Kita pun menyimak ada anak yang membunuh orangtuanya sendiri, atau sebaliknya orangtua yang tega membunuh anaknya sendiri. Hanya gara-gara uang seharga satu bungkus rokok, orang bisa berbunuh-bunuhan.
Sementara di pihak lain para koruptor yang tertangkap basah tanpa rasa malu bahkan dengan bangga unjuk ketawa di depan kamera. Para anggota DPR minta jatah Rp 20 miliar per orang setiap tahun, sementara pensiunan para guru besar hanya digaji Rp 4 juta setiap bulan, hampir setara dengan UMR yang dituntut oleh para buruh.
Tidak ada lagi kebenaran rasa. Tenggang rasa sudah lenyap. Orang hanya mau mengenali perasaannya sendiri, dan tidak peduli perasaan orang lain. Orang yang tidak peduli pada perasaan orang lain itulah yang disebut tidak punya perasaan lagi.
Yang berkembang sekarang ini adalah kebenaran dalih pikiran, bukan kebenaran pikiran yang sesungguhnya. Dalih pikiran itu senantiasa bersandar pada bunyi UU dan peraturan yang dibuat manusia sendiri, yang mungkin dibikin tanpa perasaan juga.
Bagaimana kita dapat menghukum sekian tahun kepada seorang nenek renta yang dituduh mencuri sekian batang kayu di hutan pemerintah? Putusan pengadilan ini menunjukkan tidak adanya perasaan dan pikiran sekaligus, bila dibandingkan dengan putusan pengadilan koruptor kelas teri yang dijatuhi hukuman yang hampir mirip.
Benar atau tidak benar itu sama sekali bergantung pada penjelasan pikiran. “Manusia intelektual itu adalah makhluk yang suka penjelasan,” begitu tulis novelis Saul Bellow dalam bukunya, Mr Sammler's Planet (1969). Meskipun novel atau karya sastra dan karya seni pada umumnya merupakan penjelasan dari perasaan (pengalaman), tetapi baru diakui kebenarannya kalau ada kritikus yang mampu menjelaskannya secara pikiran.
Apa yang dimaksud dengan “perasaan” itu agak berbeda dengan yang kita maksud sekarang, yang hanya meliputi perasaan indrawi, perasaan interaktif sesama manusia atau dengan alam, dan perasaan terdalam di hati nurani. Rasa, dalam tradisi tua di Indonesia, adalah kategori religius, perasaan yang amat mendalam akibat pengalaman “kemenyatuan” dengan Yang Maha Esa. Laku atau rasa ini tidak dapat dijelaskan dengan pikiran manusia yang terbatas.
Kandidat doktor Susilo Kusdiwanggo dalam risetnya di masyarakat adat Ciptagelar, Sukabumi, Jawa Barat, mendapat penjelasan dari salah seorang ketua adat setempat. Bahwa, untuk mengetahui Tuhan (makrifat), orang harus menggarap tanah dengan benar, menanam padi dengan benar, hingga menuai padi, menyimpan dan menumbuknya dengan benar (sesuai adat). Selama itu Anda lakukan, Anda akan mengenal Tuhan. Ilmu itu terjadinya lewat laku. Lewat penghayatan, lewat pengalaman, dan juga lewat perasaan.
Tradisi budaya religius Indonesia menyadari bahwa setiap perubahan di dunia dan dalam hidup mereka, Tuhan senantiasa hadir dan merawat prosesnya. Perubahan dari biji, lalu tumbuh menjadi benih hingga mengeluarkan padi yang bernas adalah atas kehendak dan kerja-Nya. Demikian pun perubahan dari padi menjadi beras, tiada lain juga atas izin-Nya.
Bahkan perubahan beras menjadi nasi atau tumpeng juga atas sepengetahuan-Nya. Karena kesadaran yang demikian itulah, nenek moyang kita merasakan ketakjuban akan mukjizat kuasa Tuhan setiap hari. Mereka bukan hanya peka rasa, tetapi juga tinggi rasa dan memiliki perasaan yang mendalam. Bahwa kerja Tuhan Yang Maha Esa itu sungguh mengagumkan luar biasa dalam mengawal setiap perubahan sekecil dan sebesar apa pun di alam semesta ini. Alhasil “Gusti Allah mboten nate sare” ––Tuhan memang tidak pernah tidur.
Kebenaran itu adanya di tindakan, di penghayatan atas tindakan itu. Bukan sekedar dalam kata-kata, juga bukan pula hanya dalam pikiran. Karena pikiran tidak pernah mengubah apa pun, baik dirinya maupun dunia, kecuali bila telah diwujudkan dalam laku tindakan. Dalam hal ini, mistisisme tidak harus merupakan penjelasan filosofis dari hasil pikiran belaka, tetapi berlaku pula dalam praksis kenyataan hidup sehari-hari.
Itulah makna perasaan yang gejalanya mulai ditinggalkan dan dilupakan bangsa ini. Memang perasaan masih punya, hanya saja, perasaan yang berhubungan dengan kepentingan dirinya sendiri, sembari menolak perasaan orang lain. Kearifan lama di berbagai budaya daerah di Indonesia menyatakan bahwa; “aku tiada lain dari kamu, aku adalah kamu sebagai aku, keadaanku adalah keadaanmu dan keadaanmu adalah keadaanku.” Hal ini sudah lama hilang dari ingatan rasa dan perasaan bangsa ini.
Pernyataan-pernyataan serupa itu juga terdapat dalam banyak kitab suci umat manusia, yang menunjukkan bahwa kearifan lokal Indonesia itu sebenarnya juga universal. Jadi, apakah lebih baik tidak punya pikiran daripada tidak punya perasaan? Karena bila tidak punya pikiran kita masih manusia, namun bila tidak punya perasaan, niscaya kita bukan manusia lagi.
Jakob Sumardjo,
Budayawan
KOMPAS, 2 Juli 2015
No comments:
Post a Comment