Bayangkan. Di era serba digital ini, video yang berisi adegan tragis itu akan tersimpan abadi hingga akhir zaman. Tidak hanya ditonton oleh masyarakat luas, tapi akan menjadi warisan penting bagi anak dan cucu keluarga Jokowi. Sebuah Heritage tentang bagaimana tubuh leluhur mereka sampai harus terguling, demi melakukan adegan selfie yang teramat penting. Sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh semua Presiden Republik Indonesia selama 73 tahun merdeka.
Jika diputar dengan lambat, rekaman golden moments di sela kampanye Capres Jokowi itu memperlihatkan adegan dengan gamblang. Terpapar jelas detik demi detik dimana sang capres sekaligus berstatus seorang suami, menoleh ke arah kanan dirinya dan ia terkejut melihat istrinya terjengkang tanpa kendali. Lelaki yang juga berstatus kakek itu, jelas tahu punggung wanita berusia senja itu tergelepar sejajar lantai panggung.
Tidak ada usaha dari Sang Capres Petahana untuk membalikkan badan 180 derajat dan segera berteriak memanggil para pengawal di belakangnya. Memang pengawal pasti seratus persen akan datang, tapi reaksi empati yang umumnya dimiliki seorang manusia normal tampak hilang pada peristiwa itu.
Ketika 2 pengawal datang menolong, posisi punggung dan sepasang kaki Jokowi masih seperti semula. Hingga rekaman usai, lelaki “sholeh” itu tidak juga berbalik menghadap ke belakang, ke arah posisi tubuh ibu dari anak-anaknya itu.
Dan sebagaimana adegan peragawati yang terpeleset di atas catwalk, kamera yang mengambil gambar dari arah panggung bagian belakang itupun merekam ibu Iriana yang berusaha cepat-cepat untuk bangun kembali. Hal yang sangat manusiawi, jika gestur dari Ibu Negara itu berusaha agar tampak dirinya baik-baik saja. Reaksi yang wajar. Demi menyelamatkan wajah dan harga dirinya. Hampir semua wanita akan melakukan hal serupa.
Watak seorang manusia akan terbaca amat jelas, saat ia bereaksi spontan menghadapi peristiwa tak terduga yang tragis. Atau berakibat memalukan.
Bagai kita menerawang batu kristal yang jernih, dari reaksi spontan manusia itulah maka orang lain di sekitarnya akan dapat langsung menilai apakah jiwa dan karakter manusia tersebut berkualitas tinggi atau tidak.
Apakah ia memiliki sifat tulus, ikhlas, berjiwa ksatria, rela berkorban, berempati tinggi, sanggup memindahkan beban orang lain ke pundaknya, dan berani menanggung tiap resiko tanpa menyalahkan orang lain, atau sebaliknya?
Bandingkan. Jika kejadian pedih itu menimpa seorang Ani Yudhoyono, kira-kira apa yang akan dilakukan SBY? Tidak perlu beralasan bahwa Ibu Ani tidak akan mengalami keterjengkangan yang sama, karena ia adalah fotografer profesional. Memang ibu Ani tak akan mengerjakan adegan yang hanya bisa dipikirkan dan diperbuat oleh selfier profesional. Tapi cukup bayangkan saja, kira-kira apa reaksi spontan High Quality Man macam SBY, jika kejadian sama menimpa istrinya.
Reaksi spontan seorang Prabowo untuk menilai watak dirinyapun, sangat “cetho welo-welo”. Crystal clear. Seperti ketika di Cianjur, Prabowo menegur keras aparat yang mengawalnya; "Jangan dorong rakyat!", gara-gara pengawal tersebut mendorong jatuh emak-emak yang ingin bersalaman dengannya.
Pun tak terhitung bagaimana pengalaman sopir Prabowo tiba-tiba dipaksa memutar arah kembali, hanya gara-gara sang bos melihat ada pedagang tua di pinggir jalan duduk tercenung di depan jualannya yang masih menumpuk banyak. Sopir dan ajudanpun harus cerdik menyiasati lalu lintas atau mencari tempat parkir, karena Prabowo tak mau mobilnya berbalik hanya untuk melempar segenggam uang sedekah. Walau dipaksapun, Prabowo tidak akan pernah mau mengecilkan harga diri manusia lain. Watak empati yang melekat membuat ia merasa harus menyerahkan sedekah dengan penghormatan, sebagaimana perlakuan seorang manusia bermartabat kepada manusia bermartabat lainnya.
Walaupun istri terjengkang, selfie sendiri tetap terus berlanjut ....
Bagi yang kerap berada di sekitar Prabowo, mereka bercerita acap menyaksikan bagaimana air mata jatuh di pipi sang jendral yang warnanya kecoklatan akibat sering terbakar sinar matahari itu. Reaksi spontan yang emosional itu biasanya diikuti perintah kepada anak buahnya untuk mencari alamat orang yang hendak ditolong, sembari berpesan agar dilakukan diam-diam. Biasanya orang yang ditolonglah yang justru menyebarkan kisah itu.
Seorang saudara kandung dari mantan orang terpenting di negeri ini misalnya, dibantu biaya operasinya di rumah sakit olehnya, bukan oleh saudaranya. Padahal paham politik si orang penting itu berlawanan dengan dirinya. Tak terhitung pula para purnawirawan dan janda pensiunan dari perwira yang seharusnya hidup mapan tapi ternyata tak memiliki rumah, akhirnya memiliki atap kediamannya sendiri karena pertolongan Prabowo.
Bahkan seorang istri pahlawan nasional dan mantan petinggi negeri yang tak memiliki rumah sendiri, wafat dalam keadaan terhormat karena meninggal di rumahnya sendiri, setelah Prabowo terkejut dan menangis mendapati seseorang yang namanya tertulis dalam buku sejarah tak memiliki sejengkal pun tanah di negerinya sendiri. Sayang semua itu tak dapat dituliskan dengan gamblang, karena watak pribadi Prabowo yang senantiasa mencegah tersiarnya kisah-kisah tersebut, agar ia tak membuat malu orang lain. Menurutnya, harga diri orang yang dibantu tetap harus sama tinggi dengan orang yang membantu.
"Aku Rapopo ...."
Pekan lalu, seorang ulama yang disegani di Purwakarta mengungkap ia tidak kenal pribadi dengan Prabowo, tapi ia jatuh hati kepada perilakunya. Menurut pak kyai, lelaki tak harus menjadi Imam Sholat lebih dulu untuk mengetahui bahwa martabat orang yang menerima sedekahpun harus tetap diletakkan di tempat terhormat. Dan ia tahu Prabowo mengenggam erat sifat itu.
Sosok pemimpin wajib memiliki spontanitas orisinal yang keluar dari hati yang bersih. Pun seorang pemimpin harus bewatak layaknya hujan, yang selalu akan datang meski ia tahu bagaimana rasanya jatuh berkali-kali. Karena sang hujan tahu, bumi dan manusia yang ia cintai akan kotor, kering, dan rusak, jika ia tidak istiqamah untuk selalu melakukan hal yang semestinya memang harus ia kerjakan.
THE END.
By Agi Betha
Pemerhati Media Sosial
Strategic Assessment,
www.centerofrisk-sia.com
No comments:
Post a Comment