Thursday, June 28, 2012

To Build The World a New (3)

Sutan Sjahrir, Tentara Belanda, Bung Karno, dan Bung Hatta

Sebelum meninggalkan persoalan-persoalan ini, saya hendak menyinggung pula suatu persoalan besar lain yang kira-kira sama sifatnya. Yang saya maksud ialah Aljazair. Di sini terdapat suatu gambaran yang menyedihkan, dimana kedua belah fihak sedang berlumuran darah dan dihancurkan karena ketiadaan penyelesaian. Itu merupakan suatu tragedi! Sudah jelas sekali bahwa rakyat Aljazair menghendaki kemerdekaan. Hal itu tidak dapat dibantah lagi. Andaikata tidak demikan, maka perjuangan yang lama dan pahit dan berdarah itu sudah akan berakhir bertahun-tahun yang lalu. Kehausan akan kemerdekaan serta ketabahan untuk memperoleh kemerdekaan itu merupakan faktor-faktor pokok dalam situasi ini. Apa yang belum ditentukan, hanyalah betapa akrab dan selaras suatu kerjasama di hari depan dengan Perancis seharusnya. Kerjasama yang sangat akrab dan sangat selaras tidak akan sukar dicapai, bahkan pada taraf sekarang ini, meskipun barangkali ia akan bertambah sukar dicapainya dengan terus berlangsungnya perjuangan itu. Maka, adakanlah suatu plebisit di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Aljazair untuk menentukan kehendak rakyat akan betapa akrab dan selaras hubungan-hubungan itu seharusnya. Plebisit itu hendaknya jangan mengenai soal kemerdekaan. Kemerdekaan itu sudah ditentukan dengan darah dan air mata dan pastilah akan berdiri suatu Aljazair yang merdeka. Plebisit seperti yang saya sarankan, jika diselenggarakan dalam waktu singkat, akan merupakan jaminan yang terbaik bahwa antara Aljazair merdeka dan Perancis akan terdapat suatu kerjasama yang akrab dan baik untuk keuntungan bersama.

Sekali lagi saya berbicara berdasarkan pengalaman. Indonesia tadinya tidak mengandung niat untuk merusak hubungan-hubungan yang erat dan selaras dengan Belanda. Akan tetapi, rupa-rupanya bahkan dewasa ini, seperti generasi-generasi yang sudah-sudah, pemerintah bangsa itu berpegang teguh pada “memberi terlalu sedikit dan meminta terlampau banyak”. Baru ketika hal itu tak tertahankan lagi, hubungan-hubungan tersebut diputuskan. Izinkanlah saya beralih ke masalah yang lebih luas tentang perang dan damai di dunia kita ini. Yang pasti adalah bahwa negara-negara yang baru lahir dan yang dilahirkan kembali tidak merupakan ancaman terhadap perdamaian dunia. Kami tidak mempunyai ambisi-ambisi teritorial. Kami pun tidak mempunyai tujuan-tujuan ekonomi yang tidak bisa disesuaikan. Ancaman terhadap perdamaian tidak datang dari kami, tetapi malahan dari fihak negara-negara yang lebih tua, yang telah lama berdiri dan stabil itu. O, ya, di negara-negara kami terdapat pergolakan. Sebenarnya, pergolakan itu seakan-akan merupakan suatu fungsi dari jangka waktu pertama daripada kemerdekaan. Apakah itu mengherankan?


Coba, marilah saya ambil contoh dari sejarah Amerika. Dalam satu generasi harus dialami Perang Kemerdekaan dan Perang Saudara antara negara-negara bagian. Selanjutnya dalam generasi itu juga harus dialami timbulnya perserikatan-perserikatan buruh yang militan, —masa dari International Workers of the World (IWW), “Wobblies”. Harus pula dialami hijrah ke Barat. Harus pula dialami Revolusi Industri dan, ya, bahkan masa “pedagang-pedagang aktentas”. Harus pula diderita akibat orang-orang ala Benedict Arnold. Dan seperti sering saya katakan, kami desakkan banyak revolusi dalam satu revolusi dan banyak generasi dalam satu generasi. Maka herankah Tuan-tuan jika terdapat pergolakan pada kami? Bagi kami hal itu adalah biasa dan kami telah menjadi biasa untuk menunggang angin pusar. Saya mengerti benar bahwa untuk orang luaran, hal ini seringkali tampak seperti gambaran kekacauan dan kerusuhan dan rebut-merebut kekuasaan. Bagaimanapun juga pergolakan itu adalah merupakan urusan kami sendiri dan tidak merupakan suatu ancaman bagi siapa pun, meskipun hal itu sering memberi kesempatan-kesempatan untuk mencampuri urusan kami. Meskipun demikian, kepentingan-kepentingan yang bertentangan dari negara-negara besar adalah soal lain. Dalam hal ini masalah-masalah dikaburkan oleh ancaman-ancaman dengan bom-bom Hidrogen dan oleh diulang-ulanginya slogan-slogan lama yang telah usang.

Kami tak dapat mengabaikannya karena masalah-masalah itu mengancam kami. Toh, terlalu sering masalah-masalah tersebut nampak seakan-akan tidak sungguh-sungguh. Dengan terus terang dan tanpa ragu-ragu hendak saya katakan kepada Tuan-tuan bahwa kami menempatkan hari depan kami sendiri jauh di atas percekcokan-percekcokan di Eropa. Ya, kami banyak belajar dari Eropa dan Amerika. Kami telah mempelajari sejarah Tuan-tuan dan penghidupan orang-orang besar dari bangsa Tuan. Kami telah mengikuti contoh dari Tuan-tuan, bahkan kami telah berusaha melebihi Tuan-tuan. Kami berbicara dalam bahasa Tuan-tuan dan membaca buku Tuan-tuan. Kami telah diilhami oleh Lincoln dan Lenin, oleh Cromwell dan Garibaldi. Dan memang masih banyak yang harus kami pelajari dari Tuan-tuan di banyak bidang.


Tetapi pada dewasa ini bidang-bidang yang kami harus pelajari lebih banyak lagi dari Tuan-tuan, adalah bidang teknik dan ilmiah, dan bukan paham-paham atau gerakan yang didiktekan oleh ideologi. Di Asia dan Afrika pada dewasa ini masih hidup, masih berpikir, masih bertindak, mereka yang memimpin bangsanya ke arah kemerdekaan. Mereka yang mengembangkan teori-teori ekonomi yang agung dan membebaskan. Mereka yang telah menumbangkan kelaliman. Mereka yang mempersatukan bangsanya dan mereka yang menaklukkan perpecahan bangsanya. Oleh karena itu dan memang selayaknya, kami dari Asia-Afrika saling mendekati untuk memperoleh bimbingan dan inspirasi dan kami mencari pada diri sendiri pengalaman dan kebijaksanaan yang telah terhimpun pada bangsa-bangsa kami. Apakah Tuan-tuan tidak berpendapat bahwa Asia dan Afrika mungkin mempunyai suatu amanat dan suatu cara untuk seluruh dunia?

Ahli filsafat Inggris Bertrand Russell yang ulung itulah yang pernah berkata bahwa umat manusia sekarang terbagi dalam dua golongan. Yang satu menganut ajaran Declaration of American Independece dari Thomas Jefferson. Golongan lainnya menganut ajaran Manifesto Komunis. Maafkan, Lord Russell, akan tetapi saya kira Tuan melupakan sesuatu. Saya kira Tuan melupakan adanya lebih dari pada seribu juta rakyat. Rakyat Asia dan Afrika, dan mungkin pula rakyat-rakyat Amerika Latin, yang tidak menganut ajaran Manifesto Komunis ataupun Declaration of Independence. Camkanlah, kami mengagumi kedua ajaran itu, dan kami telah banyak belajar dari keduanya itu dan kami telah diilhami, oleh keduanya itu.

Siapakah yang tidak akan dapat ilham dari kata-kata dan semangat Declaration of Independence itu!? “Kami menganggap kebenaran-kebenaran ini sebagai suatu yang tak dapat disangkal lagi: bahwa manusia diciptakan dengan hak-hak yang sama, bahwa mereka diberikan oleh AI Khalik hak-hak tertentu yang tak dapat diganggu-gugat, dan bahwa diantara hak-hak itu terdapat hak untuk hidup, hak kemerdekaan dan hak mengejar kebahagiaan”. Siapakah yang terlibat dalam perjuangan untuk kehidupan dan kemerdekaan nasional, tak akan diilhami! Dan sekali lagi, siapakah di antara kita, yang berjuang menegakkan suatu masyarakat yang adil dan makmur di atas puing-puing kolonialisme, tak akan diilhami oleh bayangan kerjasama dan perkembangan ekonomi yang dicetuskan oleh Marx dan Engels! Sekarang telah terjadi suatu konfrontasi di antara kedua pandangan itu, dan konfrontasi itu membahayakan, tidak hanya untuk mereka yang berhadapan tetapi juga untuk bagian dunia lainnya.


Saya tidak dapat berbicara atas nama negara-negara Asia dan Afrika lainnya. Saya tidak diberi kuasa untuk itu, dan bagaimanapun juga mereka sendiri cakap untuk mengemukakan pandangannya masing-masing. Akan tetapi saya diberi kuasa, bahkan ditugaskan untuk berbicara atas nama bangsa saya yang berjumlah sembilan puluh dua juta itu. Seperti saya katakan; kami telah membaca dan mempelajari kedua dokumen yang pokok itu. Dari masing-masing dokumen itu banyak yang telah kami ambil dan kami buang apa yang tak berguna bagi kami. Kami telah mensintesakan apa yang kami perlukan dari kedua dokumen itu, dan ditinjau dari pengalaman serta dari pengetahuan kami sendiri, sintesa itu telah kami saring dan kami sesuaikan. Jadi, dengan minta maaf kepada Lord Russell yang saya hormati sekali, dunia ini tidaklah seluruhnya terbagi dalam dua pihak seperti dikiranya. Meskipun kami telah mengambil sarinya, dan meskipun kami telah mencoba mensintesakan kedua dokumen yang peting itu; kami tidak dipimpin oleh keduanya itu saja. Kami tidak mengikuti konsepsi liberal ataupun konsepsi komunis. Apa gunanya?

Dari pengalaman kami sendiri dan dari sejarah kami sendiri tumbuhlah sesuatu yang lain, sesuatu yang jauh lebih sesuai, sesuatu yang jauh lebih cocok. Arus sejarah memperlihatkan dengan nyata bahwa semua bangsa memerlukan sesuatu konsepsi dan cita-cita. Jika mereka tak memilikinya atau jika konsepsi dan cita-cita itu menjadi kabur dan usang, maka bangsa itu ada dalam bahaya. Sejarah Indonesia kami sendiri memperlihatkannya dengan jelas, dan demikian pula halnya dengan sejarah seluruh dunia. “Sesuatu” itu kami namakan “Pancasila”. Ya, “Pancasila” atau Lima Sendi Negara kami. Lima Sendi itu tidaklah langsung berpangkal pada Manifesto Komunis ataupun Declaration of Independence. Memang, gagasan-gagasan dan cita-cita itu, mungkin sudah ada sejak berabad-abad telah terkandung dalam bangsa kami.

Dan memang tidak mengherankan bahwa paham-paham mengenai kekuatan yang besar dan kejantanan itu telah timbul dalam bangsa kami selama dua ribu tahun peradaban kami dan selama berabad-abad kejayaan bangsa, sebelum Imperialisme menenggelamkan kami pada suatu saat nasionalisme kami lemah. Jadi berbicara tentang Pancasila dihadapan Tuan-tuan, saya mengemukakan intisari dari peradaban kami selama dua ribu tahun. Apakah Lima Sendi itu? Ia sangat sederhana: pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, kedua Nasionalisme, ketiga Internasionalisme, keempat Demokrasi dan kelima Keadilan Sosial. Perkenankanlah saya sakarang menguraikan sekedarnya tentang kelima pokok itu.


Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa.

Bangsa saya meliputi orang-orang yang menganut berbagai macam agama. Ada yang Islam, ada yang Kristen ada yang Budha dan ada yang tidak menganut sesuatu agama. Meskipun demikian, untuk delapan puluh lima persen dari sembilan puluh dua juta rakyat kami, bangsa Indonesia terdiri dari para pengikut Islam. Berpangkal pada kenyataan ini, dan mengingat akan berbeda-beda tetapi bersatunya bangsa kami, kami menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai yang paling utama dalam filsafat hidup kami. Bahkan mereka yang tidak percaya kepada Tuhan pun, karena toleransinya yang menjadi pembawaan, mengakui bahwa kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa merupakan karakteristik dari bangsanya, sehingga mereka menerima Sila pertama ini.

Kemudian sebagai nomor dua ialah: Nasionalisme.

Kekuatan yang membakar dari Nasionalisme dan hasrat akan kemerdekaan mempertahankan hidup kami dan memberi kekuatan kepada kami sepanjang kegelapan penjajahan yang lama, dan selama berkobarnya perjuangan kemerdekaan. Dewasa ini kekuatan yang membakar itu masih tetap menyala-nyala di dada kami dan tetap memberi kekuatan hidup kepada kami! Akan tetapi Nasionalisme kami sekali-kali bukanlah Chauvinisme. Kami sekali-kali tidak menganggap diri kami lebih unggul dari bangsa-bangsa lain. Kami sekali-kali tidak pula berusaha untuk memaksakan kehendak kami kepada bangsa-bangsa lain. Saya mengetahui benar-benar bahwa istilah “Nasionalisme” dicurigai, bahkan tidak dipercayai di negara-negara Barat. Hal ini disebabkan karena Barat telah memperkosa dan memutar balikkan Nasionalisme. Padahal Nasionalisme yang sejati masih tetap berkobar-kobar di negara-negara Barat. Jika tidak demikian, maka Barat tidak akan menantang dengan senjata Chauvinisme Hitler yang agresif. Tidakkah Nasionalisme, atau sebutlah jika mau, Patriotisme —yang mempertahankan kelangsungan hidup semua bangsa? Siapa yang berani menyangkal bangsa yang melahirkan dia? Siapa yang berani berpaling dari bangsa yang menjadikan dia? Nasionalisme adalah mesin besar yang menggerakkan dan mengawasi semua kegiatan internasional kita. Nasionalisme adalah sumber besar dan inspirasi agung dari kemerdekaan. Nasionalisme kami di Asia dan Afrika tidaklah sama dengan yang terdapat pada sistem negara-negara Barat. Di Barat, Nasionalisme berkembang sebagai kekuatan yang agresif yang mencari ekspansi serta keuntungan bagi ekonomi nasionalnya. Nasionalisme di Barat adalah kakek dari Imperialisme, yang bapaknya adalah Kapitalisme.


Di Asia dan Afrika dan saya kira juga di Amerika Latin, Nasionalisme adalah gerakan pembebasan, suatu gerakan protes terhadap Imperialisme dan Kolonialisme, dan suatu jawaban terhadap penindasan Nasionalisme-Chauvinis yang bersumber di Eropa. Nasionalisme Asia dan Afrika serta Nasionalisme Amerika Latin tidak dapat ditinjau tanpa memperhatikan inti sosialnya. Di Indonesia kami menganggap inti sosial itu sebagai pendorong untuk mencapai keadilan dan kemakmuran. Bukankah itu tujuan yang baik yang dapat diterima oleh semua orang? Saya tidak berbicara hanya tentang kami sendiri di Indonesia, juga tidak hanya tentang saudara-saudara saya di Asia dan Afrika serta Amerika Latin. Saya berbicara tentang seluruh dunia. Masyarakat adil dan makmur dapat merupakan cita-cita dan tujuan semua orang. Mahatma Gandhi pernah berkata: “Saya seorang nasionalis, akan tetapi Nasionalisme saya adalah perikemanusiaan”.

Kami pun berkata demikian. Kami nasionalis, kami cinta kepada bangsa kami dan kepada semua bangsa. Kami nasionalis karena kami percaya bahwa bangsa-bangsa adalah sangat penting bagi dunia di masa sekarang ini, dan kami tetap demikian, sejauh mata dapat memandang ke masa depan. Karena kami nasionalis, maka kami mendukung dan menganjurkan Nasionalisme di mana saja kami menjumpainya.

Sila ketiga kami adalah: Internasionalisme.

Antara Nasionalisme dan Internasionalisme tidak ada perselisihan atau pertentangan. Memang benar, bahwa Internasionalisme tidak akan dapat tumbuh dan berkembang selain di atas tanah yang subur dari Nasionalisme. Bukankah organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa itu merupakan bukti yang nyata dari hal ini? Dahulu ada Liga Bangsa-Bangsa. Kini ada Perserikatan Bangsa-Bangsa. Nama-nama itu sendiri menunjukan bahwa bangsa-bangsa mengingini dan membutuhkan suatu badan internasional, di mana setiap bangsa mempunyai kedudukan yang sederajat. Internasionalisme sama sekali bukan Kosmopolitanisme, yang merupakan penyangkalan terhadap Nasionalisme, yang anti-nasional dan memang bertentangan dengan kenyataan.


Sila keempat adalah: Demokrasi.
Demokrasi bukanlah monopoli atau penemuan dari aturan sosial Barat. Lebih tegas, Demokrasi tampaknya merupakan keadilan asli dari manusia, meskipun diubah untuk disesuaikan dengan kondisi-kondisi sosial yang khusus. Selama beribu-ribu tahun dari peradaban Indonesia, kami telah mengembangkan bentuk-bentuk Demokrasi Indonesia. Kami percaya bahwa bentuk-bentuk ini mempunyai pertalian dan arti internasional. Ini adalah soal yang akan saya bicarakan kemudian.

Akhirnya, Sila yang penghabisan dan yang terutama ialah: Keadilan Sosial.

Pada Keadilan Sosial ini kami rangkaikan kemakmuran sosial, karena kami menganggap kedua hal ini tidak dapat dipisah-pisahkan. Benar, hanya suatu masyarakat yang makmur dapat merupakan masyarakat yang adil, meskipun kemakmuran itu sendiri bisa bersemayam dalam ketidak-adilan sosial. Demikianlah Pancasila kami. Ketuhanan Yang Maha Esa, Nasionalisme, Internasionalisme, Demokrasi dan Keadilan Sosial.


Tidaklah termasuk tugas saya hari ini untuk menguraikan bagaimana kami berusaha, dalam kehidupan dan urusan nasional kami, menggunakan dan melaksanakan Pancasila. Jika saya menguraikan hal ini, maka ini akan mengganggu keramah-tamahan badan internasional ini. Akan tetapi saya sungguh-sungguh percaya bahwa Pancasila mengandung lebih banyak daripada arti nasional saja. Pancasila mempunyai arti universal dan dapat digunakan secara internasional. Tidak seorang pun akan membantah unsur kebenaran dalam pandangan yang dikemukakan oleh Bertrand Russell itu. Sebagian besar dari dunia telah terbagi menjadi golongan yang menerima gagasan dan prinsip-prinsip Declaration of American Independence dan golongan yang menerima gagasan dan prinsip-prinsip Manifesto Komunis. Mereka yang menerima gagasan yang satu menolak gagasan yang lain, dan terdapatlah bentrokan atas dasar ideologis maupun praktis. Kita semuanya terancam oleh bentrokan ini dan kita merasa khawatir karena bentrokan ini. Apakah tidak ada sesuatu tindakan yang dapat diambil terhadap ancaman ini? Apakah hal ini harus berlangsung terus dari generasi ke generasi, dengan kemungkinan pada akhirnya akan meletus menjadi lautan api yang akan menelan kita semuanya? Apakah tidak ada suatu jalan keluar? Jalan keluar harus ada! Jika tidak ada, maka semua musyawarah kita, semua harapan kita, semua perjuangan kita akan sia-sia belaka.

Kami bangsa Indonesia tidak bersedia bertopang dagu, sedangkan dunia menuju ke jurang keruntuhannya. Kami tidak bersedia bahwa fajar cerah dari kemerdekaan kami diliputi oleh awan radio-aktif. Tidak satu pun di antara bangsa-bangsa Asia atau Afrika akan bersedia menerima hal ini. Kami memikul pertanggungan jawab terhadap dunia, dan kami siap menerima serta memenuhi pertanggungan jawab itu. Jika itu berarti turut campur dalam apa yang tadinya merupakan urusan-urusan negara-negara besar yang dijauhkan dari kami, maka kami akan bersedia melakukannya. Tidak ada bangsa Asia dan Afrika manapun juga yang akan menyingkiri tugas itu. Bukankah jelas, bahwa bentrokan itu timbul terutama karena ketidaksamaan di dalam suatu bangsa? Adanya yang kaya dan miskin, dan dihisap dan yang menghisap, yang menimbulkan bentrokan?!

Bung Karno bersama Haji Agus Salim

Hilangkan penghisapan, dan bentrokan itu akan lenyap! Karena sebab yang menimbulkan bentrokan itu telah tidak ada. Di antara bangsa-bangsa, jika ada yang kaya dan yang miskin, yang menghisap dan dihisap, akan pula ada bentrokan. Hilangkan sebab yang menimbulkan bentrokan, dan bentrokan itu akan lenyap. Hal ini berlaku, baik internasional maupun di dalam suatu bangsa. Dilenyapkannya Imperialisme dan Kolonialisme meniadakan penghisapan demikian daripada bangsa oleh bangsa. Saya percaya, bahwa ada jalan keluar daripada konfrontasi ideologi-ideologi ini.

Saya percaya bahwa jalan keluar itu terletak pada dipakainya Pancasila secara universil! Siapakah diantara Tuan-tuan yang menolak Pancasila? Apakah wakil-wakil yang terhormat dari bangsa Amerika yang besar menolaknya? Apakah wakil-wakil yang terhormat dari bangsa Rusia yang besar menolaknya? Ataukah wakil-wakil yang terhormat dari Inggris atau Polandia, atau Perancis atau Cekoslovakia? Ataukah memang ada di antara mereka yang agaknya telah mengambil posisi yang statis dalam Perang Dingin antara gagasan-gagasan dan praktek-praktek, dan yang berusaha tetap berakar sedalam-dalamnya sedangkan dunia menghadapi kekacauan-kekacauan?

Lihatlah, lihatlah delegasi yang mendukung saya! Delegasi itu bukan terdiri dari pegawai-pegawai negeri atau politikus-politikus profesional. Delegasi ini mewakili bangsa Indonesia. Dalam delegasi ini ada prajurit-prajurit. Mereka menerima Pancasila, ada seorang ulama Islam yang besar, yang merupakan soko guru bagi agamanya. Ia menerima Pancasila. Selanjutnya dari pemimpin Partai Komunis Indonesia yang kuat. Ia menerima Pancasila. Seterusnya ada wakil-wakil dari golongan-golongan Katolik dan Protestan, dari partai nasionalis dan organisasi-organisasi buruh dan tani, ada pula wanita-wanita, kaum cendekiawan dan pejabat-pejabat pemerintahan.


Semuanya ya menerima Pancasila. Mereka bukannya menerima Pancasila semata-mata sebagai konsepsi ideologi belaka, melainkan sebagai suatu pedoman yang praktis sekali untuk bertindak. Mereka di antara bangsa saya yang berusaha menjadi pemimpin tetapi menolak Pancasila, ditolak pula oleh bangsa Indonesia. Bagaimanakah penggunaan secara internasional daripada Pancasila? Bagaimana Pancasila itu dapat dipraktekan? Marilah kita tinjau kelima pokok itu satu demi satu.

Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa. Tidak seorang pun yang menerima Declaration Of American Independence sebagai pedoman untuk hidup dan bertindak, akan menyangkalnya. Begitu pula tidak ada seorang pengikut pun dari Manifesto Komunis, dalam forum internasional ini akan menyangkal hak dan untuk percaya kepada Yang Maha Kuasa. Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini, saya persilahkan Tuan-tuan yang terhormat bertanya kepada Tuan Aidit, ketua Partai Komunis Indonesia, yang duduk dalam delegasi saya yang menerima sepenuhnya baik Manifesto Komunis maupun Pancasila.

Kedua: Nasionalisme. Kita semua adalah wakil bangsa-bangsa. Bagaimana kita akan dapat menolak Nasionalisme? Jika kita menolak Nasionalisme, maka kita harus menolak kebangsaan kita sendiri dan menolak pengorbanan-pengorbanan yang telah diberikan oleh generasi-generasi dulu. Akan tetapi saya peringatkan Tuan-tuan: jika Tuan-tuan menerima prinsip Nasionalisme, maka Tuan-tuan harus menolak Imperialisme! Tetapi pada peringatan itu saya ingin menambahkan peringatan lagi: Jika Tuan-tuan menolak Imperialisme, maka secara otomatis dan dengan segera Tuan-tuan harus lenyapkan dari dunia yang dalam kesukaran ini sebab terbesar yang menimbulkan ketegangan dan bentrokan!


Ketiga: Internasionalisme. Apakah perlu untuk berbicara dengan panjang lebar mengenai Internasionalisme dalam badan internasional ini? Tentu tidak! Jika bangsa-bangsa kita tidak “Internationally minded”, maka bangsa-bangsa itu tidak akan menjadi anggota organisasi ini. Akan tetapi, Internasionalisme yang sejati tidak selalu terdapat di sini. Saya menyesal harus mengatakan demikian, akan tetapi hal ini adalah suatu kenyataan. Terlalu sering Perserikatan Bangsa-Bangsa dipergunakan sebagai forum untuk tujuan-tujuan nasional yang sempit atau tujuan-tujuan golongan saja. Terlalu sering pula tujuan-tujuan yang agung dan cita-cita yang luhur dari Piagam kita dikaburkan oleh usaha untuk mencari keuntungan nasional atau prestise nasional. Internasionalisme yang sejati harus didasarkan atas persamaan kehormatan, persamaan penghargaan dan atas dasar penggunaan secara praktis daripada kebenaran, bahwa semua orang adalah saudara. Untuk mengutip Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa –dokumen yang sering kali dilupakan orang itu– Internasionalisme itu harus “meneguhkan kembali keyakinan … berdasarkan hak-hak yang sama bagi bangsa-bangsa, baik besar maupun kecil”.

Akhirnya, dan sekali lagi, Internasionalisme akan berarti berakhirnya Imperialisme dan Kolonialisme, sehingga dengan demikian berakhirnya banyak bahaya dan ketegangan.

Keempat: Demokrasi. Bagi kami bangsa Indonesia, Demokrasi mengandung tiga unsur yang pokok. Demokrasi mengandung pertama-tama prinsip yang kami sebut “Mufakat” yakni kebulatan pendapat. Kedua, Demokrasi mengandung prinsip “Perwakilan”. Akhirnya, Demokrasi mengandung, bagi kami, prinsip “Musyawarah”. Ya, demokrasi Indonesia mengandung ketiga prinsip itu, yakni: Mufakat, Perwakilan dan Musyawarah antara wakil-wakil.

(Bersambung ....)

No comments: