Sebenarnya apa arti Ramadhan bagi kita, manusia Indonesia? Apa arti puasa wajib di bulan suci itu? Terus terang, saya agak khawatir dengan jawaban-jawaban yang tersedia untuk itu, terutama ketika mengacu pada praksisnya. Setidaknya di sebagian atau bahkan bisa jadi di kalangan mayoritas publik kita.
Seperti biasa, saya tidak akan memenuhi tulisan ini dengan berbagai kutipan, mengenai makna, hikmah, hingga aturan fikih tentang puasa, baik dari kitab suci, hadits, maupun ungkapan para ulama yang berijtihad. Saya hanya ingin melihat dan belajar bagaimana praksisnya dalam keseharian kita. Karena sesungguhnya ayat-ayat yang suci itu ada dalam hidup dan dunia di sekeliling kita, di mana arti, makna dan hikmahnya terhijab oleh fakta, data, dan peristiwa (fenomena) yang ada dan terjadi di sekitar kita, setiap hari, setiap saatnya. Ayat dan kitab menjadi kosong bila ia hanya menjadi catatan kaki (
footnote), bukan menjadi rekam jejak (
footprint).
Macam sebuah pertanyaan, sebenarnya kita melaksanakan puasa Ramadhan itu sungguh karena (perintah) Allah, atau hanya karena ia sudah menjadi tradisi (yang begitu kuat terinternalisasi sejak kita kanak-kanak)? Bila karena satu sebab, misalnya, kita tidak puasa atau batal puasanya, kita sungguh merasa dosa (lantaran paham maksudnya) atau sekadar merasa ‘bersalah’ karena tradisi tubuh itu kita langgar? Semacam kita merasa bersalah (bisa jadi berdosa) karena suatu kali tidak mengikuti perintah orangtua, padahal biasanya selalu?
Semacam juga kita merasa bersalah bangun kesiangan karena terbiasa bangun lebih dini; merasa bersalah tidak mudik karena tertradisikan untuk selalu mudik; merasa bersalah bolos sekolah karena sejak PAUD kita diajarkan untuk selalu masuk sekolah? Dan seterusnya ....
Selain santapan jasmani, manusia juga sangat perlu diberi santapan rohani.
Maka saya bertanya kepada seorang sahabat, yang sejak usia 5 tahun hingga 50 tahun kemudian, tidak pernah bolong puasa Ramadhannya, apakah dia masih berpuasa setelah menonton sepotong video porno, sebagaimana hobinya? “
Masih dong,” katanya. “
Itu artinya kamu tidak minum dan makan, kan?” tanya saya lagi. “
Kecuali sebelum imsak tadi,” jawabnya polos. Saya pun tersenyum, seperti terlihat bangga padanya.
Saya tidak membenarkan sahabat saya. Namun, tampaknya ia menjadi representan atau simbol sekurangnya dari cara kita berpuasa Ramadhan. Selama kita tidak makan dan minum, perut tetap berpuasa, tetapi bagian-bagian lain (mata, telinga, lidah, kata-kata, pikiran, hati, dsb) ternyata tidak berpuasa, kita merasa sah melanjutkan ibadah Ramadhan itu, dan turut berbuka bersama yang lain.
Maka saya akan tetap berpuasa ketika saya asyik menggosip atau menggunjingkan orang, teman, atau sendiri kita. Saya akan tetap bukber, tarawih, dan mengaji tiap malam, sahur dan berpuasa hingga maghrib, walau mata dan telinga saya melihat dan mendengar hal tak senonoh, pikiran kita mengotori akal sehat, bahkan mengutil rezeki orang lain hingga mencuri uang negara alias korupsi, lalu mendermakan sebagian kecilnya untuk infak, zakat, sumbangan masjid, panti asuhan, atau sekadar takjil gratis.
Bila ada 10 bagian dari diri kita yang ‘ilahiah’ ini ternyata ada satu bahkan sembilan bagian tidak menjalankan aturan puasa, tapi perut tetap menjalankannya, kita akan menyatakan, “Saya (masih) puasa.” Mungkin kurang berkualitas puasanya, kata sebagian secara apologetik. Puasa ternyata secara sosial ada
grade-nya. Lalu apa
grade-nya bila sebagian besar, tujuh hingga sembilan bagian dari kita, kecuali perut, tidak puasa? Jawaban akan beragam, tentu. Namun, apakah bukan kenyataan itu menunjukkan ketidakutuhan integritas kita, keterbelahan pribadi dan keyakinan kita, sikap hipokrit kita?
Kemarau spiritual tak cukup hanya dibasahi dengan air segelas.
Mengurangi ‘lebih dari lebih’Ada fakta lain yang dapat dibuktikan bila Anda mau dan mampu? Bahkan seorang wadam atau waria, yang bermata pencaharian menjual jasa ‘seksual’ di malam hingga dini hari, masih ada yang tetap puasa dan mengaji saat subuh sepulang dari kerja atau ‘praktik’-nya. “
Karena saya harus mengajari dan membiasakan kedua anak saya, mendengar suara orang ngaji saat ia bangun pagi. Apalagi jika itu suara bapaknya,” salah seorang dari wadam itu bercerita.
Tahukah Anda, bila seorang muncikari atau germo menawarkan (tepatnya mendagangkan jasa seksual) dari anak buahnya, setelah ia buka puasa dan shalat maghrib?
Bahkan sang PSK pun sebagian ‘libur’ siang untuk menjalankan ibadah Ramadhan dan melanjutkan kerjanya setelah puasa hari itu lewat. Bagaimana pikiran dan hati kita mendengar, melihat, dan coba memahami semua realitas itu? Saya tak bisa menggambarkan. Bahkan bukan hanya mata dan hati, pikiran pun menitikkan air yang menetes tanpa dapat kita usap atau keringkan.
Tidak seluruh fakta saya mewakili mayoritas, tentu saja. Namun, contoh-contoh yang saya sebut mewakili pertanyaan spiritual, sikap dan tindak beragama kita, Islam khususnya, puasa Ramadhan dalam hal ini. Ini menjadi refleksi untuk segala ibadah kita di bagian yang lain, agama yang lain, sikap spiritual dan keberagamaan kita. Karena segalanya adalah hasil dari proses dan dinamika kebudayaan kita. Semua itu adalah hasil dari kita bermasyarakat, berbangsa, dan berbudaya. Sebagian, mau tak mau, diakui jujur atau tidak, adalah juga bagian dari diri kita, jati diri bangsa kita.
Ramadhan, yang para ustadz pasti menyatakan adalah bulan yang kita tunggu, yang kita harus berterima kasih karena masih dipertemukan dengannya, ternyata tidaklah selalu kita posisikan sebagaimana makna, hikmah, nilai, dan berkah yang terkandung di dalamnya. Di mana puasa, khususnya Ramadhan, sekurangnya adalah sebuah exercise yang sangat-sangat penting bagi kaum muslim, bukan untuk membatasi, tapi ‘mengurangi’ apa pun yang selama ini ‘berlebih’ ia lakukan, konsumsi, misalnya, dan seterusnya.
Telah sejak 1,5 milenia lalu Islam datang dengan kesadaran akan dunia yang sangat modern, dunia yang ditandai oleh adagium
to have more not to be more. Dunia yang menawarkan bahkan mengimperasi kita untuk mendapatkan lebih dan ‘lebih dari lebih’. Sesungguhnya, bahkan makanan dan minuman yang kita telan setiap hari berlebih. Menimbulkan ‘lebihan-lebihan’ dalam bentuk lemak, kolesterol, asam urat, hipertensi, atau hiperkalemia dan lainnya, sehingga untuk itu kita membutuhkan berbagai sarana/jasa baru seperti fitness center, kursus yoga, program diet, hingga operasi plastik ––yang notabene berbiaya tinggi–– hanya untuk menghilangkan atau mengurangi apa yang begitu rajin kita buat berlebih.
Puasa Ramadhan adalah peringatan dan latihan untuk kita hidup ‘kurang’. Dengan mengurangi makan dan minum hanya di dua waktu saja, kita mestinya sadar, ternyata hidup kita tidak kurang apa pun. Tidak kurang fit, tidak kurang sadar, tidak kurang kreatif, tidak kurang rezeki, dst. Lalu kenapa kita harus makan minum berlebih, 3 kali atau lebih, plus camilan, jajanan, dan sebagainya?
Dan apa yang terjadi dalam tradisi Ramadhan kita? Di saat kita diminta untuk ‘kurang’, justru uang belanja kita semasa Ramadhan meningkat tajam hingga 200% bahkan lebih! Di saat kita berusaha kembali ‘fitri’ agar diri kita lahir kembali sebagai manusia (muslim) baru, kita malah berpesta pora. Bahkan hanya untuk makan dua hari Lebaran saja kita menyediakan makanan yang cukup untuk satu minggu, dengan nilai yang mungkin 1.000% lebih mahal dari biasanya.
Puasa adalah training disiplin spiritual.
Kita berlebih dengan beli baju baru, sepatu baru, cat rumah baru, mungkin kendaraan baru, mudik dengan biaya aduhai mahal, dan seterusnya. Lalu kita pun sepanjang Ramadhan memerah keringat dan air mata lebih banyak untuk menambal beban yang luar biasa itu. Tindak menyimpang bahkan manipulatif atau koruptif harus dilakukan demi tradisi itu. Betapa Ramadhan telah membuat kita justru menjadi begitu rakus akan semua yang bersifat material dan yang duniawi!
Lalu apa kedudukan, fungsi, peran, dan hikmah Ramadhan selama ini, selama bertahun, ber-dekade, dan ber-abad bagi kita kaum muslim Indonesia? Adakah praksis ibadah Ramadhan kita membantu bangsa, pemerintah, juga membantu diri kita sendiri, untuk merintis atau menciptakan perbaikan atau pembaharuan, setidaknya dalam sikap mental, perilaku, moralitas, atau integritas? Apakah ada dalam diri kita, kelompok kita, atau bangsa kita ini pernah mengalami ‘kefitrian’, pembaharuan diri, atau semacam
renaissance kecil setiap usai Ramadhan?
Bila semua jawaban di atas negatif, tidakkah kita selayaknya becermin pada eksposisi faktual di atasnya dan merenung: kenapa semua itu terjadi? Kenapa ia menjadi masif, kolektif, dan ––entah sedikit atau banyak–– kita berada di dalamnya? Apa yang keliru, dalam diri kita, agama kita, sikap keberagamaan kita, atau ...?
Puasa bahari ituTentu saja saya tidak akan menuding. Apalagi kepada hal-hal yang bersifat religius, entah itu tauhid, syariah, atau fikihnya, apalagi kepada para ulama yang bijaksana. Akan lebih baik kita memeriksa diri kita sendiri, bila ternyata cara kita beragama selama ini ternyata selalu diselubungi ––jika tidak dinternalisasi–– oleh ilusi. Ilusi akan kenyataan yang sangat material, yang sesungguhnya pragmatis hedonis, yang justru melawan atau mengkhianati agama kita sendiri, tepatnya telah mengkhianati kedalaman spiritualitas kita.
Kedalaman spiritualitas yang saya maksudkan ialah spiritualitas dari bangsa ini yang sesungguhnya memiliki basis sangat luhur dan mulia. Maaf bila saya harus katakan sekali lagi, dan akan berulang kali, basis itu ada dalam sebuah peradaban yang bernama bahari, maritim kata sebagian orang. Basis itu sangat sederhana sebenarnya. Seorang yang berilmu (dari bahasa Arab
‘ilm, masdarnya,
‘alim atau
allamah untuk berilmu dan
‘ulama transliterasi jamaknya dalam Melayu), tidak akan dianggap alim, apalagi disebut ulama, bila pengetahuannya hanya berhenti pada memori atau sistem kognitifnya.
Semua yang dia ketahui akan menjadi (disebut) ilmu ketika ia menjelma dalam praksis, dalam hidup kesehariannya. Terutama dalam kemaslahatan sosial dari semua tindakan-tindakannya, baik yang mental maupun fisikal.
Ngelmu kuwi kalakone kanthi laku, begitu kearifan Jawa mengatakan. Maka, seorang ulama, misalnya, dalam dunia bahari, tidak diukur dari kecakapan lisan, retorika atau jumlah kutipan yang ia slogankan, tapi dari faedah dan akibat baik perbuatan dan produksi kulturalnya. Orang Jawa menyebut apa pun yang seperti itu dengan ‘ki’ atau ‘kiai’.
Wasbir 'ala ma yaquluna, wahjurhum hajran jamiila.
Bila seseorang secara kognitif tahu banyak, belajar lama, baca banyak, mungkin doktor atau profesor di banyak lembaga, tentu ia memosisikan dirinya ‘lebih tahu’ dari yang lain. Ada perasaan dominan, suprematif atau otoritatif, yang pada tingkat mental menjadi semacam arogansi, keangkuhan, dan untuk kaum medioker menjadi sikap yang tengik.Tegak bahkan tengadah, melihat yang lain lebih kecil atau lebih di bawah.
Seorang ulama atau kiai dalam hidup bahari, justru sebaliknya. Sistem kognisi berperan, tapi tidak utama, sebagai bagian wajar dari pengetahuan secara keseluruhan. Karena, ilmu dalam tradisi bahari tidak berhenti pada chip atau server di otak bagian kiri kita saja, tetapi ia menjalar dan mengendap di kulit, tangan, jari, dengkul, bahu, mata, telinga, rambut, jantung, darah, dan seluruhnya. Seluruh bagian kemanusiaan kita yang ‘ilahiah’ itu berilmu.
Ilmu, bila itu datang dari ayat-ayat suci, sudah menjelma ke dalam hidup dan diri kita. Kitalah ayat-ayat itu. Karenanya, dalam adab bahari sesungguhnya praktik atau dimensi spiritual itu sudah menyatu dalam hidup (keseharian) kita. Tidak terpisah. Apalagi menjadi semacam logos tersendiri yang struktur dan metode artifisialnya berbeda. Karena apa yang imanen itu sesungguhnya transenden.
Bukankah Nabi Muhammad sendiri mempraktikkan itu? Sebagai Nabi, tentu saja ia tidak sekadar membaca Al-Quran, tetapi ia menjelmakannya, menjadikan dirinya sebagai
the living Quran, Quran yang hidup. Sehingga apa yang ia katakan dan perbuat adalah contoh terbaik dari praksis Al-Quran, menjadikan semua laku-perbuatannya sebagai Sunnah dan tauladan indah, sebagai tandem satu-satunya dari Al-Quran itu sendiri. Tidakkah Islam sesungguhnya adalah hikmah dari kata ‘guru’ dalam adab bahari?
Guru dalam adab bahari kita kenal sebagai akronim. ‘Gu’ berarti
digugu, diacu dan dijadikan patokan atau rujukan. Dan ‘Ru’ berarti
ditiru, dicontoh, atau menjadi eksemplar yang bisa diikuti? Maka dalam Islam, kita mengacu pada Al-Quran dan meniru atau mencontoh model hidup Nabi-Nya. Sebagaimana ulama, kita mengacu pada nilai, moralitas, hingga etika dan estetikanya, dan lalu kita mengikuti, meniru, meneladani cara-cara hidupnya sebagai santri.
Bukankah itu ––tak hanya sebaiknya–– berlaku pada semua ibadah kita. Terlebih dalam puasa Ramadhan. Bukankah sekadar retorika atau apologia saja bila puasa hanya terjadi pada perut atau 2-3 bagian tubuh lainnya? Tidakkah praksis (dari puasa) itu menggambarkan secara langsung ilmu dan keimanan kita? Apakah kita akan membiarkan ––sebagai manusia bahari–– puasa kita cacat dan tambal sulam, yang merupakan refleksi dari keimanan kita?
Saya percaya, Anda akan menjawabnya dengan negatif.
Alhamdulillah.
Radhar Panca Dahana,BudayawanMEDIA INDONESIA, 29 Juni 2015