Sunday, March 11, 2018

Akhirnya Freeport Pecundangi Indonesia


Resmi sudah PT Freeport Indonesia mempecundangi Indonesia dengan kemenangan sempurna. Negara akhirnya kalah dalam segala hal. Freeport tetap bebas ekspor mineral mentah, Kontrak Karya (KK) tetap berlaku untuk kepastian investasi, namun Izin Usaha Penambangan Khusus (IUPK) diterbitkan untuk mengakali dan mensiasati UU MINERBA No 4 Tahun 2009 agar Freeport bisa bebas ekspor mineral.

Inikah bangsa yang dipuja-puji oleh sebagian orang yang buta mata dan buta hati, bahwa katanya dipimpin orang hebat, sederhana dengan nasionalisme yang tinggi?

Beberapa waktu lalu kami Energy Watch Indonesia, sudah mengingatkan agar mewaspadai siapapun yang pura-pura nasionalis, saya sebut nasionalis abal-abal, yang seolah berpihak dan membela negara atas Freeport. Fakta sekarang kemudian terjawab, Freeport memenangkan pertarungan dan kita tetap menjadi bangsa yang bodoh, dimana aturan dan perundangan yang ada, disiasati dan diakali oleh pemerintahnya sendiri.


Padahal Sumpah Presiden ketika dilantik, menyatakan akan “... memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya ....” Kenyataannya, apa yang terjadi yang diberikan kepada Freeport adalah bukan melaksanakan undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya, tapi telah mengakali, mensiasati dan bahkan melanggar undang-undang.

Jelas bahwa ketidakadilan telah ditunjukkan pemerintah dalam mengurus negara. Disamping ketidakadilan, pemerintah juga terlihat nyata hanya ber-retorika dengan kata-kata terkait dengan masalah Freeport. Pemerintah telah gagal fokus mengurus masalah Freeport.

Kami tidak mengerti maunya pemerintah ini apa, tidak jelas arahnya mau bagaimana terkait dengan masa depan Freeport. Padahal jelas terlihat adanya agenda kepentingan luar biasa besar dalam kepastian masa depan Freeport ini. Berulang kali pemerintah bicara tentang divestasi saham hingga 51%, yang terdengar heroik dan nasionalis.


Padahal masalah ini sungguh luar biasa besar. Kita tidak punya kemampuan financial untuk membeli divestasi saham 51%, lantas dari mana sumber dana penerintah untuk membelinya? Masalah divestasi ini sungguh tidak jelas. Mungkinkah pemerintah sudah mengantongi para calon pembeli? Bila ya, di sini letak masalahnya. Para broker, pialang dan mafia niscaya akan gentayangan. (Ingat kasus “Papa minta saham!”)

Mengandalkan BUMN kita untuk divestasi? Sepertinya tidak ada BUMN kita yang mampu. Divestasi 51% setelah sekarang baru hampir 10% yang kita kuasai, artinya masih ada 41% yang harus dibayar dengan perkiraan nilai yang akan ditawarkan Freeport setidaknya sebesar 7 hingga 8 milyar dollar.

Divestasi tahap kedua yang ditawarkan Freeport tahun lalu yang sebesar 10% saja hingga kini tidak jelas, apakah bangsa ini akan membeli divestai tersebut atau tidak. Negara yang aneh.


Entah untuk apa pemerintah selalu mengampanyekan divestasi 51%, padahal bukan itu fokus masalah yang harus diurus berkaitan dengan Freeport. Karena jika Freeport tidak kita perpanjang pasca habisnya masa Kontrak Karya (KK) tahun 2021, bukankah Freeport itu otomatis kembali kepada kita dan kita dapat 100% tanpa perlu divestasi? Lantas mengapa harus mengeluarkan uang besar untuk membeli saham 51% jika kita bisa dapat 100% dengan gratis? Dan kita, tinggal mengelola secara utuh, penuh dan mandiri.

Pemerintah telah salah dan berpura-pura nasionalis. Pemberian Izin Usaha Penambangan Khusus (IUPK) dan sekaligus Kontrak Karya (KK) yang masih berjalan (akan habis 2021) adalah bentuk pelanggaran serius. Maksud IUPK diberikan pemerintah adalah agar ekspor mineral bisa bebas dilakukan Freeport, sementara itu Kontrak Karya (KK) masih berlaku maksudnya demi kepastian investasi. Masalahnya, aturan mana yang membenarkan berlakunya dua aturan tersebut (KK dan IUPK) secara sekaligus dan bersama-sama? Padahal PP No. 1 tahun 2017 itu adalah produk pemerintah, UU No. 4 tahun 2009 adalah produk negara, tapi semua itu dilecehkan oleh pemerintah tanpa merasa bersalah.


Oleh karena itu, pemerintah kami minta untuk kembali kepada aturan yang ada. Kembalikan Freeport kepada rejim Kontrak Karya (KK) hingga tahun 2021, lakukan negosiasi tentang peningkatan royalti dan pajak-pajak serta penerimaan negara lainnya, negosiasi pembangunan smelter harus selesai dalam tempo 3 tahun, baru kemudian kita bicara divestasi saham.

Skala prioritas harus jelas, jangan serampangan mengurus isu-isu Freeport. Jika Freeport tidak bersedia meningkatkan royalti dan pemasukan lainnya bagi negara, maka sebaiknya segera diputuskan bahwa pada tahun 2021, Kontrak Karya (KK) Freeport berakhir. Kita kelola tambang Grasberg itu secara mandiri demi kemakmuran bangsa.

Sekali lagi kita minta agar pemerintah jangan menjadi pecundang terhadap Freeport. Tegakkan harga diri dan martabat bangsa yang tidak tunduk dan tidak menjadi budak pelayan bagi asing. Kembalikan Freeport ke Kontrak Karya dan cabut IUPK segera. Negosiasikan secara baik dan tepat terkait isu pasca tahun 2021. Berhentilah berpura-pura nasionalis padahal sesungguhnya adalah budak asing.

Ferdinand Hutahaean
Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia
RMOL (Rakyat Merdeka Online), 5 APRIL 2017
http://ekbis.rmol.co/read/2017/04/05/286528/Akhirnya-Freeport-Pecundangi-Indonesia-

No comments: