Akar korupsi, selain budaya dan karakter buruk pemimpin, diperkuat dan diperdalam oleh oligarki. Oligarki politik dimungkinkan dan ditumbuhkembangkan oleh UU Pemilu yang diskriminatif karena membatasi akses politik rakyat.
Parliamentary threshold 4% dan presidential threshold 20% membuat jutaan suara warga negara yang menyalurkan aspirasinya ke partai politik yang tidak masuk parlemen hilang percuma dan calon pemimpin pilihan publik tak dapat ikut berkontestasi dalam pemilu.
Berhubung mahar politik sangat mahal bagi calon legilslatif dan calon eksekutif untuk mendapat perahu parpol, maka calon yang menang pemilu harus melakukan korupsi untuk mengembalikan modal yang telah mereka keluarkan, yang sebagian mereka dapatkan dari hasil berutang.
Tapi parpol pun tak sanggup membiayai seluruh tahapan pemilu karena dana yang disediakan negara tak cukup. Pada titik inilah oligarki ekonomi memasuki arena. Sebagai imbalan modal besar yang dikeluarkan, mereka harus ikut menentukan caleg dan capres yang akan berlaga.
Tentu si calon harus membuat komitmen terlebih dahulu untuk membalas budi pada oligarki. Maka, tak usah heran kalau kemudian sistem dan mekanisme politik ini melahirkan korupsi, pemimpin yang tidak kompeten, dan hanya menjadi kacung untuk melayani kepentingan oligarki dengan mengorbankan kepentingan rakyat yang memilih mereka.
Kalau mereka diniatkan untuk sekadar menyosialisasikan program pemerintah secara rasional, terukur, dan bijaksana, mungkin tak terlalu merisaukan kita.
Faktanya, mereka telah bermetamorfosis menjadi semacam propagandis perang yang merusak akal sehat publik, mengeskalasi perpecahan dalam masyarakat, menyemburkan debu ke atmosfir sehingga mengaburkan realitas, dan berusaha secara bodoh membunuh karakter calon pemimpin yang otentik.
Ia memposisikan diri sebagai David yang melawan Goliath ketika banyak orang Indonesia telah menerima kekalahan sebagai takdir di hadapan kekuatan besar yang sembrono dan rakus.
Pelan-pelan ia membangun Jakarta yang rumit dan bising dalam posisi underdog ketika citra Ahok sebagai Gubernur DKI sedang menjulang tinggi.
Ahok dicitrakan sebagai “manusia luar biasa” yang jadi korban kaum Muslim fanatik yang bodoh. Dalam posisi yang tidak meyakinkan itu, anehnya Anies dapat membalikkan keadaan. Hampir tiap hari dia membuat kita terheran-heran dengan prestasi-prestasi mengagumkan yang membuat Ahok terlihat kerdil.
Ya, postur moral, karakter, leadership, kecerdasan, dan jiwa legowo Anies tak dapat dilawan dengan jiwa kerdil, picik, dan culas. Lebih bijaksana kalau kita mengaguminya meskipun dengan perasaan malu.
Tapi Anies tidak membutuhkan rasa terima kasih kita padanya, yang membuat Jakarta terlihat lebih modern, indah, manusiawi, dan cerdas.
Toh, ia belum merasa cukup berbuat lebih baik untuk seluruh warganya. Masih banyak yang ingin ia lakukan. Kalaupun ada sesuatu yang dianggap berharga dari upayanya membangun Jakarta adalah cukup dengan mengapresiasi model pembangunan yang dilakukannya, yang mengintegrasikan aspek budaya, sosial, ekonomi, agama, manusia, dan politik global dalam setiap kebijakan yang diambilnya.
Anies Baswedan, Zulkifli Hasan, Gatot Nurmantyo.
Ini belum pernah dilakukan gubernur DKI mana pun sepanjang sejarahnya. Bahkan, berkat karya dan beleidnya —termasuk dalam menangani covid-19 yang antisipatif dan cepat— membuat ia kini lebih populer di mata komunitas internasional ketimbang Jokowi.
Anies memang seorang kosmopolitan, yang dengan bahasanya yang terstruktur indah dalam menyampaikan pikiran dan gagasan bersifat universal, yang mudah difahami seluruh warga di planet ini. Ingat, bahasa mencerminkan kecerdasan. Bahasa yang belepotan, yang tentu saja melemahkan maksud yang ingin disampaikan, dengan sendirinya menunjukkan kualitas intelektualnya.
Yang juga aneh dari Anies adalah dia memiliki kualitas karakter yang melampaui para pemimpin Indonesia saat ini. Setidaknya pemimpin formal yang sedang berkuasa. Karakter terbagi dua. Karakter yang menunjuk pada kejujuran, rasa keadilan, empati pada orang kesusahan, dst.
Karakter Anies yang menonjol yang didapat dari kombinasi internalisasi nilai-nilai yang ditanamkan orangtuanya yang relijius dan sangat terpelajar, interaksi dengan berbagai lingkungan budaya sepanjang perjalanan hidupnya, dan ilmu pengetahuan yang mendalam, hendak dihancurkan para pembencinya.
Sangat mungkin juga para oligarki yang khawatir kepentingannya terganggu bila Anies menggantikan Jokowi atau orang-orang yang ingin mempertahankan status quo. Namun, kearifan dan prestasi Anies sudah demikian tebal yang tidak mungkin dilawan dengan kebencian, kekerdilan, dan kerakusan.
Anies Baswedan dan Aher alias Ahmad Heryawan.
Lihat, sejak hari pertama ia mengambil alih balai kota dari Ahok, hunjaman kecaman dan fitnah sudah menggempurnya. Aneh, Anies cuma senyum. Ia terus menjawab mereka dengan karya dan karakter yang terjaga. Bisa jadi Anies melihat mereka bukan lawan sepadan dari sisi moral dan pengetahuan.
Maka, ia membiarkan anjing terus menggonggong, kafilah tetap berlalu.
Karakter ini ternyata efektif membuat mereka frustrasi. Memang tidak ada ceritanya kebodohan dan keculasan mengalahkan karakter agung nan cerdas.
Bahkan kebodohan dan keculasan itu, tanpa mereka sadari, justru membuat ketokohan Anies semakin bersinar.
Ganjar Pranowo, Anies Baswedan dan Ridwan Kamil.
Karena ia jadi pembeda antara yang batil dan jahil dengan yang benar dan pandai. Anies adalah manusia “aneh”, maka untuk melawannya harus orang yang aneh pula, yakni orang-orang yang mau melawan arus, berkarakter, berilmu, dan berani melawan penindasan dan hegemoni oligarki.
Kalau Anies bukan manusia “aneh”, tidak mungkin ia mau menghentikan belasan pulau reklamasi yang dijaga koalisi oligarki politik dan ekonomi.
Toh, kalau dia bukan manusia “aneh” dan mengikuti budaya korupsi bangsa, orang akan menganggapnya normal kalau ia menerima sogokan ratusan milyar dari para pengembang pulau reklamasi asalkan ia mengizinkan proyek bernilai lima ratusan triliun itu dilanjutkan.
Anies Baswedan bersama isteri dan keempat putra-putrinya.
Bagaimanapun, keanehan Anies membuat kita tersentak sadar bahwa kebatilan dapat dilawan dan bahwa bangsa ini dapat keluar dari lingkaran setan oligarki ketika oligarki mulai diterima sebagai realitas kehidupan bangsa yang harus diterima.
Apalagi sedang tumbuh mitos bahwa tanpa oligarki, ekonomi bangsa akan runtuh, yang dengan demikian akan semakin menyengsarakan rakyat. Anies membuktikan sebaliknya dan ini yang membuat oligarki ketakutan.
Mereka mulai menebarkan propaganda dengan narasi palsu bahwa Anies berbahaya bagi bangsa karena dia manusia “aneh”. Segala citra buruk pun ditimpakan pada tokoh ini yang membuat malaikat menangis.
Anies Baswedan bersama isteri Fery Farhati.
Tapi kita sebagai bangsa akan lebih menderita kalau tokoh “aneh” ini tersingkir dari panggung politik sebagai hasil dari konspirasi kekuatan-kekuatan jahat.
Hal ini bisa saja terjadi bilamana keinginan parpol mencapreskannya tidak diridhai oligarki ekonomi.
Namun, bila kita percaya pada pameo “vox populi vox dei” (suara rakyat adalah suara tuhan) di mana suara dukungan kepada orang “aneh” bernama Anies Rasyid Baswedan semakin membesar, maka parpol-parpol akan dipaksa melirik tokoh bersahaja ini berdasarkan hitung-hitungan pragmatis dan keuntungan politik-ekonomi.
Toh, seandainya ia dicapreskan, peluang menangnya sangat besar. Rakyat menaruh harapan besar kepadanya untuk mengubah status quo yang tidak adil dan menyengsarakan rakyat menjadi negeri kerakyatan yang menghadirkan keadilan dan kesejahteraan bagi semua.
Tapi parpol tak kecewa, bahkan bersyukur, karena jagonya terbukti berhasil menghadirkan kemajuan sosial, ekonomi, dan agama warga Jakarta.
Kalau sekarang banyak orang berharap Anies memimpin Indonesia ke depan, itu karena “salah” Anies sendiri yang tanpa sengaja telah membangun dirinya menjadi seorang raksasa melalui postur moral, karakter, leadership, kecerdasan, tawadhu, dan karya-karya prestisius.
Semua ini bukan pencitraan, tapi hal-hal nyata yang bisa disaksikan orang Indonesia paling awam sekalipun. Memang kendati hanya berkapasitas sebagai seorang gubernur, karya Anies meng-Indonesia. Pemikiran dan gagasannya melampaui sekat-sekat daerah, suku, agama, dan golongan.
Orang “aneh” seperti ini yang diperlukan bangsa ini untuk membereskan pekerjaan rumah yang rumit di tengah persaingan global yang berat, yang tak bisa dilakukan manusia-manusia biasa yang tidak aneh dalam konteks Indonesia.
Sejarah melahirkan tokoh dan, pada gilirannya, tokoh melahirkan sejarah. Anies dilahirkan oleh sejarah Indonesia dan dunia yang dialaminya sendiri dan yang dia pelajari melalui buku.
Dari sini dari hasil dialektikanya dengan sejarah zamannya dan sejarah yang telah jauh di belakang, serta pergumulan pemikiran dengan gagasan dan sejarah dunia memungkinkannya meletakkan Indonesia dalam peta dunia dan mencari jawaban yang pas atas tantangan yang dihadapinya.
Dengan begitu, Anies “si orang aneh” akan melahirkan sejarah yang memang hanya mungkin dilakukan oleh orang di atas rata-rata dari semua aspek. Semoga Allah mengabulkan kehendak rakyat Indonesia yang sudah lama menderita akibat dipimpin oleh tokoh inkompeten yang ahistoris.
Smith Alhadar
Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe)
www.targethukum.com