Thursday, May 14, 2020

Menanti Perang Berakhir


Tidak bisa disangkal bahwa pandemi Covid-19 yang menyerang dunia saat ini telah mempengaruhi setiap aspek kehidupan manusia: keluarga, pendidikan, pekerjaan, bisnis, hubungan antar manusia, gaya hidup, pemerintahan, lingkungan hidup, dan bahkan kehidupan beragama.

Adakah yang menduga bahwa hal itu terjadi pada tahun ini? Kiranya tidak. Sama halnya, orang juga tidak menduga bahwa persebaran Covid-19 demikian cepat.

Sejak pertama kali muncul di Wuhan, China, akhir tahun 2019, lalu pertengahan bulan Januari 2020, sudah masuk ke Thailand dan Jepang. Lantas melompat ke negara-negara Asia lainnya, termasuk Indonesia. Dan pada minggu ketiga bulan Januari diberitakan sudah menyentuh Amerika Serikat dan juga Eropa.


Jalur persebarannya telah dibentuk oleh globalisasi, yakni mengikuti rute perdagangan. Hal ini juga yang terjadi pada masa lalu saat pandemi Black Death antara tahun 1347 dan 1351 ketika menyerang Eropa, juga sebelumnya ketika wabah Justian menyerang dunia pada abad keenam, demikian pula persebaran Kolera, SARS, dan Ebola.

Reaksi setiap negara dalam menghadapi serangan Covid-19 berbeda-beda. Italia, misalnya, negara yang paling parah di Eropa, benar-benar tak berdaya. Namun, Italia melakukan segala upaya untuk mengatasinya. Presiden AS Donald Trump, meski kebijakannya menghadapi serangan Covid-19 tergolong aneh, menjadikan dirinya sebagai presiden di masa perang; perang melawan Covid-19.

Presiden Perancis Emmanuel Macron juga menyatakan negaranya sedang berperang. "Kami tidak melawan tentara lain atau negara lain. Tetapi musuh ada di sana: tidak terlihat, sulit dipahami, tetapi terus membuat kemajuan (CNA, 17 Maret 2020)." Presiden China Xi Jinping menyatakan memimpin "perang rakyat" melawan Covid-19 (Xinhuanet, 14 Maret 2020).

Presiden AS, Donald Trump dan Presiden Perancis, Emmanuel Macron.

Barangkali, menggunakan metafora perang seperti itu, yang juga digunakan oleh para wartawan serta politisi, adalah alami, normal. Hal itu dilakukan untuk menggambarkan tantangan yang dihadapi, begitu berat. Ratu Elizabeth II, misalnya, mengatakan, "We'll Meet Again" dalam pidatonya pada 5 April 2020.

"We'll Meet Again" adalah lagu karya penulis lagu Inggris, Ross Parker dan Hughie Charles, yang dinyanyikan Vera Lynn pada masa Perang Dunia II. Lagu ini untuk menyemangati para prajurit yang berangkat ke medan perang dan keluarga atau kekasih yang ditinggalkannya.‎

Perdana Menteri Italia Giuseppe Conte pun menggunakan retorika masa perang. Ia meminjam istilah yang digunakan oleh PM Inggris zaman PD II, Winston Churchill, yakni Darkest Hour. Istilah tersebut menggambarkan situasi sangat sulit yang dihadapi Churchill pada Mei 1940 ketika ia mempertimbangkan untuk damai dengan Adolf Hitler.

Kata-kata Churchill itu kemudian diangkat menjadi film dengan judul sama Darkest Hour yang disutradarai Joe Wright. Conte menggambarkan situasi di Italia ketika sedang tengah-tengahnya diamuk Covid-19 sebagai Darkest Hour.

Ratu Inggris, Elizabeth II.

Zaman perang
Apakah tidak berlebihan menggunakan metafora dan beretorika perang untuk menggambarkan bahaya Covid-19? Tentu pengertian perang di sini tidak seperti pengertian umum tentang perang. Dalam pemahaman konsepsionalnya, perang seperti didefinisikan dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 13 (Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1990), sebagai pertama, manifestasi sikap politik nasional dengan menggunakan kekerasan, untuk memaksa negara lawan tunduk terhadap kemauan negara tersebut. Esensi utama perang adalah kekerasan. Atau sebaliknya, penggunaan kekerasan tersebut diarahkan untuk melawan paksaan lawan.

Kedua, perang juga dimengerti sebagai upaya terakhir untuk mempertahankan diri (negara) dari upaya pemusnahan oleh lawan, dengan menggunakan segala kekuatan negara. Apabila suatu perang didasarkan pada suatu alasan untuk mempertahankan negara dari agresi negara lain, maka perang tersebut dihayati sebagai perang nasional.

Dan, ketiga, perang dilihat dari perspektif yuridis. Secara yuridis, perang dipahami sebagai situasi dan kondisi hukum yang memungkinkan dua atau lebih pihak yang bermusuhan menyelesaikan pertikaiannya secara kekerasan dengan kekuatan persenjataan. Kini, perang semakin lazim dipahami sebagai perwujudan bentuk konflik dalam derajat intensitas yang relatif tinggi. Konflik yang belum tinggi dapat dimanifestasikan dalam bentuk subversi dari suatu negara terhadap negara lain, atau aksi teror dan propaganda.

Presiden AS, Donald Trump dan Presiden China, Xi Jinping.

Perang dalam pengertian seperti di atas tentu tidak hanya harus dihindarkan, tetapi juga harus dicegah. Meskipun demikian, perang sering dikatakan sebagai pilihan terakhir. Namun sejatinya, perang hanya akan menghancurkan, bahkan menghancurkan orang yang tidak bersalah. Jadi yang justru perlu dan harus dilakukan adalah bagaimana membangun dunia, menegakkan keadilan, dan menciptakan perdamaian.

Kata "perang" juga digunakan tidak hanya untuk menggambarkan suatu tindakan untuk mengalahkan pihak lain dengan risiko hilangnya nyawa, tetapi juga untuk menciptakan kebaikan hidup, kebaikan bersama. Misalnya, perang melawan kemiskinan, kobodohan, kesombongan diri, korupsi, ketidakadilan, melawan terorisme, ekstremisme, peredaran narkotika, kejahatan dalam segala macam bentuknya, dan sebagainya.

Jelaslah kiranya bahwa perang, dalam arti tertinggi, adalah keinginan untuk melindungi dengan cara apa pun; melindungi kehidupan, baik manusia maupun alam. Karena itu, sebagaimana perang dalam arti umum, perang untuk melindungi kehidupan ini harus dilakukan dengan segala daya, mengerahkan dan memobilisasi segala sumber —tenaga, logistik, biaya, termasuk pengorbanan dan sebagainnya— untuk meraih kemenangan.


Para prajurit dalam perang melawan Covid-19 untuk melindungi kehidupan manusia dan alam ini adalah para tenaga medis —baik itu dokter, perawat, dan semua pekerja di rumah sakit, termasuk para ilmuwan yang terus melakukan riset untuk mencari vaksi pelawan Covid-19— yang berdiri di garis depan; para aparat keamanan, para pemimpin daerah dari tingkatan atas hingga paling bawah, sukarelawan, dan tentu Tim Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 yang dipimpin Letjen TNI Doni Monardo, serta semua yang peduli dan punya hati untuk mengakhiri sepak terjang dan serangan Covid-19 ini.

Mereka yang rela tinggal di rumah, mengurung diri, melakukan segala kegiatan di rumah —termasuk kerja— juga bagian dari prajurit yang ikut memerangi Covid-19. Karena itu, sikap patuh dengan sukarela untuk tetap tinggal di rumah adalah langkah yang paling baik untuk memutus mata rantai serangan Covid-19; sebuah tindakan bertanggung jawab untuk mengalahkan Covid-19. Meskipun masih ada juga yang nekad dengan segala macam dalih, termasuk dalih agama, untuk keluar rumah.


Pascaperang
Sekarang sedang di fase perang. Kita semua ada di tengah mandala peperangan. Apakah akan mampu mengalahkan serangan Covid-19? Itulah pertanyaannya. Jawaban pertanyaan itu sangat tergantung dari kita semua. Mengapa? Apakah semua pihak menyadari bahayanya serangan Covid-19 ini sehingga mau bersama-sama menghadapinya dengan menyisihkan, membuang ambisi-ambisi dan kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan? Harus disadari bahwa tidak mungkin menghadapi serangan Covid-19 ini sendiri, harus kerja sama dengan pihak lain.

Selain itu, juga dibutuhkan kejujuran. Karena banyak kasus —tenaga medis menjadi korban Covid-19— karena pasien tidak jujur bahwa sudah terkena Covid-19; bahwa baru saja pulang dari perjalanan jauh, pulang mudik, dan sebagainya. Oleh karena itu, sebagaimana perang antarnegara, untuk memenangi peperangan melawan Covid-19 itu dibutuhkan adanya kecepatan, transparansi, inovasi, dan partisipasi seluruh lapisan masyarakat secara sukarela. Tanpa semua itu, akan sulit kita memenangi perang ini.

Bila nanti pasukan Covid-19 sudah berhasil dikalahkan, masih ada mandala perang baru yang tak kalah beratnya, yakni memulihkan kehidupan masyarakat, negara. Keberhasilan laju pemulihan akan sangat bergantung pada kebijakan yang diambil selama krisis. Jika kebijakan memastikan bahwa pekerja tidak kehilangan pekerjaan, penyewa dan pemilik rumah tidak digusur, perusahaan menghindari kebangkrutan, dan jaringan bisnis dan perdagangan dipertahankan, pemulihan akan terjadi lebih cepat dan lebih lancar.


Namun, semua itu tidak mudah. Karena, kini sudah banyak orang kehilangan pekerjaan; perusahaan tutup, bisnis mati. Tentu, semua itu menjadi persoalan besar di kemudian hari, yang perlu dipikirkan dan dicari jalan keluarnya mulai saat ini. Kerja sama internasional, antara lain, adalah salah satu langkah yang perlu dipertimbangkan untuk mengatasi dan membangkitkan perekonomian lagi.

Akan tetapi, yang tidak kalah penting atau justru paling penting adalah adanya semangat bangsa untuk bangkit dan bergerak lagi, secara bersama-sama, saling dukung. Bantuan tangan luar pun tak akan banyak artinya kalau tidak ada semangat bangsa, semangat untuk bangkit, semangat untuk memasuki hidup baru, zaman baru, yang diharapkan lebih baik dalam segala bidang, termasuk dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara, hubungan antar-anak bangsa yang berbeda-beda, dan tentu saja hubungan dengan alam.

Akankah negeri kita memasuki zaman baru setelah krisis kemanusiaan akibat serangan Covid-19 ini? Semua tergantung kita.

Trias Kuncahyono,
Wartawan Kompas 1988-2018
KOMPAS, 2 Mei 2020

Monday, April 13, 2020

Corona Seharusnya Menyatukan Kita


Pandemi Covid-19 telah menginfeksi ribuan saudara kita dan membunuh ratusan di antaranya. Angka kasus riilnya bisa ratusan bahkan ribuan kali lipat dari yang dilaporkan setiap hari.

Minimnya pemeriksaan membuat singkapan gunung es kasus Covid-19 semakin hari semakin jauh dari kenyataan. Kecepatan bergerak virus ini telah melampaui upaya kita menyingkap selubung esnya.

Sayangnya, di tengah kondisi yang semakin gawat ini, kita belum juga memiliki satu tekad bahwa musuh bersama adalah virus SARS-CoV-2, pemicu Covid-19. Ketika bahaya sudah mengetuk pintu rumah, kita masih saja ribut sendiri.


Saat banyak dokter dan tenaga medis meninggal, mereka yang menyampaikan belasungkawa dituding mempolitisasi tragedi. Demikian halnya, saat Ikatan Dokter Indonesia (IDI) resah dengan kematian sejawat mereka dan meminta jaminan alat pengaman diri, tak sedikit yang menghujat mereka hendak mempolitisasi keadaan.

Penyakit sosial ini menginfeksi banyak orang di Indonesia tanpa pandang status sosial, sejak virus Corona baru ini masih merebak di Wuhan, China. Publik pun terbelah, lebih tepatnya dibelah oleh narasi para politisi dan pengurus negara. Mereka yang mengingatkan adanya ancaman bahaya dan mendorong kesiapsiagaan, dicibir, dan dianggap menakut-nakuti.

Ketika wabah meluas dan negara-negara lain menyatakan telah terinfeksi Covid-19, publik negeri ini justru semakin terbelah. Bahkan, ketika negara jiran kita, Singapura, menaikkan status bahaya karena adanya penularan domestik pada 10 Februari 2020 lalu, banyak yang mencibirnya sebagai berlebihan.


Salah satu pesan populer yang beredar di media sosial di Indonesia awal Februari 2020 menyebutkan, “Mau virus flu Singapura, virus MERS, dll, karena kita hidup di negara tropis dengan kelembaban yang sangat tinggi, di mana-mana udara kotor, jadi tubuh kita lebih kebal daripada mereka-mereka.

Pesan ini diamini banyak orang, termasuk para akademisi dan bahkan pengurus negeri, yang saat itu beranggapan tiadanya kasus di Indonesia sebagai prestasi. Ketika ada yang mengingatkan bahwa tiadanya kasus di Indonesia karena masalah dalam deteksi, justru dianggap sebagai penghinaan terhadap bangsa ini.

Berulang kali para pengurus negara, terutama Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, menyampaikan bahwa Covid-19 ini tidak perlu ditakuti, mirip flu biasa, bisa sembuh sendiri, Indonesia aman karena kebal dan tropis, hingga tingkat kematiannya rendah, dan santai saja.


Bahkan, saat negara lain mulai menutup pintu masuk, pemerintah menunjukkan sikap sebaliknya dengan menggelontorkan insentif dan promo wisata.

Bahkan, saat pandemi sudah mengepung dan Jabodetabek memerah karena luasnya sebaran, publik kembali dibelah. Wacana lockdown atau karantina wilayah menjadi pro dan kontra, yang tendensinya lebih ke politik dibandingkan dengan substansi dan urgensi kebijakan.

Ini mirip dengan pembelahan dukungan terkait normalisasi dan naturalisasi dalam mengatasi banjir Jakarta. Dua kubu terus berseteru, sampai lupa bahwa korban membutuhkan langkah segera.

Kini, meski korban semakin banyak berjatuhan dan rumah sakit kewalahan menampung yang sakit, publik tak juga bersatu. Mereka yang mengkritik dan mengingatkan pemerintah agar lebih progresif, dibelah dengan narasi, “Daripada mengkritik, lebih baik saling membantu, berpikir positif, dan jangan sebarkan berita-berita tentang Corona lagi.


Padahal, saling bantu dan membangun optimisme bukanlah oposisi biner dengan kritik untuk perbaikan penanganan Covid-19. Justru semuanya sama-sama diperlukan sehingga tak perlu dipertentangkan.

Bahkan, kita harus mencatat kekeliruan kebijakan yang terjadi sejak awal wabah ini, agar menjadi pelajaran bagi generasi mendatang. Bangsa yang baik adalah bangsa yang mau selalu belajar.

Mereka yang merasa sudah membantu, tidak perlu mencela yang mengkritik pemerintah agar segera memperbaiki langkah. Tidak sedikit yang mengkritik juga turut membantu. Tidak perlu diperbandingkan mana yang paling berjasa.

Pemerintah memang perlu terus diingatkan tentang pentingnya tes massal Covid-19, penelusuran kontak, dan perkuatan layanan medis, selain soal jaminan ketersediaan alat pengaman diri (APD) untuk tenaga medis.


Kontestasi politik
Pembelahan yang terjadi saat ini tak bisa dilepaskan dari kontestasi politik yang belum usai. Ini seperti kutukan. Mereka yang memanfaatkan pembelahan sentimen massa dalam pemilihan umum, bakal kesulitan mendamaikan dan menyatukan hati publik.

Keberadaan para buzzer politik yang bergentayangan sejak pemilihan umum telah memperparah pembelahan massa. Mereka terus memanasi para kubu untuk mencemooh jagoan rival.

Butuh berapa banyak lagi kematian agar kita semua sadar bahwa pandemi Covid-19 ini bukan urusan politik. Virus ini jelas tidak berpartai, tidak beragama, tidak mengenal ideologi, dan strata sosial. Siapa pun yang berada dalam jangkauannya bakal terinfeksi.

Mereka yang sudah mati juga bukan sekadar angka, tetapi memiliki relasi sosial yang semakin mendekat ke lingkaran hidup kita. Waktu kita saat ini semakin pendek. Namun, tak pernah ada kata terlambat untuk menyelamatkan diri.


Jika berbulan-bulan kita kehilangan arah dalam menangani wabah, kini saatnya Presiden Joko Widodo tampil ke depan dengan langkah-langkah progresif.

Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang semula juga menyangkal dan menyepelekan ancaman Covid-19, bahkan membangun narasi antisains mirip para politisi di Indonesia, kini hampir tiap hari tampil di televisi, seperti jenderal perang yang menghadapi kondisi gawat.

Trump agaknya mencoba mengatasi ketertinggalan dengan mengerahkan tes massal, sekalipun wabah telanjur parah sehingga laju korban di AS cukup tinggi. Sebuah harga mahal yang harus dibayar akibat penyangkalan.


Kita memang menghadapi virus baru yang memiliki kemampuan menyebar secara eksponensial. Jika sebelumnya dibutuhkan waktu 3 bulan untuk mencapai jumlah kasus 1 juta di seluruh dunia. Kini hanya butuh waktu kurang dari 10 hari untuk mencapai 1 juta berikutnya.

Inilah kecepatan penggandaan itu. Makin cepat penularannya, makin pendek waktu yang dibutuhkan untuk menggandakan jumlah infeksi.

Jika tak ada upaya segera, jangankan untuk menangani pasien, untuk menguburkan korban yang mati pun kita bakal kewalahan. Kita akan bisa menghadapi pandemi ini hanya jika kita bersatu dan menjadikan Covid-19 sebagai musuh bersama.

Ahmad Arif,
Wartawan Kompas
KOMPAS, 9 April 2020

Thursday, March 12, 2020

Herbal dan Virus Corona Baru


Belum adanya vaksin ataupun obat untuk mencegah terjangkit virus Corona baru dan mengobati Covid-19 membuat orang berpaling pada herbal. Apalagi ketika ahli flu burung Prof CA Nidom dari Universitas Airlangga yang sedang mengembangkan vaksin Corona dengan memanfaatkan herbal, menganjurkan warga untuk mengonsumsi herbal terutama yang mengandung kurkumin untuk mengurangi akibat buruk Covid-19. Masyarakat pun beramai-ramai membeli sumber kurkumin seperti  kunyit, temulawak dan jahe.

An electron microscopic image of the 2019 novel coronavirus grown in cells at The University of Hong Kong. Source: The University of Hong Kong.

Apakah herbal mampu mengatasi virus Corona baru alias SARS-CoV-2 dan menyembuhkan Covid-19? Sejauh ini belum ada penelitian ilmiah yang membuktikan hal itu.


Namun, sejak lama herbal, terutama kunyit dan jahe, dipercaya memiliki khasiat sebagai antiperadangan dan antioksidan, selain berbagai khasiat lain untuk mengatasi gangguan kesehatan. Namun, klaim khasiat itu lebih banyak dari pengalaman empirik, bukan hasil uji klinis standar untuk pengobatan modern.


Sebenarnya peradangan  penting untuk membantu tubuh melawan mikroorganisme asing serta berperan memperbaiki kerusakan jaringan. Tanpa peradangan, bakteri, virus atau jamur mudah menguasai tubuh dan membunuh manusia. Dalam jangka pendek, peradangan bermanfaat, namun bila berlangsung lama atau peradangan terjadi akibat autoimun, di mana sistem kekebalan menyerang tubuh, maka hal itu menjadi masalah besar.

Susan J Hewlings (kiri) dan Douglas S Kalman (kanan).

Susan J Hewlings dari Departemen Gizi, Universitas Central Michigan, Amerika Serikat, dan Douglas S Kalman, dalam artikel meta analisis berbagai penelitian tentang kurkumin yang dimuat di jurnal Foods, 22 Oktober 2017, menyatakan, manfaat umum kurkumin adalah sebagai antioksidan dan antiperadangan. Salah satu hasil riset menunjukkan, suplemen kurkumin secara signifikan mampu menurunkan konsentrasi serum sitokin, protein yang berperan dalam inflamasi, pada subyek dengan sindrom metabolik.


Penelitian menunjukkan, kurkumin membantu pengelolaan kondisi oksidatif dan peradangan, sindrom metabolik, radang sendi, kecemasan, dan hiperlipidemia. Zat ini juga membantu mengatasi peradangan dan nyeri otot akibat olahraga, sehingga meningkatkan pemulihan dan kinerja pada orang yang aktif. Selain itu, dosis relatif rendah dapat memberikan manfaat bagi orang sehat.

Ann M Bode dan Zigang Dong.

Adapun jahe, menurut artikel yang ditulis Ann M Bode and Zigang Dong dalam buku Herbal Medicine: Biomolecular and Clinical Aspects, 2nd edition, 2011, yang dimuat di laman Pusat Informasi Bioteknologi Nasional (NCBI) AS, telah digunakan selama ribuan tahun untuk pengobatan berbagai penyakit, seperti batuk pilek, mual, radang sendi, migren, dan hipertensi.


Setidaknya ada 115 senyawa dan metabolit dalam jahe diidentifikasi dalam berbagai riset analitik. Komponen bioaktif yang paling banyak dipelajari adalah gingerol dan shogaol.


Mayoritas bukti ilmiah menunjukkan, jahe memiliki efek antiperadangan dalam penelitian di laboratorium. Namun, aktivitas fisiologis pada manusia belum jelas, sehingga perlu penelitian lebih lanjut pada manusia.


Terlepas dari belum adanya uji klinis terkait kemampuan melawan virus Corona baru pada tubuh manusia, konsumsi kunyit dan jahe cukup aman dan bermanfaat untuk menjaga kesehatan.

Atika Walujani Moedjiono
KOMPAS, 11 Maret 2020