Thursday, November 4, 2010

Heroisme Mbah Maridjan


Hari ini (28/10/2010) kita mendengar berita, Mbah Maridjan menjadi salah satu korban dari letusan Gunung Merapi Yogyakarta. Konon ia ditemukan meninggal dalam rumahnya di Dusun Kinahrejo dalam posisi bersujud. Mbah Maridjan telah memberikan contoh terbaik kepada kita tentang bagaimana memegang komitmen dan tanggungjawab dalam menjalankan tugas yang diembannya sebagai penjaga Merapi.

Saya ingin mengajak kita mengenang dan memetik pelajaran mendasar dari sikap heroisme Mbah Maridjan dalam menghadapi letusan Gunung Merapi pada pertengahan tahun 2006 lalu. Saat itu ketika orang ramai-ramai turun dari lereng Merapi, Mbah Maridjan justru naik mendekati puncaknya. Tidak tanggung-tanggung, hanya berjarak 2 (dua) km dari kawahnya! Sosok tua bersahaja ini mencoba ikut 'menjinakkan' Merapi dengan caranya sendiri yang unik.


Mbah Maridjan sebagai juru kunci Merapi begitu mencintai tugasnya dengan tetap memilih 'menjaga' Merapi dari dekat sekalipun pemerintah telah menghimbaunya untuk segera mengungsi. Bahkan seorang Gus Dur dan Gusti Joyo (GBPH Joyokusumo, adik Sri Sultan HB X) juga tidak berhasil 'merayu'-nya agar turun. Banyak orang menyayangkan sikap Mbah Maridjan waktu itu, tetapi tampaknya ia lebih menyayangi Merapi daripada harus ikut mengungsi.

Ada beberapa hal yang bisa kita catat dari sikap Mbah Maridjan tersebut. Pertama, Mbah Maridjan memberikan contoh kepada kita tentang bagaimana sebuah tanggung jawab yang diamanahkan harus tetap terus dipegang teguh selama menjalankan tugas dan pekerjaannya. Seperti petugas pemadam kebakaran yang mempertaruhkan nyawa untuk memadamkan api, begitu pula Mbah Maridjan yang rela menantang maut demi menjalankan tugasnya sebagai juru kunci Merapi. Satu sikap yang belakangan tidak mudah ditemukan dalam diri pejabat publik kita.


Saat ini banyak orang yang sudah tidak menjalankan tugas dan tanggung jawab yang diembannya secara amanah. Anggota DPR yang tidur saat sidang atau bahkan tidak pernah menghadiri sidang, sipir penjara yang berkolusi membebaskan narapidana, polisi yang tidak menjaga letusan senjatanya, jaksa yang menjual tuntutan demi meraih ratusan juta bahkan miliaran rupiah, hakim yang tidak menjalankan tugas undang-undang untuk menghadirkan saksi penting, dan banyak lagi contoh drama pengingkaran tanggung jawab yang dimainkan oleh pejabat publik di negeri ini.


Mbah Maridjan juga memberikan motivasi kepada kita bagaimana sebuah keberanian diperlukan untuk 'melawan' kekuatan (baca: tekanan) yang tidak sesuai dengan kebenaran yang diyakininya. Mungkin sebagian orang akan memberi label sebagai orang yang mbalelo, keras kepala, ngeyel, dan sebagainya. Semua label tersebut salah besar bila dilekatkan kepada sosok Mbah Maridjan. Baginya mengungsi bukanlah jalan terbaik untuk terhindar dari bencana. Bila sebagian orang melihatnya sebagai bentuk irrasionalitas, justru sikap 'bertahan' Mbah Maridjan adalah yang paling rasional.


Saat itu, sebagian besar masyarakat lereng Merapi enggan mengungsi karena khawatir akan kehilangan sumber penghidupan. Padi yang sedang mulai menguning, jagung yang mulai tampak ranum dan hewan ternak yang mulai beranak pinak adalah aset penyangga hidup mereka selama ini. Siapa yang akan menjamin aset tersebut tidak akan hilang atau dicuri orang apabila harus ditinggal mengungsi? Ini bukan soal mbalelo, keras kepala, atau ngeyel. Ini adalah soal bagaimana masyarakat Merapi harus bertahan hidup, tidak hanya dari bahaya letusan Merapi, tetapi dari bahaya paceklik dan kemiskinan setelah Merapi meletus. Satu sikap yang sangat rasional bukan?


Selain itu Mbah Maridjan telah menjadi inspirasi kepada kita untuk bisa membedakan penggunaan kekuasaan pada tempatnya. Ketika itu, ia hanya akan mau turun kalau diperintahkan oleh Raja Yogya yang memberinya tugas sebagai juru kunci. Sekalipun yang menyuruh Sri Sultan HB X, tetapi Mbah Maridjan meyakini bahwa saat itu kapasitasnya sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, sehingga ia tidak akan mengikuti himbauan tersebut karena mandatnya sebagai penjaga Merapi diperoleh dari Raja, bukan Gubernur. Sehingga dalam hal ini Mbah Maridjan sama sekali tidak merasa membangkang. Baginya ketetapan untuk tidak mengungsi dan bertahan di lereng Merapi adalah untuk membantu tugas pemerintah dalam upayanya menyelamatkan warga. Bahkan hingga dirinya sendiri akhirnya meninggal tersapu ‘wedus gembel’.


Sebelum beliau meninggal pihak keluarga sempat menghubungi Mbah Maridjan dengan maksud agar mau turun gunung untuk mengungsi. Namun Mbah Maridjan tetap tegas berkata, "Ngantiyo piye aku ora arep mudun (Bagaimanapun keadaannya saya tidak akan turun).

Sumber:
http://www.kaskus.us/showthread.php?p=302010601

No comments: