Bagaimana kalau seseorang yang berpotensi mencalonkan diri dalam bursa pemilihan presiden “membeli” skenario negatif yang meramalkan bahwa Indonesia akan bubar pada tahun 2030? Ya, tentu sah-sah saja. Namun, pernyataan seorang pemimpin untuk hal-hal seserius masa depan negaranya tentu harus diperhitungkan masak-masak.
Pertama, apakah prakiraan itu berlandaskan basis data dan argumen memadai. Kedua, seburuk apa pun skenario masa depan yang mungkin terjadi, tugas pemimpin menumbuhkan optimisme. Mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew berkata, “Tugasku adalah untuk memberikan harapan kepada rakyat, bukan untuk membuatnya mengalami demoralisasi.”
Namun, optimisme harus berjejak pada visi dan komitmen. Optimisme tanpa visi dan komitmen hanyalah lamunan kosong. Upaya menyemai optimisme harus memperkuat kembali visi yang mempertimbangkan warisan baik masa lalu, peluang masa kini, dan keampuhannya mengantisipasi masa depan. Visi ini harus menjadi kenyataan dengan memperkuat kapasitas transformatif kekuasaan.
Pertama-tama, hendaklah disadari bahwa, Indonesia adalah negeri para pejuang, bukan negeri para begundal. Dalam ungkapan Bung Hatta, “Bagi kami, Indonesia menyatakan suatu tujuan politik karena dia melambangkan dan mencita-citakan suatu Tanah Air pada masa depan dan untuk mewujudkannya, setiap orang Indonesia akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.”
Jika eksistensi Indonesia adalah karena etos kejuangan menegakkan cita-cita kemanusiaan, persatuan, dan keadilan, maka dengan sendirinya Indonesia terancam akan karam seiring dengan pemudaran nilai-nilai dasar tersebut. Dan Indonesia telah dan akan lolos dari berbagai macam ujian kemelaratan dan penderitaan, sejauh masih ada semangat perjuangan dan solidaritas kemanusiaan dari segenap warganya. Namun, daya hidup dan karakter keindonesiaan justru terancam dan goyah saat ketamakan dan pertikaian para elitenya menari dan berpesta di atas penderitaan rakyatnya.
Dengan keserakahan dan pertikaian para elite, kita terancam “kehilangan Indonesia”. Hal ini mengingatkan pada pernyataan PM Belanda Hendrik Colijn pada 1938. Ketika menanggapi Petisi Soetardjo, anggota Parlemen Hindia Belanda yang menuntut kemerdekaan Indonesia, Colijn mengatakan, “Indie verloren, rampspoed geboren” (Kehilangan Indonesia, timbul bencana). Kehilangan Indonesia merupakan bencana besar atas rontoknya cita-cita besar mewujudkan bangsa merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Melihat Indonesia dari pinggir seperti melihat pendaran cahaya yang lebih terlihat indah dari lingkar terluar. Apa yang terlihat muram di Ibu Kota tampak lebih cerah di tepian. Bukan karena kehidupan di tepian lebih makmur, melainkan karena kesederhanaan mereka yang membuat harapan hidup menjadi lebih mudah didekati dengan kebersahajaan. Di kesuburan tanah di pinggiran Indonesia masih tertanam kesuburan jiwa. Kepolosan wajah perdesaan bak cermin bening yang bisa memantulkan ketulusan pengabdian secara setimpal.
Ada dua sisi waktu yang tak bisa kita perbuat: masa lalu dan masa depan. Satu-satunya yang bisa kita lakukan hanyalah berbuat di masa kini. Kita mesti merebut hari ini dengan menanam benih kebaikan meski tampak sebagai misi ketidakmungkinan. Tidak perlu putus asa sebab tugas hidup bukanlah meraih keberhasilan, melainkan memperjuangkan keberhasilan. Dengan ketulusan pengabdian, setiap amal tidaklah sia-sia.
Di sinilah Tanah Air pengabdian kita. Di sepanjang untaian zamrud khatulistiwa, anak-anak negeri hidup damai saling mengasihi, tiada kebinatangan saling menginjak dan mengusir sesama. Syukur pada Ilahi dengan turut merawat dan memakmurkan ibu pertiwi. Di mana bumi dipijak di sana langit dijunjung
Yudi Latif
Kepala Unit Kerja Presiden Pemantapan Ideologi Pancasila (UKP-PIP),
Ketua Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Indonesia,
dan Direktur Eksekutif Reform Institute
KOMPAS, 29 Kompas 2018
No comments:
Post a Comment