Tuesday, March 5, 2019

Intelektualisasi Kekuasaan


Pidato Cornelis Lay dalam pengukuhannya sebagai Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (6/2/2019) menarik disimak. Sebagaimana dikutip Kompas (7/2/2019), Cornelis berpendapat bahwa, kaum intelektual di Indonesia tidak perlu alergi dengan kekuasaan.

Demi kepentingan kemanusiaan, kaum intelektual bisa menjalin hubungan dan berkolaborasi dengan kekuasaan. Namun, hubungannya dengan kekuasaan tak boleh membuat seorang intelektual kehilangan karakter dasarnya, yakni berpikir bebas dan bertindak bijak. Apa yang disampaikan Cornelis menambah khazanah wacana intelektual dan kekuasaan ketika menawarkan jalan ketiga.

Menurut Cornelis, selama ini seolah-olah kaum intelektual sekadar dihadapkan pada dua pilihan ketika berhubungan dengan kekuasaan, apakah tunduk pada atau menjauhi, bahkan memusuhi kekuasaan. Pilihan atau jalan ketiganya adalah, kaum intelektual bisa masuk dan keluar dari kekuasaan berdasarkan penilaian yang matang dan menyeluruh, serta berdasarkan motif kemanusiaan. Hubungan kaum intelektual dan kekuasaan, dengan demikian, tidak didikte oleh motif kecintaan atau kebencian.


Jalan ketiga yang ditawarkan Cornelis menggarisbawahi independensi intelektual yang semata-mata berpihak kepada moral kemanusiaan, bukan pada kekuasaan itu sendiri. Secara subyektivitas politik, tentu tidak ada yang salah dari apa pun yang dilakukan kekuasaan. Akan tetapi, kaum intelektual punya standar etis intelektual yang disandarkan pada moral kemanusiaan. Kaum intelektual yang ikut hadir di pentas kekuasaan, yang kemudian memutuskan keluar karena pertimbangan moral kemanusiaan, pun tetap harus mampu bersikap etis dan proporsional, tidak lantas menyatakan kebenciannya pada kekuasaan.

Tugas intelektual justru lebih pada memperbesar “kebenaran akademis” dalam kekuasaan. Di dalam atau di luar kekuasaan, sepakat pada Cornelis, timbangan pokoknya, kalkulasi kemanusiaan. Kebenaran kekuasaan tidak boleh melesat jauh meninggalkan moral kemanusiaan. Tugas intelektual mendekatkan dan menyejajarkannya. Dalam konteks inilah, asumsi dasar Cornelis segera dapat kita pahami.

Menurut Cornelis, kekuasaan dan ilmu pengetahuan, lahir dan bertumbuh di atas cita-cita yang baik, yakni pembebasan manusia dan pemuliaan kemanusiaan. Untuk memperjuangkan kemanusiaan, intelektual bisa menjalin hubungan dengan kekuasaan dengan alasan moral yang kuat dan masuk akal, berjalan bersisian di tengah pesimisme yang berkembang.


Intelektualisasi
Kekuasaan dan intelektualitas, karena itu, bak dua sisi dari satu mata uang yang sama. Kekuasaan membutuhkan intelektualitas guna menggelar pembangunan yang berwajah manusia. Kaum intelektual punya posisi strategis, tak sekadar dalam konteks sebagai teknokrat. Intelektual dalam kekuasaan punya tanggung jawab moral kemanusiaan yang lebih luas ketimbang sekadar posisinya sebagai pakar kebijakan. Merujuk Soedjatmoko, dimensi manusia dalam pembangunan harus mengemuka.

Intelektual di kekuasaan ialah jantung intelektualisasi atau pencerdasan yang ditumbuhkan melalui tradisi literatif ilmu pengetahuan yang berpijak pada moral kemanusiaan yang jelas. Konsekuensinya, intelektualisasi tak semata sekadar pencerdasan pengetahuan, tetapi juga pencerahan bagi kualitas kemanusiaan dan peradaban. Kaum intelektual punya tanggung jawab yang lebih, dalam berikhtiar demi mencerdaskan kehidupan bangsa.


Intelektual dalam kekuasaan sebagai penggelora intelektualisasi juga berfungsi korektif atau evaluasi diri sehingga rezim berkuasa tak larut dalam labirin ambisi kekuasaan yang justru menjauh dari moral kemanusiaan dan pencederaan akal sehat. Mereka idealnya juga pembendung arus balik dan berfungsi sebagai kekuatan detoksifikasi, otoritarianisasi kekuasaan. Mereka referensi penting rezim berkuasa yang lazim didominasi kaum politisi, memperkuat tradisi legitimasi intelektualitas, kekuasaan argumentatif, dan basis moral kemanusiaan yang kuat.

Harus diakui, pada praktiknya relasi intelektual dan kekuasaan tak akan mudah. Diasumsikan, semakin demokratis suatu entitas kekuasaan, kian leluasa para intelektualnya menggelorakan arus kuat intelektualisasi. Kian tak demokratis, semakin terpinggirkanlah intelektual, reduplah tradisi intelektualisasi. Namun, di tengah jenis kekuasaan apa pun, mereka tetap berfungsi menjaga moral dan mencerahkan kemanusiaan. Hal itu dilakukan melalui interupsi-interupsinya pada kekuasaan, proaktif mengingatkan rezim berkuasa untuk tak lepas dari orientasi kemanusiaan. Gambarannya seperti yang dilakukan punakawan intelektual dalam pewayangan.


Iklim demokrasi
Dalam entitas kekuasaan yang demokratis, kaum intelektual turut berikhtiar merawat iklim kebebasan agar yang selalu muncul adalah kecenderungan jenis kekuasaan, apa yang diistilahkan Geoff Mulgan (2006), kekuasaan yang baik (good power), bukan kekuasaan yang buruk (bad power). Kekuasaan yang baik bisa mewujud manakala kaum intelektual, politisi, dan birokrat berjalan secara fungsional.

Kuatnya arus intelektualisasi kekuasaan berpeluang terjadi dalam iklim demokratis, yakni ketika etika intelektualitas juga dikedepankan oleh kaum politisi dan birokrat. Intelektualisasi kekuasaan memang sering dihadapkan pada tantangan politisasi dan birokratisasi. Politisasi terjadi ketika ragam argumentasi intelektual, sekadar dipakai sebagai alat pukul politik, bukan motivasi pencerahan, sedangkan birokratisasi ialah formalisasi yang berpotensi menjauhkan tradisi intelektualitas yang seharusnya lebih mengutamakan substansi, kreativitas, dan inovasi.

Kaum intelektual dalam kekuasaan tak semata-mata berfungsi menjawab kritik masyarakat dan kaum intelektual dari luar kekuasaan, tetapi yang lebih mendasar ialah menyerap aspirasi intelektual. Kekuasaan tak boleh jauh meninggalkan aspirasi intelektual, karena terlampau tingginya kadar politisasi dan birokratisasi. Intelektualisasi kekuasaan mengemuka pada sikap yang tidak pernah sinis, apalagi alergi, terhadap ragam kritik. Segenap kritik direspons dengan etika dan argumentasi intelektual yang kuat, bahkan ketika hoaks dan fitnah media sosial gencar menerpa.


Kaum intelektual tak sekadar bisa berfungsi menumbuhkan iklim intelektualisasi politisi, tetapi juga dalam reformasi birokrasi. Intelektualisasi birokrasi bermakna implementasi moral kemanusiaan agar mereka semakin mampu meningkatkan pelayanannya secara baik kendati di tengah keterbatasan. Dengan demikian, arus intelektualitas terjaga dalam tradisi kaum intelektual itu sendiri, dan juga oleh kaum politisi dan kalangan birokrat pemerintahan.

Kaum intelektual memiliki ciri yang unik, apakah mereka di dalam atau di luar kekuasaan, merujuk Cornelis, dalih moral kemanusiaanlah yang harus selalu dipegang. Mereka sama-sama mencegah kualitas kekuasaan merosot, keluar dari bingkai kelaziman moralnya ke arah kekuasaan yang buruk. Moralitas kekuasaan selalu dikaitkan dengan tanggung jawabnya dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsa.

Kaum intelektual yang berada di dalam kekuasaan setidaknya punya peluang lebih besar untuk mengingatkan rezim yang berkuasa agar tidak terus merosot dan kehilangan moralitas kekuasaannya.

M Alfan Alfian,
Direktur Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional;
Pengurus Pusat HIPIIS
KOMPAS, 27 Februari 2019


Cornelis Lay: Guru Besar UGM Pengagum Bung Karno

Sejarah hidup dan akademis Cornelis Lay sebelum dikukuhkan sebagai Guru Besar Fisipol UGM sangat panjang.

Cornelis Lay resmi dikukuhkan sebagai Guru Besar Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM), Rabu (6/2/2019). Akademisi berusia 60 tahun yang juga pengagum Bung Karno ini menyampaikan orasi ilmiah berjudul “Jalan Ketiga Peran Intelektual: Konvergensi Kekuasaan dan Kemanusiaan” di Balai Senat UGM, Yogyakarta, sebelum pengukuhannya. Berikut ini sejarah hidup Cornelis Lay.

Dilahirkan di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), tanggal 6 September 1959, Cornelis Lay meniti karier akademis yang cukup panjang. Ia memperoleh gelar Bachelor of Arts (B.A.) dari Jurusan Ilmu Pemerintahan (sekarang Jurusan Politik dan Pemerintahan) Fisipol UGM pada 1984.

Cornelis Lay adalah pengagum berat Ir. Sukarno. Maka, semasa menjadi mahasiswa di UGM, ia juga aktif dalam Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Nantinya, Cornelis Lay tercatat sebagai salah satu anggota tim ahli Persatuan Alumni (PA) GMNI.


Dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar, Cornelis Lay berucap, “Untuk Mbak Megawati Soekarnoputri, alm. Mas TK (Taufik Kiemas), dan tokoh-tokoh partai politik terutama dari PDI hingga generasi PDI Perjuangan, ucapan terima kasih saya haturkan untuk rangkaian pengalaman yang saya alami bersama.

Tahun 1987, titel Doktorandus (Drs.) melengkapi gelar S1 Cornelis Lay di jurusan dan perguruan tinggi yang sama. Setelah itu, ia menjadi staf pengajar di almamaternya sekaligus peneliti Pusat Antar Universitas (PAU) Studi Sosial.

Cornelis Lay melanjutkan studi di St. Mary’s University, Halifax, Kanada, dan merengkuh gelar Master of Arts (M.A.) dalam bidang International Development Studies pada 1992.

Kembali mengabdikan diri di kampus biru, Cornelis Lay pernah menjabat sebagai Kepala Unit Penelitian serta Pembantu Dekan III Bidang Penelitian dan Kerja Sama (2008-2010) Fisipol UGM.


Sebelumnya, pada 2000–2004, suami dari Jeanne Cynthia Lay Lokollo ini ditunjuk menjadi Kepala Biro Politik dan Pemerintahan Dalam Negeri di Kantor Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri kala itu.

Cornelis Lay adalah peneliti di Pusat Studi Asia Pasifik (PSAP) UGM sejak 2009. Ia juga pernah menjadi peneliti tamu di sejumlah institusi luar negeri, termasuk Flinders University (Australia) pada 1995, Agder College University (Norwegia) pada 2001-2002, Massachussets University (AS) pada 2008, KITLV (Belanda) pada 2010, dan lainnya.

Ayah dari Dhiera Anarchy Rihi Lay dan Dhivana Anarsya Ria Lay ini telah menghasilkan banyak sekali karya, baik berupa buku, tulisan ilmiah atau hasil penelitian, maupun berbagai judul artikel yang dimuat di media massa.

Salah satunya adalah tulisan Cornelis Lay bersama Prof. Dr. Pratikno dengan judul “From Populism to Democratic Polity, Problems and Challenges in Solo, Indonesia”. Tulisan ini terhimpun dalam buku Democratisation in the Global South: The Importance of Transformative Politics (2013) suntingan K. Stokke dan O. Törnquist.


Cornelis Lay, bersama Wawan Mas’udi, juga pernah bertindak sebagai editor untuk buku berjudul The Politics of Welfare: Contested Welfare Regimes in Indonesia yang diterbitkan pada 2018 lalu.

Pada 2018 pula, tulisan Cornelis Lay dengan judul “Hometown Volunteers: A Case Study of Volunteers Organizations in Surakarta Supporting Joko Widodo’s Presidential Campaign” dimuat dalam Copenhagen Journal of Asian Studies.

Sejak 2016, Cornelis Lay menjabat sebagai Kepala Research Center for Politics and Government (PolGov) di Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, hingga akhirnya dikukuhkan menjadi guru besar di almamaternya itu pada 6 Februari 2019.

Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan
Tirto.id, 6 Februari 2019

No comments: