Jawabannya ada di buku Kepemimpinan Pro Rakyat yang diterbitkan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) persis menjelang Jokowi dilantik menjadi Presiden. Buku itu memuat tulisan 39 tokoh pers berisi masukan dan harapan masyarakat media terhadap Jokowi. Salah satunya adalah “Berantas Budaya Amplop” karya Pemimpin Redaksi Merdeka.com, Didik Supriyanto. Jika harapan pada tulisan itu dipenuhi oleh Presiden, hal itu akan berdampak positif bagi upaya menyehatkan pers.
Mengapa Presiden harus turun tangan memberantas budaya amplop dengan, misalnya, menerbitkan kebijakan melarang kementerian, kepala daerah, dan unit kerja di bawah pemerintahannya mengalokasikan dana untuk “mengamplopi” pers.
Budaya amplop jelas merugikan negara dan pers paling tidak dalam empat hal. Pertama, mengamplopi wartawan berarti menyia-nyiakan anggaran negara. Pada pertengahan tahun lalu, beberapa media online Jakarta terlibat sengketa pers dengan 37 media lokal di Blitar, Jawa Timur. Tempo.co, misalnya, meminta pembatalan rencana Pemerintah Kabupaten Blitar agar 220 kepala desa mengalokasikan sekitar 5 persen, yakni Rp 3,5 miliar, dana desa untuk pers lokal. Dalam upaya menyelesaikan perkara itu di Surabaya, Agustus tahun lalu, Dewan Pers menegaskan bahwa pengalokasian dana desa untuk pers adalah tindakan mubazir. Membiarkan program seperti itu berarti berpotensi menyia-nyiakan anggaran negara sekitar Rp 1,2 triliun per tahun, yakni 5 persen dari Rp 350 juta kali 74.053 desa.
Apa sikap Dewan Pers atas kenyataan banyak media bergantung pada “belas kasihan” pemerintah? Pertama, hanya instansi yang bersih yang berani meniadakan amplop untuk pers. Kedua, pengadaan dana publikasi itu bertujuan sekadar untuk mendukung perselingkuhan pemerintah dan pers. Ketiga, penggunaan dana itu tidak terbukti telah mendorong penyehatan pers secara kualitas dan kuantitas.
Dana publikasi triliunan rupiah tersebut semestinya segera dihentikan dan dialihkan ke program pemberdayaan pers sehat. Selama 70 tahun ini, untuk menghasilkan hakim, jaksa, camat, intel, perwira militer, dan polisi yang profesional, negara mendirikan sekolah tinggi untuk mereka. Mereka pada gilirannya dilatih di Sekolah Staf dan Pimpinan Administrasi (Sespa), Sekolah Staf dan Komandan (Sesko), serta Lembaga Ketahanan Nasional, yang semuanya dibiayai negara.
Kedua, mengamplopi wartawan berarti melemahkan fungsi kontrol sosialnya. Ketiga, wartawan amplop mencederai kemerdekaan pers. Dewan Pers berpendapat wartawan amplop adalah penumpang gelap kemerdekaan pers dan mencederai profesi wartawan profesional.
Keempat, membunuh entrepreneurship pers. Pasal 3 Undang-Undang Pers menyebutkan pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Pasal ini bermakna media profesional hanya bisa sehat bisnis jika prinsip-prinsip keekonomian pers dijalankan.
Membiarkan wartawan berkarya dengan menguber amplop, bukan hanya mematikan semangat menumbuhkembangkan pers sesuai dengan prinsip-prinsip keekonomian pers, tapi justru mengundang lebih banyak preman dan pengangguran untuk meramaikan pers abal-abal.
Sabam Leo Batubara,
Mantan Wakil Ketua Dewan Pers
KORAN TEMPO, 9 Februari 2016
No comments:
Post a Comment