Tuesday, October 21, 2025

Budaya Baca Bangun Otak Cerdas


Kemampuan membaca bukan bawaan lahir. Otak manusia tidak dirancang untuk itu. Kemampuan itu ialah penemuan budaya yang baru. Tidak ada jalan pintas membangun sirkuit membaca. Belajar membaca ialah rekayasa otak.

Di zaman AI ini, membaca semakin penting. Dunia baru saja merayakan Laszlo Krasznahorkai. Sastrawan Hongaria itu meraih Hadiah Nobel Sastra 2025.

Karyanya disebut 'visioner' dan 'mengukuhkan seni'. Karya tulis epik ialah buah dari tradisi membaca yang kuat. Sementara itu, kita masih menghadapi minat baca yang lemah dan rendah. Paradoks itu mengandung sebuah pelajaran berharga.

Laszlo Krasznahorkai, "Ahli Kiamat" Hongaria. Peraih Nobel Sastra 2025.

Membaca memaksa otak membangun jaringan saraf baru. Jaringan itu meminjam sistem bahasa lisan. Juga meminjam sistem penglihatan yang sudah ada. Proses itu mengubah struktur fisik otak kita. Area temporal superior memproses fonem. Area itu ialah unit suara terkecil dalam bahasa. Visual word form area (VWFA) mengenali huruf. Area itu hanya aktif pada orang yang bisa membaca. Itu membuktikan area tersebut dibentuk oleh pengalaman.

Pembaca pemula memulai dengan proses decoding. Mereka memetakan huruf ke suara yang sesuai. Lalu menggabungkan suara menjadi sebuah kata. Proses itu membutuhkan koordinasi visual yang baik. Juga membutuhkan koordinasi auditori dan kognitif. Latihan terus-menerus membuat mata lebih lancar. Perlahan pemrosesan kata menjadi otomatis. Tujuan akhirnya ialah pemahaman lancar tanpa hambatan.


Tantangan Literasi Kita
Data kemampuan baca kita dari PISA sangat memprihatinkan. Sekitar 70% siswa kesulitan memahami ide pokok teks. Mereka bisa membaca kata-kata dengan baik. Namun, sering kali mereka buta terhadap makna. Kondisi itu diperparah dengan harga buku yang mahal. Juga masih minimnya perpustakaan yang berkualitas.

Sementara itu, media digital ditengarai memperburuk keadaan. Konten instan menghambat kesadaran fonemik. Gerakan mata menjadi terputus-putus di layar. Hal itu mengganggu perkembangan VWFA di otak. Akibatnya fondasi neural tidak terbangun dengan kukuh. Pemahaman teks pun menjadi dangkal dan cepat lupa. Mereka hanya melihat cepat, lalu cepat lupa juga.

Padahal pada era kecerdasan artifisial (AI) ini, kemampuan membaca justru semakin krusial. Mesin AI bisa meniru hasil tulisan manusia. Namun, AI tidak bisa membangun sirkuit saraf manusia. Proses decoding dan memahami teks ialah latihan kognitif. Itu merupakan latihan terbaik bagi kecerdasan kita.


Membaca karya yang kompleks melatih ketahanan kognitif. Setiap kata yang dipahami akan memperkuat jalur saraf yang ada. Hal itu niscaya akan membangun kapasitas otak untuk berpikir yang kompleks. Kemampuan itulah yang akan menjadi 'kompas nalar' di era informasi. Kita harus tahu kapan tidak menggunakan AI. Kita juga perlu paham cara kerja dan bias di balik AI. Literasi AI tidak hanya bisa menggunakannya saja. Literasi sejati berarti mampu mengkritisi hasil dari AI.

Kemampuan AI membuat tulisan tidak serta merta meniadakan perlunya kemampuan manusia menulis. Dengan adanya AI, manusia justru harus memperkuat perlunya kemampuan menulis. Dengan demikian, kemampuan membaca pun menjadi semakin penting. AI membantu orang dengan keterampilan dasar. Namun, manfaat terbesar didapat orang berkemampuan tinggi. Sama dengan kalkulator, paling berguna bagi yang mahir berhitung.


Solusi Integratif
Kembali ke masalah mendasar, yaitu minat baca. Ada beberapa langkah yang perlu dilakukan bersama. Pertama, pendekatan pengajaran membaca harus ilmiah. Pengajaran fonik sistematis sangat penting bagi tingkat dasar. Itu akan membangun kesadaran fonemik dasar decoding. Teks khusus perlu digunakan untuk melatih decoding. Latihan harus terus menerus dilakukan hingga prosesnya bisa berjalan otomatis. Langkah ini niscaya akan membentuk fondasi neural yang kukuh.

Kedua, gerakan perbanyak membaca buku fisik. Buku fisik mendukung fiksasi mata yang lebih stabil. Itu berbeda dengan layar digital yang penuh gangguan. Setiap halaman buku yang dibalik melatih sistem visual. Hal itu memfasilitasi pemahaman dan memori lebih baik. Otak menafsirkan teks cetak dan digital secara berbeda. Pemahaman mendalam sering kali lebih baik pada buku fisik. Membaca buku fisik juga memberikan pengalaman sensorial yang unik. Membaca buku fisik bisa menjadi bentuk digital detox sederhana. Ini adalah istirahat bagi mata dan otak kita dari paparan radiasi sinar digital.

Walaupun hanya di teras rumah, sudut kecil Library Corner ini adalah langkah jitu dalam upaya strategis membangun ekosistem literasi di lingkungan kita masing-masing.

Ketiga, ubah paradigma tentang kegiatan membaca. Membaca bukan lagi kewajiban dari sekolah semata. Membaca ialah kebutuhan jiwa dan investasi neural. Aktivitas membaca merupakan latihan otak untuk menghadapi dunia. Orang tua dan guru harus menjadi teladan hidup. Mari kita ciptakan lingkungan kaya bacaan di rumah masing-masing. Lingkungan itu harus mendukung aktivitas literasi.

Kekayaan cerita sejarah, fiksi, bahkan dongeng di Indonesia ialah modal yang amat berharga. Kita punya potensi lahirkan karya-karya yang visioner. Jadikan membaca sebagai fondasi untuk menghadapi tantangan hidup dan masa depan. Membaca memberi kita kekuatan untuk bertahan. Dengan fondasi yang kuat ini, semoga lahir aneka karya besar anak bangsa. Membaca ialah gerbang menuju bangsa yang pintar, budaya yang pandai dan peradaban yang cerdas. Itulah investasi terbaik untuk masa depan anak-cucu kita semua.

Ismunandar
Staf Ahli Menteri Kebudayaan,
Mantan Dubes/Wadetap RI UNESCO

Media Indonesia, 15 Oktober 2025