Thursday, November 4, 2010

Mbah Maridjan, Iklan dan Perubahan Tradisi


Lelaki tua berpeci dan badannya dibalut kain batik berdiri tegak dan menunjukkan kepalan tangan ke atas sambil berteriak “Roso, roso”! Awalnya aneh tampilan iklan jamu tersebut. Lambat laut sosok dalam iklan menjadi ikon dan sohor namanya di Tanah Air. Sapaannya khas, Mbah Maridjan. Nama aslinya Mas Penewu Surakso Hargo, lelaki kelahiran Dukuh Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta.

Iklan di layar kaca itu mengekspresikan perubahan jalan hidupnya. Semula sosoknya lebih dikenal di komunitas pendaki Gunung Merapi karena dia wakil juru kunci gunung (1970) dan juru kunci Merapi sejak 1982, diangkat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dianugeri gelar Raden Mas Surakso Hargo. Sejak menjabat juru kunci, dia ‘dilewati’ awan panas pada 1994, 1998, 2001, 2003, 2006. Simbol tokoh kearifan lokal dilekatkan publik ketika bergeming dari ancaman awan panas gunung Merapi pada 2006 dengan dalih mengemban amanah dan kesetiaan pada tugas. Sikap kesetiaan ditunjukkan lagi ketika Merapi meletus, Selasa (26/10/2010). Dia bertahan di rumah dan Tuhan mengambil mandatnya di dunia.


Sentuhan Irwan Hidayat, Dirut PT Sido Muncul pada 2006, makin melambungkan namanya. Ikon iklan jamu menjadikannya sosok “komersial” namun juga mengubahnya jadi dermawan. Jutaan uang dari royalti iklan tidak menjadikannya mabuk dunia, semua tetangga merasakan ‘berkah’ uang Mbah Maridjan dari iklan.

Menjadi jutawan juga tak menjadikannya lupa diri. Ketika produk iklan mengajaknya nonton Piala Dunia di Jerman, 2006, dia berkilah tak bisa berangkat karena tak ada yang mencari rumput untuk sapinya.

Ketika akrab dengan entertainment, Mbah Maridjan tidak menyadari ada ‘atasan’ yang mengawasinya dari Kraton Yogyakarta. Perilaku yang paling disorot adalah kasus perubahan perilaku terhadap tradisi kerajaan dan posisinya sebagai prajurit.


Pengageng Pawedan Hageng Punokawan, GBPH Prabukusumo menceritakan ada yang mengejutkan Kraton Yogyakarta dari perilaku almarhum semasa hidupnya. Pada 10 Agustus 2010, Kraton Yogyakarta punya hajat besar, milad jumenengan Sri Sultan Hamengkubuwono X. Mbah Maridjan harus menerima perangkat upacara dengan pakaian adat kraton untuk Labuhan Ageng Dal, siklus upacara besar memperingati tahta Sri Sultan Hamengku Buwono X periode delapan tahunan.

Upacara Labuhan Ageng Dal merupakan upacara besar dan sakral, semua pakaian adat harus dipakai. Ada laporan Mbah Maridjan bertingkah lain. Dia menerima uborampe atau perangkat upacara dengan kondisi pakai sarung (kain), baju koko dan kupluk (kafiah) putih. Ini upacara besar kok begitu, bagaimana sikap yang mbahu rekso (penguasa) Merapi?,” ujar Prabukusumo, Rabu (27/10/2010).


Kejadian itu setidaknya menjadi perhatian, diwaspadai sebagai tanda-tanda zaman. “Abdi dalem kok bertindak nyeleneh? Itu kelihatan lo,” ujar dia. Menurut dia, abdi dalem dalam menghadapi Merapi tidak bisa seenaknya sendiri. Ada dimensi keyakinan sekaligus teknologi yang perlu dihayati. Keyakinan boleh saja (dipegangi) bahwa Merapi selalu bersahabat, tak pernah meletus. Alam berubah, teknologi membaca, dan menunjukkan Merapi bisa meletus.

Teknologi dan keyakinan harus dipadu dalam menghadapi Merapi. Tidak bisa dengan caranya sendiri. Kasus ini pelajaran ke depan,” kata Prabukusumo.

Jusuf Kalla, Irwan Hidayat, dan Mbah Maridjan

Irwan Hidayat memandang sisi lain. “Bapakmu meninggal terhormat,” kata dia di telinga Asih, salah seorang anak perempuan Mbah Maridjan. “Dia adalah lambang kesetiaan, keberanian. Supaya terus dikenang, iklan Mbah Maridjan akan tetap saya putar. Biar dikenang dan mengingatkan kesetiaan. Royaltinya untuk keluarga dan masyarakat Kinahrejo,” katanya.

Mukhijab
http://www.pikiran-rakyat.com/node/125674

No comments: