Meratanya perolehan suara untuk PDI-P, Golkar, dan Gerindra diprediksi akan membuat koalisi makin sulit ditebak. Paling tidak akan ada tiga atau empat pasang capres-cawapres dalam Pilpres 2014 mendatang.
Ketua Departeman Politik dan Hubungan Internasional CSIS, Philips J Vermonte mengatakan selain PDI-P, Golkar dan Gerindra yang memiliki suara tertinggi, Partai Demokrat, PKB, maupun Partai Nasdem, mempunyai peluang besar untuk diajak berkoalisi. Ketiga partai ini memiliki suara yang tidak terpaut jauh dengan perolehan suara Golkar dan Gerindra. “Mungkin ada 3-4 pasang karena suaranya merata,” ujar Philips. Ini terjadi karena semua partai politik tidak ada yang mencapai syarat 25 persen.
PDI-P yang diprediksi akan menjuarai perolehan Pileg diatas 25 persen, ternyata tidak tercapai. Padahal bila mencapai angka 25 persen, PDI-P dapat mengajukan capres dan cawapres sendiri, dan PDI-P bisa membentuk kabinet yang profesional tanpa harus berkoalisi. Namun jika PDI-P kalah, maka oposisi merupakan opsi lain yang bisa diambil.
Jokowi (Joko Widodo), Prabowo Subianto dan Ical (ARB).
Sosok Prabowo yang menjadi figur utama dalam tubuh Gerindra pun layak untuk dicalonkan menjadi presiden. Pasalnya para loyalis Gerindra hingga kini masih solid dalam mengusung siapa yang harus mereka pilih sebagai pemimpin bangsa.
Sedangkan partai Golkar yang konsisten selama perjalanan pemilu, wajib untuk diperhitungkan. Sekalipun elektabilitas Aburizal Bakrie, kalah dibandingkan dengan Jokowi maupun Prabowo, tapi masih banyak rakyat yang memilih Golkar sebagai partai pilihan mereka.
Jika berkaca dari tiga besar parpol pemenang pileg hasil quick count tersebut, maka tiga nama yang telah disampaikan Philips J Vermonte itu, bisa jadi memang akan bertarung dalam pemilihan presiden (Pilpres) bulan Juli 2014 mendatang.
"Punjul ing Apapak, Mrojol ing Akerep" (Unggul di atas rata-rata, dan mampu keluar dari masalah serumit apapun).
Dalam konteks bahasa sehari-hari, penulis mencatat, ada dua istilah yang perlu dicermati, yakni “apa yang diinginkan” dan “apa yang dibutuhkan”. Dan yang diinginkan belum tentu yang dibutuhkan.
Secara lahiriah, keinginan adalah semacam hawa nafsu yang hendak dilepaskan sesaat. Artinya, sesuatu yang diinginkan, hanya memandang sesuatu secara pragmatis jangka pendek. Tidak memikirkan efek, dampak dan akibat jangka panjang. Sedangkan sesuatu yang dibutuhkan, lazimnya adalah merupakan suatu keharusan dan penting, karena berbagai pertimbangan dengan memandang segala risiko jauh ke depan. Lalu seperti apa pemimpin yang dibutuhkan ataupun yang diinginkan?
Kata-kata inilah yang terlontar dari seorang sopir taksi. “Kalau dibutuhkan itu akan menjadi prioritas. Tapi kalau yang diinginkan, hanya melihat kondisi sekarang, tidak melihat ke depan. Artinya, yang diinginkan belum tentu dibutuhkan,” ungkap sopir tersebut ketika berbincang dengan penulis, baru-baru ini.
Mengutip tulisan Prof Dr Baharuddin, M.Ag, Guru Besar STAIN Padangsidempuan, dalam pandangan teori Psikologi Islam, suatu tingkah laku selalu berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan dan atau pemenuhan keinginan.
Meskipun suatu tingkah laku atau tindakan terlihat sama dalam bentuk dan jenisnya, tetapi karena berbeda dalam proses terjadinya, di mana ada yang didasarkan untuk memenuhi kebutuhan dan yang lainnya didasarkan keinginan, maka tindakan tersebut menjadi berbeda nilainya. Tindakan yang didasarkan kebutuhan adalah tindakan dalam rangka memelihara dan mengembangkan potensi diri. Sementara tindakan atas dasar keinginan adalah tindakan yang berorientasi kepada memperoleh kenikmatan atau kelezatan sesaat. Itulah sebabnya sesuatu yang mendatangkan kenikmatan akan dilakukan dan sesuatu yang akan mendatangkan ketidaknyamanan pasti dijauhi.
Namun tatkala makan dan minum yang dilakukan bukan dalam rangka memenuhi kebutuhan biologis, misalnya karena selera yang spontan bangkit gara-gara melihat makanan dan minuman yang sangat menarik dan lezat, maka tindakan ini hanyalah sekedar untuk memenuhi keinginan nafsu belaka.
Dengan demikian, seseorang akan makan dengan sebanyak-banyaknya kerena didorong oleh makanannya yang lezat dan cocok dengan seleranya. Tetapi sebaliknya, kalau makanannya kurang lezat atau tidak sesuai dengan seleranya, dia tidak akan memakannya. Jadi, perbuatan makan yang dilakukan ini didorong oleh keinginan atau selera, bukan karena kebutuhan.
Maka bisa disimpulkan, tingkah laku yang didasarkan oleh pemenuhan kebutuhan selalu berhubungan dengan potensi diri yang positif. Sementara tingkah laku yang didasarkan kepada keinginan selalu berhubungan dengan hasrat kepada hal-hal yang menyenangkan dan bersifat sesaat, serta cenderung negatif. Dengan kata lain, dorongan keinginan hanyalah sekedar dorongan untuk mencari kepuasan dan mendapat kenikmatan serta menghindar dari hal-hal yang tidak menyenangkan.
SBY, Anies Matta, Megawati, Cak Imin, Prabowo, dan Ical.
Demikianlah, maka suatu tingkah laku yang didasarkan kepada kebutuhan akan tetap dilakukan meskipun dalam waktu tertentu dirasa tidak menyenangkan. Namun karena hal itu merupakan pengembangan potensi diri yang positif dan bermanfaat jangka panjang, maka seseorang tetap akan melakukannya.
Inilah dinamika tingkah laku. Dalam realitas kehidupan selalu saja ada orang yang bertingkah laku berdasarkan kebutuhan dan ada pula orang yang bertingkah laku atas dasar keinginannya. Termasuk dalam hal pemilihan pemimpin. Apakah itu bupati, walikota, gubernur dan presiden.
Pemimpin yang dibutuhkan adalah pemimpin yang mampu mengembangkan seluruh potensi yang ada sehingga cenderung positif dan menjadi lebih baik. Mulai dari potensi fisik-material maupun psikologis-immaterial. Dan yang paling penting adalah potensi sumberdaya manusianya.
Pemimpin yang demikian harus memiliki keutuhan kepribadian, wawasan keilmuan yang luas, kecerdasan multidimensional, keagungan akhlak, dan kematangan profesional. Pemimpin dengan ciri-ciri demikian tidak akan melakukan hal-hal yang rendah dan hina hanya demi kepentingan pemenangannya. Pemimpin ini tidak akan menghalalkan segala cara demi meraih tujuannya, karena visi dan misinya adalah mengembangkan seluruh potensi sumberdaya yang ada secara positif dan bertanggung jawab.
Ironisnya, pemimpin yang demikian seringkali tidak populer. Pemimpin ini tidak laku bagi para pemilih yang mendasarkan pilihannya pada kepuasan fisik-biologis dan material. Ia jauh melampaui cara berpikir materialis, sehingga sangat sulit memenangkan pemilihan, sekalipun pada hakikatnya kita membutuhkan pemimpin yang seperti ini.
Dr. Anies Baswedan, salah seorang tokoh pemimpin muda Indonesia yang leadership-nya sudah diakui oleh dunia internasional.
Pemimpin yang memenangkan pemilihan, biasanya adalah pemimpin yang diinginkan mayoritas masyarakat, walaupun tidak berkualitas. Pemimpin yang dapat memuaskan keinginan pemilihnya, baik kepuasan material maupun immaterial inilah yang biasanya memenangkan suara mayoritas.
Pemimpin model ini selalu dipertimbangkan berdasarkan “untung-rugi” kelompok organisasi dan golongan, hubungan keluarga, hubungan pertemanan, keuntungan material, janji politik, suku, ras, bahkan agama. Calon pemimpin yang memiliki kedekatan teman, organisasi, suku, ras, dan lain sebagainya itu yang akan menjadi pilihan. Jadi, memilih pemimpin adalah atas dasar keinginan untuk memuaskan kepentingan yang dibungkus dengan segala macam alasan kedekatan (koneksitas) tersebut.
Maka, pemimpin yang diperkirakan akan memenangkan pertarungan selalu adalah pemimpin yang diinginkan oleh mayoritas, sekalipun sebenarnya bukan yang dibutuhkan. Karena memang realitas pemilih mayoritas saat ini akan memilih pemimpin yang dinginkan. Pemimpin yang cocok dengan selera atau kepentingan yang diinginkannya.
Pemimpin yang demikian niscaya menjanjikan sejumlah hal yang dapat memuaskan keinginan mereka, baik keinginan material maupun immaterial. Mereka tidak peduli apakah pemimpin itu sesuai dengan yang dibutuhkan atau tidak. Bagi mereka memuaskan keinginan adalah segala-galanya.
Orang akan puas dengan mendapatkan sesuatu, misalnya uang, kaos, gambar, spanduk, ongkos, atau bahkan sekedar janji-janji manis. Bukan karena kebutuhan untuk menjaga dan mengembangkan potensi SDM (manusia) dan SDA (daerah/wilayah) mereka masing-masing. Mereka rela menggadaikan suaranya demi sedikit imbalan yang mereka terima. Mereka merasa berhutang budi, hanya karena sejuta janji, atau sejumlah uang, padahal akibatnya mereka akan mengalami stagnasi dalam pengembangan potensinya.
Semoga kita semakin cerdas dalam memilih pemimpin kita di masa yang akan datang. Berpikirlah sebelum memilih, jika tidak ingin menyesal.
Amril Jambak,
Peneliti di Forum Dialog Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia
DETIKNEWS, 14 April 2014 dan OKEZONENEWS, 16 April 2014
No comments:
Post a Comment