Thursday, December 2, 2021

Di Balik Radikalisme dan Terorisme di MUI


MUI kelojotan. Jutaan netizens menuntut pembubaran “LSM” keagamaan yang sudah terlanjur besar itu. Pasalnya, salah seorang elit MUI Pusat di Komisi Fatwa Ahmad Zain An-Najah dicokok Densus 88. Ahmad Zain —tersangka gembong Jamaah Islamiyah ini— adalah kader Muhammadiyah. Dilacak jejak karirnya, Ahmad Zain adalah alumnus Ponpes Ngruki, pimpinan Abu Bakar Ba’asyir; alumnus Universitas Al-Azhar, Mesir; Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah, Cairo; dosen Uhamka dan Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Dua gembong Jamaah Islamiyah lainnya yang diciduk Densus 88 adalah Farid Okbah, tokoh Wahabi alumnus LIPIA dan Anung Al-Hammad, tokoh Persis. Ketiga tokoh Islam ini, bisa dilacak jejak “provokasi”nya yang menyebarkan radikalisme dan terorisme di Google.

Tapi aneh. Meski sudah sekian lama ketiganya malang melintang di dunia dakwah Islam radikal, mereka aman-aman saja. Entah karena organisasi induknya sengaja melindungi, diam, atau tidak tahu akan jejak dan kiprah mereka di dunia dakwah Islam. Baru setelah mereka ditangkap, organisasi induknya cuci tangan. Sebuah cara klasik untuk memutus rantai keterlibatan organisasi dengan tokoh-tokohnya yang terstigma buruk di mata publik.

Abu Bakar Ba'asyir

Pertanyaannya: Kenapa Islam tampak “kedodoran” bila menghadapi kasus radikalisme dan terorisme? Ingat, ketika Osama Bin Laden terbunuh di Abbottabad, Pakistan (2 Mei 2011), ribuan orang simpatisan Osama berkumpul di sejumlah kota mendoakan dan bersaksi atas kebaikan Osama. Ingat ketika Abu Bakar Ba’asyir, ideolog teroris, bebas dari penjara Gunung Sindur, Bogor (08/01/2021) setelah mendekan 15 tahun, kedatangannya di Solo disambut bak pahlawan. Saat pembebasannya, Ba’asyir yang tak pernah mengakui Pancasila sebagai ideologi negara itu, mendapat ucapan selamat dan hormat dari wakil ketua MPR Hidayat Nurwahid.

Sepertinya radikalisme dan terorisme dalam Islam sulit dipisahkan. Setidaknya telah membuat umat bingung —apakah terorisme dan radikalisme itu bagian dari Islam? Atau Islam punya sejarah yang tak terpisahkan dengan radikalisme dan terorisme? Di bawah ini, saya nukilkan kembali tulisan saya yang pernah dimuat di Geotimes, 9 April 2021.


Rabu, 4 Zulhijjah, tahun 23 Hijriyah. Fajar baru saja menyingsing ketika Khalifah Umar bin Khathab datang ke masjid hendak mengimami shalat Subuh. Sebelum shalat, Umar menunjuk beberapa orang di masjid agar meluruskan shaf. Setelah semua shaf sudah lurus dan teratur, Shalat pun siap dilaksanakan. Tapi baru saja Umar mulai niat shalat, tiba-tiba muncul seorang laki-laki di shaf pertama, di belakang Umar. Sang lelaki itu, langsung menikam Umar dengan pisau belatinya berkali-kali. Umar pun roboh. Beberapa jam kemudian Umar tewas akibat luka-lukanya yang parah di perutnya.

Siapa pembunuh kejam itu? Abu Lu’lu’ah Fairuz! Ia seorang budak milik Al-Mughirah bin Syu’bah, berasal dari Persia. Kedatangannya ke Masjid itu sengaja hendak membunuh Umar di pagi buta tersebut. Fairuz dendam kepada Umar —Khalifah Islam yang telah mengalahkan Kerajaan Persia, negara yang amat dibanggakan Fairuz.

Fairuz, seorang radikal. Ia memendam kebencian terhadap Umar yang menghancurkan negeri nenek moyangnya. Ia pun nekad membunuh Umar, melampiaskan dendamnya. Redemption —pinjam istilah pengamat terorisme Nurhuda Ismail— menjadikan Fairuz nekad untuk menebus dosanya akibat tak mampu memberikan sumbangan kepada negeri yang dicintainya ketika dihancurkan Umar.


Dua belas tahun kemudian, hari Jumat, 18 Dzulhijjah, tahun 35 Hijriyah, Khalifah Utsman tewas. Setelah mengepung 40 hari 40 malam, para pemberontak berhasil memasuki kediaman Khalifah. Utsman pun terbunuh ketika sedang membaca Al-Qurȃn. Para pemberontak tersebut, lagi-lagi berasal dari kelompok radikal yang tidak menyukai Khalifah Ustman. Ustman dianggap lembek dan nepotis; tak bisa menjadi khalifah yang baik dan adil.

Lima tahun setelah wafatnya Utsman, Khalifah Ali bin Abi Thalib juga tewas mengenaskan di tangan muslim radikal. Pembunuhnya Abdurrahman ibnu Muljam. Ibnu Muljam seorang ahlussunnah, fasih membaca Al-Qurȃn, dan hafiz (penghafal Al-Qurȃn) yang disegani karena kesalihannya. Ia pernah diutus oleh Khalifah Umar bin Khathab pergi ke Mesir untuk mengajar Al-Qurȃn di Negeri Fir’aun itu.

Ibnu Muljam membunuh Ali karena pengaruh paham radikal Khawarij. Bagi Ibnu Muljam —Khalifah Ali dalam menjalankan pemerintahan tidak berhukum pada Al-Qurȃn. Bayangkan, tiga khalifah generasi utama, ketiganya sahabat terbaik Rasulullah, dalam kurun 40 tahun setelah Hijrah, tewas dibunuh secara mengenaskan.

Tragisnya, para pembunuhnya juga orang-orang Islam. Mereka ekstrim dan radikal. Dari keempat khalifah utama tersebut, hanya Abu Bakar As-Shiddiq yang meninggal wajar tanpa dibunuh. Itulah awal perjalanan sejarah Islam.


Dari gambaran di atas, salahkah jika orang menyatakan Islam itu radikal dan ekstrim? Jika ada orang menuduh Islam seperti itu, jangan marah dulu. Juga tak perlu apriori. Sejarah memang membuktikannya. Radikalisme diakui atau tidak, memang sudah tercatat di awal perkembangan sejarah Islam.

Tiga orang Khalifah al-Rasyidin, yang juga sahabat-sahabat Rasul terdekat —Umar bin Khathab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib— meninggal karena radikalisme. Terlebih lagi setelah perang Siffin, antara kelompok Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah, radikalisme Islam makin menjadi-jadi.

Setelah itu, kekhalifahan Islam bermunculan silih berganti —baik dari dinasti Umayyah maupun Abbasiyah— dengan pemerintahan despot dan berlumur darah. Hampir setiap pergantian khlalifah berlangsung dengan cara yang tidak wajar. Dendam, pengkhianatan dan pembunuhan.


Lahirnya kelompok Khawarij yang mengusung doktrin “la hukma illa lillah” (yang lebih tepat menurut Al-Qurȃn sebenarnya; innil-hukmu illa lillah -red.), pada masa itu yang mengkafirkan siapa saja yang berbeda paham dengannya, mengakibatkan ‘orang luar’ melihat Islam sebagai agama teror.

Pasang surut paham dan gerakan radikal ini tercatat dalam perjalanan sejarah Dunia Islam. Meski agama Islam secara esensial dihadirkan Allah melalui Nabi Muhammad sebagai agama damai, tapi paham radikal tersebut tak pernah benar-benar lenyap. Bahkan ketika kelompok Khawarij secara historis telah hilang, paham dan ideologi radikal tetap hidup. Ideologi radikalisme tak pernah mati sepanjang sejarah Islam.

Di zaman modern, ideologi Islam radikal makin menakutkan. Peristiwa 11/9/2001 (9-11), yang menghancurkan World Trade Center, New York, menjadi isu radikalisme agama terpenting di abad 21. Kehadiran Negara Islam Irak dan Siria (ISIS) menambah ketakutan dunia terhadap Islam. Sejak ISIS mendeklarasikan diri sebagai Kekhalifahan Islam, 2004, ratusan ribu orang dibunuh di Irak, Suriah, dan wilayah-wilayah yang dikuasainya.

ISIS makin menakutkan setelah organisasi radikal Islam yang lain seperti Boko Haram di Nigeria, Thaliban di Afghanistan, dan Abu Sayaf di Filipina berbai’at kepada Abu Bakar Al-Baghdadi, Khalifah ISIS. Kehadiran ISIS makin menguatkan keyakinan masyarakat internasional bahwa ideologi Islam radikal tak akan pernah mati.


Saat ini, fenomena radikalisme di dunia internasional makin mencekam karena gerakan-gerakan ideologi radikal dan ekstrim tersebut. Negara-negara Islam dan Timur Tengah menjadi panggung pertunjukan kekejamannya. Dunia kini menyaksikan jutaan pengungsi dari Timur Tengah dan negara-negara Islam lain menyerbu Eropa, Amerika, Kanada, dan Australia. Mereka ketakutan, lari dari negaranya yang terus berperang.

Kini, Suriah, Palestina, Irak, Yaman, Pakistan, Afghanistan, Filipina, Indonesia, Mesir, Libya, Ethiopia, dan Nigeria, —semuanya negara Islam atau mayoritas penduduknya beragama Islam— menjadi tempat yang dianggap berbahaya, karena banyaknya aksi-aksi terorisme yang mengancam kemanusiaan.

Lalu, bagaimana Indonesia —negara dengan jumlah penduduk Islam terbesar di dunia? Akankah digerogoti ideologi Islam radikal yang membahayakan itu? Dunia tak akan pernah melupakan ledakan dahsyat bom Bali satu dan dua. Setelah itu, puluhan bahkan ratusan kasus terorisme menggetarkan Indonesia. Kelompok-kelompok intoleran dan radikal pun tumbuh di mana-mana. Bahkan kelompok intoleran ini —kadang mendapat dukungan sebagian tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh politik, bahkan pegawai negeri.

Setara Institute, misalnya, dalam risetnya menemukan banyak perguruan tinggi negeri ternama yang sudah terpapar virus intoleransi dan radikalisme. Kita masih ingat, bagaimana seorang dosen salah satu perguruan tinggi negeri ternama menjadi “dalang” pemboman di Jakarta. Di pihak lain, banyak organisasi berlabel Islam yang aksi-aksinya mengindikasikan penyebaran intoleransi dan radikalisme.


Gambaran tersebut, jelas sangat mencemaskan masa depan Indonesia yang negaranya berdasarkan Pancasila. Kenapa? Intoleransi dan radikalisme adalah benih-benih terorisme. Orang menjadi teroris awalnya intoleran dulu. Lalu radikal. Kemudian menjadi teroris.

Jadi, jangan anggap remeh meruyaknya intoleransi di sekitar kita. Di tahap ini, sebagian umat beragama masih melindungi intoleransi dengan alasan “keyakinan agama” yang harus dipelihara. Dari intoleransi, tumbuh radikalisme. Pada tahap ini pun, tak sedikit umat mendukungnya —atas nama fanatisme dan pemurnian ajaran agama.

Ketika aksi terorisme meledak, para pendukung intoleransi dan radikalisme cuci tangan, dengan menyatakan tak ada terorisme dalam agama. (Kasus “terciduknya” elit Jamaah Islamiyah di MUI adalah contoh, betapa lembaga keagamaan sering menjadi tempat berkembangbiaknya paham radikalisme dan terorisme).


Sayyidina Ali ketika menyaksikan kaum radikal membentangkan bendera bertuliskan kalimat dua syahadat di hadapannya, menyatakan: “Mereka sesungguhnya kaum kafir dan munafik yang menunggangi Islam untuk memuaskan hawa nafsunya. Mereka adalah musuh-musuh Allah dan Rasulnya.

Apa yang pernah dinyatakan Ali, menantu Rasulullah, kini terbukti. Agama telah ditunggangi kaum radikal dan teroris untuk menghancurkan kemanusiaan atas nama Tuhan. Jauh sekali dengan tujuan Allah menghadirkan Nabi Muhammad di muka bumi: Untuk memperbaiki akhlak manusia dan rahmat bagi alam semesta.

Syaefudin Simon
Wartawan Senior
https://www.tagar.id/opini-di-balik-radikalisme-dan-terorisme-di-mui

No comments: