Kiai Maimun Zubair, akrab dipanggil Mbah Moen, adalah sosok yang tak bisa diceritakan dalam satu-dua kali kesempatan. Luas pengetahuan dan dalamnya keteladanan membuat kita harus bekerja keras untuk menampung samudra ilmu dan teladan yang diwariskannya.
Sekali waktu, saya pernah sowan ke Kiai Maimun di kediamannya, di Sarang, Rembang. Saya ingat sekali, Mbah Moen bercerita panjang lebar tentang bagaimana ajaran Islam merespons dinamika perkembangan zaman. Mbah Moen menegaskan, Islam menghargai kebhinekaan.
Tafsir dari Mbah Moen lebih progresif dan kontekstual.
Dari Mbah Moen saya mendapatkan ilmu soal makna kata lita'arafu dalam surat Al-Hujurat (49): 13; Ya ayyuhan-nas, inna khalaqnakum min dzakarin wa untsa, wa ja’alnakum syu’uban wa qabaila lita'arafu. Makna saling mengisi dan bekerja sama jauh lebih progresif dan kontekstual dibandingkan dengan tafsir-tafsir yang berkembang selama ini yang cenderung mengartikan lita'arafu dengan hanya sebatas saling mengenal.
Saling mengisi adalah kata kunci yang ingin dikemukakan Mbah Moen. Indonesia yang berdiri di atas bangunan kebhinekaan dan keragaman suku, bangsa, budaya dan agama, harus ditopang kesadaran individunya untuk saling mengisi dan bekerja sama satu dengan yang lainnya.
Tafsir ini, bagi saya pribadi, melesat melampaui zamannya. Bagi saya, tafsir semacam ini tak akan lahir dari pribadi yang tak memiliki kejernihan mata batin serta rasa cinta Tanah Air yang mendalam.
Kelak rumusan itu diberi tajuk "Risalah Sarang". Ada lima poin penting yang dihasilkan di forum ini. Pertama, Nahdlatul Ulama senantiasa mengawal Pancasila dan NKRI serta keberadaannya tak dapat dipisahkan dari keberadaan NKRI itu sendiri.
Kedua, pemerintah diimbau agar menjalankan kebijakan-kebijakan yang lebih efektif untuk mengatasi isu sosial termasuk dengan menerapkan kebijakan yang lebih berpihak ke yang lemah (afirmatif) seperti reformasi agraria, pajak progresif, pengembangan strategi pembangunan ekonomi yang lebih menjamin pemerataan serta pembangunan hukum ke arah penegakan hukum yang lebih tegas dan adil dengan tetap menjaga prinsip praduga tak bersalah di berbagai kasus yang muncul.
Keempat, para pemimpin negara, pemimpin masyarakat, termasuk pemimpin NU agar senantiasa menjaga kepercayaan masyarakat dengan senantiasa arif dan bijaksana dalam menjalankan tugas masing-masing dengan penuh tanggung jawab, adil, dan amanah dengan menomorsatukan kemaslahatan masyarakat dan NKRI.
Kelima, mengusulkan diselenggarakannya forum silaturahmi di antara seluruh elemen bangsa guna mencari solusi berbagai permasalahan yang ada, mencari langkah-langkah antisipatif terhadap kecenderungan perkembangan di masa depan, dan rekonsiliasi di antara sesama saudara sebangsa.
"Risalah Sarang" adalah salah satu bukti betapa karisma Mbah Moen sebagai pengayom umat tak bisa dimungkiri. Di hadapan kiai-kiai sepuh yang lain, dengan tegas Mbah Moen memaparkan argumen dan visi kebangsaan yang membuat peserta merasa seperti disiram air sejuk keteladanan. Sosok Mbah Moen juga tak bisa dilepaskan dari kegigihannya dalam menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara yang dirahmati Allah SWT.
Bagi Mbah Moen, Indonesia adalah baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (negara yang baik dan dapat ampunan dari Allah). Pikiran-pikiran ke-Indonesiaan yang cerdas sering diungkapkan beliau dalam pelbagai forum di depan khalayak ramai saat mengisi pengajian. Salah satunya misalnya tentang dimensi keberkahan dalam hari kemerdekaan RI. Bagi Mbah Moen, tak ada yang kebetulan. Semua telah ditulis dan ditakdirkan Allah SWT, termasuk tanggal, bulan, dan tahun.
Tanggal 17 memiliki ikatan kuat dengan jumlah rakaat shalat wajib yang dijalankan umat Islam dalam tempo sehari semalam. Dalam lambang Garuda Pancasila terdapat dua sayap dengan jumlah bulu 17 di kanan dan 17 di kiri. Mbah Moen menjelaskan angka 17 ini merupakan jumlah rukun shalat, yakni (1) niat, (2) takbiratul ihram, (3) berdiri i’tidal, (4) membaca surat Al-Fatihah, (5) rukuk, (6) thuma’ninah dalam rukuk, (7) i’tidal (berdiri bangun dari rukuk), (8) thuma’ninah dalam i’tidal, (9) sujud pertama, (10) thuma’ninah dalam sujud, (11) duduk di antara dua sujud, (12) thuma’ninah dalam duduk di antara dua sujud, (13) sujud kedua, (14) thuma’ninah dalam sujud, (15) duduk tahiyat, (16) membaca tasyahud akhir, (17) salam. Sedangkan 17 bulu di sayap kiri berarti jumlah rakaat shalat wajib.
Menciptakan akronim PBNU (Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, UUD '45).
Sementara Agustus atau bulan kedelapan dalam sistem penanggalan Masehi merupakan bulan diturunkannya Al-Quran. Kita juga ingat Agustus 1945 bertepatan dengan bulan Ramadhan dalam sistem penanggalan Hijriah. Bulan Ramadhan adalah bulan istimewa bagi umat Muslim. Angka 45 yang merujuk tahun kemerdekaan berarti setiap orang Islam harus membaca syahadat (saat tahiyat awal atau akhir) sebanyak empat dan lima kali. Malam empat kali, saat shalat Maghrib (2x) dan Isya (2x). Siang lima kali, Subuh (1x), Dzuhur (2x), dan Ashar (2x).
Di lain kesempatan, Kiai Maimun berpesan kepada nahdliyin. Pesan ini selalu diulang-ulang dengan maksud menanamkan kesadaran kecintaan Tanah Air dan merawat kebhinekaan. Pesan itu berisi wejangan bahwa Kantor PBNU memiliki korelasi dengan empat pilar kebangsaan. P berarti Pancasila. B berarti Bhinneka Tunggal Ika. N berarti Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dan U adalah Undang-Undang Dasar 1945. Pesan ini khas dan otentik lahir dari gagasan dan pemikiran jernih KH Maimun Zubair.
Sebagai bagian dari bangsa Indonesia kita harus menundukkan kepala seraya melangitkan doa. Putra terbaik bangsa, sosok pengayom umat dan pribadi yang gigih berjuang untuk kemaslahatan bangsa dan negara telah berpulang di Tanah Suci, Makkah Al-Mukarramah.
Tak ada cara terbaik mengenang kematian selain mengenang kebaikan dan keteladanannya. Sebagaimana dikatakan Rumi, “Tatkala kita mati, jangan cari pusara kita di bumi, tetapi carilah di hati para kekasih”. Selamat jalan, Mbah Moen. Selamat jalan pengayom umat dan pengawal Pancasila.
A Helmy Faishal Zaini
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
KOMPAS, 7 Agustus 2019
8 Nasehat Mbah Moen
1. “Ora kabeh wong pinter kuwi bener.”
(Tidak semua orang pintar itu benar).
2. “Ora kabeh wong bener kuwi pinter.”
(Tidak semua orang benar itu pintar).
3. “Akeh wong pinter ning ora bener.”
(Banyak orang yang pintar tapi tidak benar).
4. “Lan akeh wong bener senajan ora pinter.”
(Dan banyak orang benar meskipun tidak pintar).
5. “Nanging tinimbang dadi wong pinter ning ora bener, luwih becik dadi wong bener senajan ora pinter.”
(Namun daripada jadi orang pintar tapi tidak benar, lebih baik jadi orang benar meskipun tidak pintar).
(Ada yang lebih bijak, yaitu jadi orang pintar yang senantiasa berbuat benar).
7. “Minterno wong bener kuwi luwih gampang tinimbang mbenerake wong pinter.”
(Memintarkan orang yang benar itu lebih mudah daripada membenarkan/meluruskan orang yang pintar).
8. “Mbenerake wong pinter kuwi mbutuhke beninge ati, lan jembare dhodho.”
(Membenarkan/meluruskan orang yang pintar itu membutuhkan hati yang bening dan dada yang lapang).
KH. Maimun Zubair
(Rembang, 28 Oktober 1928 – Mekkah, 6 Agustus 2019)
No comments:
Post a Comment