Monday, February 26, 2024

Awas, Ada Hak Angket


Hak Angket, dalam tradisi negara-negara barat, disebut sebagai right of inquiry (hak penyelidikan).

Hak Angket dimulai di Inggris pada abad ke-14. Hak ini digunakan untuk menyelidiki dan menghukum penyelewengan administrasi pemerintahan.

Dasar pemikiran penggunaan Hak Angket oleh para anggota legislatif adalah cabang legislatif yang membuat hukum, sementara yang menjalankannya adalah cabang eksekutif.

Alur pikir di atas, diimplementasikan dalam bentuk praktik nyata. Parlemen Inggris (House of Common) mengontrol suplai dan pengeluaran uang publik yang dilakukan oleh pemerintah.

Selanjutnya, segala tindakan atau kebijakan pemerintah harus memiliki alas hukum yang jelas.


Di Amerika Serikat, praktik Hak Angket memang tidak secara eksplisit dinyatakan dalam Konstitusi negara tersebut. Namun, berbagai putusan Mahkamah Agung (Supreme Court), memberi kewenangan kepada Kongres dan Senat untuk melakukan penyidikan terhadap berbagai kasus, termasuk individu yang bukan aparat pemerintah dan juga pihak korporasi.

Kita ambil contoh dalam putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat pada 1920-an. Dalam kasus McGrain melawan Dougherty (1927), Mahkamah memutuskan memberikan otoritas kepada Kongres dengan nama Congressional Committee, untuk melakukan pemanggilan kepada orang atau badan hukum yang dinilai melakukan pelanggaran.

Bagi mereka yang tidak datang memenuhi panggilan, dianggap melakukan pelecehan parlemen, dan itu pidana.

Kewenangan yang diberikan kepada Kongres dan Senat tersebut dikenal luas dengan prinsip members of the Senate and Congress to serve as the eyes and ears of the American public.


Hari-hari belakangan ini di republik kita, Indonesia, penggunaan Hak Angket oleh anggota DPR-RI menjadi wacana keseharian yang menyedot perhatian publik. Semua lantaran hasil pemilu yang diumumkan melalui instrumen dan mekanisme quick count.

Ada pihak yang secara gamblang menolak, bahkan mengejek pihak yang menghendaki dilakukannya penggunaan Hak Angket. Mereka dianggap orang yang tidak kesatria karena tak mau menerima kekalahan dalam pemilihan presiden beberapa pekan lalu (tepatnya 14 Februari 2024).

Posisi saya sangat jelas. Saya sangat mendukung penggunaan Hak Angket karena dasar hukumnya jelas tertuang dalam Pasal 20A (2) UUD 1945, DPR mempunyai Hak Interpelasi, Hak Angket, dan Hak Menyatakan Pendapat.

Penggarisan konstitusional tersebut, dielaborasi dalam Pasal 79 UU No 17 Tahun 2014 (UU MD3). Dalam undang-undang ini dikatakan bahwa Hak Angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.


Simpul kata, Hak Angket adalah mekanisme dan instrumen untuk mengontrol jalannya praktik pemerintahan dan kekuasaan. Ini menjadi praktik yang sangat sah di negara-negara demokratis. Tidak perlu lagi kita persoalkan.

Sekarang, pihak yang tidak menyetujui penggunaan Hak Angket berdalih bahwa hasil penggunaan hak tersebut sia-sia, mubazir dan sebagainya, karena tidak akan mempengaruhi hasil perhitungan pemilihan presiden, yang bisa membatalkan hasil pilpres tersebut.

Kata mereka, kalau mau bersoal tentang hasil pilpres, dibawa ke ranah hukum saja, yakni Mahkamah Konstitusi.

Itu benar, karena ujung dari Hak Angket adalah rekomendasi belaka. Namun, yang hendak dijadikan isu utama dalam penggunaan Hak Angket kali ini bukan masalah kalkulasi perbedaan suara yang sangat mencolok antara pasangan No 2 dengan pasangan No 1 dan 3.


Yang hendak disoal dalam penggunaan Hak Angket adalah proses pemilu yang dinilai penuh aroma busuk. Proses pemilu adalah proses politik, karena itu, salurannya pun saluran politik, yakni DPR.

Katakanlah, misalnya, Hak Angket tersebut menyoal masalah bantuan sosial (bansos) yang disalahgunakan oleh penyelenggara negara untuk memenangkan pasangan tertentu.

Bansos tersebut memang tidak bisa dihitung secara eksak korelasinya dengan perolehan suara. Namun, bansos yang digelontorkan oleh Presiden Jokowi menjelang pilpres, terendus ketidakberesannya.

Coba kita lihat, jumlah bansos yang digelontorkan Jokowi sejak dua tahun terakhir, jauh lebih banyak dibanding bansos selama masa Covid-19 berlangsung, padahal eskalasi dan daya mematikan Covid-19 jauh lebih dahsyat.

El Nino bisa menjadi kambing hitam.

Pemerintah mengatakan, bansos yang banyak digelontorkan menjelang pemilu karena banyak yang kena dampak El Nino. Alasan ini tentu saja kurang betah tinggal di pikiran orang yang berakal waras.

Dampak El Nino terfokus pada petani. Bukan terhadap orang-orang yang tinggal di perkotaan. Jadi bagaimana dengan bagi-bagi bansos di kota Jakarta, khususnya di depan Istana Negara?

Di situlah masalah utamanya. Bansos itu harus ditujukan kepada orang tertentu yang memiliki alamat dan status ekonomi yang jelas dan harus dibantu. Semua itu ada dasar hukumnya.

Selaras dengan ini, timbul pertanyaan, mengapa sejak Gibran Rakabuming Raka dinyatakan lolos menjadi calon Wapres RI, jumlah bansos yang digelontorkan di daerah tertentu, misalnya Jawa Tengah, naik melangit, dan berapa kali Jokowi mengunjungi daerah tersebut selama putranya lolos jadi calon.


Hal-hal inilah yang hendak disoal di DPR kelak. Ini adalah bentuk pertanggungjawaban para anggota Dewan kepada rakyat yang mereka wakili, karena bagi-bagi bansos tanpa acuan sesuai aturan main adalah pemborosan uang negara dan penyalahgunaan kekuasaan.

Hak Angket kelak juga bisa menyoal mengapa aparat negara, termasuk para kepala desa, dilibatkan memenangkan pasangan calon tertentu, dan mengalahkan pasangan lainnya. Ini bukan rahasia lagi.

Mengapa Presiden Jokowi bisa membuat kebijakan mengangkat penjabat gubernur, bupati dan wali kota, yang pada umumnya dari Jakarta? Selama ini, biasanya cukup eselon dua dari provinsi bersangkutan yang diturunkan. Dan masih banyak lagi rentetan kejadian miring yang terjadi selama proses pilpres berlangsung.

Keluarga Jokowi, foto ini dibuat ketika Kaesang Pangarep belum menikah.

Penggunaan kekuasaan untuk memenangkan calon tertentu, adalah penyalahgunaan kekuasaan. Ini yang disebut kecurangan pemilu terstruktur karena menggunakan struktur dan organ negara.

Maka, memang ada baiknya penggunaan Hak Angket didukung secara luas. Biar masalah-masalah politik yang dilaksanakan secara tekor akhlak dan nir moral serta pelanggaran aturan, bisa dikanalisasi melalui mekanisme politik juga. Bukan dengan cara-cara kekerasan.

Bagaimana dengan mekanisme Mahkamah Konstitusi?

Ada baiknya kita menoleh ke belakang pada 2008. MK dibawah kepemimpinan Mahfud MD pernah membuat putusan membatalkan hasil pemilukada (bupati-walikota dan gubernur), dan mendiskualifikasi calon. Itu karena masuk dalam kategori pelanggaran terstruktur, sistemik, dan masif (TSM).

Sang Anak Haram Konstitusi yang menggemparkan jagat perpolitikan Indonesia.

Sistemik berarti terdesain dengan baik dan meluas. Perencanaan dilakukan dengan cara pat gulipat yang sangat rapi.

Pilpres kita ini di hampir seluruh daerah mengalami fenomena sama, politik uang, serangan fajar, dan keterlibatan aparatur negara, dan sebagainya.

Sementara masif berkaitan dengan implikasi masif dari perbuatan pejabat yang berkongkalikong.

Ini berarti, bola masih bergulir. Putusan MK dengan tolok ukur TSM tersebut, sudah menjadi preseden hukum, yang bisa saja terulang pada uji hasil pilpres yang telah dilaksanakan, kendati kepercayaan publik terhadap MK sudah mengalami delusi akibat ulah mantan ketuanya, Anwar Usman. Siapa tahu MK melakukan taubat nasuha?

Pak Jkw, Sang Pemilik Ijazah KW yang rajin cawe-cawe, adalah Sang Maestro Dirty Mind, Dirty Hand, and Dirty Vote ....

Pada 2016 di kota Rio De Janeiro, Brasil, berlangsung kejuaraan Olimpiade. Dalam pertandingan final bulutangkis partai ganda campuran, pasangan Indonesia, Tontowi (Owi) Achmad-Liliyana Natsir (Butet) berhadapan dengan pasangan Malaysia, Chan Peng Soon-Goh Liu Ying.

Set pertama dimenangkan Owi-Butet dengan skor 21-14. Pada set kedua, Owi-Butet sudah meraih angka 19, sementara Peng-Yin masih di angka 12. Owi sudah mulai loncat-loncat kecil pertanda kegirangan dan ingin segera mengakhiri permainan. Butet menunjuk-nunjuk Owi, mengingatkan bahwa game is not over yet.

Seorang pewarta wanita Inggris yang melaporkan jalannya pertandingan, tatkala melihat Owi meloncat-loncat, langsung berteriak: Be careful, it is till too early to celebrate (hati-hati, masih terlampau dini untuk melakukan selebrasi) karena masih ada dua angka yang tersisa. Segalanya bisa berubah. Begitu kira-kira jalan pikiran sang wartawati.

Saya pun membayangkan, Bawaslu kita sekarang ini berteriak keras kepada pasangan calon nomor 2 bahwa jangan terlampau dini melakukan selebrasi.

Hamid Awaludin, LL.M, Ph.D
Anggota Komisi Pemilihan Umum Indonesia (2001 – 2004)
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (2004 – 2007)
Duta Besar Indonesia untuk Rusia dan Belarusia (2008 – 2011)

KOMPAS, 25 Februari 2024

No comments: