Monday, June 14, 2010

Masterpiece karya Allah: Menemukan Kembali al-Qur’an


Rata-rata 4 kali perminggu saya mengalami forum dengan ratusan atau ribuan orang. Kalau di luar negeri, tentulah audiensnya puluhan atau ratusan, kecuali di Malaysia. Sekitar 85% audiensnya adalah orang beragama Islam. Forum itu sendiri 60% acara Kaum Muslimin, 30% umum, 10% forum khusus saudara non-Muslim. Perjalanan keliling itu berlangsung puluhan tahun, dan sepuluh tahun terakhir ini frekuensinya meningkat sekitar 30%.

Tentu sangat banyak saya berguru pada mereka, sangat tidak seimbang dengan amat sedikitnya manfaat yang saya bisa kontribusikan. Saya, sendiri atau bersama Kiai Kanjeng, berposisi amat berterima kasih kepada publik, sementara hak kami untuk diterimakasihi sangat sedikit.

Saya kisahkan di sini satu hal: bahwa saya tidak pernah menyia-nyiakan perjumpaan dengan banyak orang untuk melakukan semacam direct research kecil-kecilan. Mungkin lebih bersahaja: jajak pendapat, tentang sejumlah hal prinsipil nilai orang hidup berbangsa, beragama dan bernegara. Serta sejumlah konteks aktual yang durasi dan akurasinya tidak berlaku terlalu lama. Itupun lebih saya persempit lagi: yakni sejumlah jajak pendapat dengan berbagai-bagai kalangan Ummat Islam.

Yang hasilnya terlalu lucu, naif atau sangat kurang berpengetahuan, sebaiknya tidak saya paparkan, agar saya tidak menjadi komoditas bagi penjaja tema pelecehan Islam. Umpamanya saya bertanya: “Rasulullah menyatakan bahwa Ummat Islam akan terbagi menjadi 73 bagian, yang diterima Allah hanya satu. Anda semua ini termasuk yang 72 atau yang 1?”. 100% ummat yang saya jumpai di berbagai wilayah, strata dan segmen, menjawab sama: “Yang 1″.

Yang paling terasa pada publik Islam adalah ketidaksanggupan massal untuk membedakan antara kemungkinan, kenyataan dan keinginan. Jawaban “Yang 1″ itu rata-rata tidak mereka kejar ke dalam diri mereka sendiri apakah itu keinginan, kemungkinan ataukah kenyataan. Terlalu jauh kalau saya menuntut mereka agar cukup memiliki parameter untuk mengukur tingkat kemungkinan dan kadar kenyataan mereka akan diterima Allah atau tidak, sebab kelihatannya ruang batin mereka sudah sangat dipenuhi oleh keinginan, yang tak terurai secara rasional dan intelektual.

Terkadang saya menggoda: “Ibu-ibu, Bapak-bapak, mohon maaf saya sendiri menemukan diri saya di antara yang 72 golongan. Saya penuh dosa dan ketersesatan, sehingga sama sekali tidak berani menyatakan bahwa saya akan pernah diterima oleh Allah. Kelihatannya kans saya untuk masuk neraka lebih besar dibanding masuk sorga.”

Sering saya menyesal atas pernyataan seperti itu, karena jelas saya memberi beban pikiran dan kegelisahan hati yang menambah keruwetan hidup mereka yang sudah sangat ruwet oleh Indonesia. Apalagi mereka rata-rata tidak punya kapasitas untuk mengidentifikasi apakah pernyataan saya itu bersifat intelektual ataukah bernuansa kultural —sebagaimana sahabat kita yang kaya menawari kita “Ayo mampir dong ke gubug saya…”. Padahal harga rumahnya 5 M.

Di saat lain saya bertanya: “Kalau pergi umroh atau haji, ketika berthawaf: Sampeyan cenderung mendekat-dekat ke Ka’bah termasuk supaya bisa mencium Hajar Aswad, ataukah cenderung meletakkan diri jauh-jauh dari rumah Allah?”. 100% menjawab “mendekat-dekat ke Ka’bah”. Terhadap dialog tema ini kadang saya menggoda: “Mohon maaf saya sendiri termasuk orang yang takut-takut mendekat ke rumah Allah. Datang ke Mekkah saja pekewuh. Bahkan ketika berthawaf saya hanya berani melirik sedikit-sedikit atau mencuri pandang ke Ka’bah. Sebab saya tidak merasa pantas bertamu ke rumah Allah. Bau saya busuk, kelakuan saya buruk, tidak ada cukup kepantasan untuk berada di dekat rumah Allah”.

Terkadang saya terpeleset untuk mengungkapkan: “Coba Sampeyan sebut satu saja Nabi dan Rasul yang pernah menyatakan bahwa dirinya baik. Setahu saya hampir semua menyatakan dirinya dhalim”.

Di saat lain, rajin saya bertanya kepada Ummat Islam: “Apa bekal utama manusia untuk menjadi Muslim yang baik?”

100% menjawab: “Qur’an dan Hadits”. Sungguh-sungguh sangat lama saya merindukan ada jawaban yang berbeda, dan sampai hari ini belum Allah perkenankan. Memang begitu sucinya, begitu sakral dan utamanya Kitab Suci Allah dan penuturan Rasul-Nya, sehingga Ummat Islam kebanyakan lupa pada kalimat kecil di Kitab Suci itu sendiri: “Sesungguhnya Aku menciptakan manusia sebagai masterpiece…” Inna khalaqnal insana fi ahsani taqwim.

Karya Allah yang tertunggul dan tertinggi derajatnya bukan Malaikat, bukan al-Qur’an, melainkan manusia.

Dengan sedih terpaksa saya katakan bahwa modal utama manusia untuk menjadi Muslim bukan al-Qur’an, melainkan akal.

Tidak fair kalau bekal utama manusia untuk menjadi Muslim adalah al-Qur’an. Pertama, zaman pasca-Muhammad hingga sekarang jauh lebih singkat dibanding pra-Muhammad sejak Adam as. Kedua, kalau Qur’an adalah modal utama, harus kita pastikan bahwa semua Nabi, Rasul dan ummat manusia sebelum Muhammad bukanlah Muslim. Dengan kata lain harus kita batasi kepercayaan dan wacana Islam hanya dimulai sejak kerasulan Muhammad. Ketiga, al-Qur’an bukan makhluk hidup. Ia tidak bisa menjadi subyek aktif atas proses berlangsungnya kehidupan manusia. al-Qur’an bukan pelaku perubahan, pembangunan sejarah dan peradaban ummat manusia. al-Qur’an itu alat perubahan.


Keempat, untuk menyebut secara sederhana: al-Qur’an 100% sia-sia bagi manusia yang tidak menggunakan modal utamanya sebagai manusia, yakni aktivitas akal. al-Qur’an jangan disodorkan kepada kambing, meskipun ia punya otak. Sedikit ke cabang: otak itu hardware. Untuk membuat otak melakukan pekerjaan berpikir, diperlukan software yang bernama akal. Al-’aql. Akal tidak terletak, atau sekurang-kurangnya tidak berasal-usul dari dan di dalam kepala manusia, melainkan berasal dari semacam mekanisme dialektika yang dinamis dari luar diri manusia, mungkin semacam gelombang elektromagnetik yang berpendar-pendar di seluruh lingkup alam semesta, namun dikhususkan menggumpal dan mengakurasi ke seputar ubun-ubun kepala setiap manusia.

Oleh karena itu prinsip utama menjalani Islam adalah ijtihad. Kalau jihad itu segala upaya perjuangan manusia menghidupi kehidupan. Ijtihad itu perjuangan intelektual. Mujahadah itu perjuangan spiritual. Ratusan kali Allah memfirmankan; “Apakah engkau tidak berpikir?” “Apakah engkau tidak menggunakan akal?”

Masyarakat Barat dan Jepang, Korea, Cina sangat aktif melakukan ijtihad dan menguasai peradaban. Kaum Muslimin terlalu aktif bermujahadah tanpa imbangan ijtihad sehingga produknya adalah dekadensi dan inferioritas. Tetapi memang tidak mengherankan jika Ummat Islam stuck dalam hal ijtihad. Al-fikr itu pikiran, kata kerjanya yatafakkar, berpikir. Al-aql itu akal: bahasa Indonesia hanya kenal kata kerja “mengakali” dari kata dasar akal. Mengakali itu pekerjaan sangat mulia: ialah memandang dan memperlakukan segala sesuatu dengan daya akal. Tetapi “mengakali” dalam bahasa Indonesia adalah menipu, mencurangi, menyiasati dalam konotasi negatif.

Agak aneh Allah memerintahkan “Taatilah Allah, Rasul-Nya dan ulil amr di antara kalian”, tetapi yang terjadi adalah ketaatan kepada para penerus Rasul atau yang dianggap oleh umum atau yang menganggap dirinya penerus Rasul —namun tanpa tradisi ijtihad, sementara ulul amr, “petugas urusan-urusan” tak pernah ditegasi konteks dan subyeknya. Apakah Ulama mengurusi petani dan pertanian sehingga ditaati? Apakah Ustadz mengurusi pasar dan penggusuran sehingga dipatuhi? Apakah Kiai mengurusi, menguasai, memahami, mengerti dan mendalami teknologi, industri, ketatanegaraan, konstitusi dan hukum, pemetaan sosial masyarakat, hutan, sungai, laut, sehingga dipatuhi?

Hampir tak pernah terdengar fatwa tentang kehidupan nyata manusia dan masyarakat. Barusan ada fatwa satu tentang nuklir: cabang bilang haram, pusat bilang halal. Bagaimana kok ada organisasi cabangnya haram pusatnya halal. Bagaimana ada makhluk tak jelas Malaikat atau Setan. Ada satu lagi saya simpan fatwa tentang jual beli dang ganti rugi: mudah-mudahan jangan ada versi counter fatwa, karena fatwa itu tidak didasari konsiderasi ilmiah dan penelitian rasional apapun.

Islam tumbuh di Musholla dan Masjid, bertahan kerdil dalam kesempitan dan kejumudan. Pengadilan Agama hidup dari konflik-konflik rumahtangga, tidak berurusan dengan keadilan keuangan rakyat, dengan keadilan atas sungai dan hutan, dengan keadilan politik, perekonomian, ekosistem, internet —sesekali muncul dari pintu belakang fatwa dan pernyataan keadilan halal dan haram tentang Presiden wanita haram, beberapa tahun kemudian berbalik menjadi halal berdasar sisi kepentingan yang sedang disangga.

Pemain-pemain sepakbola diidentifikasi, diuji, dianalisis dan dipilih oleh expert sepakbola, pelatih dan official. Kiai, Ulama, Ustadz diidentifikasi, diuji, dianalisis dan dipilih berdasarkan mata pandang industri dan kepentingan komersial. Orang Islam terlalu jauh meninggalkan akal sebagai modal utama kemuslimannya. Mereka salah sangka terhadap al-Qur’an, dan kurang peka memikirkan kemungkinan bahwa Iblis dan Setan sejak zaman dahulu kala sudah fasih membaca Quran dan mungkin menghapalnya, sebagai satu bagian strateginya untuk mengalahkan manusia.

Emha Ainun Nadjib, Budayawan
http://www.padhangmbulan.com/kolom-emha/masterpiece-karya-allah-menemukan-kembali-al-quran/

Saturday, June 5, 2010

Lebih Baik Mengundurkan Diri


Berita dari Tokyo, kemarin (2/6/2010), sungguh menarik. Perdana Menteri Jepang Yukio Hatoyama mengundurkan diri karena tak mampu menggenapi janji pemilunya.

Bagi kita di Indonesia, meskipun tidak bisa dibandingkan secara sejajar, hal seperti itu terasa amat menarik. Bahkan, janggal. Di negeri kita, budaya mundur tidak ada atau bahkan mungkin ”tidak kita kenal”.

Barangkali orang malah mengatakan, amat sayang meninggalkan jabatan yang diinginkan banyak orang. Perlu dipahami bahwa jabatan bisa diburu, bahkan dalam banyak kasus bisa ”dibeli”, tetapi kepemimpinan tidak bisa. Jabatan bisa direkayasa, kepemimpinan tidak.

Apa yang dilakukan Hatoyama menjelaskan akan hal itu. Perdana Menteri Jepang itu mengundurkan diri karena merasa tidak bisa memenuhi janji kampanye pemilu.

Saat kampanye pemilu dulu, Hatoyama berjanji akan membongkar habis pangkalan militer Amerika Serikat di bagian selatan Pulau Okinawa, Jepang selatan. Akan tetapi, ia kini mengatakan hal yang sebaliknya, yakni tetap akan mempertahankan pangkalan militer AS itu.


Pangkalan militer itu, Futenma, hanya akan dipindahkan ke Okinawa bagian utara. Tentu saja, keputusan tersebut mengecewakan. Itu berarti, tentara AS tetap akan berpangkalan di Jepang. Tentara AS yang ditempatkan di Jepang berjumlah 47.000 orang, dan lebih dari separuhnya ditempatkan di Okinawa.

Sangat wajar kalau Hatoyama dari Partai Demokrat Jepang, yang menjadi perdana menteri sejak September lalu, dinilai tidak bisa memegang janji. Ia yang dulu diharapkan akan mengangkat pamor Jepang kembali kini dinilai sebagai pemimpin yang tidak tegas, lemah. Padahal, ketika akhir tahun lalu partainya berhasil mengalahkan Partai Demokrat Liberal yang sudah berkuasa lebih dari 50 tahun, rakyat Jepang berharap besar kepadanya.

Kini, tingkat popularitas Hatoyama anjlok drastis, dari lebih 70 persen menjadi hanya 17 persen. Hatoyama sendiri mengakui ”tidak mampu menjadikan karakter utama —teguh, pantang menyerah, dan berpendirian tegas— Jepang menjiwai politik”.

Memang, janji pemilu tidak bisa dianggap remeh, terutama bagi negara-negara yang rakyatnya sudah sadar dan melek politik serta tidak mudah lupa. Janji adalah utang dan utang harus dilunasi. Janji bukan sekadar pemanis kampanye atau hanya bagian dari marketing politik yang tidak harus dilaksanakan.

Karena itu, memenuhi atau mengingkari janji yang pernah diucapkan akan menjadi ukuran kualitas sang pemimpin. Sebab apa lagi yang bisa dipegang dari seorang pemimpin kalau bukan ucapan dan perbuatannya. Bagi Hatoyama, lebih baik mundur daripada dianggap sebagai pemimpin yang dusta. Mengundurkan diri adalah bentuk pertanggungjawabannya.

Tajuk Rencana KOMPAS, 3 Juni 2010


Yukio Hatoyama (lahir di Tokyo, Jepang, 11 Februari 1947; umur 63 tahun) adalah Perdana Menteri Jepang. Ia menjabat sebagai perdana menteri mulai 16 September 2009 menggantikan Taro Aso. Ia berasal dari Partai Demokratik Jepang yang mengakhiri kekuasaan dari Partai Demokratik Liberal. Pada 2 Juni 2010, Yukio dilaporkan telah mundur dari jabatannya.

http://id.wikipedia.org/wiki/Yukio_Hatoyama


DPJ Cari Pemimpin Baru Setelah PM Hatoyama Mundur

Partai Demokrat Jepang atau DPJ berjuang mencari pemimpin baru setelah Perdana Menteri Yukio Hatoyama mengundurkan diri, Rabu (2/6). Menteri Keuangan Naoto Kan kemungkinan besar akan menggantikan Hatoyama.

”Saya akan mengundurkan diri. Kinerja pemerintah tidak merefleksikan keinginan rakyat. Saya minta maaf kepada Anda sekalian para anggota parlemen karena telah menimbulkan kesulitan besar,” kata Hatoyama, dengan mata berkaca-kaca.

Naik ke puncak kekuasaan delapan bulan lalu dalam pemilu bersejarah setelah menghentikan lebih dari 50 tahun kekuasaan kubu konservatif, Hatoyama mencuri perhatian para pemilih Jepang dengan janji melakukan perubahan di pemerintahan. Merasa tidak mampu memenuhi janji itu, Hatoyama pun memilih mundur.

Kala itu, Hatoyama berjanji memindahkan pangkalan militer AS dari Okinawa. Penduduk Okinawa telah lama mengeluhkan kebisingan pesawat tempur, polusi, dan kejahatan terkait kehadiran 47.000 tentara AS di Pangkalan Militer Futenma itu.

Dengan alasan ketegangan yang tengah terjadi di Semenanjung Korea, Hatoyama mengatakan adanya potensi ketidakstabilan di Asia Timur dan perlunya pakta keamanan AS-Jepang. ”Kerja sama antara Jepang dan AS tidak bisa dihindarkan bagi perdamaian dan keamanan Asia Timur. Maka, saya meminta warga Okinawa, dengan sangat menyesal, untuk menanggung beban ini,” ujarnya.

Alasan kedua pengunduran diri Hatoyama adalah skandal pendanaan politik yang turut menyeret orang nomor dua DPJ, Ichiro Ozawa. Ozawa, yang digambarkan sebagai ”shogun bayangan”, juga mengundurkan diri kemarin.

Politik kita harus bebas dari uang. Kita harus sepenuhnya bersih guna merevitalisasi partai kita,” ujar Hatoyama.


Keempat
Hatoyama menjadi perdana menteri Jepang keempat yang mundur dalam empat tahun terakhir. Spekulasi memang telah bergulir selama beberapa hari bahwa Hatoyama akan mundur setelah angka dukungan baginya —yang saat mulai berkuasa di atas 70 persen— merosot tajam menjadi tinggal 17 persen.

Pengunduran diri itu jelas karena dia mengabaikan suara rakyat,” kata Mizuho Fukushima, pemimpin Partai Demokrat Sosial, mitra koalisi DPJ, yang didepak dari kabinet karena menolak keputusan soal Futenma.

Saya memiliki harapan besar saat dia berkuasa, tetapi sekarang saya sangat kecewa karena ternyata dia kurang memiliki kepemimpinan,” ujar Mieko Ohashi, karyawan di Tokyo.

Partai oposisi, yakni Partai Demokratik Liberal (LDP), mengkritik pengunduran diri Hatoyama dan menyebutnya sebagai perubahan untuk mengilapkan penampilan partai di mata pemilih. ”Kalau ini jawaban mereka kepada pemilih, mereka seharusnya membubarkan parlemen dan mencari mandat publik baru,” kata pemimpin LDP Tadamori Oshima.

Analis meyakini, turunnya angka persetujuan bagi DPJ disebabkan duet Hatoyama-Ozawa. ”Kini setelah keduanya pergi, DPJ bisa menunjukkan kepada pemilih bahwa mereka bisa memerintah lebih baik,” kata Tsuneo Watanabe dari lembaga pemikir Tokyo Foundation. Jepang akan menggelar pemilu majelis tinggi pada bulan Juli.

Perdana menteri baru akan dipilih pada Jumat. Naoto Kan dipandang lebih lugas dan berpikiran terbuka. Selain Kan, Menteri Luar Negeri Katsuya Okada, Menteri Transportasi Seiji Maehara, dan Wakil Menteri Keuangan Yoshihiko Noda juga diperkirakan akan meramaikan bursa pemilihan pengganti Hatoyama.

KOMPAS, 3 Juni 2010


Jepang Pasca-Hatoyama

Mundurnya Yukio Hatoyama dari kursi perdana menteri memperpanjang episode pergantian kepemimpinan yang ”rutin” terjadi di Jepang empat tahun terakhir.

Hatoyama mundur setelah popularitasnya menurun drastis akibat keputusannya mempertahankan pangkalan militer AS di Okinawa. Dalam kampanye tahun lalu, Hatoyama berjanji akan memindahkan pangkalan militer AS ke luar Pulau Okinawa, kalau perlu ke luar wilayah Jepang. Namun, ketegangan antar-dua Korea dan makin aktifnya angkatan laut China menjadi dasar Hatoyama mempertahankan pangkalan AS di Okinawa.

Lewat pemilu majelis rendah Agustus 2009, Hatoyama bersama partai yang dipimpinnya, Partai Demokrat Jepang (DPJ), menyingkirkan Partai Demokratik Liberal (LDP) yang telah berkuasa 55 tahun. Pengunduran diri Hatoyama membuat masa depan DPJ dan politik Jepang dalam tanda tanya besar.

Selain Hatoyama yang dikritik tidak konsisten, Ichiro Ozawa —dikenal sebagai king maker dan ahli strategi pemenangan pemilu— juga mundur sebagai Sekretaris Jenderal DPJ. Sorotan publik pada Ozawa meningkat sejak terungkapnya skandal pendanaan politik sehingga tiga mantan pembantu Ozawa diadili. Skandal ini turut memperlemah kepercayaan publik kepada DPJ yang mengampanyekan good governance dan transparansi sebagai salah satu agenda politiknya.


Kompleksitas masalah
Ketidakpuasan publik juga dipicu ketidakjelasan visi dan arah pembangunan ekonomi pemerintahan Hatoyama. Berasal dari keluarga mapan, Hatoyama dinilai tidak dapat memecahkan persoalan riil masyarakat Jepang, terutama meningkatnya rasa tidak aman sosial-ekonomi akibat liberalisasi ekonomi pemerintahan LDP dua dekade terakhir, berpuncak pada masa PM Junichiro Koizumi yang pro-bisnis.

Selama ini, isu-isu populis menjadi daya tarik DPJ. Dalam kampanyenya, Hatoyama dan para tokoh DPJ mengumandangkan slogan ”Putting People’s Lives First” dalam bentuk kebijakan-kebijakan konkret, antara lain memberikan tunjangan bulanan 26.000 yen kepada setiap anak di Jepang. Namun, dengan alasan pengetatan anggaran Hatoyama memotong separuhnya menjadi 13.000 yen.

Sampai dekade 1980-an, Jepang terkenal dengan sistem kerja seumur hidup dan hubungan harmonis antara pengusaha dan pekerja. Meningkatnya arus globalisasi dan munculnya pesaing ekonomi seperti Korsel dan China memaksa sektor swasta Jepang berubah. Saat ini, lebih dari 17 juta pekerja di Jepang masuk kategori pekerja tidak tetap (irregular workers), dengan hak-hak dan fasilitas yang jauh berbeda dibanding pekerja tetap (full time workers). Itu berarti, 34 persen dari total angkatan kerja, meningkat dari 25 persen pada 1999 dan 15 persen pada 1984.

Pemerintahan Hatoyama berusaha membela kalangan pekerja tidak tetap dengan mengajukan rencana undang-undang yang melarang sistem borongan (dispatch labour) dan kontrak kerja sehari (one-day contracts) di sektor manufaktur.

Inisiatif Hatoyama disambut dingin kalangan pebisnis ataupun pekerja karena dinilai hanya meningkatkan angka pengangguran. Kalangan bisnis merasa tetap dapat mencegah peningkatan full time workers dengan memperbesar jumlah pekerja sub-kontrak (sub-contract workers) dengan hak dan perlindungan kerja lebih minimal.


Pasca-Hatoyama
Ironisnya, pengunduran diri Hatoyama terjadi saat indikator ekonomi makro Jepang menunjukkan angka mencengangkan. Pertumbuhan ekonomi tahunan dalam triwulan pertama tahun 2010 mencapai 4,9 persen, melampaui angka pertumbuhan ekonomi masa Koizumi yang berkisar 3 persen. Dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi minus 15,9 persen dalam triwulan I-2009, ini jelas merupakan kemajuan fenomenal.

Namun, masyarakat Jepang tahu, peningkatan pertumbuhan ekonomi ini terutama didorong oleh pemulihan kembali permintaan ekspor produk manufaktur Jepang seiring pulihnya ekonomi global dari krisis, bukan karena kerja keras Hatoyama.

Menurunnya popularitas DPJ dalam waktu kurang dari setahun dikhawatirkan akan memperpanjang ketidakpastian politik. Meski mampu mengontrol suara mayoritas dalam majelis rendah, namun kemungkinan gagalnya DPJ mempertahankan mayoritas suara di majelis tinggi dalam pemilu 11 Juli mendatang akan berdampak luas. Termasuk bakal terhambatnya rencana kebijakan fiskal yang sedang dirancang pemerintahan DPJ untuk mengurangi porsi utang pemerintah jangka panjang.


Seperti yang dihadapi Barack Obama di AS, platform politik DPJ yang populis melahirkan konsekuensi peningkatan belanja pemerintah, yang banyak dibiayai utang dari pasar finansial. Menggunungnya utang Pemerintah Jepang yang mencapai lebih dari 200 persen dari GDP memerlukan pemecahan mendesak di tengah kemungkinan ancaman perluasan krisis utang Yunani.

Seperti kebanyakan negara maju yang terhantam krisis global, Jepang telah mengalirkan uang ke sektor finansial untuk mencegah memburuknya ekonomi. Meski dinilai berhasil menstabilkan pasar dan mendorong pemulihan ekonomi, kondisi ini dapat berdampak buruk dalam jangka panjang. Tanpa reformasi fiskal yang cermat, rasio utang pemerintah terhadap GDP Jepang diprediksi menjadi 250 persen pada tahun 2015.

Itu semua memberikan gambaran, pengganti Hatoyama akan menghadapi permasalahan politik, ekonomi, dan sosial yang begitu kompleks. Tidak heran jika kelak ia juga akan turut memperpanjang daftar para pemimpin Jepang yang mundur di tengah masa jabatannya.

Syamsul Hadi,
Pengajar Ekonomi Politik Internasional di FISIP UI
KOMPAS, 4 Juni 2010

Wednesday, May 26, 2010

Sekber Golkar Plus


Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Golkar pilihan Munas di Riau tahun lalu, ternyata sungguh-sungguh mulai menepati janjinya di depan Munas Riau. Di hadapan keluarga besar Partai Golkar, ia berjanji mengerahkan seluruh sumber dayanya untuk mengembalikan kejayaan yang pernah diraih Sekretariat Bersama Golongan Karya, Sekber Golkar, dalam lebih dari tiga dekade di panggung perpolitikan nasional.

Pada 6 Mei lalu di Cikeas, secara cerdik dan telak ia berhasil mengunci kesepakatan politik dengan pensiunan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono di markas-kebijakan Partai Demokrat (PD) itu. Bermodalkan kecerdikan pembacaan peta politik dan karakter personal SBY serta disertai dengan manuver licik, terukur, dan dingin (shrewedness), Ical, sapaan akrabnya, berhasil menekuk jenderal asal Pacitan ini untuk menerima kenyataan bahwa hanya dengan mengandalkan hubungan yang bersahabat dengan Golkarlah pemerintahan SBY-Boediono bisa selamat sampai tahun 2014.

Posisi sebagai Ketua Harian Sekber Koalisi akan memberi kesempatan yang luas bagi Ical untuk mengulang kisah sukses Sekber Golkar pada awal Orde Baru. Selamat datang Sekber Golkar Plus, gabungan pragmatis antara para politisi Soehartois-Orde Baru yang promodal dengan politisi oportunis, miskin karakter, produk Reformasi yang telah melupakan rakyat.


Bukan tandingan
Sudah sangat jelas sejak awal Reformasi, 12 tahun lalu, bahwa sebagai akibat tekanan pengerdilan terhadap parpol di era Orde Baru, satu-satunya parpol yang paling kokoh secara institusional, organisasional, dan kepemimpinan adalah Golkar. Demikian kenyalnya kekokohan Golkar dalam hampir semua bidang kelembagaan sehingga, walaupun partai Beringin ini babak-belur diterpa badai Reformasi, ia tetap membandel tegak walau agak oleng. Begitu badai Reformasi mulai mereda, Golkar bangkit kembali secara bertahap. Walau terus mengalami penyusutan perolehan suara dalam tiga pemilu sejak 1999, Partai Golkar ogah dihabisi dengan mudah.

PD dan Partai Keadilan Sejahtera adalah dua parpol pendatang baru produk Demokrasi yang sampai titik tertentu mampu mengembangkan kekokohan institusional, organisasional, dan kepemimpinan ala Golkar. Namun, tetap saja sama sekali belum menyamai keunggulan Partai Golkar. Karena itu, dalam dinamika Sekber Golkar Plus sampai dengan 2014 akan sangat diwarnai secara kuat oleh kepemimpinan Golkar dalam kendali Ical. Baik cetak biru maupun warna biru kebijakan pemerintahan SBY-Boediono akan kian memudar teralingi oleh warna kuning yang diperkirakan akan kian asertif dalam forum Sekber Golkar Plus.

Paling kurang ada tiga keunggulan tak tertandingi yang dipunyai Golkar saat ini dibandingkan dengan anggota koalisi lain. Pertama, dalam kualitas ketegasan arah kepemimpinan. Dalam hal ini, nyaris tidak satu pun dari jajaran pimpinan parpol-parpol sekarang ini yang dapat menandingi kualitas kepemimpinan Ical, syahdan SBY sekalipun. Ketegasan dan kelugasan kepemimpinan Ical ini sangat kentara bedanya, seperti langit dengan bumi, dengan ketegasan kepemimpinan yang diperagakan SBY dalam sengkarut skandal Bank Century.


SBY cenderung diam, menunggu arah angin, safety first, hanya bertindak saat semua sudah kasep. Pernah sedikit bergeming membela integritas dan profesionalitas Sri Mulyani Indrawati dan Boediono, tetapi itu pun hanya seumur jagung. Berpura-pura tegas memerintahkan penindakan para pengemplang pajak, tetapi hanya sebentar saja. Tiba-tiba loyo berhadapan dengan kartu-kartu as se-troly yang dilemparkan Ical plus Golkar. Sebaliknya, Ical sedari awal menegaskan pemisahan lugas antara bisnis pribadinya dan entitas Partai Golkar. Tegas menginstruksikan, usut kasus Bank Century hingga tuntas lewat koridor politik kemudian ke koridor hukum. Kartu-kartunya dibuka jelas transparan di atas pentas politik.

Kedua, keunggulan kualitas kader. Tertempa selama lebih dari lima dekade, Golkar berhasil membangun sistem dan mekanisme pengaderan berjenjang yang sudah sangat mapan. Para kadernya gesit di lapangan, cermat mengatur administrasi perkantoran, serta andal memimpin rapat-rapat organisasi. Butir-butir keunggulan kader-kader Golkar ini sama sekali tidak teramati di kalangan kader-kader PD. Kader yang dijagokan di Senayan bahkan memimpin rapat paripurna saja tidak becus.


Terlepas dari mayoritas kursi yang dikuasai, kader-kader PD sangat kedodoran, baik dalam wawasan politik, pengetahuan tentang sistem dan mekanisme legislatif maupun keterampilan teknis sebagai wakil rakyat. PD yang hanya unggul dalam dimensi quantity of participation, tetapi jauh terpuruk dalam quality of participation (Habermas, 1980). Mungkin kader PD yang cukup mendapat respek hanyalah SBY sendiri dan Anas Urbaningrum. Bahkan, SBY bukan hanya kader tunggal unggulan, ia sudah identik dengan PD itu sendiri. Kenyataan ini akan sangat memurukkan atau paling kurang merepotkan PD bila SBY lengser secara konstitusional pada 2014. Bisa-bisa perolehan suara PD kembali terpuruk ke angka sekitar 7 persen seperti di Pemilu 2004.

Ketiga, karena SBY identik dengan lembaga PD itu sendiri, sistem dan mekanisme kelembagaan PD relatif tidak terbangun sama sekali. Semua menunggu isyarat, restu, dan komando dari sang jenderal. Bila tidak menerima satu pun dari ketiga hal itu, PD sebagai organisasi tidak bergerak. Feodalisme komando ini akan sangat merugikan PD dalam jangka panjang. Sebaliknya Partai Golkar, seperti sudah dikemukakan sebelumnya, mesin organisasi kelembagaan sudah sangat jelas dan mapan. Apabila nanti SBY lengser pada 2014, bukan tidak mungkin akan terjadi eksodus besar-besaran, bedol partai, kembali bergabung dengan Golkar karena sebagian besar pengurus dan anggota PD berkampung-halaman di desa beringin.


Kudeta halus Golkar?
Dengan akan dominannya figur Ical bersama Golkar dalam Sekber Golkar Plus ini, secara tersirat sebetulnya dapat dimaknai sebagai kudeta halus Golkar. Dalam perumusan kebijakan-kebijakan nanti, Sekber Golkar Plus ini praktis akan jadi kuda tunggangan politik untuk kembali berkuasanya Golkar pada 2014.

Bagi Indonesia, terbentuknya Sekber Golkar Plus akan sangat berdampak jauh. Berkumpul dan bersatu kembalinya para Suhartois Orde Baru plus oportunis produk Reformasi dalam wadah Sekber Golkar Plus adalah benar-benar berita buruk bagi Indonesia, baik sebagai negeri maupun bagi rakyat wong cilik. Dengan segala keunggulan Partai Golkar tersebut di atas, partai ini justru menjadi sangat berbahaya.

Indonesia akan semakin dikuras, baik oleh modal internasional maupun modal nasional. Kasus-kasus Lapindo dan Freeport akan semakin marak merusak lingkungan dan menyengsarakan rakyat. Faisal Basri (Kompas, 10 Mei 2010) merumuskan dengan sangat tepat: Indonesia akan kembali terjerembap ke dalam cengkeraman dwifungsi yang lebih bengis dari dwifungsi militer Orba, bernama dwifungsi pengusaha-penguasa."

Relakah Anda? Hanya ada satu kata: ”lawan dwifungsi bengis pengusaha-penguasa ini!’ Caranya: masyarakat sipil pejuang setia Reformasi, khususnya para aktivis LSM dan ormas harus mampu menyingkirkan berbagai hal sepele, apalagi yang bersifat personal, dan kemudian berupaya membentuk suatu ”common political platform” yang menempatkan kepentingan Indonesia sebagai negeri dan rakyatnya pada tempat utama yang pertama di atas segala-galanya. Indonesia First! Utamakan Indonesia dalam pikiran, sikap, kata ataupun perbuatan. Senandungkan ”Indonesia Raya” di mana saja Anda berada.

Tamrin Amal Tomagola,
Sosiolog, Menekuni Kajian Negara dalam Masyarakat
KOMPAS, 11 Mei 2010