Friday, November 28, 2014

Berpikir Arif


Ketika terus-menerus menyaksikan di tayangan televisi bagaimana anggota-anggota DPR berperilaku, berseteru, dan membanting meja yang pasti bukan miliknya, orang-orang bertanya, “Apakah mereka tidak pada berpikir?”

Jawaban terhadap pertanyaan ini bisa “ya” dan bisa “tidak”. Sulit untuk mengatakan bahwa mereka tidak berpikir. Bukankah mereka rata-rata punya pendapat, mengajukan opini, dan menawarkan ide tentang sesuatu atau keadaan, merasionalkan, membentuk serangkaian premis yang menjurus pada kesimpulan yang berargumen.

Semua itu adalah bukti-bukti valid dari adanya kegiatan berpikir. Lagi pula, mereka rata-rata adalah warga negara terpelajar, di antaranya ada lulusan jenjang S-3, bahkan pernah menjadi dosen.

Lebih terhormat mana antara anggota DPR dengan anggota AIPI ?

Brutal dan barbar
Apabila demikian, mengapa olah pikir mereka jadi begitu rupa hingga membuat DPR menjadi ajang keributan brutal, kalaupun bukan barbarisasi, dan akhirnya pecah menjadi dua kubu yang terpisah, saling menandingi. Ternyata dalam berpikir itu mereka telah melupakan sesuatu yang sangat fundamental bagi pelaksanaan profesi politis mereka, yaitu bahwa mereka adalah wakil rakyat.

Protokol mengharuskan kita —termasuk presiden, wakil presiden, dan menteri— menyapa mereka dengan ucapan “yang terhormat”. Ini suatu keharusan yang tidak diberlakukan terhadap anggota-anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), padahal para ilmuwan itu merupakan tokoh-tokoh yang dianggap merupakan the best brains of the country.

Jadi, para anggota DPR perlu menyadari, dalam berpikir dan berbuat, bahwa mereka mewakili rakyat. Kesadaran ini, pada gilirannya, menuntut mereka berpikir lain daripada cara berpikir individual biasa. Hal inilah yang persis tidak mereka lakukan.

Mereka memang berpikir, tetapi tidak sebagaimana seharusnya berpikir seorang wakil rakyat. Seharusnya mereka perlakukan olah pikir itu sebagai respons terhadap aspirasi rakyat, yang berasal dari sanubari warga negara yang telah memilih mereka selaku wakilnya. La noblesse oblige!


Berpikir seperti yang diniscayakan itu dapat kiranya dikualifikasi sebagai berpikir arif, wise thinking. Hal ini ada dinarasikan di dalam Alkitab berupa cara berpikir Salomo, anak Daud. Pada suatu hari datang menghadap sang raja dua perempuan yang sama-sama mendaku seorang bayi sebagai anak kandungnya. Hakim-hakim di seluruh negeri tidak bisa dan tidak berani mengambil keputusan karena ketiadaan bukti. Lagi pula, peristiwa ini terjadi pada zaman sebelum Masehi ketika pengetahuan dan penelitian tentang DNA belum dikenal.

Setelah Salomo mendengar keterangan setiap ibu, katakanlah Ibu-A dan Ibu-B, dia memberi perintah untuk mengambilkan pedangnya. Sebagai keputusan perkara, dia akan membelah tubuh bayi menjadi dua dan setiap ibu akan mendapat sebagian untuk dibawa pulang. Adil, bukan?

Begitu mendengar keputusan sang raja, Ibu-A langsung menjerit dan bersujud menyembah Salomo. Perempuan ini bersumpah akan mengikhlaskan sang bayi diberikan kepada Ibu-B asalkan anak ini dibiarkan hidup. Mendengar ratapan dan permohonan Ibu-A, Salomo bersabda, “Ya, bayi ini akan dibiarkan hidup dan bawalah dia pulang bersamamu! Kamu adalah ibu sejati dari bayi ini.

Untuk bisa menerka dengan tepat siapa sebenarnya ibu dari bayi yang menjadi rebutan, demi pengambilan keputusan yang adil, dalam berpikir Salomo berusaha menyimpulkan dirinya seorang ibu, bukan seorang raja. Ketika menempatkan dirinya begitu, dia menyadari bahwa konsen pertama dan utama dari seorang ibu, di mana pun dan kapan pun, adalah supaya anaknya selamat, panjang umur.

Ilustrasi Raja Salomo (Solomon/Sulaiman) ketika harus menentukan siapakah ibu sebenarnya dari bayi yang diperebutkan?

Dengan berpikir begini, Salomo dapat menyerap cinta-kasih dan kepribadian seorang ibu sejati. Dengan kata lain, Salomo mampu membuat keputusan yang adil dan tepat karena dia menganggap olah pikir sebagai respons terhadap aspirasi ibu yang telah memercayai dia untuk mengambil keputusan yang sesuai dengan harapan keadilan human. Begitulah kiranya jalannya proses pembentukan berpikir arif yang dinarasikan di dalam Alkitab.

Namun, melalui proses serupa, kita dapat membayangkan kemungkinan yang lain dari bentuk keputusan yang adil dan tepat seperti, misalnya, mengenai kebijakan keluarga berencana (KB).

Setelah menyerap pendapat sebagian warga yang menolak KB dengan alasan bahwa penetapan besar-kecilnya keluarga merupakan hak asasi manusia yang dibenarkan oleh kepercayaan religius, multiply yourself, dan kepasrahan pada takdir, ono dino ono upo, penguasa negeri justru bertekad melaksanakan kebijakan KB.

Sebab, apabila pendapat warga itu yang dibenarkan, demi popularitas politik, ia bisa menghambat usaha kesejahteraan umum dan menimbulkan beban ekstra kepada kelompok warga yang sudah tercerahkan dan pada bumi berdasarkan kondisi alami kontemporer.


Keluarga juga saksi
Maka, alangkah baiknya apabila para anggota DPR berusaha mengembangkan cara berpikir arif, tidak pernah lupa barang sedetik pun bahwa mereka adalah wakil-wakil rakyat. Mereka bisa saja terus bertingkah laku yang tidak terpuji di ruang sidang gedung parlemen, tidak peduli pada tanggapan reaktif rakyat yang sangat negatif, sebab mereka lebih bersandar kepada kehendak partai masing-masing, dibanding kepada rakyat. Namun asalkan mereka tahu bahwa yang menyaksikan proses barbarisasi itu tidak hanya masyarakat luas, tetapi juga sanak kerabat keluarga terdekat mereka sendiri, yaitu istri atau suami, dan anak serta cucu mereka. Pernahkah mereka berkonsultasi pada bisikan jujur hati nurani keluarga terdekatnya masing-masing?

Atau keluarga terdekat tersebut juga sudah tidak peduli lagi pada bisikan hati nuraninya karena desakan realitas kehidupan. Buat mereka, yang penting ada rumah berfasilitas memuaskan, ada kendaraan, makanan terjamin karena bergaji lumayan, dan sesekali bisa gratis bepergian menemani suami atau istri berstudi banding ke mana saja, di dalam atau, lebih-lebih, ke luar negeri.

Apabila keadaan mental para politikus, tokoh-tokoh parpol, serta keluarganya memang sudah separah itu, Ibu Pertiwi pasti berurai air mata. Sesudah 69 tahun kita merdeka, kok keadaan masih begitu memprihatinkan? Dia tetap tertatih-tatih seorang diri, tanpa panduan, dalam kondisi semakin tua.

Padahal, pada setiap upacara resmi, termasuk seremoni pengambilan sumpah wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat, himne nasional “Indonesia Raya” selalu dinyanyikan. Rupanya bait “... di sanalah aku berdiri menjadi pandu ibuku ...,” hanya berupa bunyi di mulut, bukan berasal dari nurani dan spirit kebangsaan.

Ibu Pertiwi pantas menangis. Biarkan dia tidak menyeka air matanya dengan ujung kebayanya yang sudah kumal. Sebab, hanya dengan mata yang basah, jiwa masih berpeluang melihat pelangi. Had the eyes no tears, the soul would have no rainbow.

Daoed Joesoef,
Alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne
KOMPAS, 19 November 2014

No comments: