Pemerintah Daerah Provinsi Papua dan Pemerintah Daerah Kabupaten Mimika akan mendapatkan 10% dari 51% divestasi pengalihan saham PT Freeport Indonesia ke pemerintah Indonesia. Hal itu ditandai dengan penandatanganan perjanjian oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan, Gubernur Papua Lukas Enembe, Bupati Mimika Eltinus Omaleng, dan Direktur Utama PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) Budi Gunadi Sadikin di Kantor Kementerian Keuangan di Jakarta, Jumat (12/1/2017).
Sri Mulyani mengatakan, pemerintah pusat memastikan Pemprov Papua dan Pemkab Mimika akan memperoleh hak atas saham PT Freeport Indonesia sebesar 10% itu setelah divestasi.
“Berdasarkan perjanjian ini, pemerintah provinsi Papua dan kabupaten Mimika secara bersama-sama akan memiliki hak atas saham PT Freeport Indonesia sebesar 10% sesudah divestasi,” kata Sri Mulyani.
“Porsi hak atas kepemilikan saham tersebut termasuk untuk mengakomodir hak-hak dari masyarakat pemilik hak ulayat dan masyarakat yang terkena dampak permanen dari usaha PT Freeport Indonesia,” ujarnya.
Pengambilan divestasi sebesar 51% itu lanjut Sri Mulyani, akan dilakukan melalui mekanisme korporasi sehingga tidak membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), di mana, PT Inalum akan menjadi perusahaan yang akan mengambil alih 51 persen saham kemudian 10 persen diberikan kepada pemerintah daerah.
“Pengambilalihan ini tidak akan membebani APBN dan APBD. Jadi dalam hal ini untuk pemerintah daerah Papua dan kabupaten Mimika serta APBN tidak akan mengeluarkan uang. Prosesnya melalui korporasi yang akan dilakukan melalui PT Persero Inalum,” imbuh Sri.
“Kepada PT Inalum saya minta agar terus bekerja melaksanakan proses divestasi ini hingga dapat diselesaikannya keseluruhan paket perjanjian ini dengan cara profesional, penuh integritas dan menjaga prinsip-prinsip good corporate governance,” lanjutnya.
Sri Mulyani menyebut, proses penandatanganan perjanjian antara Pemerintah pusat dengan Pemerintah Provinsi Papua dan Kabupaten Mimika untuk kepemilikan 10% divestasi saham PT Freeport Indonesia ini adalah sejarah penting bangsa Indonesia.
“Momentum penandatanganan perjanjian ini merupakan suatu sejarah penting bagi bangsa Indonesia. Dan keseluruhan proses pengambilalihan saham divestasi PT Freeport Indonesia harus terus dikawal dengan mengedepankan kepentingan nasional, kepentingan rakyat Papua, dan kedaulatan Negara Republik Indonesia di dalam melaksanakan pengelolaan sumber daya alam secara transparan,” tambahnya.
Sri Mulyani memastikan, kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dengan PT Freeport terkait perolehan divestasi saham 51% untuk Indonesia bersifat mutlak.
“Yang kami bisa yakinkan ke Anda semua bahwa komitmen 51% sesuai dengan instruksi bapak Presiden adalah non-negotiable (tidak ada negosiasi lagi),” tandasnya.
PT Inalum Siap Jalin Kerjasama dengan Pemda Papua
Direktur Utama PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) Budi Gunadi Sadikin mengatakan pihaknya siap bekerja sama dengan pemerintah daerah Papua untuk memastikan Indonesia menjadi pemilik mayoritas di Freeport. Di samping untuk memberikan hak kepada pemerintah daerah tempat perusahaan tersebut berdiri.
“Inalum nanti akan bekerjasama dengan BUMD dari Pemerintah Provinsi dan Kabupaten, untuk masuk menjadi pemilik 51% saham PT Freeport Indonesia, dimana konsorsium PT Inalum memegang saham 41%, dan teman-teman dari Papua akan pegang 10%. Mengenai detail transaksinya seperti apa saya belum bisa sampaikan sekarang,” ujar Budi.
Budi Gunadi menambahkan, PT Inalum bersama dengan Pemerintah Papua tengah membahas skema pendanaan divestasi saham 51% PT Freeport Indonesia.
“Mengenai skema pendanaan dan lain-lain tadi arahan ibu menteri adalah tidak ada dari APBN dan APBD. Jadi itu tugasnya kami dari Inalum untuk bekerjasama dengan teman-teman dari Pemerintah Provinsi dan Kabupaten di Papua (Mimika), untuk memastikan mencari cara bagaimana pendanaan itu bisa kita lakukan,” imbuhnya.
“Sejak Freeport ada di Papua, baru Pemerintahan Jokowi saat ini yang memberikan kepercayaan kepada rakyat di Papua. Itu yang utama. Kau catat itu,” kata Lukas.
Tahapan divestasi saham PT Freeport Indonesia tetap berlangsung sesuai rencana. Prosesnya juga masih berlangsung sampai saat ini, dan masih didasarkan dari perjanjian awal yang dilaksanakan pada 27 Agustus 2017 silam. Dalam perjanjian itu, PT Freeport Indonesia bersama pemerintah menyepakati sejumlah poin. Pertama, PT Freeport Indonesia sepakat divestasi sahamnya sebesar 51 persen untuk kepemilikan nasional Indonesia.
PT Freeport Indonesia sepakat membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian atau smelter selama lima tahun hingga Oktober 2022, lalu landasan hukum PT Freeport Indonesia akan menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), bukan lagi berstatus Kontrak Karya (KK).
Disepakati juga penerimaan negara nanti akan lebih besar dibanding penerimaan melalui Kontrak Karya selama ini. Jika PT Freeport Indonesia menjalankan perjanjian tersebut, maka mereka akan menerima perpanjangan izin operasional hingga tahun 2041 mendatang.
VOA-Indonesia
https://www.voaindonesia.com/a/rakyat-papua-dapat-10persen-saham-freeport-/4206128.html
Berapa Harga 51% Saham Freeport? Ini Hitung-hitungannya
Kemarin pemerintah mengumumkan, PT Freeport Indonesia akan melakukan divestasi 51% sahamnya kepada pihak nasional Indonesia.
Divestasi saham ini menjadi salah satu dari tiga kesepakatan yang dicapai, dalam perundingan antara pemerintah dan Freeport sejak Februari 2017 lalu.
Namun, kesepakatan divestasi 51% saham Freeport ini masih perlu pembahasan lebih lanjut. Pemerintah belum memutuskan siapa yang akan mengeksekusi saham Freeport tersebut.
Menteri ESDM, Jonan, hanya menjelaskan, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 (PP 1/2017), penawaran saham diprioritaskan pada pemerintah pusat, lalu ke pemerintah daerah bila pusat tidak berminat, kemudian prioritas berikutnya ke BUMN, BUMD, dan terakhir baru swasta nasional. Jadi ada penawaran berjenjang dari pemerintah pusat hingga swasta.
Menteri BUMN, Rini Soemarno, telah menyatakan holding BUMN pertambangan berminat mengakuisisi 51% saham PT Freeport Indonesia. Berapa uang yang harus disiapkan jika BUMN ingin mencaplok saham Freeport?
Executive Director Center fot Indonesia Taxation Analysis, Yustinus Prastowo, mengungkapkan holding BUMN pertambangan yang merupakan gabungan dari PT Aneka Tambang Tbk (Antam), PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Timah Tbk, dan PT Inalum tak akan bisa membeli 51% saham Freeport yang senilai Rp 107 triliun itu. Sebab, total nilai aset BUMN-BUMN pertambangan itu jika digabung semua baru Rp 58 triliun. Kalau pun seluruh aset mereka dijaminkan, tidak akan bisa memperoleh utang sampai Rp 107 triliun. Sebabnya, utang tak boleh melebihi nilai seluruh aset yang dimiliki.
“Aset Antam, Bukit Asam, dan Timah tidak mencukupi untuk membeli. Kalau pinjam, leverage-nya berapa? Apakah feasible? Tidak feasible karena akan melanggar aturan debt to equity ratio,” kata Yustinus kepada detikFinance, Rabu (31/8/2017).
BUMN yang punya uang cukup untuk mengakuisisi 51% saham Freeport adalah BUMN-BUMN perbankan. Tapi BUMN perbankan dilarang membeli saham perusahaan di luar bisnis intinya.
“Bank BUMN enggak bisa karena akan melanggar aturan Bank Indonesia (BI), mereka tidak boleh investasi ke sektor lain, termasuk pertambangan,” paparnya.
Kalau memakai metode ini, nilai 100% saham Freeport adalah US$ 5,9 miliar atau sekitar Rp 78 triliun. Maka 51% saham, nilainya sekitar Rp 40 triliun. Maka holding BUMN pertambangan sanggup mengumpulkan uang sebanyak itu. “Kalau pakai replacement, pemerintah akan sanggup. Kan sekitar Rp 40-50 triliun,” ucapnya.
Lebih lanjut, Yustinus mengingatkan pemerintah agar divestasi 51% saham ini tak jadi pintu masuk permainan. Pemerintah jangan jadi makelar saham untuk pihak-pihak yang ingin mencaplok saham Freeport.
“Jangan sampai nanti jadi makelar saham saja. Tuduhan seperti itu masuk akal. Saya kira ada indikasi, karena pernah ada kasus ‘Papa Minta Saham’,” tutupnya.
Michael Agustinus
detikFinance
https://finance.detik.com/energi/3620963/berapa-harga-51-saham-freeport-ini-hitung-hitungannya
Harapan Tokoh Adat: Kasih Kesempatan Orang Papua Jadi Dirut Freeport!
Alotnya perundingan negosiasi antara PT Freeport dengan Pemerintah Indonesia menuai dampak yang kurang menguntungkan bagi tenaga kerja Freeport di Papua. Sedikitnya, 1.500-an orang sudah terkena PHK akibat semakin menumpuknya konsentrat yang tidak bisa diekspor. Hal ini berawal dari penolakan pihak Freeport karena disodorkan Surat Izin Usaha Penambangan Khusus (IUPK) dengan segala aturannya.
Sama-sama ngototnya. Pemerintah bersikukuh supaya Freeport mengikuti aturan main yang telah ditetapkan di dalam PP No. 1 Tahun 2017 yang dikuatkan pada Pasal 170 UU Minerba No. 4 Tahun 2009, yang mengharuskan Freeport mengganti statusnya dari KK (Kontrak Karya) menjadi IUPK (Izin Usaha Penambangan Khusus). Sedangkan Freeport dengan segudang alasannya tetap ngotot minta difasilitasi lagi oleh pemerintah Indonesia sebagaimana waktu berlakunya sistem Kontrak Karya (KK).
Belakangan, saling ancam dan menantang pun digelar. Freeport mengancam membawa persoalan ini ke arbitrase internasional, bahkan ancaman PHK karyawannya pun sudah dibuktikan walaupun belum seluruhnya. Sebaliknya, pemerintah Indonesia pun menantang, siap melayani Freeport di badan arbitrase internasional tersebut.
Pemerintah Indonesia memang menantang Freeport ke arbitrase internasional. Tetapi, harapan penyelesaian ke meja perundingan masih tetap menjadi tumpuan jalan terbaik yang diinginkan pemerintah Indonesia. Sepertinya, memang ada upaya dari Pemerintah untuk mengendurkan ketegangan yang semakin memuncak. Padahal, sebelumnya, Pemerintah Indonesia sudah memberikan isyarat untuk ‘perang tanding’ di arbitrase internasional. Jumat yang lalu (1/3/2017), Menteri ESDM, Ignasius Jonan, seakan memberi sinyal siap berunding. Dia menegaskan, pemerintah akan mengedepankan perundingan menghadapi keberatan PT Freeport Indonesia terhadap regulasi baru. Kata Jonan, ini arahan dari Presiden Jokowi.
Beberapa hari yang lalu, ramai media memberitakan sikap ‘heroisme’ Presiden Joko Widodo dan Menteri ESDM, Jonan, karena dianggap berani menantang Freeport atas dasar alasan kepatuhan pemerintah menjalankan UU Minerba No 4 Tahun 2009 dan PP No. 1 Tahun 2014. Banyak dukungan diberikan kepada Presiden Jokowi dan Menteri Jonan, termasuk dari kalangan DPR.
Pernyataan Pemerintah yang lebih mengedepankan perundingan kepada Freeport memang bukanlah suatu tanda menyerah. Karena, Pemerintah tetap mengacu kepada regulasi yang sudah ada, di mana setiap perusahaan tambang yang mau ekspor harus mengubah perizinan menjadi IUPK, di samping harus melakukan divestasi sebesar 51% dan mengikuti metode baru pembayaran pajak dan royalti. PTFI (PT Freeport Indonesia) mau saja mengikuti metode baru itu, tetapi anehnya, mau mengubah status perizinan namun menolak ketentuan lainnya yang diatur dalam PP tersebut. Alasan penolakan PTFI terhadap IUPK antara lain karena khawatir nantinya tidak bisa mengajukan perpanjangan kontraknya. Padahal, dengan IUPK, Jonan menegaskan tidak ada masalah bila Freeport ingin mengajukan permohonan perpanjangan lagi.
Ketua Lembaga Musyarawah Adat Suku Amungme, Odizeus Beanal, dalam diskusi di Jakarta, beberapa hari lalu mengatakan, bagi masyarakat Papua, perseteruan Freeport dengan pemerintah Indonesia hanyalah warming up belaka. Karena kekisruhan di Freeport tidak lebih hanya sebagai pemanasan untuk renegosiasi kontrak pada 2019. Bukan untuk kepentingan kedaulatan energi.
Warga Papua merasa hanya menjadi korban pencaplokan lahan dan perjanjian investasi tanpa mendapat kompensasi yang setimpal. Lahannya dicaplok dan dipagari berpuluh-puluh tahun sebagai areal tambang kontrak karya, tapi orang Papua hanya menjadi penonton di tanah adatnya sendiri sebagai akibat dari kesepakatan kontrak karya pemerintah dengan PTFI. Perselisihan kepentingan Freeport dengan pemerintah sangat tak menguntungkan bagi masyarakat Papua. Dampaknya bagi masyarakat Papua sudah sangat luas. Sudah banyak sekali yang dirumahkan, Cuma tinggal 40% yang masih bertahan.
Negara kita memang tidak pernah berdaulat atas sumber daya alamnya sendiri. Bagi tokoh masyarakat Papua Thaha Alhamid, pemerintah tidak pernah serius menyelesaikan kasus Freeport. Ini bukan barang baru yang melibatkan banyak kepentingan di Indonesia. Thaha juga meyakini perselisihan ini cuma sebagai pemanasan (warming up) saja menjelang renegosiasi pada 2019. “Saya sendiri termasuk orang yang nggak percaya pemerintah akan mau begitu saja memutuskan kontrak karya Freeport,” ujar Thaha Alhamid.
Entah apa yang menjadi pertimbangan pemerintah waktu itu sehingga Freeport diberikan area yang berlipat-lipat kali lebih luas bagi pemegang konsesi tambang yang sama. Ketika Freeport meminta 2,5 juta hektar, pemerintah Indonesia malah memberikan 2,6 juta ha. Artikel Tempo edisi 17 September 1991 dengan judul “Tak Cukup Lagi 100.000 Hektar” mengulas perpanjangan kontrak Freeport selama 30 tahun itu.
Adalah Ketua Kaukus Parlemen Papua-Papua Barat, Robert Joppy Kardinal yang kali ini juga menyuarakan ketidakpuasannya terhadap Freeport. Robert yang belakangan ini semakin lantang membeberkan kebobrokan operasional PT Freeport Indonesia mengatakan, selama setengah abad PTFI beroperasi di Papua, PTFI tidak mampu mengangkat sumber daya manusia Papua.
Robert Joppy Kardinal berharap, pengganti Dirut PTFI Chappy Hakim, orang asli Papua. Sudah waktunya orang Papua diberi kepercayaan menjadi orang nomor satu di Freeport Indonesia. Kan pantas, setelah 50 tahun PTFI beroperasi di Papua, orang Papua jadi pimpinannya. Lebih jauh harapan Robert, jika orang-orang Papua dijadikan Dirut PTFI supaya dia bisa tahu rakyatnya mau apa.
Yang jelas, kata Kardinal, jika orang Papua yang jadi pimpinan Freeport, konflik bisa diselesaikan secara mandiri, bisa duduk secara adat menyelesaikan persoalan dengan baik. Sekarang ini, anak-anak Papua disekolahkan, tetapi setelah 50 tahun PTFI di Papua, anak-anak Papua tidak diberikan jabatan apa-apa.
Iskandar Bakrie
Nusantara News
https://nusantara.news/harapan-tokoh-adat-kasih-kesempatan-orang-papua-jadi-dirut-freeport/
No comments:
Post a Comment