Saturday, June 5, 2010

Lebih Baik Mengundurkan Diri


Berita dari Tokyo, kemarin (2/6/2010), sungguh menarik. Perdana Menteri Jepang Yukio Hatoyama mengundurkan diri karena tak mampu menggenapi janji pemilunya.

Bagi kita di Indonesia, meskipun tidak bisa dibandingkan secara sejajar, hal seperti itu terasa amat menarik. Bahkan, janggal. Di negeri kita, budaya mundur tidak ada atau bahkan mungkin ”tidak kita kenal”.

Barangkali orang malah mengatakan, amat sayang meninggalkan jabatan yang diinginkan banyak orang. Perlu dipahami bahwa jabatan bisa diburu, bahkan dalam banyak kasus bisa ”dibeli”, tetapi kepemimpinan tidak bisa. Jabatan bisa direkayasa, kepemimpinan tidak.

Apa yang dilakukan Hatoyama menjelaskan akan hal itu. Perdana Menteri Jepang itu mengundurkan diri karena merasa tidak bisa memenuhi janji kampanye pemilu.

Saat kampanye pemilu dulu, Hatoyama berjanji akan membongkar habis pangkalan militer Amerika Serikat di bagian selatan Pulau Okinawa, Jepang selatan. Akan tetapi, ia kini mengatakan hal yang sebaliknya, yakni tetap akan mempertahankan pangkalan militer AS itu.


Pangkalan militer itu, Futenma, hanya akan dipindahkan ke Okinawa bagian utara. Tentu saja, keputusan tersebut mengecewakan. Itu berarti, tentara AS tetap akan berpangkalan di Jepang. Tentara AS yang ditempatkan di Jepang berjumlah 47.000 orang, dan lebih dari separuhnya ditempatkan di Okinawa.

Sangat wajar kalau Hatoyama dari Partai Demokrat Jepang, yang menjadi perdana menteri sejak September lalu, dinilai tidak bisa memegang janji. Ia yang dulu diharapkan akan mengangkat pamor Jepang kembali kini dinilai sebagai pemimpin yang tidak tegas, lemah. Padahal, ketika akhir tahun lalu partainya berhasil mengalahkan Partai Demokrat Liberal yang sudah berkuasa lebih dari 50 tahun, rakyat Jepang berharap besar kepadanya.

Kini, tingkat popularitas Hatoyama anjlok drastis, dari lebih 70 persen menjadi hanya 17 persen. Hatoyama sendiri mengakui ”tidak mampu menjadikan karakter utama —teguh, pantang menyerah, dan berpendirian tegas— Jepang menjiwai politik”.

Memang, janji pemilu tidak bisa dianggap remeh, terutama bagi negara-negara yang rakyatnya sudah sadar dan melek politik serta tidak mudah lupa. Janji adalah utang dan utang harus dilunasi. Janji bukan sekadar pemanis kampanye atau hanya bagian dari marketing politik yang tidak harus dilaksanakan.

Karena itu, memenuhi atau mengingkari janji yang pernah diucapkan akan menjadi ukuran kualitas sang pemimpin. Sebab apa lagi yang bisa dipegang dari seorang pemimpin kalau bukan ucapan dan perbuatannya. Bagi Hatoyama, lebih baik mundur daripada dianggap sebagai pemimpin yang dusta. Mengundurkan diri adalah bentuk pertanggungjawabannya.

Tajuk Rencana KOMPAS, 3 Juni 2010


Yukio Hatoyama (lahir di Tokyo, Jepang, 11 Februari 1947; umur 63 tahun) adalah Perdana Menteri Jepang. Ia menjabat sebagai perdana menteri mulai 16 September 2009 menggantikan Taro Aso. Ia berasal dari Partai Demokratik Jepang yang mengakhiri kekuasaan dari Partai Demokratik Liberal. Pada 2 Juni 2010, Yukio dilaporkan telah mundur dari jabatannya.

http://id.wikipedia.org/wiki/Yukio_Hatoyama


DPJ Cari Pemimpin Baru Setelah PM Hatoyama Mundur

Partai Demokrat Jepang atau DPJ berjuang mencari pemimpin baru setelah Perdana Menteri Yukio Hatoyama mengundurkan diri, Rabu (2/6). Menteri Keuangan Naoto Kan kemungkinan besar akan menggantikan Hatoyama.

”Saya akan mengundurkan diri. Kinerja pemerintah tidak merefleksikan keinginan rakyat. Saya minta maaf kepada Anda sekalian para anggota parlemen karena telah menimbulkan kesulitan besar,” kata Hatoyama, dengan mata berkaca-kaca.

Naik ke puncak kekuasaan delapan bulan lalu dalam pemilu bersejarah setelah menghentikan lebih dari 50 tahun kekuasaan kubu konservatif, Hatoyama mencuri perhatian para pemilih Jepang dengan janji melakukan perubahan di pemerintahan. Merasa tidak mampu memenuhi janji itu, Hatoyama pun memilih mundur.

Kala itu, Hatoyama berjanji memindahkan pangkalan militer AS dari Okinawa. Penduduk Okinawa telah lama mengeluhkan kebisingan pesawat tempur, polusi, dan kejahatan terkait kehadiran 47.000 tentara AS di Pangkalan Militer Futenma itu.

Dengan alasan ketegangan yang tengah terjadi di Semenanjung Korea, Hatoyama mengatakan adanya potensi ketidakstabilan di Asia Timur dan perlunya pakta keamanan AS-Jepang. ”Kerja sama antara Jepang dan AS tidak bisa dihindarkan bagi perdamaian dan keamanan Asia Timur. Maka, saya meminta warga Okinawa, dengan sangat menyesal, untuk menanggung beban ini,” ujarnya.

Alasan kedua pengunduran diri Hatoyama adalah skandal pendanaan politik yang turut menyeret orang nomor dua DPJ, Ichiro Ozawa. Ozawa, yang digambarkan sebagai ”shogun bayangan”, juga mengundurkan diri kemarin.

Politik kita harus bebas dari uang. Kita harus sepenuhnya bersih guna merevitalisasi partai kita,” ujar Hatoyama.


Keempat
Hatoyama menjadi perdana menteri Jepang keempat yang mundur dalam empat tahun terakhir. Spekulasi memang telah bergulir selama beberapa hari bahwa Hatoyama akan mundur setelah angka dukungan baginya —yang saat mulai berkuasa di atas 70 persen— merosot tajam menjadi tinggal 17 persen.

Pengunduran diri itu jelas karena dia mengabaikan suara rakyat,” kata Mizuho Fukushima, pemimpin Partai Demokrat Sosial, mitra koalisi DPJ, yang didepak dari kabinet karena menolak keputusan soal Futenma.

Saya memiliki harapan besar saat dia berkuasa, tetapi sekarang saya sangat kecewa karena ternyata dia kurang memiliki kepemimpinan,” ujar Mieko Ohashi, karyawan di Tokyo.

Partai oposisi, yakni Partai Demokratik Liberal (LDP), mengkritik pengunduran diri Hatoyama dan menyebutnya sebagai perubahan untuk mengilapkan penampilan partai di mata pemilih. ”Kalau ini jawaban mereka kepada pemilih, mereka seharusnya membubarkan parlemen dan mencari mandat publik baru,” kata pemimpin LDP Tadamori Oshima.

Analis meyakini, turunnya angka persetujuan bagi DPJ disebabkan duet Hatoyama-Ozawa. ”Kini setelah keduanya pergi, DPJ bisa menunjukkan kepada pemilih bahwa mereka bisa memerintah lebih baik,” kata Tsuneo Watanabe dari lembaga pemikir Tokyo Foundation. Jepang akan menggelar pemilu majelis tinggi pada bulan Juli.

Perdana menteri baru akan dipilih pada Jumat. Naoto Kan dipandang lebih lugas dan berpikiran terbuka. Selain Kan, Menteri Luar Negeri Katsuya Okada, Menteri Transportasi Seiji Maehara, dan Wakil Menteri Keuangan Yoshihiko Noda juga diperkirakan akan meramaikan bursa pemilihan pengganti Hatoyama.

KOMPAS, 3 Juni 2010


Jepang Pasca-Hatoyama

Mundurnya Yukio Hatoyama dari kursi perdana menteri memperpanjang episode pergantian kepemimpinan yang ”rutin” terjadi di Jepang empat tahun terakhir.

Hatoyama mundur setelah popularitasnya menurun drastis akibat keputusannya mempertahankan pangkalan militer AS di Okinawa. Dalam kampanye tahun lalu, Hatoyama berjanji akan memindahkan pangkalan militer AS ke luar Pulau Okinawa, kalau perlu ke luar wilayah Jepang. Namun, ketegangan antar-dua Korea dan makin aktifnya angkatan laut China menjadi dasar Hatoyama mempertahankan pangkalan AS di Okinawa.

Lewat pemilu majelis rendah Agustus 2009, Hatoyama bersama partai yang dipimpinnya, Partai Demokrat Jepang (DPJ), menyingkirkan Partai Demokratik Liberal (LDP) yang telah berkuasa 55 tahun. Pengunduran diri Hatoyama membuat masa depan DPJ dan politik Jepang dalam tanda tanya besar.

Selain Hatoyama yang dikritik tidak konsisten, Ichiro Ozawa —dikenal sebagai king maker dan ahli strategi pemenangan pemilu— juga mundur sebagai Sekretaris Jenderal DPJ. Sorotan publik pada Ozawa meningkat sejak terungkapnya skandal pendanaan politik sehingga tiga mantan pembantu Ozawa diadili. Skandal ini turut memperlemah kepercayaan publik kepada DPJ yang mengampanyekan good governance dan transparansi sebagai salah satu agenda politiknya.


Kompleksitas masalah
Ketidakpuasan publik juga dipicu ketidakjelasan visi dan arah pembangunan ekonomi pemerintahan Hatoyama. Berasal dari keluarga mapan, Hatoyama dinilai tidak dapat memecahkan persoalan riil masyarakat Jepang, terutama meningkatnya rasa tidak aman sosial-ekonomi akibat liberalisasi ekonomi pemerintahan LDP dua dekade terakhir, berpuncak pada masa PM Junichiro Koizumi yang pro-bisnis.

Selama ini, isu-isu populis menjadi daya tarik DPJ. Dalam kampanyenya, Hatoyama dan para tokoh DPJ mengumandangkan slogan ”Putting People’s Lives First” dalam bentuk kebijakan-kebijakan konkret, antara lain memberikan tunjangan bulanan 26.000 yen kepada setiap anak di Jepang. Namun, dengan alasan pengetatan anggaran Hatoyama memotong separuhnya menjadi 13.000 yen.

Sampai dekade 1980-an, Jepang terkenal dengan sistem kerja seumur hidup dan hubungan harmonis antara pengusaha dan pekerja. Meningkatnya arus globalisasi dan munculnya pesaing ekonomi seperti Korsel dan China memaksa sektor swasta Jepang berubah. Saat ini, lebih dari 17 juta pekerja di Jepang masuk kategori pekerja tidak tetap (irregular workers), dengan hak-hak dan fasilitas yang jauh berbeda dibanding pekerja tetap (full time workers). Itu berarti, 34 persen dari total angkatan kerja, meningkat dari 25 persen pada 1999 dan 15 persen pada 1984.

Pemerintahan Hatoyama berusaha membela kalangan pekerja tidak tetap dengan mengajukan rencana undang-undang yang melarang sistem borongan (dispatch labour) dan kontrak kerja sehari (one-day contracts) di sektor manufaktur.

Inisiatif Hatoyama disambut dingin kalangan pebisnis ataupun pekerja karena dinilai hanya meningkatkan angka pengangguran. Kalangan bisnis merasa tetap dapat mencegah peningkatan full time workers dengan memperbesar jumlah pekerja sub-kontrak (sub-contract workers) dengan hak dan perlindungan kerja lebih minimal.


Pasca-Hatoyama
Ironisnya, pengunduran diri Hatoyama terjadi saat indikator ekonomi makro Jepang menunjukkan angka mencengangkan. Pertumbuhan ekonomi tahunan dalam triwulan pertama tahun 2010 mencapai 4,9 persen, melampaui angka pertumbuhan ekonomi masa Koizumi yang berkisar 3 persen. Dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi minus 15,9 persen dalam triwulan I-2009, ini jelas merupakan kemajuan fenomenal.

Namun, masyarakat Jepang tahu, peningkatan pertumbuhan ekonomi ini terutama didorong oleh pemulihan kembali permintaan ekspor produk manufaktur Jepang seiring pulihnya ekonomi global dari krisis, bukan karena kerja keras Hatoyama.

Menurunnya popularitas DPJ dalam waktu kurang dari setahun dikhawatirkan akan memperpanjang ketidakpastian politik. Meski mampu mengontrol suara mayoritas dalam majelis rendah, namun kemungkinan gagalnya DPJ mempertahankan mayoritas suara di majelis tinggi dalam pemilu 11 Juli mendatang akan berdampak luas. Termasuk bakal terhambatnya rencana kebijakan fiskal yang sedang dirancang pemerintahan DPJ untuk mengurangi porsi utang pemerintah jangka panjang.


Seperti yang dihadapi Barack Obama di AS, platform politik DPJ yang populis melahirkan konsekuensi peningkatan belanja pemerintah, yang banyak dibiayai utang dari pasar finansial. Menggunungnya utang Pemerintah Jepang yang mencapai lebih dari 200 persen dari GDP memerlukan pemecahan mendesak di tengah kemungkinan ancaman perluasan krisis utang Yunani.

Seperti kebanyakan negara maju yang terhantam krisis global, Jepang telah mengalirkan uang ke sektor finansial untuk mencegah memburuknya ekonomi. Meski dinilai berhasil menstabilkan pasar dan mendorong pemulihan ekonomi, kondisi ini dapat berdampak buruk dalam jangka panjang. Tanpa reformasi fiskal yang cermat, rasio utang pemerintah terhadap GDP Jepang diprediksi menjadi 250 persen pada tahun 2015.

Itu semua memberikan gambaran, pengganti Hatoyama akan menghadapi permasalahan politik, ekonomi, dan sosial yang begitu kompleks. Tidak heran jika kelak ia juga akan turut memperpanjang daftar para pemimpin Jepang yang mundur di tengah masa jabatannya.

Syamsul Hadi,
Pengajar Ekonomi Politik Internasional di FISIP UI
KOMPAS, 4 Juni 2010

No comments: