Do not read this blog if not useful for you, because it will only spend your time, your energy, and spend your money.
Wednesday, November 17, 2010
Des Alwi, Tokoh Simbol Masyarakat Banda
Di Banda Neira ia bukan saja tokoh, tapi juga ‘pusat komunikasi’ sebagai tempat mengadu, berkeluh kesah, meminta petunjuk untuk memecahkan masalah. Di Jakarta, ia terkenal sebagai pelobi tingkat tinggi dan simbol masyarakat Banda. Lalu, siapa Des Alwi?
“Sebuah kapal putih tampak merapat ke dermaga. Semua mata tertuju pada dua orang tua mengenakan setelan jas putih dan berdasi yang menuruni tangga kapal. Kedua tuan berparas pucat itu membawa delapan koper besar dari kayu dan empat tas besar dari kulit. Dengan celana renang dan rambut yang masih basah saya perhatikan mereka. Yang salah seorang di antaranya memakai kaca mata. Seorang di antara mereka tersenyum kepada saya,” demikian kenangan Des Alwi saat pertama kali bertemu Muhammad Hatta dan Sutan Sjahrir di masa pembuangan mereka di Banda Neira.
Saat itu Des Alwi baru berusia 8 tahun dan duduk di kelas dua ELS (Europeesche Lagere School). Namun ia mengaku sudah mengetahui dengan pasti bahwa kedua tuan itu dari Boven Digul, karena wajah mereka pucat. “Setiap orang yang datang dari Digul senantiasa berwajah pucat. Agaknya di sana mereka kekurangan makan dan banyak yang menderita malaria,” ungkapnya.
Kedua orang itu lalu bertanya pada Des dengan bahasa Belanda, apakah tahu di mana rumah dokter Tjipto Mangunkusumo? “Tahu, tetapi jauh dari sini. Kalau rumah Mr. Iwa Kusumah Sumantri persis di depan dermaga ini,” jawab Des kecil. Nama dokter Tjipto dan Mr. Iwa memang sangat dikenal di Banda, karena mereka telah cukup lama berdiam di Neira dan Des Alwi adalah teman putra-putri mereka.
Belakangan Des baru tahu, kedua ‘tamu jauh’ itu bernama Muhammad Hatta dan Sjahrir, orang tahanan politik Belanda yang dibuang ke Boven Digul. Pertemuan dengan kedua tokoh itulah yang hingga kini tak pernah ia lupakan. Bahkan ia menganggapnya sebagai pertemuan yang kemudian menjadikan arah hidupnya hingga menjadi Des Alwi yang sekarang ini. Karena kecerdikan, kepandaian dan ‘kenakalan’-nya, kedua tokoh tersebut konon sangat menyukai cucu Said Baadilla ini. Hingga kemudian Bung Hatta mengambil Des Alwi sebagai anak angkat.
“Saya merasa sebagai orang pertama yang mereka tangani. Dalam kehidupan saya selanjutnya, ketepatan dan ketelitian dalam bekerja yang telah beliau tanamkan merupakan salah satu nilai tambah yang besar dalam karier saya selama ini. Dari Oom Sjahrir, saya mendapat banyak wawasan dan pengertian,” kata Des Alwi.
Cucu Raja Mutiara Maluku
Des Alwi Abubakar lahir 17 November 1927 di Desa Nusantara, Neira sebuah pulau kecil dalam kelompok Banda di Kepulauan Maluku. Ayahnya bernama Alwi, berasal dari Ternate yang konon masih keturunan Sultan Palembang yang dibuang ke Banda. Sang ibu bernama Halijah Baadilla, anak perempuan dari Said Baadilla, pengusaha mutiara yang pernah terkenal dari Neira.
Sang kakek, Said Baadilla terkenal sebagai pebisnis ulung di Banda. Dengan bendera perusahaan Baadilla Brothers, ia mengembangkan bisnis mutiara Banda dan perkebunan Pala yang terkenal dengan Perk Kele Norwegen di Lonthor dan di Pagar Buton, Banda Besar. Mutiara dan Pala itu diekspor ke berbagai negara di Eropa, hingga ia dikenal sebagai eksportir berpengaruh. Berkembangnya perusahaan Baadilla Brothers menjulangkan nama Said Baadilla, hingga Pemerintah Hindia Belanda menjulukinya sebagai Raja Mutiara dari Maluku. Dengan julukan itu, pada tahun 1896 Said Baadilla mendapat kehormatan menjadi tamu istimewa Ratu Emma, istri Wilhelm III di Belanda.
Namun, kebesaran sang kakek hanya kenangan di benak Des Alwi. Sebagai cucu raja mutiara, Des Alwi lahir saat usaha Baadilla sudah hampir ambruk. Masa kebesaran sang kakek sudah mulai memudar, bahkan kondisinya semakin memburuk ketika sang kakek meninggal tahun 1934. Sampai usia 6 tahun, Des sama sekali tidak tahu jika sang kakek pernah menjadi orang terkaya di Banda Neira, bahkan di Maluku. Ia mengaku tak sempat menikmati kejayaan sang kakek, walaupun sisa-sisa kejayaan itu masih terlihat.
Namun, betapapun buruknya kondisi ekonomi keluarga, Des mengaku kehidupan masa kecilnya sangat menyenangkan. Setiap hari ia mengaji, berenang di laut sambil berebut memburu coin yang dilempar orang, mencuri buah dari kebun tetangga dan bermain dengan teman-temannya. “Masa kecil saya demikian indah. Saya bangga lahir di Neira,” ungkap ayah Mira, Tanya dan Ramon Alwi ini.
Ahli Lobi Dan Model Komunikasi
Kebesaran nama keluarga tidak membuat Des Alwi terlena. Ia tumbuh sebagai sosok pemuda yang begitu mencintai tanah kelahiran dan negaranya. Barangkali karena ‘pengaruh’ pendidikan Hatta dan Sjahrir, di samping sekolahnya di ELS, Des tumbuh menjadi pemuda yang tidak sekedar berani dan penuh percaya diri, tapi juga memiliki ‘kelebihan’ dalam berdiplomasi.
Sebagian orang menilai, kepiawaian Des Alwi dalam hal melobi, hingga mendapat julukan pelobi tingkat tinggi, dari petinggi nasional hingga internasional itu merupakan salah satu hasil dari kebiasaannya bergaul dengan tokoh-tokoh tahanan politik yang dibuang ke Banda. Des banyak belajar dari dr. Tjipto Mangunkusumo yang disebutnya sebagai Oom Tjip, Dr. Muhammad Hatta yang dipanggilnya sebagai Oom Kaca Mata, Sjahrir sebagai Oom Rir, Mr. Iwa Kusumah Sumantri dan beberapa anggota Sjarikat Islam Indonesia lainnya.
Maka, dalam perjalanan karier selanjutnya, ia pernah beberapa kali menjadi Atache Press/Kebudayaan KBRI di luar negeri yaitu KBRI Bern, KBRI Austria dan KBRI Philipina. Bahkan ketika terjadi konfrontasi antara Indonesia – Malaysia tahun 1965-1975 ia berdinas sebagai diplomat yang terlibat dalam Operasi Khusus Tim Penyelesaian Konfrontasi itu. Des berhasil menjadi perantara ‘sulit’. Jurus-jurus kepiawaian diplomasinya dalam mendekati PM Tun Abdul Rahman dan DPM Tun Abdul Razak berhasil meredakan konfrontasi itu.
Sebagai putra daerah ia berperan aktif dalam lobi-lobi nasional dan internasional, untuk berbagai kepentingan Indonesia di dalam maupun luar negeri. Secara lebih spesifik, Des Alwi memiliki jalur lobi kepada tokoh-tokoh nasional di Jakarta. Dalam hal ketokohan ini, maka realitas menunjukkan bahwa hampir sembilan puluh persen pembangunan fisik dan pembangunan masyarakat Banda yang membutuhkan peran lobi, semuanya dipengaruhi oleh hasil lobi Des Alwi di tingkat nasional. Dalam hal ini pula maka sebenarnya semua keputusan tentang pembangunan Banda yang berskala besar pada kenyataannya bukan diputuskan di tingkat Maluku atau Maluku Tengah, akan tetapi diputuskan di tingkat pusat, Jakarta.
Bahkan kini, dalam perkembangan masyarakat Banda, tokoh Des Alwi menjadi salah satu model komunikasi. Model komunikasi yang memusat pada tokoh Des Alwi ini adalah semua komponen masyarakat yang terlibat langsung dalam usaha dan kegiatan Des Alwi. Termasuk mereka yang pernah mendapat bantuan Des, baik fasilitas, dana maupun koneksitas.
Melihat ketokohan dan peran Des Alwi yang begitu dominan terhadap pengembangan masyarakat di Banda, terutama pariwisata, maka umumnya masyarakat Banda berpendapat bahwa Banda sangat identik dengan kehendak Des Alwi. Pendapat-pendapat macam ini dan kaitan-kaitan kepentingan masyarakat dengan bidang-bidang yang bersentuhan dengan usaha Des Alwi di Banda inilah yang melahirkan model-model komunikasi memusat kepada tokoh ini.
http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/d/des-alwi/index.shtml
Label:
Banda Neira,
Bung Hatta,
Des Alwi,
Maluku,
Sutan Sjahrir
Des Alwi Abubakar Berpulang
Salah seorang tokoh nasional, Des Alwi Abubakar, meninggal dunia Jumat (12/11) sekitar pukul 5 dini hari di kediamannya Jalan Taman Biduri Blok N 1/7 Permata Hijau, Jakarta Barat.
Menurut cucunya, Sharem, 25 tahun, almarhum masih mengobrol dengan keluarga semalam dan sempat bangun beberapa kali, sebelum didapati meninggal sekitar pukul 5 pagi.
Des Alwi, kata Sharem, baru pulang dari menjalani operasi by pass jantung di Rumah Sakit Cinere sekitar tiga minggu lalu. Dia pulang ke rumah kemarin untuk menjalani masa penyembuhan.
Tadi malam, Des sempat diberi obat penenang agar dapat tidur. Menurut susternya, kata Sharem, obat itu sesuai resep dari dokter.
Pihak keluarga saat ini sedang mengupayakan agar Des Alwi dapat dikebumikan di kampung halamannya di Banda Neira, Maluku. Hal itu sesuai dengan pesan almarhum sebelumnya.
Des Alwi lahir di Banda Neira, 17 Nopember 1927. Di Jakarta, ia terkenal sebagai pelobi tingkat tinggi dan simbol masyarakat Banda.
Sebagian orang menilai, kepiawaian Des Alwi dalam hal melobi hingga mendapat julukan pelobi tingkat tinggi dari petinggi nasional hingga internasional itu salah satunya hasil dari kebiasaannya bergaul dengan tokoh-tokoh tahanan politik yang dibuang ke Banda.
Des banyak belajar dari dr. Tjipto Mangunkusumo yang disebutnya sebagai Oom Tjip, Dr. Muhammad Hatta yang dipanggilnya sebagai Oom Kaca Mata, Sjahrir sebagai Oom Rir, Mr. Iwa Kusumah Sumantri dan beberapa anggota Sjarikat Islam Indonesia lainnya.
Erwin Z
http://www.tempointeraktif.com/hg/kesra/2010/11/12/brk,20101112-291371,id.html
Des Alwi: Saya Meninggal Nanti, Hari Jumat
Rabu lalu (10/11/2010), Des Alwi sempat kabur dari rumah sakit dengan membawa infusan.
Enam hari sebelum wafat, sejarawan Des Alwi sudah memberikan tanda-tanda akan pergi. Cucu Des, Farhas, mengingat hari-hari jelang ulang tahun ke-84 kakeknya itu.
"Malam itu dia bolak balik, dari tempat tidur, kursi roda, tempat tidur, kursi roda. Dia sempat bilang: Saya mau pulang dari rumah sakit, saya mati nanti di hari Jumat," kata Farhas mengulang perkataan kakeknya saat ditemui di rumah duka, Jumat 12 November 2010.
Des Alwi wafat Jumat subuh (12/11/2010) dan meninggalkan empat anak dan enam cucu. Rabu lalu, lanjut Farhas, kakeknya sempat mau kabur dari rumah sakit sambil membawa selang infusan. Untungnya, seorang suster memergoki dia tengah memencet tombol lift. Saat ditanya mau kemana, Des menjawab enteng,"Mau ke Surabaya, upacara hari Pahlawan."
Lalu, keesokan harinya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sempat menelepon Des Alwi untuk menanyakan kabar. Dalam perbincangan itu, Des Alwi kembali melontarkan soal kematian. "Saya habis ini (meninggal)."
Semula, Alwi akan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Namun, kata Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad, Des Alwi sempat menyatakan permintaan terakhir untuk dimakamkan di kampung halaman, Banda Neira, Maluku.
Des Alwi merupakan peraih Bintang Pejuang 45, Bintang Pejuang 50 dan Bintang Mahaputra Pratama 2000.
Ita Lismawati F. Malau, Fina Dwi Yurhami
http://nasional.vivanews.com/news/read/188380-des-alwi--saya-meninggal-nanti--hari-jumat
Des Alwi, Pengumpul Dokumen Sejarah yang Handal
Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto memiliki kesan mendalam kepada mendiang sejarawan Des Alwi. Des Alwi bukan sekadar pelaku sejarah, tetapi ahli sejarah pengumpul dokumen terbaik.
"Kalau tidak ada yang kumpulkan seperti beliau, saya rasa bisa banyak dokumen yang sudah hilang," kata Prabowo Subianto usai melayat di rumah duka di kawasan Permata Hijau, Jakarta Selatan, Jumat 12 November 2010.
Menurut Prabowo, Des Alwi adalah sosok yang sangat patriotik dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan. Sosok yang nasionalis, "seorang Islam yang baik dan mengayomi agama-agama lain," kata Prabowo.
Des Alwi merupakan pengumpul dokumen-dokumen sejarah yang cukup handal. Dari mulai dokumen berbentuk arsip sampai jenis film. "Dari zaman Belanda hingga Jepang. Lengkap," ujar dia.
Mantan calon wakil presiden ini menilai, Des Alwi sangat terkenal dan sangat diterima oleh semua komunitas di Maluku. Apalagi saat terjadi kerusuhan Ambon. Des Alwi dinilai turut berperan besar. "Beliau justru tokoh yang melindungi banyak komunitas lain. Kita kehilangan putra terbaik," ujar Prabowo sedih.
Des Alwi akan dimakamkan di tanah kelahirannya, Banda Neira, Maluku. Pemakaman secara militer oleh negara diharapkan bisa berlangsung lancar.
Ismoko Widjaya, Fina Dwi Yurhami
http://nasional.vivanews.com/
Fadel: SBY Panggil Des Alwi "Ayahanda"
Fadel dan Des Alwi memiliki satu proyek besar yang masih harus diselesaikan.
Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad memiliki kesan mendalam dengan almarhum Des Alwi. Kenegarawanannya, kata Fadel, harus dijadikan panutan.
"Pak Presiden saja memanggil beliau Ayahanda," kata Fadel saat dihubungi VIVAnews melalui telepon, Jumat 12 November 2010. "Kalau saya memanggilnya Om," ujar Fadel.
Fadel menceritakan, kedekatannya dengan Des Alwi karena sama-sama berasal dari Maluku. Fadel, meski putra Gorontalo, dilahirkan di Ternate yang dulu bagian dari Provinsi Maluku. Sementara Des Alwi merupakan putra Banda Neira, tempat Bung Hatta dan Bung Sjahrir dibuang di zaman Belanda.
Kemudian, Fadel mengaku beberapa kegiatannya juga berkaitan dengan Des Alwi yang diangkat anak oleh Bung Hatta itu. "Saya hobi menyelam, beliau juga hobi menyelam. Kami pernah menyelam bersama termasuk di Banda," kata Fadel yang pernah jadi Gubernur Gorontalo itu.
"Kami semakin dekat lagi ketika acara Sail Banda digelar beberapa waktu lalu," kata Fadel. Des Alwi adalah orang yang berperan besar di balik kesuksesan acara internasional itu. Sementara Fadel adalah salah satu penanggung jawab acara itu karena dia adalah Menteri Kelautan.
Fadel mengaku, memiliki satu proyek besar bersama Des Alwi yang belum selesai dilakukan. "Kami ingin meluncurkan film detik-detik terakhir Bung Karno," kata Fadel. "Bagus sekali filmnya." Meski lebih dikenal sebagai diplomat, Des Alwi pernah menjadi Wakil Ketua Pusat Persatuan Film Indonesia antara 1984-1987.
Des Alwi meninggal pada Jumat 12 November 2010 dini hari dan jasadnya disemayamkan di rumah duka di Permata Hijau, Jakarta. Des Alwi merupakan peraih Bintang Pejuang 45, Bintang Pejuang 50 dan Bintang Mahaputra Pratama 2000.
Arfi Bambani Amri
http://nasional.vivanews.com/
Thursday, November 4, 2010
Heroisme Mbah Maridjan
Hari ini (28/10/2010) kita mendengar berita, Mbah Maridjan menjadi salah satu korban dari letusan Gunung Merapi Yogyakarta. Konon ia ditemukan meninggal dalam rumahnya di Dusun Kinahrejo dalam posisi bersujud. Mbah Maridjan telah memberikan contoh terbaik kepada kita tentang bagaimana memegang komitmen dan tanggungjawab dalam menjalankan tugas yang diembannya sebagai penjaga Merapi.
Saya ingin mengajak kita mengenang dan memetik pelajaran mendasar dari sikap heroisme Mbah Maridjan dalam menghadapi letusan Gunung Merapi pada pertengahan tahun 2006 lalu. Saat itu ketika orang ramai-ramai turun dari lereng Merapi, Mbah Maridjan justru naik mendekati puncaknya. Tidak tanggung-tanggung, hanya berjarak 2 (dua) km dari kawahnya! Sosok tua bersahaja ini mencoba ikut 'menjinakkan' Merapi dengan caranya sendiri yang unik.
Mbah Maridjan sebagai juru kunci Merapi begitu mencintai tugasnya dengan tetap memilih 'menjaga' Merapi dari dekat sekalipun pemerintah telah menghimbaunya untuk segera mengungsi. Bahkan seorang Gus Dur dan Gusti Joyo (GBPH Joyokusumo, adik Sri Sultan HB X) juga tidak berhasil 'merayu'-nya agar turun. Banyak orang menyayangkan sikap Mbah Maridjan waktu itu, tetapi tampaknya ia lebih menyayangi Merapi daripada harus ikut mengungsi.
Ada beberapa hal yang bisa kita catat dari sikap Mbah Maridjan tersebut. Pertama, Mbah Maridjan memberikan contoh kepada kita tentang bagaimana sebuah tanggung jawab yang diamanahkan harus tetap terus dipegang teguh selama menjalankan tugas dan pekerjaannya. Seperti petugas pemadam kebakaran yang mempertaruhkan nyawa untuk memadamkan api, begitu pula Mbah Maridjan yang rela menantang maut demi menjalankan tugasnya sebagai juru kunci Merapi. Satu sikap yang belakangan tidak mudah ditemukan dalam diri pejabat publik kita.
Saat ini banyak orang yang sudah tidak menjalankan tugas dan tanggung jawab yang diembannya secara amanah. Anggota DPR yang tidur saat sidang atau bahkan tidak pernah menghadiri sidang, sipir penjara yang berkolusi membebaskan narapidana, polisi yang tidak menjaga letusan senjatanya, jaksa yang menjual tuntutan demi meraih ratusan juta bahkan miliaran rupiah, hakim yang tidak menjalankan tugas undang-undang untuk menghadirkan saksi penting, dan banyak lagi contoh drama pengingkaran tanggung jawab yang dimainkan oleh pejabat publik di negeri ini.
Mbah Maridjan juga memberikan motivasi kepada kita bagaimana sebuah keberanian diperlukan untuk 'melawan' kekuatan (baca: tekanan) yang tidak sesuai dengan kebenaran yang diyakininya. Mungkin sebagian orang akan memberi label sebagai orang yang mbalelo, keras kepala, ngeyel, dan sebagainya. Semua label tersebut salah besar bila dilekatkan kepada sosok Mbah Maridjan. Baginya mengungsi bukanlah jalan terbaik untuk terhindar dari bencana. Bila sebagian orang melihatnya sebagai bentuk irrasionalitas, justru sikap 'bertahan' Mbah Maridjan adalah yang paling rasional.
Saat itu, sebagian besar masyarakat lereng Merapi enggan mengungsi karena khawatir akan kehilangan sumber penghidupan. Padi yang sedang mulai menguning, jagung yang mulai tampak ranum dan hewan ternak yang mulai beranak pinak adalah aset penyangga hidup mereka selama ini. Siapa yang akan menjamin aset tersebut tidak akan hilang atau dicuri orang apabila harus ditinggal mengungsi? Ini bukan soal mbalelo, keras kepala, atau ngeyel. Ini adalah soal bagaimana masyarakat Merapi harus bertahan hidup, tidak hanya dari bahaya letusan Merapi, tetapi dari bahaya paceklik dan kemiskinan setelah Merapi meletus. Satu sikap yang sangat rasional bukan?
Selain itu Mbah Maridjan telah menjadi inspirasi kepada kita untuk bisa membedakan penggunaan kekuasaan pada tempatnya. Ketika itu, ia hanya akan mau turun kalau diperintahkan oleh Raja Yogya yang memberinya tugas sebagai juru kunci. Sekalipun yang menyuruh Sri Sultan HB X, tetapi Mbah Maridjan meyakini bahwa saat itu kapasitasnya sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, sehingga ia tidak akan mengikuti himbauan tersebut karena mandatnya sebagai penjaga Merapi diperoleh dari Raja, bukan Gubernur. Sehingga dalam hal ini Mbah Maridjan sama sekali tidak merasa membangkang. Baginya ketetapan untuk tidak mengungsi dan bertahan di lereng Merapi adalah untuk membantu tugas pemerintah dalam upayanya menyelamatkan warga. Bahkan hingga dirinya sendiri akhirnya meninggal tersapu ‘wedus gembel’.
Sebelum beliau meninggal pihak keluarga sempat menghubungi Mbah Maridjan dengan maksud agar mau turun gunung untuk mengungsi. Namun Mbah Maridjan tetap tegas berkata, "Ngantiyo piye aku ora arep mudun” (Bagaimanapun keadaannya saya tidak akan turun).
Sumber:
http://www.kaskus.us/showthread.php?p=302010601
Saya ingin mengajak kita mengenang dan memetik pelajaran mendasar dari sikap heroisme Mbah Maridjan dalam menghadapi letusan Gunung Merapi pada pertengahan tahun 2006 lalu. Saat itu ketika orang ramai-ramai turun dari lereng Merapi, Mbah Maridjan justru naik mendekati puncaknya. Tidak tanggung-tanggung, hanya berjarak 2 (dua) km dari kawahnya! Sosok tua bersahaja ini mencoba ikut 'menjinakkan' Merapi dengan caranya sendiri yang unik.
Mbah Maridjan sebagai juru kunci Merapi begitu mencintai tugasnya dengan tetap memilih 'menjaga' Merapi dari dekat sekalipun pemerintah telah menghimbaunya untuk segera mengungsi. Bahkan seorang Gus Dur dan Gusti Joyo (GBPH Joyokusumo, adik Sri Sultan HB X) juga tidak berhasil 'merayu'-nya agar turun. Banyak orang menyayangkan sikap Mbah Maridjan waktu itu, tetapi tampaknya ia lebih menyayangi Merapi daripada harus ikut mengungsi.
Ada beberapa hal yang bisa kita catat dari sikap Mbah Maridjan tersebut. Pertama, Mbah Maridjan memberikan contoh kepada kita tentang bagaimana sebuah tanggung jawab yang diamanahkan harus tetap terus dipegang teguh selama menjalankan tugas dan pekerjaannya. Seperti petugas pemadam kebakaran yang mempertaruhkan nyawa untuk memadamkan api, begitu pula Mbah Maridjan yang rela menantang maut demi menjalankan tugasnya sebagai juru kunci Merapi. Satu sikap yang belakangan tidak mudah ditemukan dalam diri pejabat publik kita.
Saat ini banyak orang yang sudah tidak menjalankan tugas dan tanggung jawab yang diembannya secara amanah. Anggota DPR yang tidur saat sidang atau bahkan tidak pernah menghadiri sidang, sipir penjara yang berkolusi membebaskan narapidana, polisi yang tidak menjaga letusan senjatanya, jaksa yang menjual tuntutan demi meraih ratusan juta bahkan miliaran rupiah, hakim yang tidak menjalankan tugas undang-undang untuk menghadirkan saksi penting, dan banyak lagi contoh drama pengingkaran tanggung jawab yang dimainkan oleh pejabat publik di negeri ini.
Mbah Maridjan juga memberikan motivasi kepada kita bagaimana sebuah keberanian diperlukan untuk 'melawan' kekuatan (baca: tekanan) yang tidak sesuai dengan kebenaran yang diyakininya. Mungkin sebagian orang akan memberi label sebagai orang yang mbalelo, keras kepala, ngeyel, dan sebagainya. Semua label tersebut salah besar bila dilekatkan kepada sosok Mbah Maridjan. Baginya mengungsi bukanlah jalan terbaik untuk terhindar dari bencana. Bila sebagian orang melihatnya sebagai bentuk irrasionalitas, justru sikap 'bertahan' Mbah Maridjan adalah yang paling rasional.
Saat itu, sebagian besar masyarakat lereng Merapi enggan mengungsi karena khawatir akan kehilangan sumber penghidupan. Padi yang sedang mulai menguning, jagung yang mulai tampak ranum dan hewan ternak yang mulai beranak pinak adalah aset penyangga hidup mereka selama ini. Siapa yang akan menjamin aset tersebut tidak akan hilang atau dicuri orang apabila harus ditinggal mengungsi? Ini bukan soal mbalelo, keras kepala, atau ngeyel. Ini adalah soal bagaimana masyarakat Merapi harus bertahan hidup, tidak hanya dari bahaya letusan Merapi, tetapi dari bahaya paceklik dan kemiskinan setelah Merapi meletus. Satu sikap yang sangat rasional bukan?
Selain itu Mbah Maridjan telah menjadi inspirasi kepada kita untuk bisa membedakan penggunaan kekuasaan pada tempatnya. Ketika itu, ia hanya akan mau turun kalau diperintahkan oleh Raja Yogya yang memberinya tugas sebagai juru kunci. Sekalipun yang menyuruh Sri Sultan HB X, tetapi Mbah Maridjan meyakini bahwa saat itu kapasitasnya sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, sehingga ia tidak akan mengikuti himbauan tersebut karena mandatnya sebagai penjaga Merapi diperoleh dari Raja, bukan Gubernur. Sehingga dalam hal ini Mbah Maridjan sama sekali tidak merasa membangkang. Baginya ketetapan untuk tidak mengungsi dan bertahan di lereng Merapi adalah untuk membantu tugas pemerintah dalam upayanya menyelamatkan warga. Bahkan hingga dirinya sendiri akhirnya meninggal tersapu ‘wedus gembel’.
Sebelum beliau meninggal pihak keluarga sempat menghubungi Mbah Maridjan dengan maksud agar mau turun gunung untuk mengungsi. Namun Mbah Maridjan tetap tegas berkata, "Ngantiyo piye aku ora arep mudun” (Bagaimanapun keadaannya saya tidak akan turun).
Sumber:
http://www.kaskus.us/showthread.php?p=302010601
Label:
Gunung Merapi,
Heroisme,
Juru Kunci,
Mbah Maridjan
Antara Mbah Maridjan dan Marzuki Alie
Mbah Maridjan adalah fenomena tradisional dan kita menanggapinya sebagai fenomena modern.Sementara itu, Marzuki Alie adalah contoh yang baik tentang modernitas yang buruk.
Modernitas yang buruk? Bayangkanlah kita menjadi Mbah Maridjan. Tanah airnya adalah Gunung Merapi. Ia dilahirkan di sana, menjadi besar di sana, menjadi berarti karenanya. Hubungannya dengan Gunung Merapi-lah yang membuat ia diangkat sebagai juru kunci gunung keramat itu oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Ia berumah di lereng tinggi, berladang di sana, memandang ke arah puncak, merasakan angin sang gunung, memberi tempat singgah bagi para pendaki yang melalui rute itu. Ia hidup oleh Merapi. (Maka tak heran ia pun rela mati oleh gunung itu). Ia telah 80 tahun lebih ketika hawa panas akhirnya menghembus nyawanya.
Ia memilih untuk tetap tinggal di rumahnya sekalipun pusat vulkanologi telah menyatakan status awas dan meminta warga untuk turun. Dulu, keputusannya yang heroik membuat ia menjadi bintang iklan –meskipun pada awalnya ia ragu. (Sudahkah MURI memberi dia rekor bintang iklan paling berumur?) Maka, ketika semburan lahar dan angin panas itu akhirnya terjadi, mengakhiri hidupnya, orang modern bertanya-tanya. Kenapa dulu ia tidak turun seperti anjuran? Dan mengingat paling banyak korban berasal dari dusunnya, Kinahrejo, bukankah ia turut bersalah membiarkan warga berkiblat padanya untuk bertahan? Tapi, Mbah Maridjan pernah berkata bahwa ia hanyalah orang dusun yang tak lulus SD.
”Jangan mengikuti saya,” katanya. Ia tak pernah melarang orang untuk mengungsi. Di situlah ia semakin menarik. Mbah Maridjan harus dibaca sebagai individu yang otonom. Memang kita tak tahu persis apa sesungguhnya tugas seorang juru kunci. Itu bukan jabatan publik yang modern, yang pada akhirnya bertanggung jawab pada masyarakat. Hal itu lebih merupakan jabatan tradisional dengan legitimasi spiritual. Tradisi Jawa percaya bahwa Gunung Merapi memiliki, bahkan merupakan sumber, kekuatan spiritual. Karena itu, dibutuhkan semacam juru yang memantau, merawat dan berkomunikasi dengan gunung itu. Legitimasi Mbah Maridjan bukan berasal dari rakyat lewat sebuah pemilihan. Legitimasinya dari Sultan.
Mbah Maridjan tidak makan pajak rakyat, dan jangan-jangan juga tidak makan apapun dari Kesultanan. Ia barangkali melapor pada Kesultanan, seandainya diminta. Tapi ia tak pernah harus melapor pada rakyat. Ia sesungguhnya tak pernah harus menjadi tokoh panutan. Ketetapan hatinya untuk tinggal di desanya tak boleh dibaca sebagai pembatalan pengumuman keadaan berbahaya. Sebab, ia adalah orang yang rela menempuh bahaya dari gunung yang dicintainya. Dalam hal ini ia seorang individu, otonom, dan menempuh jalan sepi. Setidaknya, ia merupakan seorang tokoh dalam sebuah sistem yang berbeda. Bukan sistem demokrasi modern kita.
Sebaliknya, Marzuki Alie adalah tokoh dari sistem demokrasi modern kita. Ia dipilih lewat pemilu, digaji dengan pajak rakyat. Komentarnya terhadap bencana tsunami di Mentawai menunjukkan tipe pandangan manusia modern yang tidak bermutu, yang tak seharusnya duduk di kursi Ketua DPR. Diberitakan ia mengatakan bahwa salah penduduk Mentawai sendiri untuk hidup terlalu dekat dengan laut di pulau kecil. Kalau tak ingin menghadapi risiko, sebaiknya pindah saja ke tempat lain. Ini pandangan yang melihat bencana sebagai kesialan, padahal tujuan manusia (modern-pragmatis) adalah mencari selamat, jika bukan cari untung.
Sebagai wakil rakyat, ia tidak berhak menyalahkan korban, sebab ia tak pernah lahir di wilayah serupa dan harus tinggal di sana. Ia tidak boleh menyalahkan korban, sebab ia adalah pejabat negara dan negara hanya punya tugas menyelenggarakan kesejahteraan warga –termasuk ketika terjadi bencana.
Ayu Utami
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/360763/
Mbah Maridjan, Iklan dan Perubahan Tradisi
Lelaki tua berpeci dan badannya dibalut kain batik berdiri tegak dan menunjukkan kepalan tangan ke atas sambil berteriak “Roso, roso”! Awalnya aneh tampilan iklan jamu tersebut. Lambat laut sosok dalam iklan menjadi ikon dan sohor namanya di Tanah Air. Sapaannya khas, Mbah Maridjan. Nama aslinya Mas Penewu Surakso Hargo, lelaki kelahiran Dukuh Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta.
Iklan di layar kaca itu mengekspresikan perubahan jalan hidupnya. Semula sosoknya lebih dikenal di komunitas pendaki Gunung Merapi karena dia wakil juru kunci gunung (1970) dan juru kunci Merapi sejak 1982, diangkat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dianugeri gelar Raden Mas Surakso Hargo. Sejak menjabat juru kunci, dia ‘dilewati’ awan panas pada 1994, 1998, 2001, 2003, 2006. Simbol tokoh kearifan lokal dilekatkan publik ketika bergeming dari ancaman awan panas gunung Merapi pada 2006 dengan dalih mengemban amanah dan kesetiaan pada tugas. Sikap kesetiaan ditunjukkan lagi ketika Merapi meletus, Selasa (26/10/2010). Dia bertahan di rumah dan Tuhan mengambil mandatnya di dunia.
Sentuhan Irwan Hidayat, Dirut PT Sido Muncul pada 2006, makin melambungkan namanya. Ikon iklan jamu menjadikannya sosok “komersial” namun juga mengubahnya jadi dermawan. Jutaan uang dari royalti iklan tidak menjadikannya mabuk dunia, semua tetangga merasakan ‘berkah’ uang Mbah Maridjan dari iklan.
Menjadi jutawan juga tak menjadikannya lupa diri. Ketika produk iklan mengajaknya nonton Piala Dunia di Jerman, 2006, dia berkilah tak bisa berangkat karena tak ada yang mencari rumput untuk sapinya.
Ketika akrab dengan entertainment, Mbah Maridjan tidak menyadari ada ‘atasan’ yang mengawasinya dari Kraton Yogyakarta. Perilaku yang paling disorot adalah kasus perubahan perilaku terhadap tradisi kerajaan dan posisinya sebagai prajurit.
Pengageng Pawedan Hageng Punokawan, GBPH Prabukusumo menceritakan ada yang mengejutkan Kraton Yogyakarta dari perilaku almarhum semasa hidupnya. Pada 10 Agustus 2010, Kraton Yogyakarta punya hajat besar, milad jumenengan Sri Sultan Hamengkubuwono X. Mbah Maridjan harus menerima perangkat upacara dengan pakaian adat kraton untuk Labuhan Ageng Dal, siklus upacara besar memperingati tahta Sri Sultan Hamengku Buwono X periode delapan tahunan.
“Upacara Labuhan Ageng Dal merupakan upacara besar dan sakral, semua pakaian adat harus dipakai. Ada laporan Mbah Maridjan bertingkah lain. Dia menerima uborampe atau perangkat upacara dengan kondisi pakai sarung (kain), baju koko dan kupluk (kafiah) putih. Ini upacara besar kok begitu, bagaimana sikap yang mbahu rekso (penguasa) Merapi?,” ujar Prabukusumo, Rabu (27/10/2010).
Kejadian itu setidaknya menjadi perhatian, diwaspadai sebagai tanda-tanda zaman. “Abdi dalem kok bertindak nyeleneh? Itu kelihatan lo,” ujar dia. Menurut dia, abdi dalem dalam menghadapi Merapi tidak bisa seenaknya sendiri. Ada dimensi keyakinan sekaligus teknologi yang perlu dihayati. Keyakinan boleh saja (dipegangi) bahwa Merapi selalu bersahabat, tak pernah meletus. Alam berubah, teknologi membaca, dan menunjukkan Merapi bisa meletus.
“Teknologi dan keyakinan harus dipadu dalam menghadapi Merapi. Tidak bisa dengan caranya sendiri. Kasus ini pelajaran ke depan,” kata Prabukusumo.
Irwan Hidayat memandang sisi lain. “Bapakmu meninggal terhormat,” kata dia di telinga Asih, salah seorang anak perempuan Mbah Maridjan. “Dia adalah lambang kesetiaan, keberanian. Supaya terus dikenang, iklan Mbah Maridjan akan tetap saya putar. Biar dikenang dan mengingatkan kesetiaan. Royaltinya untuk keluarga dan masyarakat Kinahrejo,” katanya.
Mukhijab
http://www.pikiran-rakyat.com/node/125674
Label:
Gunung,
Iklan,
Maridjan,
Merapi,
Sultan Hamengku Buwono
Maridjan
Nama itu mungkin berasal dari bahasa Arab, marjãn (permata dari batu karang merah), yang penyebutannya bisa ditemukan dalam Al-Qurãn (surat Ar-Rahmãn ayat 22 dan 58 ). Ini salah satu isyarat yang menandai adanya pengaruh Arab (Islam) terhadap orang Jawa, terutama mereka yang hidup di seputar keraton. (Ingat kisah tentang para penyebar Islam di Jawa, yang dikenal sebagai Wali Sanga).
Bagi masyarakat Jawa sendiri, Maridjan mungkin bukan nama yang unik. Bahkan Mbah Maridjan sebagai sebuah pribadi pun, bagi orang yang mengenal bagaimana “manusia Jawa” bukanlah pribadi yang unik.
Sebagai tipologi abdi dalem keraton (ke-ratu-an, kerajaan), khususnya Jawa, orang seperti Maridjan bukanlah contoh satu-satunya. Ia adalah ‘wakil’ (representasi) dari segolongan manusia yang –notabene– memandang raja sebagai pusat pengabdian, karena raja adalah titisan atau perwujudan Sang Mahakuasa. Karena itu, kepatuhan manusia seperti Maridjan terhadap raja adalah kepatuhan yang bukan hanya penuh hormat (pemuliaan) dan khidmat (pengabdian), tapi juga cinta. Dan bukan sembarang cinta pula, tapi cinta mati.
Maka tidak perlu heran bila manusia jenis ini juga mempunyai kesetiaan yang tak pernah pudar atau luntur, karena kesetiaan itu sudah melebur dalam darah yang mengaliri seluruh tubuh. Bahkan ketika ruh (spirit) pengabdian itu sudah tak mampu lagi mengalirkan darah ke sekujur tubuh, karena sang tubuh hangus tersambar wedhus gembel (sebutan penduduk sekitar Merapi untuk awan panas yang disemburkan sang gunung), ia masih berusaha untuk meninggalkan sang tubuh dalam posisi sujud, sebagai lambang pengabdian yang –mudah-mudahan– akan selalu dikenang.
Tapi, walaupun kebanyakan orang tidak mau mengenang; mungkin karena ketidakpedulian atau kesibukan masing-masing yang amat sangat padat, ruh Maridjan akan selalu menemukan tempat singgahnya, setidaknya ke anak-cucu; sebagaimana dulu ruh itu juga menitis dari atas ke dalam diri Maridjan.
Ya. Maridjan memangku jabatan (sejak tahun 1982) sebagai juru kunci adalah ‘titisan’ (baca: warisan) dari ayahnya (Mbah Darso), diawali dengan menjadi wakil sang ayah (tahun 1970). Dan begitu juga selanjutnya Maridjan menitiskan kepada salah seorang putranya, yang kini menjadi abdi dalem keraton Yogya, yang sudah siap melanjutkan estafet pengabdian sakral itu.
Marjãn abdi keraton
Maridjan adalah merjan (permata) para abdi keraton, yang kilaunya baru memijar dan menjadi pusat perhatian pada tahun 2006. Bulan Mei tahun itu, “yang lenggah” (duduk; bertahta) di gunung Merapi untuk kesekian kali menyelenggarakan ‘hajat’, yang ditafsirkan orang di luar sebagai gejala-gejala gunung Merapi akan meletus. Ketika ‘hajatan’ itu ditafsirkan para pengamat modern sebagai keadaan Merapi yang berstsatus “awas”, sehingga para penduduk harus mengungsi, (Mbah) Maridjan bertahan di tempat tinggalnya di dusun Kinahrejo. Ia bahkan tidak peduli walau permintaan untuk mengungsi datang dari presiden dan sultan Yogya sendiri.
Banyak orang menafsirkan –dan kemungkinan besar itu benar– bahwa Maridjan hanya bersedia patuh kepada raja yang memberinya jabatan juru kunci dan gelar Mas Penewu Suraksohargo I, yaitu Sultan Hamengku Buwono IX. Dengan demikian, ia –harap maklum!– hanya memandang Sultan HB X sebagai seorang gubernur NKRI. Dan hal itu memang diucapkan olehnya pada waktu itu. “Bila beliau (Sultan HB X) memerintahkan demikian (menyuruhnya mengungsi, red), berarti beliau seorang gubernur,” katanya.
Kesetiaan terhadap satu pihak bisa (otomatis) menyebabkan pembangkangan terhadap pihak lain. Itu hukum alam alias sunnatullah, karena Allah tidak menciptakan dua hati di satu rongga dada. Tapi itu hanya berlaku bagi orang yang sadar betul bahwa “hidup adalah pilihan”, sehingga langkah berikutnya setelah memilih adalah menunjukkan totalitas pengabdian, apa pun risikonya. Itulah prinsip yang dipegang teguh Maridjan. Dan untuk menegaskan prinsipnya itulah Maridjan mengatakan kepada orang-orang yang bertanya mengapa ia tak mau mengungsi, “Kalau memang mereka (penduduk yang tinggal di lereng Merapi) merasa sudah waktunya mengungsi, mereka harus mengungsi. Jangan hanya manut (ikut) orang bodoh yang tidak sekolah seperti saya.”
Benarkah Maridjan “orang bodoh” karena “tidak sekolah”?
Tidak!
Perkataan Maridjan adalah sebuah isyarat. Sebuah peringatan bahwa “kebenaran” tidak harus selalu diukur dengan “ilmu sekolahan”. Lebih-lebih lagi bila yang dibicarakan adalah soal falsafah hidup.
Seorang teman mengatakan bahwa Maridjan adalah contoh manusia idealis Platonis sejati, yang menempatkan “ide” (idea) sebagai pemandu hidup.
Dalam terminologi Jawanya (walau berasal dari bahasa Arab!), ide itu adalah batin. Maridjan memang manusia yang setia pada kata batin; yang isinya tiada lain adalah falsafah hidup orang Jawa lingkaran keraton.
Sementara itu, kebanyakan kita adalah manusia naturalis bentukan lembaga sekolah; yang sering kali menempatkan batin sebagai hamba bagi nature (alam; benda, materi). Karena ‘suara alam’-lah maka para pejabat BPPTK (Badan Penyelidikan dan Pengembangan Kegunung-apian) dan semua ‘orang sekolahan’ berteriak-teriak menyuruh rakyat menyingkir dari Gunung Merapi, dan karena ‘suara batin’-lah Maridjan dan sejumlah penduduk tetap bertahan di tempat tinggal mereka.
Ketika ternyata Gunung Merapi meletus seperti telah diisyaratkan ‘kaum naturalis’ melalui hasil pengamatan mereka atas alam, ‘kaum idealis’ dengan Maridjan sebagai salah satu figurnya (seperti) jatuh sebagai pihak terkecundang (kalah).
Tapi, benarkah bahwa Maridjan kalah?
Secara fisik dan pragmatis, Maridjan memang kalah. Tubuh tuanya tak mampu melawan terjangan awan panas. Tapi, secara batin (idea), kalahkah dia?
Tidak!
Kematiannya justru semakin menguatkan gaung suara batinnya, bahwa untuk menjadi bernilai itu manusia harus menjadi pengusung atau personifikasi –atau bahasa Al-Qurãnnya fã’il (pelaku)– dari sesuatu yang memang merupakan saripati dari segala nilai, yaitu idea atau konsep atau falsafah.
Terserah idea atau konsepnya berasal dari mana atau milik siapa. Itu soal lain.
Maridjan hanya contoh dari orang yang konsisten (istiqamah) dalam menghidupi atau menghidupkan sebuah falsafah, bahkan sampai kehidupan lahiriahnya sendiri berakhir.
Salam hormat untukmu, Mbah Maridjan!
Ahmad Husein kndm
http://ahmadhaes.wordpress.com/2010/10/28/marijan/
Subscribe to:
Posts (Atom)