Saturday, June 13, 2020

Catatan IPTEK KOMPAS: Ketimpangan Risiko


Virus Corona pemicu Covid-19 memang bisa menginfeksi siapa saja. Sekalipun demikian, kerentanan dan karenanya risiko tiap orang dalam menghadapi wabah ini berbeda-beda, tergantung pada daya tahan tubuh dan juga ditentukan oleh struktur ekonomi politik.

Secara sederhana, risiko bencana merupakan perkalian antara ancaman bahaya (hazard) dan kerentanan (vulnerability) dibagi kapasitas (capacity). Dengan rumusan ini, mereka yang lebih rentan secara biologis memiliki risiko lebih tinggi.

Mengacu laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), orang-orang yang berusia di atas 60 tahun dan atau yang memiliki beragam penyakit penyerta, seperti diabetes, jantung, pernapasan, dan hipertensi, merupakan kelompok paling rentan sakit parah atau meninggal jika terinfeksi Covid-19.

Namun, prevalensi ini ternyata tidak berlaku begitu saja di Indonesia. Kajian Gindo Tampubolon, ahli kesehatan masyarakat dari Universitas Manchester, di jurnal PLOS One 2014 dan Journal of American Medical Association Cardiology 2019 menunjukkan, dua pertiga orang Indonesia dalam rentang usia produktif, yaitu 40-an tahun, memiliki risiko penyakit jantung sangat tinggi.


Data survei kesehatan Riset Kesehatan Dasar 2018 juga menunjukkan, penyakit jantung dan diabetes menjadi beban penyakit tertinggi di negara ini. Hampir 11 persen orang dewasa Indonesia memiliki kadar gula darah tinggi dan 1,5 persen menderita penyakit jantung.

Hal ini pula yang menyebabkan banyak korban Covid-19 di Indonesia justru berusia produktif. Karena itu, kebijakan untuk mendorong yang berumur 45 tahun ke bawah kembali bekerja di tengah wabah yang belum mereda, menurut Gindo, menjadi pertaruhan besar.

Bahkan, temuan Ikatan Dokter Anak Indonesia, anak-anak di Indonesia juga sangat rentan. Jumlah pasien dalam pengawasan (PDP) usia anak mencapai 3.324 orang, sebanyak 129 anak berstatus PDP meninggal, 584 anak terkonfirmasi positif virus Corona, dan 14 orang di antaranya meninggal.

Angka ini tergolong tinggi dibandingkan data global, yang menunjukkan pentingnya analisis klinis berbasis data dalam negeri untuk memetakan kerentanan fisik di Indonesia agar kita bisa meminimalkan risiko jika aktivitas kembali dilonggarkan.


Tak hanya dari segi biologis, kerentanan juga bisa ditentukan oleh struktur ekonomi politik. Antropolog Anthony Oliver-Smith (1996) menyebutkan, dampak bencana lebih ditentukan oleh proses historis dan struktural, seperti kolonialisme dan ketimpangan ekonomi, dibandingkan faktor ancaman dari alam itu sendiri.

Sosiolog Piers Blaikie (2003) selanjutnya merinci bahwa proses struktural yang mendistribusikan dan mengatur sumber material, kekayaan, dan kekuasaan dalam suatu masyarakat pada akhirnya akan menentukan respons seseorang dalam menghadapi ancaman, termasuk wabah. Aspek struktural ini bahkan bisa membelokkan persepsi seseorang terhadap risiko.

Sebagai contoh, seorang kawan terpaksa harus berdesakan di Stasiun Tanah Abang pada Senin (25/5/2020) siang, sekalipun dia menyadari hal itu sangat berisiko. Namun, ketakutan tertular Covid-19 ditepis karena dia tak berdaya menolak perintah atasan agar kembali bekerja. "Padahal, bos besar tidak ke kantor. Kalaupun datang, dia lebih aman karena naik mobil," katanya.

Ketimpangan juga banyak ditemukan di jalanan. Para pengojek daring, misalnya, harus berjuang antar jemput barang hingga belanja ke pasar swalayan. Sementara itu, pemesan bisa berlindung di rumah dengan relatif aman. Atau yang lebih ekstrem, pemilik usaha rintisan tetap mendapat persentase keuntungan dari setiap perjalanan pengojek menembus risiko.

Epidemiolog Grace A Noppert.

Tak hanya dalam memitigasi risiko, perbedaan sumber daya sosial ekonomi juga akan membedakan kerentanan seseorang saat krisis. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Gus Irawan Pasaribu, menyebutkan, pasien positif Covid-19 di Medan diminta membeli ventilator oleh pihak rumah sakit seharga ratusan juta rupiah (Kompas, 6 Mei 2020). Syarat ini tentu tidak masuk akal dipenuhi oleh mereka yang miskin.

Kegagalan negara untuk memberikan jaminan sosial ekonomi kepada kelompok rentan jelas bisa memicu persaingan untuk hidup (survival of the fittest) yang tidak adil karena struktur ekonomi politik yang timpang sejak sebelum terjadi wabah. Sebagaimana diperingatkan epidemiolog Grace A Noppert, mereka yang bakal paling terdampak dari pandemi kali ini adalah kelompok miskin (The Conversation, 9 April 2020) sehingga struktur korban bisa membentuk piramida dengan yang paling rentan secara fisik ataupun sosial ekonomi berada di dasarnya.

Kita memang saat ini dihadapkan pada pilihan sulit antara kesehatan dan ekonomi karena buruknya keputusan politik. Kita telah kehilangan waktu emas karena kegagalan penapisan selama Januari-Februari 2020 dan gagal mengarantina episenter wabah selama Maret-April lalu. Berikutnya, saat sejumlah negara menerapkan Karantina Wilayah dengan ketat (Lockdown), kita memilih Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dengan anjuran.


Kini, di tengah PSBB yang sejatinya telah longgar, pemerintah buru-buru berkampanye agar kita berdamai dengan Covid-19 dan menyambut kenormalan baru (new normal). Padahal, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebenarnya telah menetapkan enam syarat sebelum negara mengajukan proposal kenormalan baru, di antaranya memastikan penularan penyakit terkendali. Selanjutnya, sistem kesehatan dapat mendeteksi, menguji, mengisolasi, serta menangani setiap kasus dan melacak setiap kontak.

Selain itu, harus ada jaminan langkah pencegahan di lingkungan kerja, seperti menjaga jarak, cuci tangan, dan etika saat batuk, bersin; mencegah kasus impor Covid-19;  serta memastikan masyarakat memiliki kesadaran dan berpartisipasi aktif dalam transisi ini.

Apakah kita tetap akan memasuki kenormalan baru ini tanpa memenuhi syarat-syarat ini? Jika itu dilakukan, kita barangkali tidak akan menuju kenormalan baru, tetapi justru ke situasi krisis lebih besar. Belajar dari pandemi Flu Spanyol 1918, gelombang kedua serangan wabah bisa sangat dahsyat.

Ahmad Arif,
Wartawan Kompas
KOMPAS, 27‎ Mei 2020

No comments: