Puncak dari krisis multidimensi itu ialah mundurnya HM Soeharto dari jabatan Presiden Republik Indonesia pada 21 Mei 1998, padahal jabatan tersebut baru diembannya sejak 11 Maret 1998.
Konsekuensi logis dari mundurnya Presiden Soeharto ialah naiknya Wakil Presiden BJ Habibie ke kursi kepresidenan.
Habibie yang berterus terang mengaku sebagai murid Soeharto, dianggap sebagai kroni Orde Baru, dan karena itu tidak berhak melanjutkan masa jabatan Soeharto.
Dan hanyalah berkat kegigihan dua guru besar hukum tata negara, Ismail Sunny dan Yusril Ihza Mahendra, di dalam membela keabsahan konstitusional posisi Presiden Habibie, para pengeritik yang umumnya bukan pakar hukum tata negara, akhirnya bungkam.
Sejatinya Habibie bukanlah seorang politisi. Dia seorang teknolog yang oleh Presiden Soeharto dipanggil pulang dari Jerman untuk mengembangkan teknologi di Indonesia.
Kariernya di pemerintahan sejak 1974 hingga 1998 tidak pernah bergeser dari urusan teknologi: perkapalan, persenjataan, hingga pesawat terbang.
Sebagai satu-satunya teknolog dengan karier mencorong di bidangnya, tidak salah jika Habibie menjadi kesayangan Presiden Soeharto. Semua programnya didukung oleh Presiden.
Puncak prestasinya ialah keberhasilannya membuat pesawat terbang, dan menguji coba penerbangannya pada 10 Agustus 1995. Atas prestasinya itu Habibie dipuji, namun Habibie juga dicibir.
Para pengeritiknya memplesetkan pesawat terbang produk Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), Gatotkaca/Tetuko, menjadi “sing tuku ora teko-teko, sing teko ora tuku-tuku” (yang membeli tidak kunjung datang, yang datang tidak kunjung membeli).
Alhasil, IPTN dikritik sebagai proyek penghamburan uang.
Dalam posisi sebagai Ketua Umum ICMI, Habibie dipercaya oleh Soeharto menjadi Ketua Harian Dewan Pembina Golongan Karya. Maka ketika komposisi anggota MPR periode 1993-1998 dianggap lebih proporsional dari segi pemeluk agama, Habibie dianggap sebagai otak dibalik terbentuknya MPR yang “ijo royo-royo”. Sebuah koran terkemuka, tidak kuasa menahan diri dan memelesetkan “ijo royo-royo” menjadi “ijo loyo-loyo”.
Habibie sendiri bagai tidak peduli terhadap berbagai kritik dan cemoohan itu. Ia terus bekerja, dan kadang-kadang menyampaikan pikirannya, tidak peduli pikirannya menyentuh bidang kerja koleganya sesama menteri.
Demikianlah misalnya, suatu ketika Menristek BJ Habibie berpolemik secara terbuka dengan Menteri Pendidikan Fuad Hasan. Namun, dibalik sikap yang apa adanya dan penuh percaya diri, Habibie sangat menghormati para senior.
Maka, ketika para senior yang tergabung dalam Petisi 50 ––sebuah kelompok pengeritik Presiden Soeharto yang terdiri dari negarawan senior seperti M Natsir, Manai Sophian, AH Nasution, dan Ali Sadikin–– mengeritik industri strategis yang dikomandani Habibie, respons yang diberikan berbeda.
Habibie justru mengundang seluruh anggota Petisi 50 berkunjung ke IPTN, industri senjata Pindad, dan industri kapal laut PAL. Langkah Habibie itu bukan saja mengejutkan jagat politik, tetapi juga mengubah peta politik nasional.
Di tengah perdebatan apakah langkah Habibie seizin Soeharto atau tidak, publik dikejutkan oleh hadirnya salah seorang penandatangan Petisi 50 yang juga Juru Bicara Partai Masyumi, Anwar Harjono, di Istana. Bersama Ketum MUI kala itu, KH Hasan Basri, Ketum PP Muhammadiyah KH A Azhar Basyir, dan Rois Aam PBNU KH Ilyas Ruhiyat; dalam posisi sebagai Ketua Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia, Harjono bertemu Presiden Soeharto.
Sesudah itu publik menyaksikan Panglima ABRI Jenderal Feisal Tandjung mengunjungi seniornya yang lama dipenjara oleh rezim Orde Baru, Letnan Jenderal HR Dharsono. Puncaknya, tentu saja pertemuan dua prajurit tua, Jenderal Nasution dan Jenderal Soeharto.
Perlahan namun pasti, Habibie telah berubah dari seorang ilmuwan yang seolah tidak peduli dengan dunia sekitar, menjadi pemimpin organisasi yang berani melakukan langkah-langkah berisiko tinggi.
Ketika KPU ragu untuk mengesahkan hasil Pemilu 1999, Presiden Habibie tidak ragu membubuhkan tandatangannya mengesahkan hasil Pemilu 1999 yang dimenangkan oleh PDI Perjuangan.
Presiden yang sempat diragukan kemampuannya itu, dalam masa kurang dari dua tahun telah terbukti mampu menurunkan kurs rupiah dari kisaran Rp 16.000 – Rp 17.000, menjadi Rp 6.500 per-U$ dollar. Dan antrean panjang rakyat untuk memperoleh sembako pun berhasil dihentikannya dalam waktu yang singkat.
Dalam masa jabatannya yang singkat, Habibie berhasil membentuk berbagai undang-undang yang kelak menjadi landasan bagi pelaksanaan reformasi dan demokrasi Indonesia.
Habibie yang ramah, juga seorang yang tegas. Selama masa kepemimpinannya, dia menegaskan semua pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) hanya boleh dilakukan di gedung DPR. Dan memang, selama Habibie menjadi Presiden, tidak ada satupun panitia khusus atau panitia kerja yang bersidang di hotel mewah. Jangankan di hotel mewah, di hotel kelas melati pun tidak ada. Semuanya diselesaikan di gedung parlemen!
Pagi itu, 1 Oktober 1999, sebagai kepala negara, Presiden Habibie datang ke MPR untuk menghadiri upacara pelantikan anggota DPR/MPR periode 1999-2004. Di luar dugaan, kedatangan Presiden yang sah itu disambut dengan teriakan mencemooh “Huuu ....,” oleh sebagian anggota DPR/MPR. Sebagian “anggota yang terhormat” itu menolak berdiri saat Presiden Habibie memasuki ruangan sidang.
Merespons sikap radikal dan intoleran sebagian “anggota yang terhormat” itu, Presiden Habibie tersenyum dengan mata bulatnya yang berpendar disertai lambaian tangan persahabatan. Dan dari cerita mantan Pimred Republika, Parni Hadi, dalam talk show mengenang Habibie di sebuah stasiun televisi mengenai apa yang dilakukan Habibie pada saat dicemooh sebagian anggota DPR/MPR dengan teriakan “Huuu ....” itu, Habibie mengatakan, saat mendengar teriakan itu dirinya malah mengucapkan atau mendaraskan doa (dzikir) melalui mulut dan hatinya. Ini sebuah sikap yang luar biasa!
“Pimpinan Sidang, saya minta anggota Majelis yang berteriak ‘Huuu ....’ agar dikoreksi, karena tidak baik tindakan seperti itu dilakukan terhadap kepala negara. Ini bukan gedung bioskop. Ini sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat yang terhormat,” kata Fatwa dalam interupsinya.
Pernyataan Fatwa itu kemudian dijawab oleh ketua sidang.
“Memang harus demikian sesuai dengan koreksi Saudara,” kata Suyitno membenarkan sikap Fatwa.
Cemooh kepada Habibie tidak berhenti sampai di situ. Dalam pemandangan umum menanggapi laporan pertanggungjawaban Presiden Habibie, ada anggota parlemen yang menggunakan kata-kata kasar seperti “tidak becus”. Anggota yang lain mengejek Presiden dengan menirukan cara bicara Habibie. Tak tanggung-tanggung, ada anggota MPR dalam sidang paripurna berpidato sembari memarodikan gaya bicara Habibie mirip aktor lawak dari Yogyakarta.
Akhirnya, seperti sudah diduga sebelumnya, laporan pertanggungjawaban Presiden Habibie ditolak oleh MPR. Meski ada penolakan itu, oleh para pendukungnya, betapapun Habibie didesak untuk terus maju. Namun Habibie memilih untuk tidak maju kembali dalam arena pemilihan presiden. Habibie dalam beberapa kesempatan mengaku merasa tidak bermoral jika dia terus maju sementara MPR telah menolak laporan pertanggungjawabannya.
Habibie memang dikalahkan, tetapi sejatinya dialah sang pemenang. Dia telah memenangkan pertarungan menjadi demokrat sejati yang bermartabat. Dia tak mau atau tak sudi jadi sosok yang hipokrit.
Selamat jalan Pak Habibie. Teladan kenegarawanmu abadi. Allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu'anhu.
Lukman Hakiem,
Peminat Sejarah, Staf Ahli Fraksi PPP MPR-RI 1999-2004
REPUBLIKA, 14 September 2019