagram, Facebook, Twitter, Tiktok dan sebagainya. Pemerintah berupaya mengontrol kebebasan di dunia maya ini dengan menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Namun pada pelaksanaannya, UU ITE ini kerap dijadikan sebagai landasan hukum bagi aparat untuk menindaklanjuti laporan-laporan terkait penghinaan ataupun pencemaran nama baik yang dilontarkan seseorang melalui media sosial, karena beberapa pasal di dalamnya bisa ditafsirkan secara melebar, dan menjadi pasal ‘karet’.
Padahal perlindungan terhadap kebebasan berpendapat secara lisan maupun tulisan dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 E ayat (3), yang menyatakan bahwa, setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Selain itu, Undang-Undang nomor 9 tahun 1998 juga menegaskan bahwa kebebasan berpendapat merupakan hak mendasar dalam kehidupan yang dijamin dan dilindungi oleh negara. Konsekuensinya, pemerintah berkewajiban memberikan ruang kepada rakyat untuk berekspresi dan berkontribusi, baik dalam bentuk terbatas seperti dialog, diskusi, sampai kepada pendekatan secara massif seperti unjuk rasa atau demonstrasi. Bahkan Presiden Jokowi secara terbuka di media mempersilakan masyarakat untuk mengkritik pemerintah.
Survey yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian Pendidikan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) di 34 kota di Indonesia pada 8-15 April 2021 mengungkapkan bahwa 52,1% responden setuju ancaman kebebasan sipil meningkat dan mengakibatkan meningkatnya ketakutan masyarakat dalam berpendapat, berekspresi, berkumpul dan berserikat sebagai pondasi penting kebebasan. Kebebasan berorganisasi atau berpendapat mendapat penilaian publik hanya sebesar 59,2%.
Selain LP3ES, Lembaga survei Indikator Politik Indonesia mencatat bahwa tren kepuasan publik atas pelaksanaan demokrasi terus menurun pada survey yang dilaksanakan pada 17-21 September 2021, dengan hanya 47,6% responden cukup puas, dan 44,1% tidak puas atas pelaksanaan demokrasi.
Sebaliknya, yang berkembang adalah atmosfir ketakutan yang pada akhirnya makin menyulut antipati dan ketidakpercayaan publik pada pemerintah. Ini menjelaskan mengapa indeks kualitas demokrasi dan kebebasan berekspresi menunjukkan tren menurun sejak tahun 2015. Padahal Pemerintah bisa menggunakan pendekatan ‘Dekonstruksi’ yang diperkenalkan filsuf Perancis Jacques Derrida (1930-2004) untuk melihat dinamika diskursus publik yang terus berkembang. Dalam pandangan ini, situasi sosial politik kemasyarakatan tidak lagi dipandang secara hitam putih, pendukung vs oposisi, kawan vs lawan.
Memang tidak mudah, tapi pendekatan ini akan membuat diskursus publik menjadi hidup kembali, dan menghilangkan atmosfir ketakutan untuk menyatakan pendapat yang berbeda sehingga pemerintah selalu bisa mendapat umpan balik dari publik atas kebijakan-kebijakannya, untuk terus melakukan perbaikan. Pada akhirnya, kinerja pemerintah akan makin baik untuk mencapai cita-cita ideal tentang perdamaian (peace), kesejahteraan (welfare) dan keadilan (justice).
Agust Jovan Latuconsina, M.Si.(Han)
Mahasiswa S-3 PSDM Pasca Sarjana Universitas Airlangga, Surabaya
Jawa Pos, 9 November 2021
No comments:
Post a Comment