Setidaknya dalam periode per satu abad, pandemi besar menimpa umat manusia. Pertanyaan berkait pandemi bukanlah “apakah wabah itu akan terjadi?”, tapi, “kapan terjadi?”, dan tentu pertanyaan yang lebih penting lagi, “seberapa besar kesiapan umat manusia mengantisipasinya?”
Umumnya sebagian besar penduduk bumi tidak pernah benar-benar siap ketika menghadapi pandemi. Semua terkaget pada sesuatu yang begitu halus seperti siluman, tiba-tiba saja menyerang secara masif, dan menyebar dengan amat cepatnya. Serangan yang menimbulkan malapetaka penyakit dan teror ketakutan.
Terkhusus bagi “Jamaah Maiyah”, Mbah Nun sendiri setiap hari menuliskan refleksinya dengan sudut pandang yang komprehensif berkaitan dengan wabah Corona ini. Mbah Nun sempat menegaskan “semua tulisan tentang segala sesuatu yang terkait Coronavirus, memakai pola pandangan dan pemetaan yang mengungkapkan keterkaitan antara virus dengan kesehatan jasad, struktur kejiwaan, kekuasaan Tuhan, metode taqwa dan tawakkal, iman, doa, wirid, dzikir, hizib dan seluruh famili konteksnya menurut pola pandang yang saya pakai”.
Tulisan-tulisan tersebut oleh penerbit Bentang kemudian diterbitkan sebagai buku berjudul “Lockdown 309 tahun”. Pendek kata, SARS Cov-2 adalah sosok paling selebritis di tahun 2020 melebihi apapun dan siapapun. Bahkan secara revolusioner, SARS Cov-2 berhasil mengubah tatanan-tatanan pola kehidupan masyarakat modern, betapa terdengar ironis bahwa mahkluk paling kecil ini mampu “menghentikan” putaran mesin dunia.
Berbeda dengan “perang menghadapi bakteri”, ilmu kedokteran sejak lama menginformasikan bahwa tidak ada obat definitif untuk “membunuh” virus. Tata laksana pengobatan medis untuk penyakit infeksi segala jenis virus, sebatas terapi yang sifatnya suportif (bantuan: pernapasan, kebutuhan cairan, pemenuhan gizi dan kalori, penanganan infeksi sekunder bila ada).
Virus adalah penghuni paling senior di planet bumi yang berada di luar taksonomi kemakhlukan yang lazim. Walau memiliki DNA atau RNA, oleh sebagian ahli, status “kemakhlukannya” masih diperdebatkan, apakah ia entitas hidup atau mati? Sebut saja, ia adalah makhluk transisi antara organisme dan an-organisma, berada di luar klasifikasi dari kelompok flora atau fauna, dan terbebas dalam rumusan gender. Ukurannya yang teramat kecil (diilustrasikan 1 mm dibagi sejuta), membuatnya hingga kini mustahil “dibidik oleh peluru farmakologis” buatan manusia.
Virus adalah zombie kimia yang misi utama satu-satunya hanyalah membajak material genetik di dalam sel pada suatu makhluk, agar ia dapat memperbanyak dirinya. Virus hanya bertahan hidup dalam diri makhluk hidup sebagai tuan rumahnya (host). Maka sebenarnya virus “berkepentingan agar host-nya tetap hidup”.
Jenis virus seperti Ebola atau SARS yang menyebabkan tingkat kematian yang tinggi, tidak akan pernah dapat berkembang menjadi pandemik, karena korban yang terinfeksi otomatis berdiam di rumah (ter-lockdown) karena sakitnya yang parah, atau sebagian mungkin tidak selamat. Agar suatu virus dapat menyebar menjadi pandemik ke seluruh dunia dalam hitungan yang singkat, ia harus memiliki “keseimbangan antara tingkat penularan dan efek mematikan”.
Menteri Kesehatan, Terawan bersama 3 pasien Covid-19 pertama yang sudah sembuh.
Novel Corona yang digolongkan sebagai virus dengan penyebab prosentase kematian rendah pada korbannya, memenuhi keseimbangan syarat itu. Namun justru karena prosentase mortalitasnya yang rendah, menjadi amat dikhawatirkan oleh para ahli. Mengapa? Karena dalam rentang masa yang panjang Novel Corona virus pada akhirnya akan menghasilkan akumulasi jumlah korban yang bisa jadi jauh lebih banyak daripada jenis-jenis virus ganas mematikan lainnya.
Di Indonesia kasus resmi pertama mulai dilaporkan pada 2 Maret 2020. Kini (Juni 2020), sudah lebih dari 3 bulan kita “berjuang” dengan berbagai strategi pendekatan. Suatu perjuangan yang tidak mudah, yang telah menimbulkan banyak korban jiwa bagi komunitas yang rentan bahkan hingga kalangan medis. Dan juga berdampak sangat besar terhadap kondisi sosial perekonomian. Hingga hari ini, grafik kasus harian belum memperlihatkan tanda-tanda menuju ke arah landai. Malah belakangan terdengar seruan dari pemerintah untuk “berdamai” dengan Corona? Bagaimana kita memahami seruan tersebut?
Bila istilah “damai” kita posisikan pada term peperangan, maka berdamai tentu memerlukan keterlibatan aktif dari kedua pihak yang berseteru. Mustahil berdamai dengan cara “bertepuk sebelah tangan”. Corona virus sudah tentu adalah entitas yang “tidak punya kehendak” alias bukan wujud yang (berkesadaran) sengaja hadir untuk memerangi manusia, tapi kehadirannya menimbulkan masalah bagi kehidupan manusia.
Pada dasarnya mayoritas mikro-organisma ditakdirkan hidup secara komensal atau berdampingan dengan manusia. Seorang mikrobiologis lazimnya mengatakan “we never win the battle with microorganism”. Mikroorganisma seperti virus atau bakteri, meskipun wujudnya tidak kasat mata, tapi mereka ada di mana-mana, eksistensinya pada hakikatnya mendunia, “mencengkeram” planet bumi ini. Dalam ungkapan yang lebih sederhana, umat manusia kini menghadapi “musuh” yang tidak terlihat, tersamar, dan bisa ada di mana-mana, sementara manusia tanpa memiliki persenjataan buatan apapun untuk melawannya. Tidak ada pemetaan musuh yang bisa dipastikan dalam berperang melawannya. Oleh karena itu strategi yang kemudian dilancarkan selama ini adalah “menghindar dan sembunyi” (lewat seruan-seruan seperti: social distancing, physical distancing, stay at home, lockdown, Pembatasan Sosial Berskala Besar alias PSBB, dsb).
Bila berkaca pada sejarah wabah di masa-masa yang lalu, strategi-strategi tersebut, bila dilakukan tepat pada momentumnya dan bersabar dalam menjalani prosesnya, maka strategi isolasi dan karantina sesungguhnya dapat efektif menekan pandemik secara signifikan. Namun, efek kolateral bencana akibat Corona berdampak nyaris ke seluruh dimensi kehidupan; resesi ekonomi, pasar lesu, saham anjlok, harga minyak jatuh, PHK massal dan kebangkrutan menghantui banyak sektor industri. Dan mungkin inilah di antara hal yang dijadikannya sebagai alasan pelonggaran atas strategi “menghindar dan sembunyi” (PSBB) ini.
Tuhanlah wujud yang bertanggung jawab menghadirkan pasukan-pasukan perlawanan untuk menghadapi segala ancaman dan bahaya dari invasi mikroorganisma. Kalimat “penyakit dapat sembuh sendiri secara spontan!” terdengar aneh di telinga kaum beriman. Tapi di zaman dimana paradigma ilmu harus serba terukur, terindera dan dapat dibuktikan, maka ungkapan kehadiran dan campur tangan Tuhan dipandang sebagai bukan sesuatu yang saintifik ilmiah.
Bila disepakati bahwa imunitas tubuh adalah “KATA KUNCI” satu-satunya dalam menghadapi serangan infeksi virus, maka tidakkah segala wacana tentang apa atau bagaimana upaya-upaya untuk menghadirkan atau memperkuat sistem imunitas dalam diri kita seharusya lebih banyak dieksplorasi? Menghadapi persoalan global yang menyangkut seluruh umat manusia ini, tidakkah seyogyanya segala jenis diskursus yang berniat baik hingga penelitian yang sahih, diizinkan dan dibuka selebar-lebarnya? Apalagi toh hingga kini juga belum ada solusi yang sifatnya final dan tuntas.
Secara umum, ada dua metode untuk menghadirkan dan memperkuat sistem imunitas kita; secara eksternal dengan vaksinasi dan secara internal dengan memperbarui pola-pola kehidupan. Vaksinasi adalah upaya secara sengaja memasukkan kuman yang telah dilemahkan ke dalam tubuh kita, agar tubuh teraktivasi untuk membentuk imunitas baru dan spesifik untuk menghadapi kuman yang sesungguhnya. Namun, berkait dengan novel Corona virus, WHO memprediksi keberadaan vaksin paling cepat baru tersedia pada 2021. Maka perhatian utama kita, mestinya dicurahkan pada upaya-upaya memperkuat sistem imunitas tubuh secara internal.
Dalam tulisan kali ini, izinkan saya mentadabburi pola-pola kehidupan yang dimungkinkan memperkuat imunitas yang digali dari jalan-jalan keimanan.
Lima jalan Iman memperkuat Imun
1. Kebersihan diri dan memutus rantai infeksi
Bila di dunia kesehatan ada semboyan “kebersihan adalah pangkal kesehatan”, maka dalam term agama ada pesan yang nilai dan maknanya lebih tinggi lagi bahwa “kebersihan adalah bagian dari keimanan”. Dalam semboyan itu, seolah-olah dikatakan bahwa, orang yang hidupnya tidak bersih lahir dan batin, maka imannya tidak sempurna. Iman mempersyaratkan bagi pelakunya untuk hidup bersih lahir dan batin.
Kebersihan yang komprehensif mencakup seluruh spektrum dimensi kehidupan. Jauh sebelum WHO menjadikan cuci tangan 6 langkah sebagai protokol kesehatan yang penting, Rasulullah Saw, misalnya, menganjurkan umatnya untuk mencuci kedua telapak tangannya saat pertama kali bangun dari tidur (HR. Bukhari).
Wudhu dalam konteks ini merupakan tindakan “pengenceran populasi mikroorganisme” tersebut, sehinga menurunkan risiko penyimpangan oportunistik bagi diri kita. Dalam tata laksana wudhu ada aktivitas yang cukup langka dijalani orang yakni istinsyaq, membasuh hidung dengan cara menghisap air bersih dari lubang hidung lalu mengeluarkannya kembali. Aktivitas demikian di luar wudhu, hanya dilakukan oleh dokter THT ketika mereka tengah melakukan irigasi nasal untuk membersihkan area lubang hidung hingga wilayah nasopharyng yang tersembunyi. Mbah Nun dalam suatu kesempatan acara Maiyah juga pernah mengatakan, perbanyak berwudhu untuk menghadapi pandemi Corona ini.
Segala aktivitas thaharah (bersuci) memiliki kontribusi dalam memutus mata rantai penularan penyakit infeksi, dus mengurangi beban berat bagi sistem imunitas kita.
Di antara teori asal-usul keberadaan virus Novel Corona adalah kebiasaan masyarakat di pasar Wuhan, yang memperdagangkan hewan-hewan liar eksotik untuk dikonsumsi. Presiden ahli penyakit infeksi Dr. Asok Kurup mengatakan “manusia dan satwa-satwa liar tidak ditakdirkan hidup berdampingan”, jika dipersatukan dalam rentang waktu yang lama seperti di pasar Wuhan maka akan terjadi wabah seperti ini!
Di antara hewan yang sempat menjadi sorotan adalah kelelawar. Kelelawar menjadi menarik dibahas karena ia merupakan hewan yang “unik”; ia satu-satunya mamalia yang dapat terbang, hidup secara nokturnal (daur hidup malam hari) dan sekujur tubuhnya menjadi inang komensal bagi Corona virus.
Dr Leong Hoe Nam, ahli infeksi dari Mount Elizabeth Centre Singapore setelah mengetahui apa yang berlangsung di pasar Wuhan, dalam sebuah film dokumenter berjudul “Corona Virus The Silent Killer” mengatakan: “Kita harus mempertimbangkan kembali, apa-apa yang layak kita konsumsi”. Bila dikaitkan dengan sebuah hadits (riwayat Al-Baihaqi), kelelawar adalah di antara hewan yang jangankan diperkenankan untuk dikonsumsi, untuk dibunuh pun dilarang.
Dalam buku “Lockdown 309 tahun”, mbah Nun sekilas menyinggung bahan bumbu dapur dari rempah-rempah sbb: ada semacam “atmosfer atau tradisi rempah-rempah” yang sudah melingkupi keseharian badan rakyat dan udara Indonesia sejak dahulu kala, sehingga ada semacam imunitas khas Indonesia yang dunia ilmu pengetahuan belum memahaminya. Secara logis, apa yang dimakan oleh seseorang tentu akan mempengaruhi konstitusi tubuhnya. “You are what you eat”, begitu kata kalangan Nutrisionist.
Di antara bahan rempah-rempah yang tersaji di bumi Nusantara, telah dikenal dan diteliti dapat menjadi bahan imunomodulator (penguat sistem imunitas) seperti: kunyit, jahe, kunir, kayu manis, cengkeh, bawang putih, bawang merah dll. Dengan mengkonsumsi bahan-bahan alami, segar, asli dari sumber sendiri di bumi khatulistiwa yang kaya kandungan mineral dan disirami matahari tropis, In syaAllah status imunitas kita akan lebih terjaga dengan baik.
Penelitian di University of Southern California menginformasikan bahwa puasa memicu “saklar regenerasi”, yang mendorong meregenerasi seluruh sistem kekebalan tubuh. Selama rentang panjang kita mengkonsumsi sesuatu, selain menghasilkan kalori, makanan yang dikonsumsi itu juga menyisakan “sampah-sampah” metabolik berupa protein yang rusak. Periode lapar selama berpuasa membuat tubuh akan membersihkan “sel-sel zombie”, menyapu bersih elemen-elemen dalam diri yang menua, yang tidak efisien dan yang rusak.
Ada mekanisme yang diistilahkan sebagai proses Autofagi selama berpuasa. Adalah Prof. Dr Yoshinori Ohsumi, pada tahun 2016, mendapat hadiah Nobel Fisiologi setelah meneliti dengan baik peristiwa Autofagi tersebut. Autofagi merupakan suatu proses yang membantu menjaga keseimbangan antara pembentukan, pemecahan, dan daur ulang produk-produk sel. Proses Autofagi ini adalah mekanisme utama yang digunakan sel untuk mengalokasikan ulang nutrien dari proses yang tidak perlu kepada proses yang lebih penting. Ketika seseorang mengalami sensasi “lapar”, maka sistem dalam tubuhnya akan mencoba menghemat energi dan salah satu hal yang dilakukannya adalah mendaur ulang banyak sel kekebalan yang tidak diperlukan, terutama yang mungkin “rusak” untuk diresintesis kembali.
Puasa ibarat menjalani “tune up” rutin mesin metabolisme. Ada berbagai puasa yang ritmenya dapat dilakukan yang terkategori dalam ritme tahunan, bulanan, mingguan, atau harian.
Tune up tahunan: puasa Ramadhan dan puasa Syawal.
Tune up bulanan: puasa Ayyamul Bidh di setiap tanggal 13, 14 dan 15 H.
Tune up mingguan: puasa Senin-Kamis.
Tune up harian: puasa Daud.
“Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (QS 2: 184). Berpuasa memperbaiki kualitas imunitas kita.
Shalat merupakan simbol totalitas ketundukan seorang hamba kepada Khalik-Nya yang diekspresikan dengan ketundukan seluruh dimensi diri (hati, akal dan raga).
Dengan bahasa populer, mungkin dapat dikatakan bahwa dalam ibadah shalat terkandung aspek Olah Rasa, Olah Rasio sekaligus Olah Raga. Orang yang dengan disiplin, tertib dan teratur beraudiensi dengan Allah Tuhan pemilik semesta jagat ini, hatinya akan tenteram karena tidak ada yang lebih tenteram di dalam hidup ini kecuali hati yang selalu tersambung kepada-Nya. Hati yang sadar bahwa Dia Maha Memelihara dan Melindungi hamba-hamba-Nya. Hati yang mengerti bahwa Allah tidak pernah bosan untuk senantiasa membuka Rahmat dan Kasih Sayang-Nya setiap waktu. Hati yang paham bahwa Dia melarang rasa putus asa hinggap di hati para hamba-Nya dan hati yang mengerti pada-Nyalah tergenggam segala perbendaharaan yang ghaib.
Orang-orang yang senantiasa mentadabburi semua fenomena sunatullah (segala penciptaan-Nya di langit dan di bumi) dalam rangkaian bacaan shalat, akalnya akan terasah cerdas. Dan orang yang selalu bergerak menyesuaikan dengan gerakan-gerakan fitrah dalam ibadah shalat dengan kaifiyat yang benar penuh thuma’ninah fisiknya akan sehat. Orang yang melakukan shalat, hatinya akan tenang, pikirannya cerdas dan fisiknya sehat.
Adalah Prof Moh. Sholeh yang membuat disertasi penelitian berjudul “Pengaruh Shalat Tahajud Terhadap Peningkatan Perubahan Respon Ketahanan Tubuh Imunologik: Suatu Pendekatan Psikoneuroimunologi”. Ringkasnya, hasil penelitian yang kabarnya mendapat sertifikasi WHO ini, memberi kesimpulan bahwa orang yang melakukan shalat Tahajud secara kontinu, tepat gerakannya (kaifiyat-nya), maka secara medis aktivitas itu dapat menumbuhkan respons ketahanan tubuh, khususnya peningkatan imunoglobin M, G, A dan limfosit.
Izinkan saya mengutip doa dan dzikir yang mudah dan sederhana untuk diamalkan “Ucapkan: Qul huwallahu ahad (Surat Al-Ikhlash) dan dua surat pelindung (Al-Falaq dan An-Naas) ketika sore dan pagi hari sebanyak tiga kali, maka surat tersebut akan melindungimu dari segala mara bahaya”. (H.R Tirmidzi).
Rasulullah Saw bersabda, “Seorang hamba yang berkata (berdoa) pada pagi setiap hari, dan pada sore setiap malam, sebanyak tiga kali: bismillahilladzi laa yadhurru ma’as-mihi syai-un fil ardhi wa laa fissamaa-i, wa huwas samii’ul ‘aliim. (Dengan nama Allah yang bila disebut, segala sesuatu di bumi dan langit tidak akan berbahaya, Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui), maka tidaklah berbahaya baginya apapun juga” (Akan terhindarlah dia dari bahaya apa saja). (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmizi, Nasa’i dan Ibnu Majah).
Di dalam Quran ada ayat yang menyatakan “Dan Allah sekali-sekali tidak akan mengadzab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidak pula Allah mengadzabmu, sedang engkau minta ampun kepada-Nya” (QS 8:33). Mentadabburi kutipan ayat tersebut, maka ada dua perkara yang dapat menyelamatkan kita dari azab, yakni “Ber-shalawat dan ber-istighfar”.
Bagi orang beriman, Corona virus bukanlah urusan medis murni semata yang terlepas dari kekuasaan Ilahi. Orang beriman tidak memutus segala peristiwa terestrial di bumi ini dengan tautan transendental di langit. Doa-doa dapat menjadi senjata untuk menghadapi ancaman dan marabahaya bagi kehidupan kita. Rasulullah bersabda, “Doa adalah senjata seorang Mukmin dan tiang (pilar) agama serta cahaya langit dan bumi.” (HR Abu Ya’la). Pada-Nya sepenuhnya kita sandarkan keselamatan hidup kita dan kita bermohon untuk ketepatan memahami dan memaknai peristiwa yang ada.
Kapankah Pandemi ini berakhir? Jawabannya wallahu a’lam. Tentu semua kita berharap agar kita dapat segera kembali menjalani kehidupan seperti sediakala, normal yang memang normal. Bila berkaca pada rekam jejak kerabat Corona, sesama keluarga virus-virus Influenza yang pernah hadir sebagai pandemik di dunia ini, maka masa kehadiran mereka adalah sbb:
Flu Spanyol H1N1: 1918- 1919 (durasi 1,5 tahun).
Flu Asia H2N2: 1957-1958 (1 tahun).
Flu Hongkong H3N2: 1968-1969 (1 tahun).
Flu Burung H5N1 1997-2019: (22 tahun).
Flu Babi, mutasi Influenza A subtipe H1N1: 2009-sekarang.
SARS: 2002-2004 (2 tahun).
MERS: 2012-2015 (3 tahun).
Bercermin pada sejarah tersebut, belum ada pandemi yang berlangsung di bawah durasi satu tahun, maka terbayangkah di hadapan kita dan sudah siapkah kita bila memang perjuangan “melawan” pandemi Corona ini akan berlangsung lama?
RSUD Kudungga, Sangatta, Kalimantan Timur, dan insert dr, Ade Hashman, Sp. An.
Ketika seruan untuk “social distancing” mulai dikendorkan, ketika dengan “terus terang” pemerintah mengatakan “berdamai” (baca: menyerah?) pada pandemi, maka bagaimana bila saatnya kita lebih mengkampanyekan seruan untuk memperkokoh “spiritual connecting”?
Dalam buku Lockdown 309 Tahun, Mbah Nun mengatakan, “Kalian tidak punya pertahanan badan, tidak punya vaksin jasad, tetapi tidak pula berikhtiar untuk membangun pertahanan qudrah, pertahanan ruhaniyah, memohon kasih sayang Allah. Apakah kalian memang diam-diam punya mindset bahwa Allah itu tidak berkuasa? Sehingga dalam keadaan darurat pun tidak ada upaya vertikal untuk memohon perlindungan Tuhan?”
Malah seharusnya, sebagaimana atmosfer yang ada di Maiyah, kerinduan untuk “gondhelan ning klambine Kanjeng Nabi” memperkokoh pertalian “segitiga cinta dan dialektika syafaat” sejak dari awal kita gaungkan sebagai pilar-pilar utama dalam menghadapi wabah ini.
Tapi…, adakah “orang modern” yang mau percaya ?????
Sangatta, 7 Juni 2020
dr. Ade Hashman, Sp. An.
Jamaah Maiyah,
Sehari-hari adalah dokter spesialis anestesi di RSUD Kudungga Sangatta.
CAKNUN.COM
No comments:
Post a Comment