Sekalipun harus bertempur selama empat tahun antara 1945-1949 dalam kancah revolusi nasional, karena penjajah Belanda masih tidak mau hengkang dari negeri ini, akhirnya dengan korban yang tidak sedikit, kita menang. Baru pada Desember 1949, Belanda bersedia mengakui Indonesia sebagai negara baru, karena memang tidak punya pilihan lain lagi. Konstelasi politik global telah berubah secara drastis, sistem penjajahan harus diakhiri. Atau dalam ungkapan Pembukaan UUD 1945: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Ironisnya, sila kelima Pancasila berupa: “Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” yang antara lain dijabarkan dengan rinci dalam Pasal 33 itu tidak berjalan mulus setelah batang usia republik ini hampir mendekati 72 tahun. Ini sebuah kelalaian konstitusional yang harus dikoreksi secara berani dan tegas, jika kita memang ingin melihat bangsa ini benar-benar merdeka 100%, sebuah ungkapan yang selalu diteriakkan Tan Malaka di masa revolusi kemerdekaan.
Nasionalisme ekonomi telah lama dibungkam oleh perusahaan-perusahaan asing dengan modal hampir tanpa batas atas penguasaan mereka di ranah perbankan, pertambangan, telekomunikasi, perkebunan, dan jangan lupa di industri asuransi jiwa terutama.
Di sisi lain, ada dua perusahaan asuransi milik orang Indonesia: PT Asuransi Jiwa Bumiasih dan PT Asuransi Jiwa Nusantara telah dinyatakan pailit oleh pengadilan atas permintaan OJK (Otoritas Jasa Keuangan). Akibatnya, yang menjadi korban adalah para pemegang polis yang telah membayarkan premi sebelumnya, sehingga menjadi hangus begitu saja. Kasus ini telah semakin memperburuk citra perusahaan asuransi lokal, padahal beberapa asuransi milik nasional masih ada yang bagus, seperti PT Asuransi Wahana Tata dengan 70 kantor dan 1.200 karyawannya di seluruh Indonesia. PT Asuransi Jiwasraya, PT Jasa Raharja, dll.
Akan tetapi PT Asuransi Bumi Putera 1912, industri asuransi tertua di Indonesia, kini nafasnya sedang Senin-Kamis. Semoga pembenahan total yang sedang berjalan sekarang terhadap asuransi ini akan bisa menyelamatkan perusahaan ini yang dulu pernah menjadi ikon di dunia asuransi nasional.
Angka penguasaan tanah 93% itu adalah sebuah lampu merah tanda bahaya yang serius. Dari 93% itu dibagi antara konglomerat Indonesia dan asing berbanding menjadi 80% : 13%. Lalu yang tersisa untuk rakyat Indonesia lain yang jumlahnya lebih dari 250 juta hanya tinggal 7%. Saya tidak tahu persis apakah angka-angka ini cukup valid, tetapi andaikan berbeda, selisihnya saya kira tidak akan terlalu banyak.
Jika demikian realitas getirnya yang diawali sejak Orde Baru (1966-1998) dan berlanjut hingga sekarang, maka pertanyaan panasnya adalah: di mana Pancasila, di mana Pasal 33 UUD? Pertanyaan ini harus dijawab segera oleh pemerintahan Jokowi-Kalla dan elite Indonesia secara keseluruhan. Atau kita harus siap-siap untuk menjadi bangsa kuli yang hina-dina di muka bumi, tetapi sering dihibur dengan demo itu?
Ahmad Syafii Maarif,
Penulis Kolom RESONANSI Republika
REPUBLIKA, 20 Juni 2017