Sunday, November 9, 2014

Permainan Uang di Media-media Besar


Saya adalah seorang perempuan biasa yang sempat bercita-cita menjadi seorang wartawan. Menjadi wartawan TEMPO tepatnya. Kekaguman saya terhadap sosok Goenawan Mohamad adalah menjadi alasan utamanya. Dimulai dari mengoleksi coretan-coretan beliau yang tertuang dalam ‘Catatan Pinggir’ hingga rutin membaca Majalah TEMPO sejak masih duduk di bangku pelajar, membulatkan tekad saya untuk menjadi bagian dalam grup media TEMPO.

Dengan polos, saya selalu berpikir, salah satu cara memberikan kontribusi yang mulia kepada masyarakat, mungkin juga kepada negara adalah dengan menjadi bagian dalam jejaring wartawan TEMPO. Apalagi, sebagai orang awam, saya selalu melihat TEMPO sebagai media yang bersih dari praktik-praktik kotor permainan uang. Permainan uang ini, dikenal dalam dunia wartawan dengan istilah ‘Jale’ yang merupakan perubahan kata (plesetan) dari kosakata ‘Jelas’.

Jelas nggak nih acaranya?

Ada kejelasan nggak nih?

Gimana nih broh, ada jale-annya nggak?


Kira-kira begitulah pembicaraan yang sering saya dengar di area liputan. Istilah ‘Jelas’ berarti acara liputannya memberikan ongkos transportasi alias gratifikasi kepada wartawan, dengan imbal balik tentunya penulisan berita yang positif. Dari kata ‘Jelas’, kemudian bergeser istilah menjadi ‘Jale’ yang menjadi kosakata slang untuk ‘Uang Transportasi Wartawan’.

Perilaku menerima uang sudah menjadi sangat umum dalam dunia wartawan. Saya pribadi, jujur saja, sangat jijik dengan perilaku tersebut.

Ketika (akhirnya) saya bergabung dengan grup TEMPO di tahun 2006, sebagaimana cita-cita saya sejak dulu, saya merasa lega.

Setidaknya, saya tidak menjadi bagian dari media ecek-ecek yang kotor dan sarat permainan uang,” pikir saya.

Dulu, saya berpikir, media besar seperti TEMPO, KOMPAS, Bisnis Indonesia, Jawa Pos dan sebagainya, tidak mungkin bermain uang dalam peliputannya. Dulu, saya pikir, hanya media-media tidak jelas saja yang bermain uang seperti itu.

Namun fakta berkata lain. Saya sempat tidak percaya karena begitu dibutakan oleh kekaguman saya pada kewartawanan Goenawan Mohamad, TEMPO dan lainnya. Saya sempat menolak percaya bahwa wartawan-wartawan sekelas TEMPO, KOMPAS, Bisnis Indonesia, Jawa Pos, Antara dan lain-lainnya, terlibat dalam jejaring permainan uang. Namun rupanya benar adanya.

Media-media tidak jelas atau yang lebih dikenal dengan media kelas ‘Bodrek’ bermain uang dalam peliputannya, itu sudah biasa. Hanya saja, dari segi uang yang diterima, saya bisa katakan kalau itu hanya uang receh belaka. Bukan the big money, bukan uang segunung.


Dan mafia-nya bukan disitu. Media-media kelas ‘Bodrek’ ini bukan menjadi mafia permainan uang dalam jual beli pencitraan para raksasa politik, korporasi, dan pemerintahan. Adalah media-media besar seperti TEMPO, KOMPAS, Detik, Antara, Bisnis Indonesia, Investor Daily, Jawa Pos dan sebagainya, yang menjadi pelaku jual beli pencitraan alias menjadi mafia permainan uang para wartawan.

Siapa tak kenal Fajar (KOMPAS) yang menjadi kepala mafia uang dari Bank Indonesia dalam mengatur permainan uang di kalangan wartawan perbankan?

Siapa tak kenal Kang Budi (Antara News) yang mengatur seluruh permainan uang di kalangan wartawan Bursa Efek Indonesia?

Siapa tak kenal duet Anto (Investor Daily) dan Yusuf (Bisnis Indonesia) yang kuasa mengatur peredaran uang wartawan di sektor Industri?

Dan banyak lagi yang lainnya, yang tak perlu saya ungkap disini. Tapi beberapa nama berikut ini, sungguh menyakitkan hati dan pikiran saya, sempat menggoyahkan iman saya, lantas betul-betul membuat saya kehilangan iman.

Adalah Bambang Harymurti (eks Pimred TEMPO yang kemudian menjadi pejabat Dewan Pers), juga salah seorang kepercayaan Goenawan Mohamad di grup TEMPO, yang menjadi kepala dari permainan uang di dalam grup TEMPO.


Siapa bilang TEMPO bersih?
Saya melihat sendiri bagaimana para wartawan TEMPO memborong saham-saham grup Bakrie, setelah TEMPO mati-matian menghajar grup Bakrie di tahun 2008, yang membuat saham Bakrie terpuruk jatuh ke titik terendah. Ketika itu, tak sedikit para petinggi TEMPO yang melihat peluang itu, lalu memborong saham Bakrie.

Dan rupanya, perilaku yang sama juga terjadi pada media-media besar lainnya, seperti yang saya sebut di atas.

Memang, secara gaya, permainan uang dalam grup TEMPO berbeda gaya dengan grup Jawapos. Teman saya di Jawapos mengatakan, falsafah dari Dahlan Iskan (pemilik grup Jawapos) adalah, gaji para wartawan Jawapos tidak besar, namun manajemen Jawapos menganjurkan para wartawannya untuk mencari ‘pendapatan sampingan’ di luar. Syukur-syukur bisa mendatangkan iklan bagi perusahaan.

Gaya TEMPO berbeda. Kami, wartawannya, digaji cukup besar. Start awal, di angka 3 jutaan. Terakhir malah mencapai 4 jutaan. Bukan untuk mencegah wartawan TEMPO bermain uang seperti yang dipikir banyak orang. Rupanya, agar para junior berpikir demikian, sementara para senior leluasa bermain proyek pemberitaan.

Media sekelas TEMPO, KOMPAS, Bisnis Indonesia dan sebagainya yang sudah saya sebut tadi, tidak bermain receh. Mereka bermain dalam kelas yang lebih tinggi, yang high-class. Mereka tidak dibayar per-berita-tayang seperti media kelas ecek-ecek. Mereka dibayar untuk suatu jasa pengawalan pencitraan jangka panjang.


Memangnya, ketika TEMPO membela Sri Mulyani begitu rupa, tidak ada kucuran dana dari Arifin Panigoro sebagai pendana Partai SRI?

Memangnya, ketika TEMPO menggembosi Sukanto Tanoto, tidak ada kucuran dana dari Edwin Soerjadjaja, yang merupakan kompetitor bisnis Sukanto Tanoto?

Memangnya, ketika TEMPO usai menghajar Sinar Mas, lalu balik arah kembali membela Sinar Mas, tidak ada kucuran dana dari Sinar Mas? Memang dari mana Goenawan Mohamad mampu membangun Salihara dan Green Gallery?

Memangnya, ketika grup TEMPO membela Menteri BUMN Mustafa Abubakar dalam skandal IPO Krakatau Steel dan Garuda, tidak ada deal khusus antara Bambang Harymurti dengan Mustafa Abubakar? Bahkan saat itu, Bambang Harymurti adalah merupakan freelance staff khusus Menteri Mustafa Abubakar.

Memangnya, ketika TEMPO mengangkat kembali kasus utang grup Bakrie, tidak ada kucuran dana dari Menteri Keuangan Agus Martowardojo, yang saat itu sedang bermusuhan dengan Bakrie? Lin Che Wei, sebagai penyedia data keuangan grup Bakrie yang buruk, semula menawarkan kepada Nirwan Bakrie jasa ‘Tutup Mulut’ senilai Rp 2 miliar. Karena ditolak oleh bos Bakrie, Lin Che Wei kemudian menjual data itu ke Agus Marto, yang sedang berseberangan dengan grup Bakrie terkait sengketa tambang Newmont. Agus Marto sepakat membayar Rp 2 miliar untuk mempublikasi data buruk grup Bakrie tersebut. Grup TEMPO-lah, yang kemudian bertindak sebagai gerbang pembuka data buruk tersebut kepada masyarakat dan kepada media-media lain, dapat berapa ya? Dan Lin Che Wei dapat berapa?

Rudi Rubiandini, Jero Wacik, dan Lin Che Wei.

Fakta-fakta itu, yang semula begitu enggan saya percayai karena fanatisme saya yang begitu buta terhadap TEMPO, sempat membuat saya frustrasi. Kalau boleh saya samakan, mungkin kebimbangan saya seperti seseorang yang hendak berpindah agama. Spiritualitas dan mentalitas saya goncang akibat adanya fakta-fakta tersebut. Bukan hanya fakta soal permainan uang mafia grup TEMPO, tetapi juga fakta bahwa media-media besar bersama para wartawan lainnya, sudah lebih jauh terlibat dalam permainan uang dan jual beli pencitraan, layaknya jasa konsultan.

Mereka, media-media besar ini, tidak sekedar bermain uang receh, mereka bermain dalam cakupan yang lebih luas lagi, baik deal politik tingkat tinggi maupun transaksi korporasi kelas berat.

Namun semua itu sebetulnya tidak terlalu saya masalahkan, hingga suatu hari saya lihat sendiri ketika permainan uang dan jual beli pencitraan itu juga terjadi pada media tempat saya bekerja, yakni TEMPO. Dan dikepalai oleh Bambang Harymurti sebagai salah satu Godfather mafia permainan uang dan transaksi jual beli pencitraan dalam grup.

TEMPO, kini tidak hanya bergerak di dalam internal TEMPO sendiri, tetapi sudah menjadi jejaring antara grup TEMPO dengan para eks-wartawan TEMPO yang membangun kapal-kapal semi-konsultan untuk memperluas jaringan mereka. Dan semuanya masih di bawah kendali Bambang Harymurti.

Saya pribadi, akhirnya memutuskan untuk resign dari TEMPO pada awal tahun 2013. Muak dengan segala kekotoran TEMPO, dan kejorokan media-media di Indonesia, serta jijik melihat jejaring permainan uang dan jual beli pencitraan di kalangan wartawan TEMPO dan media-media besar lainnya.


Praktik mafia TEMPO kini semakin menjadi-jadi
Agustus lalu, masih di tahun 2013, saya sempat mampir ke Bank Mandiri pusat di jalan Gatot Subroto. Saat itu, saya sudah resign dari grup TEMPO. Tak perlu saya sebut, kini saya bekerja sebagai buruh biasa di sebuah perusahaan kecil-kecilan, namun jauh dari permainan kotor ala TEMPO.

Di gedung pusat Bank Mandiri itu, saya memang janjian dengan eks-wartawan TEMPO bernama Eko Nopiansyah, yang kini bekerja sebagai Media Relations Bank Mandiri. Ia keluar dari TEMPO dan pindah ke Bank Mandiri sejak tahun 2009, karena dibajak oleh Humas Bank Mandiri, Iskandar Tumbuan.

Pada pertemuan santai itu, hadir juga Dicky Kristanto, eks-wartawan Antara yang kini juga menjabat sebagai Media Relations Bank Mandiri. Kami bincang bertiga. Pak Iskandar, yang dulu juga saya kenal ketika sempat meliput berita-berita perbankan sempat mampir menemui kami bertiga. Namun karena ada meeting dengan bos-bos Mandiri, Pak Iskandar pun pamit.

Sambil menyeruput kopi pagi, saya berbincang bersama Eko dan Dicky. Mulai dari obrolan ringan seputar kabar masing-masing, hingga bicara konspirasi politik dan berujung pada obrolan soal aksi lanjutan TEMPO dalam ‘memeras’ Bank Mandiri terkait kasus SKK Migas.

Saya lupa siapa yang memulai pembicaraan mengagetkan itu, meski sebetulnya kami sudah tidak kaget lagi karena memang kami, kalangan wartawan (atau eks-wartawan) sudah paham betul bagaimana perilaku wartawan yang sebenarnya.

Sri Mulyani Indrawati.

Siapapun itu, Eko maupun Dicky menuturkan keluhannya terhadap grup TEMPO. Begini ceritanya.

Ketika kasus suap SKK Migas yang melibatkan Kepala SKK Migas, Rudi Rubiandini terkuak, saat itu beliau juga menjabat sebagai Komisaris Bank Mandiri. Dan memang harus diakui bahwa aktivitas transaksi suap, pencairan dana dan sebagainya, menggunakan rekening Bank Mandiri. Tapi ya, itu kami nilai sebagai transaksi individu. Karena berdasarkan UU Kerahasiaan Nasabah, kami Bank Mandiri pun tidak dapat melihat dan memang tidak diizinkan untuk menilai tujuan dari sebuah transaksi pencairan, transfer atau apapun, kecuali ada permintaan dari pihak Bank Indonesia, PPATK, pokoknya yang berwenang. Oleh sebab itu, kami tidak terlalu memusingkan soal apakah Bank Mandiri akan dilibatkan dalam kasus SKK Migas,” tuturnya.

Tiba-tiba, masuklah proposal kepada divisi Corporate Secretary dan Humas Bank Mandiri dari Kata-Data. Itu lho lembaga barunya Metta Dharmasaputra (eks-wartawan TEMPO) yang didanai oleh Lin Che Wei (eks-broker Danareksa). Gua kira Kata-Data murni bergerak di bidang pemberitaan. Eh, nggak taunya Kata-Data juga bergerak sebagai lembaga konsultan. Jadi Kata-Data menawarkan jasa solusi komunikasi kepada Bank Mandiri untuk berjaga-jaga apabila isu SKK Migas meluas dan mengaitkan Bank Mandiri sebagai fasilitator aksi suap,” ungkapnya.

Rekomendasinya sih menarik, Kata-Data menawarkan agar aksi suap SKK Migas dipersonalisasi menjadi hanya kejahatan Individu, bukan kejahatan kelembagaan, baik itu lembaga SKK Migas maupun Bank Mandiri. Apalagi, Metta mengatakan bahwa tim Kata-Data juga sudah bergerak di social media untuk mendiskreditkan Rudi Rubiandini dalam isu perselingkuhan, sehingga akan mempermudah proses mempersonalisasi kasus suap SKK Migas menjadi kejahatan individu semata,” jelasnya.

Data-data yang ditampilkan Kata-Data memang menarik, karena riset data dilakukan oleh IRAI, lembaga riset milik Lin Che Wei yang menjadi penyedia data utama Kata-Data. Kalau tidak salah, waktu itu data utang-utang grup Bakrie yang dibongkar TEMPO juga dari IRAI ya? Itu lho, yang tadinya ditawarin ke pak Nirwan dan karena ditolak kemudian dibayarin Agus Marto Rp 2 miliar untuk menghajar grup Bakrie,” papar dia.


Kita sih waktu itu melaporkan proposal tersebut kepada para direksi Bank Mandiri. Dan selama sekitar 2 pekan, memang belum ada arahan dari direksi mau diapakan proposal tersebut. Penjelasan Pak Iskandar (humas Bank Mandiri) sih, direksi masih melakukan koordinasi dengan Kementerian BUMN dan pemerintahan. Biar bagaimanapun ini isu besar, salah langkah bisa berabe akibatnya. Gua sih yakin, saat itu bos-bos lagi memetakan dulu kemana arah isu ini sebelum memberikan jawaban terhadap proposal yang masuk. Karena selain Kata-Data juga ada dari pihak-pihak konsultan lainnya,” kata dia.

Eeh, tahu-tahu Pak Iskandar bilang, gila, TEMPO makin jadi aja kelakuannya. Masak BHM (Bambang Harymurti) sampai menelepon langsung ke Pak Budi (Direktur Utama Bank Mandiri, Budi Gunadi Sadikin), terkait proposal Kata-Data yang memang belum kita respon karena masih memetakan arah isunya. Secara tersirat kita tahulah telepon itu semacam ancaman halus dari BHM dan Kata-Data bahwa jika tidak segera direspon, maka data-data itu akan dipublikasi, tentunya dengan cara TEMPO mempublikasi data dong, yang selalu penuh asumsi dan bertendensi negatif,” ungkap dia.

Menurut Pak Iskandar, meski sudah diperingatkan soal bahaya menolak tawaran (alias ancaman) grup TEMPO, dengan akan terjadinya serangan isu negatif kepada Bank Mandiri, rupanya Pak Budi (Direktur Utama Bank Mandiri) bersikeras untuk tidak takut terhadap grup TEMPO. Penolakan dengan memberikan respon cepat terhadap proposal Kata-Data pun disampaikan kepada BHM (Bambang Harymurti),” ungkap dia.

Alhasil, terbitlah Majalah TEMPO edisi 18 Agustus 2013, dengan judul: Setelah Rudi, Siapa Terciprat? yang isinya begitu mendiskreditkan Bank Mandiri dalam kasus SKK Migas. TEMPO telah membentuk opini bahwa aksi suap Rudi Rubiandini tidak akan terjadi apabila pihak Bank Mandiri tidak memfasilitasinya,” keluh dia.

Ini kan semacam pemerasan halus atau pemerasan ‘Kerah Putih’ dari jejaring TEMPO (Bambang Harymurti), Kata-Data (Metta Dharmasaputra, Eks-Wartawan TEMPO) dan IRAI (Lin Che Wei, Eks-Broker Danareksa dan pendana utama Kata-Data). Begitu edisi tersebut tayang, kita sih tepuk dada saja menghadapi mafia TEMPO dalam memeras korban-korbannya. Biasanya memang begitu polanya. Begitu ada kasus skala nasional, calon-calon korban seperti kita (Bank Mandiri) akan didekati oleh mereka, ditawari jasa konsultan dengan ancaman kalau tidak deal, ya di blow up. Padahal data yang mereka publish tidak sepenuhnya benar. Tapi semua orang juga tahu kalau TEMPO sangat pintar memainkan asumsi dan tendensi negatif,” keluh dia.


Mendengar cerita tersebut, dalam hati saya bersyukur, bahwa saya sudah tidak lagi menjadi bagian dari TEMPO, yang sudah tidak bersih lagi. Mereka sudah menjadi bagian dari praktik mafia permainan uang wartawan dan transaksi jual beli pencitraan. Sama saja dengan media-media lainnya kayak KOMPAS, Antara, Detik, Bisnis Indonesia, Investor Daily, Jawa Pos dan lain-lain.

Saya lega, sudah dibukakan mata dan tidak lagi buta terhadap TEMPO, maupun mimpi saya menjadi seorang wartawan yang bersih. Ternyata memang sulit menjadi bersih di kalangan wartawan. Godaan begitu banyak. Tidak hanya sulit di luar organisasi tempat kita bekerja, tetapi juga sulit di dalam organisasi tempat kita bekerja.

Hampir mirip seperti PNS, mengikuti arus korupsi adalah sebuah keharusan, karena jika tidak, karir kita akan mandek. Korupsi yang melembaga tidak hanya terjadi di lembaga pemerintah. Jejaring wartawan, dan media seperti yang terjadi pada grup TEMPO, meski mereka seringkali memeras dengan ‘kedok’ melawan korupsi, toh kenyataannya grup TEMPO telah menjadi bagian dari praktik mafia permainan uang wartawan dan transaksi jual beli pencitraan.

Kini, TEMPO dan media-media besar lainnya tidak lagi bersih. Korupsi dalam grup TEMPO telah melembaga alias terorganisir, sebagaimana korupsi di organisasi pemerintahan, di departemen-departemen dan sebagainya.

Saya sekarang bersyukur telah dibukakan mata dan dijauhkan dari dunia itu. Lebih senang dan tenang batin kita ketika bekerja sebagai buruh biasa, seperti yang saya lakukan saat ini. Insya-Allah jauh dari dunia hitam.

Jilbab Hitam,
Mantan Wartawan Tempo/KCM/Kompasiana
Sumber : http://www.suaranews.com/2013/11/wow-mantan-wartawan-tempo-ungkap.html#ixzz3IRV96JId

No comments: