Saturday, November 1, 2008

Ideologi Bahasa Indonesia


Setiap penggunaan bahasa bersifat ideologis. Bahkan, bahasa adalah ideologi. Itulah pandangan para linguis kritis, seperti Volosinov, Bakhtin, Foucault, Fairclough, Wodak, Kress, Hodge, dan Van Dijk.

Dalam hal ini, ideologi adalah gagasan atau keyakinan yang commonsensical (sesuai akal sehat) dan tampak normal. Gagasan atau keyakinan itu telah menjadi bawah sadar masyarakat. Maka, jika masyarakat tidak menyadari ideologi (dalam) bahasa yang dipakainya, itu membuktikan ideologi sedang efektif bekerja.

Bahasa Indonesia pun bersifat ideologis. Ideologi itu mengenai penentuan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan (Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928) dan bahasa negara (UUD 1945 Pasal 36). Saat para tokoh pemuda mengikrarkan butir ketiga Sumpah Pemuda, mereka digerakkan ideologi kebangsaan yang demokratis dan egaliter. Maka, pilihan jatuh pada bahasa Indonesia bukan bahasa Jawa atau Sunda, yang penutur aslinya lebih banyak. Bahasa Melayu -bahan dasar bahasa Indonesia- hanya berpenutur asli sekitar 4,5 persen populasi. Namun, meski belum jelas benar sosoknya, bahasa Indonesia diyakini lebih demokratis dan egaliter sebab tidak mengenal speech level (tingkat tutur).

Dalam pandangan sosiolinguistik, penentuan bahasa Indonesia jadi bahasa persatuan dan bahasa negara didasari ideologi vernacularization (vernakularisasi, pribumisasi). Menurut Cobarrubias (Ethical Issues in Status Planning, 1983), vernakularisasi adalah penentuan sebuah indigenous language (bahasa pribumi) menjadi bahasa resmi. Segi-segi sosiologis-politis-kultural pasti dipertimbangkan, termasuk kehendak memartabatkan jati diri.

Demikianlah, bahasa Indonesia mengada karena ideologi kebangsaan demokratis-egaliter dan pemartabatan jati diri. Bahkan, bahasa Indonesia pada gilirannya adalah ideologi tentang nasionalisme, demokrasi, jati diri, dan kesederajatan. Tak ayal dalam literatur-literatur utama sosiolinguistik, bahasa Indonesia menjadi contoh klasik vernakularisasi, selain Tok Pisin (Papua Niugini), Yahudi (Israel), Tagalog (Filipina), dan Quechua (Peru).

Jika bahasa Indonesia dan situasi kebahasaan mutakhir dicermati, masih adakah jejak ideologi itu? Apa tantangan bagi ideologi bahasa Indonesia? Apa kaitannya dengan Kongres IX Bahasa Indonesia, 28 Oktober-1 November 2008?

Beragam ideologi bahasa
Tiga ideologi selain vernakularisasi, yaitu linguistic assimilation, linguistic pluralism, dan internationalism. Linguistic assimilation menempatkan bahasa terdominan sebagai bahasa resmi. Semua warga -pribumi atau pendatang- wajib mempelajari dan menggunakan bahasa itu. Contohnya bahasa Perancis di Perancis, bahasa Inggris di Inggris dan Amerika Serikat serta wilayah koloninya, serta bahasa Jerman di Jerman. Ideologi ini diterapkan dengan berbagai bentuk, termasuk pemaksaan, seperti kebijakan Hellenization di Yunani dan Russification di Uni Soviet masa lampau.

Linguistic pluralism memberikan kesempatan sama kepada bahasa-bahasa yang ada. Kesempatan itu dapat berbasis wilayah atau ikatan warga. Paham ini diberlakukan antara lain di Belgia, Kanada, Singapura, Afrika Selatan, dan Swiss.

Adapun internationalism (internasionalisme) justru mengangkat non-indigenous language (bahasa nonpribumi). Karena bahasa nonpribumi telah digunakan dalam komunikasi luas, lalu dijadikan bahasa resmi bidang tertentu. Ideologi ini, misalnya, berwujud penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi pendidikan dan perdagangan di Singapura, India, Filipina, dan Papua Niugini.

Tantangan internasionalisme
Bahasa Indonesia masih relatif muda. Namanya baru mulai disebut saat Kongres Pemuda 1, 2 Mei 1926. Setelah dinyatakan sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara, bahasa Indonesia mengalami promosi dan kodifikasi besar-besaran. Dalam usia 80 (atau 82) tahun, secara korpus bahasa Indonesia makin sempurna. Berbagai kamus dan pedoman tata bahasa, ejaan, dan peristilahan kian lengkap. Jumlah penuturnya makin meningkat. Bahasa Indonesia telah melampaui masa lampaunya sebagai bahasa "kecil" dan kini menjadi bahasa "besar". Namun, bagaimana ideologinya? Bahasa Indonesia masih menjadi ideologi kebangsaan, demokrasi, jati diri, dan kesederajatan?

Sebagaimana teritori mana pun, Indonesia adalah arena perang ideologi, termasuk ideologi bahasa. Dalam arena itu ideologi bahasa Indonesia harus bertarung menegakkan eksistensinya. Benar pernyataan St Sunardi (Kompas, 27/10/2008) dimensi nasionalisme menjadi lebih rumit daripada sekadar kesamaan sejarah, suku, bangsa, atau budaya. Menyangkut ideologi bahasa Indonesia, kerumitan itu berwujud hadirnya ideologi internasionalisme yang menyatu dengan globalisasi. Padahal, internasionalisme serba bertentangan dengan vernakularisasi.

Dengan kata lain, bahasa Indonesia sebagai ideologi berpotensi terpinggirkan, terutama sebagai ideologi kebangsaan dan jati diri.

Kongres IX Bahasa Indonesia
Pada 28 Oktober - 1 November 2008 digelar Kongres IX Bahasa Indonesia, bertema "Bahasa Indonesia Membentuk Insan Indonesia Cerdas Kompetitif di Atas Fondasi Peradaban Bangsa".

Tampak, tema itu digerakkan ideologi bahasa Indonesia, yakni kebangsaan, demokrasi, jati diri, dan kesederajatan. Upaya penyelenggara kongres, Pusat Bahasa, patut diapresiasi. Bukan hanya karena setia memelihara ideologi bahasa Indonesia, tetapi juga membuka diri atas situasi terkini. Secara tersirat, kata "kompetitif" menyadari hadirnya ideologi internasionalisme yang tidak harus dihadapi frontal.

Apalagi kaidah-kaidah yang amat kaku tidak "membakukan", tetapi "membekukan" bahasa Indonesia. Sikap normatif berlebihan menjadi kendala bagi pengembangan kreativitas. Martabat bahasa Indonesia pun terlecehkan. "Bangsa Indonesia soedah sadar akan persatoeannja, boekan sadja dalam artian politik, akan tetapi dalam artian keboedajaan jang seloeas-loeasnja". Itulah tanggapan surat kabar Kebangoenan pimpinan Sanoesi Pane (22/6/1938) atas rencana Kongres I Bahasa Indonesia di Solo, 25-28 Juni 1938.

Semoga Kongres IX Bahasa Indonesia juga melahirkan tanggapan senada.

P Ari Subagyo, Penggulat Linguistik di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
KOMPAS, 29 Oktober 2008

1 comment:

Felix de Garfield said...

Filsafat Bahasa
Filsafat Analitik: Positivisme dan Bahasa sehari-hari
Dengan telah memeriksa tiga cara penerapan pembedaan logis antara “analisis” dan “sintesis”, dan dengan agak rinci telah merambah penerapannya pada Geometri Logika, tugas kita yang tersisa di Bagian Dua ini adalah mempertimbangkan bagaimana penekanan yang berlebihan pada analisis atau pun pada sintesis menjadi cara pengembangan ide-ide oleh sebagian filsuf. Pada Kuliah 1 yang lalu saya memperlihatkan perbedaan dua gerakan yang berlawanan yang mendominasi filsafat Barat selama sebagian besar dari abad keduapuluh: analisis linguistik dan eksistensialisme (lihat Gambar I.2). Kebanyakan versi analisis linguistik menekankan pentingnya analisis, dan kebanyakan versi eksistensialisme, sintesis, hampir mengabaikan atau bahkan secara terang-terangan menolak makna penting kecenderungan lawanannya. Sekalipun begitu, seperti yang telah kita duga, dengan adanya pertalian komplementer antara analisis dan sintesis, setiap kecenderungan tersebut saling bergantung demi melanjutkan keberadaan masing-masing, karena merupakan kutub-kutub yang komplementer pada sebuah gerakan. Oleh sebab itu, mestinya tidaklah sampai mengejutkan [tatkala] kita dapati bahwa, menjelang akhir abad itu, kedua kecenderungan tersebut mulai sama-sama gugur, dan diganti secara bertahap oleh cara pikir lain, yakni, yang terpenting, filsafat hermeneutik. Menariknya, tiga pendekatan utama terhadap filsafat itu semuanya menekankan tema umum: sentralitas bahasa pada pencarian filosofis. Jadi, pada pekan ini kita akan mencurahkan sebuah kuliah bagi masing-masing.
Pada jam kuliah ini kita hendak membahas anasir utama gerakan filosofis yang mendominasi filsafat yang berbahasa-tutur Inggris sepanjang abad yang lalu, yang dikenal sebagai “analisis linguistik”. Jalan filosofis ini juga disebut dengan nama-nama seperti “filsafat analitik”, “filsafat linguistik”, atau “filsafat bahasa”, bergantung pada preferensi filsuf yang bersangkutan. Namun pada umumnya kita dapat memerikan pendekatan ini sebagai sesuatu yang menganggap analisis bahasa sebagai tugas mendasar filsuf. Cara yang cermat tentang bagaimana bahasa mestinya dianalisis, definisi yang tepat tentang apakah analisis itu, dan juga pembatasan yang pas tentang apa yang terhitung sebagai bahasa, semuanya merupakan persoalan yang diperdebatkan secara terbuka di kalangan anggota-anggota aliran ini. Namun di tengah semua perbedaan mereka, para analis linguistik disatukan oleh keyakinan bersama mereka bahwa persoalan filosofis harus didekati mula-mula dan terutama (jika bukan hanya) dari sudut pandang yang akar-akarnya pada bahasa manusia. Sebagiannya percaya bahwa dalam memegang keyakinan ini mereka merupakan pewaris sejati atas gagasan keterbatasan pengetahuan [yang dicanangkan] oleh Kant—sampai pada pengertian bahwa gagasan “peralihan transendental” dalam berfilsafat dikira, oleh banyak filsuf saat ini, identik dengan “peralihan linguistik”.
Akar-akar analisis linguistik ditanam di lahan yang disiangi oleh seorang matematikawan bernama Gottlob Frege (1848-1925). Frege memulai sebuah revolusi logika (analitik), yang implikasinya masih dalam proses penanganan oleh filsuf-filsuf kontemporer. Ia menganggap bahwa logika sebetulnya bisa direduksi ke dalam matematika, dan yakin bahwa bukti-bukti harus selalu dikemukakan dalam bentuk langkah-langkah deduktif yang diungkapkan dengan gamblang. Yang lebih penting, ia percaya logika mampu mengerjakan tugas-tugas jauh melampaui apa saja yang dibayangkan oleh Aristoteles, asalkan para logikawan bisa mengembangkan cara pengungkapan makna linguistik seluruhnya dengan simbol-simbol logika. Salah satu idenya yang paling berpengaruh adalah membuat perbedaan antara “arti” (sense) proposisi dan “acuan” (reference)-nya, dengan mengetengahkan bahwa proposisi memiliki makna hanya apabila mempunyai arti dan sekaligus acuan. (Ide ini mengandung kemiripan yang menonjol, secara kebetulan, dengan peryataan Kant bahwa pengetahuan hanya muncul melalui sintesis antara konsep dan intuisi.) Frege juga menyusun notasi baru yang memungkinkan terekspresikannya “penentu kuantitas” (kata-kata seperti “semua”, “beberapa”, dan sebagainya) dalam bentuk simbol-simbol. Ia berharap para filsuf bisa menggunakan notasi ini untuk menyempurnakan bentuk logis argumen mereka, sehingga memungkinkan mereka untuk jauh lebih dekat, daripada waktu-waktu sebelumnya, dengan ide pembuatan filsafat menjadi ilmu yang ketat.
Salah seorang filsuf pertama yang mengakui teramat pentingnya temuan baru Frege dalam logika ialah Bertrand Russel (1872-1970)—barangkali dialah filsuf Inggris yang paling terkenal di abad keduapuluh. Russel, bersama-sama dengan A.N. Whitehead, menerapkan banyak wawasan Frege dalam menulis buku yang tentu merupakan tulisan terpenting filsafat abad keduapuluh, yang sekurang-kurangnya masih dibaca, Principia Mathematica. Russel mengembangkan banyak ide yang menarik dan berpengaruh pada aneka-macam pokok bahasan selama karir panjangnya. Sayangnya, pada sejumlah kesempatan ia mengubah pandangannya, dengan mengajukan teks yang melawan pandangannya sendiri yang ia bela di tulisan-tulisan terdahulu. Lantaran ia tidak pernah menyusun sebuah sistem filsafat yang taat-asas, aneka-macam idenya itu terlalu sulit untuk diperiksa di sini. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan seorang rekan Russel yang lebih muda, yang memulai karir filsafatnya sebagai murid Russel. Filsuf yang berbahasa-tutur Jerman ini, setelah menempuh studi teknik selama beberapa tahun di Manchester, mengirim esai kepada Russel di Cambridge, memberitahu dia bahwa ia ingin mengkaji filsafat di bawah bimbingan Russel—kalau tidak, ia akan menuntut ilmu lebih lanjut di bidang ilmu penerbangan. Untungnya, bagi dunia filsafat, Russel mengundang pemuda ini untuk menjadi mahasiswanya di Cambridge.
Jika Frege dapat dipandang selaku “bapak” analisis linguistik, maka “putra” terbesarnya, tak pelak lagi, ialah Ludwig Wittgenstein (1889-1951). Tak lama sesudah datang ke Cambridge, Wittgenstein terjun sendiri, menjadi salah seorang dari dua atau tiga orang filsuf abad keduapuluh yang paling berpengaruh. Sebagian besar dari pengaruhnya menyebar melalui kuliah-kuliah dan les-lesnya, dan melalui murid-muridnya dan melalui filsuf-filsuf lain yang ikut dalam diskusi-diskusi ini dengannya. Wittgenstein sendiri hanya menerbitkan sebuah buku selama hayatnya, yang ia tulis semasa ia masih muda. Akan tetapi, ketika ia meninggal, ia meninggalkan naskah bukunya yang kedua, yang akhirnya diterbitkan pada dua tahun selepas kematiannya. Tiap buku itu meletakkan pondasi bagi versi utama analisis linguistik yang baru. Untuk waktu yang masih tersedia pada jam kuliah ini, mari kita perhatikan dua arah umum ini berturut-turut.
Buku Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus (1921), sampai diperlakukan sebagai manifesto bagi salah satu versi analisis linguistik yang terawal: “positivisme logis”. Buku ini berawal dengan penetapan batas-batas dunia linguistik dengan menggunakan serangkaian proposisi yang mendasar berikut ini:
1 Alam adalah semua yang nyata.
1.1 Alam adalah totalitas fakta, bukan benda.
1.11 Alam ditentukan oleh fakta-fakta, dan oleh keberadaan semua fakta.
1.12 Karena totalitas fakta menentukan apa yang nyata, dan juga apa saja yang tidak nyata.
1.13 Fakta-fakta di bidang logika adalah alam.
1.2 Alam ini terbagi menjadi fakta-fakta.
1.21 Setiap benda dapat nyata atau tidak nyata sedangkan segala sesuatu lainnya tetap sama.
Di keseluruhan buku ini, Wittgenstein mengikuti bentuk matematis yang seketat pasal pendahuluan ini, dengan menomori setiap paragraf berikutnya dengan urutan yang hierarkis. Bentuk logis ini mencerminkan tujuan lengkap buku tersebut: menyusun serangkaian proposisi analitik yang bisa dimanfaatkan sebagai kerangka pemahaman semua “fakta” (yakni proposisi maknawi) mengenai alam. Fokus analitik perhatian Wittgenstein adalah bukti nyata tatkala, untuk contoh, ia menyatakan bahwa masing-masing dari fakta-fakta ini “dapat nyata” (can be the case) (+) “atau tidak nyata” (or not the case) (-).
Setelah menetapkan garis tapal batas yang tajam antara apa yang terhitung sebagai “alam” (the world) dan apa yang tidak—yakni antara “fakta” dan “benda”—Wittgenstein menuturkan jaring rumit proposisi-proposisi logis di bukunya, seksi 2-6. Proposisi-proposisi ini diharapkan mengokohkan kerangka filosofis demi pemahaman segala fakta yang sah bahwa “alam” (yaitu himpunan semua proposisi maknawi) memperkenalkan diri kepada kita. Ia kemudian menyimpulkan dengan pasal yang laik untuk dikutip dengan panjang:
6.522 Sungguh, ada hal-hal yang tidak bisa dituangkan dalam kata-kata. Hal-hal tersebut maujud dengan sendirinya. Hal-hal tersebut adalah yang mistis.
6.53 Metode filsafat yang benar pada hakikatnya sebagai berikut: tidak berkata apa-apa kecuali apa yang bisa dikatakan, yaitu proposisi-proposisi ilmu alamiah—yakni sesuatu yang tidak berkaitan dengan filsafat—dan lantas, memperlihatkan kepada siapa saja yang mengatakan sesuatu yang metafisis bahwa ia gagal memberi makna pada isyarat-isyarat yang pasti dalam proposisi-proposisinya. Walaupun ini tidak memuaskan orang lain tersebut—ia tidak merasa bahwa kita mengajari dia filsafat—metode ini satu-satunya metode yang benar semata-mata.
6.54 Proposisi-proposisi saya berfungsi sebagai penjelasan dengan cara berikut ini: siapa saja yang memahami saya akhirnya mengakui proposisi-proposisi saya non-akliah (nonsensical), bila ia menggunakannya—sebagai langkah-langkah—untuk memanjat melampauinya. (Jadi, untuk membicarakannya, ia harus melempar jauh-jauh tangganya sesudah ia memanjatinya.) Ia harus melampaui proposisi-proposisi ini, dan kemudian ia akan melihat alam dengan benar.
7 Hal-hal yang tidak bisa kita bicarakan itu harus kita lewati dengan keheningan.
Para filsuf analitik telah berdebat dengan lama dan keras mengenai interpretasi yang tepat atas teka-teki di bagian akhir yang mengejutkan pada Tractatus Wittgenstein. Namun jika kita cermati perbedaan antara logika analitik dan logika sintetik, maka makna klaim-klaim tadi cukup jelas. Dengan menghubungkan pembedaan antara “fakta” dan “benda” dengan pembedaan antara logika analitik dan logika sintetik, khususnya seperti yang tergambar pada Gambar IV.6, tersirat cara penggambaran struktur utama argumen Wittgenstein di pasal di atas sebagai berikut:
“hal-hal”
mistis
alam
“fakta”
### = proposisi-proposisi
bermakna
Gambar VI.1: “Tangga” Wittgenstein
Pandangan Wittgenstein bahwa filsafat apa pun berdasar pada pondasi logika analitik yang ketat belaka pasti membatasi ruang lingkup penyelidikannya pada pertanyaan-pertanyaan yang timbul di dalam “alam fakta” yang dihasilkan, meskipun ini mensyaratkan kita untuk memperlakukan banyak pertanyaan filosofis tradisional sebagai seakan-akan tidak ada. Ia mengakui dengan cukup tepat bahwa alam metafisis ini (yaitu alam “hal-hal” di luar logika analitik) adalah alam mistis; logika sintetik selalu menjadi alat mistis favorit. Akan tetapi, lantaran keyakinan kukuhnya akan kesahihan logika analitik yang universal dan eksklusif, Wittgenstein terpaksa menyimpulkan bahwa tanggapan yang tepat terhadap alam mistis itu tetap hening. Jika kata-katanya benar bahwa “hal-hal” semacam itu bukan bagian yang tepat dari tugas filsuf, maka banyak filsafat yang saya ajarkan kepada anda di matakuliah ini pada aktualnya bukan filsafat sama sekali, melainkan tong kosong belaka.
Keheningan, sebagaimana yang hendak kita jelajahi di Bagian Empat, pada aktualnya merupakan cara tanggap yang amat tepat terhadap pengalaman mistis. Namun demikian, sebagai binatang yang menggunakan kata-kata, kita manusia tentu mencoba memaparkan pengalaman semacam itu dengan kata-kata. Wittgenstein memerikan upaya ini tatkala ia mengacu pada orang-orang yang memanfaatkan proposisi analitik sebagai “tangga” (ladder) dengan harapan memanjat melampaui fakta-fakta menuju pemahaman hal-hal secara langsung. Ia memang benar kalau ia bermaksud untuk mengatakan bahwa dalam kasus-kasus semacam itu logika analitik berputar haluan menjadi “non-akliah”; secara demikian, nasihatnya, cukup tepatlah bahwa seorang manusia harus “melempar jauh-jauh tangganya sesudah ia memanjatinya”. Ia juga benar sepenuhnya dengan bersikeras bahwa kita harus “melampaui proposisi-proposisi ini” supaya “melihat alam dengan benar”; para mistikus jauh lebih tertarik pada pengubahan cara pandang kita terhadap alam daripada cara papar kita terhadapnya. Akan tetapi, yang alpa untuk dipertimbangkan oleh Wittgenstein adalah bahwa alam visi itu mungkin memiliki jenis logikanya sendiri, sehingga kata-kata lain yang tidak masuk akal (nonsense) akhirnya bisa masuk akal (make sense): proposisi-proposisi yang menggunakan logika sintetik itu masuk akal karena membuka mata kita lebar-lebar dalam memandang alam dengan cara baru!
Sayangnya, filsuf-filsuf terawal yang mengikuti petunjuk Wittgenstein tidak tertarik pada perambahan implikasi dari acuan-acuan misterius pada “hal-hal” yang agak “maujud dengan sendirinya”. Acuan-acuan itu tenggelam oleh pandangannya tentang pembangunan pondasi analitik yang akan memungkinkan filsafat untuk menjadi bentul-betul ilmiah untuk pertama kalinya. Pengikutnya yang paling berpengaruh ialah A.J. Ayer (1910-1989), yang pada usia 26 menulis buku, Language, Truth, and Logic, yang mempopulerkan interpretasi positivis terhadap ide-ide Wittgenstein. Jauh dari membiarkan terbukanya ruang untuk apresiasi yang hening terhadap “hal-hal yang mistis”, Ayer mengemukakan bahwa karakter non-akliah pengalaman mistis, bersama-sama dengan semua ide metafisis, seharusnya menyebabkan kita membuang itu semua lantaran tidak berguna sama sekali. Jadi, di dekat awal bab pertamanya, yakni “The Elimination of Metaphysics”, ia menulis:
For we shall maintain that no statement which refers to a "reality" transcending the limits of all possible sense-perception can possibly have any literal significance; from which it must follow that the labours of those who have striven to describe such a reality have all been devoted to the production of nonsense. (LTL 34)
([Ini] karena kita hendak mempertahankan bahwa tidak ada pertanyaan yang mengacu pada “realitas” yang melampaui batas-batas semua kemungkinan pencerapan-inderawi yang barangkali bisa memiliki kebermaknaan harfiah apa saja; dari situ harus dituruti bahwa para pelaku yang telah berjuang untuk memaparkan realitas semacam itu telah tercurah semuanya pada pembuatan hal-hal yang non-akliah.) (LTL 34)
Pisau Ayer yang dipakai untuk memangkas semua ilusi semacam itu muncul dalam bentuk sesuatu yang ia sebut prinsip “verifikasi”. Ia memaparkan prinsip ini dalam bentuk pertanyaan yang menurut dia seharusnya kita kemukakan tentang proposisi apa saja yang diajukan sebagai kemungkinan “fakta” alam: “Apakah observasi apa pun relevan dengan penentuan benar-salahnya?” (LTL 38). Jika jawabannya “Tidak”, maka, dalam pikiran Ayer, tidak ada jalan untuk memverifikasi kebenaran atau kesalahan proposisi yang dibicarakan; dan dalam segala situasi semacam itu, proposisi tersebut sungguh kurang bermakna. Jadi, jika saya mencoba membela kebenaran proposisi semacam “Tuhan berada”, Ayer mensyaratkan saya untuk memerikan situasi empiris potensial tertentu yang menyebabkan saya membuang keyakinan kepada Tuhan. Contohnya, jika saya katakan saya akan membuang keyakinan kepada Tuhan jika ibu saya wafat secara tragis, maka Ayer mengakui bahwa keyakinan saya sebagian mengandung isi yang maknawi; namun ini pun terutama merupakan keyakinan tentang ibu saya, bukan keyakinan tentang Tuhan. Orang yang mengklaim mempunyai keimanan yang tak tergoyahkan hanya akan dianggap meyakini omong kosong melompong. Ayer menyatakan hal ini dalam bagian berikutnya di bukunya, dengan menerapkan pisau verifikasi untuk memangkas sebagian besar dari hal-hal yang secara tradisional dianggap sebagai bidang penyelidikan filosofis terpenting. Bukan hanya proposisi-proposisi semacam itu, melainkan juga kebanyakan proposisi nilai-nilai moral, religius, dan estetik yang paling dekat dan paling berharga pun dijelaskan secara demikian, paling-paling sebagai sekadar ungkapan keadaan perasaan orang (dan karenanya, dianggap tidak rasional).
Akan tetapi, ada masalah yang serius mengenai program Ayer, umpamanya upaya untuk menegakkan seperangkat batas-batas yang disebut “positif” terhadap penyelidikan filosofis di atas landasan logis tersebut. Masalahnya adalah bahwa prinsip yang melandasi aliran keseluruhan pemikiran itu sendiri tidak dapat lulus uji verifikasi. Dengan kata lain, jika Ayer ada di sini pada hari ini dan kita meminta dia untuk menunjukkan suatu observasi—pengamatan apa pun—yang akan dianggap sebagai bukti prinsip verifikasi, ia tidak akan mampu melakukannya! Mengapa? Karena prinsip ini bukan sekadar “alat logika”, seperti yang dikira oleh Ayer; prinsip itu sendiri merupakan keyakinan metafisis yang terlalu sering hendak ia buang karena dianggap tidak masuk akal. Artinya, prinsip itu benar kalau saja prinsip itu sendiri kurang bermakna, atau, kalau tidak, prinsip itu salah kalau saja pondasi inti positivisme logis hancur berkeping-keping. Kita dapat mengungkap karakter prinsip verifikasi yang kontradiktif-diri dalam bentuk yang lebih tegas sebagai berikut (dengan mengasumsikan “PV” mewakili “prinsip verifikasi” dan “-v” melambangkan “proposisi yang tidak bisa diverifikasi oleh observasi sama sekali”):
Semua –v kurang bermakna. (= PV)
PV adalah sebuah –v.
 PV (jika benar) kurang bermakna.
Bentuk argumen ini pasti tidak terlihat asing bagi anda; ini adalah masalah “mengacuan-diri”, yang diungkap di Kuliah 10 sebagai kesesatan.
Walaupun positivisme logis memang mengalami masa kejayaan dengan dukungan banyak filsuf, terutama selama 1930-an dan 1940-an, tidak lama kemudian sifat klaim-klaim dasarnya yang kontradiktif-diri menjadi bukti yang tak tersangkal. Bahkan, bukti itu tak tersangkal sama sekali sehingga Ayer sendiri akhirnya berhenti mencoba membela pandangan positivis yang seekstrim tersebut. Pelajaran yang dapat kita petik dari eksperimen filosofis yang masanya relatif singkat itu adalah bahwa beberapa macam praduga bersifat esensial bagi upaya filosofis apa pun, dan bahwa praduga-praduga semacam itu, sebagaimana mitos-mitos yang kita hadapi di Bagian Satu, selalu melampaui alam pengetahuan yang dibatasi oleh praduga-praduga. Prinsip transenden seperti itu biasanya harus diterima berdasarkan keyakinan, karena tidak bisa dibuktikan dari dalam sistem yang disokong oleh prinsip tersebut; namun tanpa hal itu, tidak ada garis batas di sistemnya, dan karenanya tidak ada pengetahuan sama sekali. Dengan kata lain, positivisme logis mungkin telah berhasil, dalam pengertian tertentu, dalam membuat filsafat menjadi ilmu; namun harga yang harus dibayar adalah mengukuhkan ketidakruntutan dasar yang sangat menodai ilmu modern: keyakinan bahwa pengetahuan bisa dicapai tanpa berakar pada suatu mitos yang mendasarinya. Segera sesudah kita akui sia-sianya keyakinan semacam itu, kita dapat melihat bahwa “benda-benda” [yang ada dalam pikiran] Wittgenstein itu sama pentingnya dengan “fakta-fakta” [yang ada dalam pikiran]-nya: tanpa “benda” kita pun tidak dapat membicarakan “fakta”!
Salah satu perbedaan tajam yang paling menarik dalam sejarah filsafat abad keduapuluh adalah antara adikarya Wittgenstein yang pertama dan adikaryanya yang kedua. Tidak lama sesudah ia menyusun kerangka filsafat positivis, ia melangkah menuju jalan pencerapan tugas filosofis secara amat berbeda. Ia mengawali pandangan barunya dalam Philosophical Investigations (1953), sebuah buku yang diterbitkan setelah ia meninggal, yang sampai diperlakukan sebagai manifesto bagi sebuah versi analisis linguistik lainnya, yang disebut “filsafat bahasa sehari-hari”. Berbedanya karakter antara dua bukunya sangat jelas, bahkan juga terlihat dari judulnya: Tractatus bersifat logis ketat dan analitik sepenuhnya, sedangkan Investigations ditulis dengan gaya yang jauh lebih longgar, lebih sintetik—tidak berbeda dengan cerita detektif. Batu pondasi filsafat bahasa sehari-hari (yang mengambil alih posisi prinsip verifikasi positivisme logis) adalah prinsip bahwa makna kata atau proposisi ditentukan oleh penggunaannya. Dengan dilengkapi dengan prinsip ini, para filsuf analitik mengalihkan perhatian mereka pada tugas penyelidikan tentang bagaimana kata-kata digunakan dalam bahasa sehari-hari, dengan keyakinan bahwa semua masalah metafisis pada dasarnya bisa ditelusuri jejaknya pada kekeliruan pemakaian beberapa kata kunci yang digunakan.
Di samping prinsip penggunaan yang menentukan makna, Wittgenstein menyarankan sejumlah pedoman lain tentang bagaimana mestinya bahasa sehari-hari diselidiki oleh filsuf. Dua di antaranya mesti disebut di sini sebelum kita simpulkan bahasan kita tentang analisis linguistik. Yang pertama adalah bahwa kata-kata mendapatkan makna dengan turut serta dalam “permainan-bahasa” tertentu. Tepat seperti permainan yang berlainan memiliki aturan yang berlainan, namun semuanya dapat disebut “permainan”, cara penggunaan bahasa yang berlainan pun mempunyai aturan yang berlainan, namun makna dapat muncul di dalam semua cara tersebut. Ini berarti bahwa ilmu, satu-satunya alam pengetahuan yang bisa diterima oleh positivis logis, lantas dianggap sebagai salah satu dari banyak kemungkinan permainan-bahasa. Kata-kata yang kita pakai dalam konteks non-ilmiah, sebagaimana dalam penalaran moral, dalam penyusunan penilaian estetik, dan bahkan dalam pembangunan sistem keyakinan religius, bagaimanapun, bisa dianggap mempunyai makna yang sah. Walau di setiap kasus itu kita tidak dapat memahami makna-makna sedemikian itu dari luar, kita harus turut serta dalam permainan supaya [dapat] mengerti apa yang terjadi. Karena alasan ini, memahami konsep “permainan” itu penting sekali bagi para filsuf bahasa sehari-hari. Sebetulnya, ketika saya menempuh studi di Oxford, saya pernah mengikuti serangkaian kuliah oleh seorang filsuf yang merupakan salah seorang murid Wittgenstein. Percaya atau tidak, ia menghabiskan seluruh waktu [yang tersedia] dengan membahas pertanyaan “Apakah permainan itu?” dengan kami—namun kami tidak pernah sampai pada seperangkat prinsip penentu yang bisa diterapkan pada semua permainan!
Sebuah pedoman lain yang diperkenalkan oleh Wittgenstein didasarkan lagi-lagi pada analogi—yaitu bahwa kelompok-kelompok kata kadang-kadang mengandung “pertalian keluarga” satu sama lain, baik antarkata maupun antarkelompok. Dengan melacak pertalian-pertalian ini dan menyadari pola-pola ruwet yang terlihat pada bahasa sehari-hari, ia percaya para filsuf bisa terhindar dari pengulangan banyak kekeliruan yang dilakukan oleh filsuf-filsuf masa lampau. Upaya menggunakan suatu kata seolah-olah kata itu anggota keluarga yang tidak terkait dengan bahasa sehari-hari berarti melanggar aturan permainan-bahasa; jadi, tidaklah aneh muncul masalah-masalah yang tampaknya tak terpecahkan sebagai akibatnya. Dengan menggunakan pedoman ini dan pedoman-pedoman lainnya, Wittgenstein mendeteksi sering kelirunya kecenderungan para filsuf dalam memperlakukan kata-kata. Kendati karya deteksi semacam itu kadang-kadang berakhir dengan simpulan yang tidak berbeda dengan pemikiran logis Tractatus (umpamanya, bahwa masalah filosofis itu lantaran kesalahan penggunaan bahasa), nada terbuka dan lenturnya amat berbeda dengan kekakuan karya belianya.
Jika positivisme logis mencoba membuat filsafat menjadi ilmu, filsafat bahasa sehari-hari mencoba membuatnya menjadi seni. Dengan cara ini analisis linguistik dalam bentuk tertentunya pada aktualnya menjadi lebih sepenuhnya menghargai pentingnya sintesis—walau tentu saja masih menempatkan analisis sebagai prioritas. Tekanan pada analisis mempunyai faedah lantaran mengundang perhatian para filsuf akan pentingnya penjernihan bahasa. Akan tetapi, salah satu masalah seluruh gerakan ini yang paling serius adalah bahwa dalam banyak kasus para filsuf analitik yang menyatakan klaim mereka, “kami hanya mencoba membantu menjernihkan hal-hal yang telah anda lakukan tatkala ada menggunakan bahasa”, pada aktualnya juga menyiratkan klaim lain yang amat berbeda. Sebagian dari filsuf-filsuf analitik berfilsafat dengan sikap bahwa pada faktanya, “kami mengetahui kesalahan tradisi seluruhnya, dan kami tidak membutuhkannya lagi!” Hal ini, tentu saja, merupakan perkataan yang berbahaya, karena tradisi filsafat merupakan tanah di bawah permukaan, tempat pengambilan gizi bagi akar-akar metafisis pohon filsafat kita.
17. Filsafat Sintetik: Eksistensialisme dan Bahasa Tuhan
Tekanan yang berlebihan pada logika analitik dalam filsafat, seperti yang telah kita amati, sering menimbulkan pandangan yang mengabaikan semua mitos dalam pencarian sistem ilmiah. Sejauh mana filsuf-filsuf membolehkan cara pikir mitologis untuk memainkan peran dalam berfilsafat barangkali langsung sebanding dengan sejauh mana mereka mengakui beberapa bentuk logika sintetik sebagai komplemen logika analitik yang sah. Seperti yang saya sebutkan di Kuliah 16, fokus kuliah kita saat ini adalah eksistensialisme, sebuah aliran filsafat yang pendukung-pendukungnya cenderung lebih menekankan logika sintetik daripada logika analitik. Gerakan ini berpengaruh dominan di dunia filsafat yang disebut “Daratan” (yaitu Eropa non-Inggris), khususnya selama paruh pertama abad keduapuluh. Pada aktualnya, banyak hal dalam bagian keempat matakuliah ini yang mengenai persoalan-persoalan yang diangkat terutama oleh para filsuf eksistensialis dalam upaya mereka untuk menerapkan pemikiran filosofis untuk meningkatkan pemahaman kita tentang pengalaman manusia yang konkret. Jadi, pada jam kuliah ini kita dapat membatasi perhatian kita pada persoalan yang lebih terkait langsung dengan logika—yakni masalah tentang bagaimana bahasa keagamaan (religious language), dan “bahasa Tuhan” (God talk) pada khususnya, mendapatkan maknanya. (Tentu saja, filsuf-filsuf analitik pun juga mencurahkan banyak perhaitian pada persoalan ini; namun di sini kita berfokus pada kecenderungan penanganannya yang dijalani oleh para eksistensialis.) Topik ini berfungsi sebagai sesuatu yang kontras dengan analisis linguistik karena bahasa mengenai Tuhan, yang jauh dari penyingkiran mitos, diakui oleh sebagian filsuf sebagai “bahasa mitos”.
Bahasa keagamaan pada keadaan terbaiknya sering, seperti mitos, menggunakan logika sintetik untuk membantu kita menangani kebebalan kita perihal kenyataan hakiki. Dengan kata lain, ini pada dasarnya merupakan upaya membicarakan hal yang tak terkatakan. Pada kebanyakan agama, “kenyataan yang tak terkatakan” ini mengacu pada “Tuhan”—dan, karenanya, pada frase “bahasa Tuhan”. Namun banyak filsuf yang lebih suka menggunakan istilah yang lebih bersahaja; salah satu contoh penggunaannya yang baik adalah “Yang-Berada” (Being). Jauh sebelum eksistensialisme muncul sebagai gerakan sendiri yang khas, banyak filsuf dan teolog yang menganut konvensi pembedaan antara manusia (dan semua hal lain yang ada di dunia awam kita), sebagai “yang-berada”, dan realitas hakiki yang melandasi semua eksistensi, sebagai “Yang-Berada”. John Macquarrie, seorang teolog eksistensialis kontemporer yang sangat terpengaruh oleh filsafat eksistensialis Heidegger, memaparkan pembedaan ini dalam bukunya, Principles of Christian Theology (PCT 138):
.. there could be no beings without the Being that lets them be; but Being is present and manifest in the beings, and apart from the beings, Being would become indistinguishable from nothing. Hence Being and the beings, though neither can be assimilated to the other, cannot be separated from each other either.
(... tidak mungkin ada para yang-berada tanpa Yang-Berada yang menyebabkan mereka ada; namun Yang-Berada itu hadir dan maujud dalam yang-berada, dan lepas dari yang-berada, Yang-Berada itu menjadi tak bisa terbedakan dari yang-tiada. Oleh sebab itu, Yang-Berada dan yang-berada, walau tak bisa saling terbaur, tak dapat terpisahkan juga satu sama lain.)
Pembedaan antara Yang-Berada dan yang-berada ini berfungsi sebagai titik-pijak utama bagi banyak eksistensialis, kendati filsuf-filsuf yang tak begitu berpikiran-teologis seringkali lebih suka berpijak dari pembedaan yang bahkan lebih dasar antara Yang-Berada (dan/atau yang-berada) dan yang-tiada.
Pembedaan eksistensialis utama tersebut (yang versinya kita ambil di sini) pada bentuk dasarnya bersesuaian dengan pembedaan Kant antara alam pengetahuan-nirmustahi dan kebebalan-niscaya. Meskipun kedua pembedaan itu tidak identik, dan sangat sering diterapkan dengan beragam cara yang berbeda-beda, kita dapat melukiskan pembedaan eksistensial ini dengan menggunakan peta lingkaran yang sama, dengan cara yang sekarang tidak asing (bandingkan Gambar III.5 dan VI.2). Salah satu keuntungan penggunaan kata yang berakar sama untuk menunjukkan kedua tingkat realitas adalah bahwa ini menyiratkan bahwa—sebagaimana kesaksian siapa saja yang pernah mengalami pengalaman keagamaan—Yang-Berada menampakkan sendiri dalam yang-berada. Namun ini memunculkan masalah: dengan adanya perbedaan yang tajam antara yang-berada dan Yang-Berada, bagaimana mungkin kita bisa secara bermakna membicarakan Yang-Berada yang maujud sendiri dalam berbagai yang-berada namun melampaui mereka semua? Inilah masalah pokok bahasa keagamaan; dan secara tradisional ada dua cara untuk menanggulanginya.
yang-ada
(atau yang-tiada)
yang-berada
yang eksis
(existing beings)
Gambar VI.2: Pembedaan Eksistensial Utama
Jenis solusi pertama dapat disebut “cara negasi”. Mereka yang mengambil pendekatan ini bersikeras bahwa kata apa saja yang dipakai untuk memerikan Yang-Berada pasti benar secara harfiah—yakni benar dengan secara serupa dengan penerapan kata yang sama pada yang-berada. Hasilnya adalah bahwa cara pendekatan terhadap bahasa mengenai Tuhan ini menghadirkan deskripsi yang sangat bersahaja tentang kenyataan hakiki atau, kalau tidak, tiada deskripsi sama sekali. Kita telah bersua dengan beberapa wakil khas pendekatan ini. Salah satu contohnya yang terawal dan terbaik adalah kutipan panjang di Kuliah 12 dari Pseudo-Dionysius. Proposisinya, seperti yang kita lihat, membatasi keberadaan yang dibicarakan yang pada praktisnya hambar jika kita menafsirkannya hanya dengan menggunakan logika analitik, padahal itu bisa menunjukkan makna-makna yang lebih dalam jika kita menafsirkannya dengan memanfaatkan logika sintetik. Teori Kant tentang pengetahuan, yang garis-besarnya terdapat di Kuliah 8, juga sering ditafsirkan bahwa teori ini menyiratkan keterbatasan bahasa secara ketat pada alam keberadaan. Adapun Tractatus Wittgenstein, tentu saja, berujung pada saran yang jelas bahwa kita tetap membisu bila sampai pada “hal-hal mistis” yang “maujud sendiri” kepada kita, melampaui “alam fakta”.
Pendekatan kedua yang menjelaskan bagaimana kata-kata bisa dipakai untuk menyusun ekspresi maknawi mengenai suatu “Yang-Berada” hakiki disebut “cara afirmasi”. Menariknya, ketiga filsuf tersebut di atas, dalam beberapa hal, tidak hanya mengusulkan “cara” yang negatif, tetapi juga “cara” afirmatif komplementer—bukti yang mengisyaratkan bahwa mereka semua layak disebut filsuf “yang baik”. Investigations Wittgenstein bisa dianggap sebagai upayanya untuk menempa cara afirmatif. Filsafat moral Kant, yang akan diulas di Kuliah 22, sengaja disusun sebagai komplemen afirmatif bagi pembatasan negatif yang dipancangkan oleh epistemologinya. Adapun Pseudo-Dionysius sendiri pada aktualnya ialah filsuf yang menamai dua cara ini; yang mengejutkan, uraiannya tentang cara afirmatif pada kenyataannya panjang-lebar, padahal teologi negatifnya sangat sederhana.
Para filsuf dan teolog yang menggunakan cara afirmatif acapkali mengembangkan pendekatan tersebut dengan memanfaatkan sesuatu yang disebut “analogi tentang yang-berada”. Analogi ini menyatakan, dengan cukup sederhana, bahwa dalam hal tertentu “Yang-Berada” terhadap “yang-berada” itu seperti “yang-berada x” terhadap “yang-berada y”. Kita dapat mengungkapkan ide tersebut dalam bentuk persamaan matematis sebagai berikut:
Yang-Berada yang-berada x
-------- = ----------
yang-berada yang-berada y
Analogi ini tidak menyiratkan bahwa setiap pertalian antara dua yang-berada agak serupa dengan pertalian antara Yang-Berada dan semua yang-berada, tetapi hanya bahwa dalam hal tertentu keserupaan semacam itu sampai ke benak kita sebagai cara penggunaan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan pengalaman kita tentang Yang-Berada. Contohnya, Yesus mengalami hubungan antara bapak dan putra, sehingga ia mengajari pengikut-pengikutnya agar berdoa kepada “bapa mereka di surga”. Inilah analoginya:
Tuhan bapa
------- = -----
manusia putra
yang di situ, “bapa” tentu saja mengacu pada ayah ideal yang sempurna.
Analogi tentang “yang-berada” itu memungkinkan kita untuk memecahkan paradoks menarik yang muncul dari pembedaan eksistensial utama antara Yang-Berada dan yang-berada. Paul Tillich (1886-1971), seorang eksistensialis Jerman yang sebagian besar dari hidupnya dijalani di AS, mengemukakan bahwa jika kita mengakui Tuhan sebagai “yang-ada” atau “latar bagi yang-berada”—yakni jika Tuhan lebih kita anggap sebagai Yang-Berada daripada sebagai salah satu dari “yang-berada” yang eksis di sekitar kita—maka pada hakikatnya mengatakan Tuhan itu “eksis” tidak tepat sama sekali! Salah seorang guru saya pernah mengatakan pernyataan semacam itu yang menunjukkan bahwa Tillich pada hakikatnya ateis. Akan tetapi, penafsiran semacam itu gagal menangkap maksud pandangan Tillich. Interpretasi yang lebih baik adalah yang mengemukakan sendiri yang pernah kita akui bahwa para eksistensialis dari semua tipe gemar menunjukkan bahwa kata “exist” (berada) berasal dari kata Latin ex (“out”) dan sistere (“stand”); jadi, sebagaimana tukasan para eksistensialis yang berpikiran-teologis, ini berarti bahwa untuk menjadi eksis, yang-berada itu harus lebih menonjol daripada Yang-Berada yang merupakan akarnya.
Kita akan melihat lebih dekat beberapa ide Tillich di Bagian Empat matakuliah ini; namun untuk sekarang cukup ditunjukkan saja bahwa ia memakai “cara negatif” ketika Tillich menegaskan bahwa kita jangan, mengikuti peraturan, mengatakan “Tuhan itu eksis”, karena Tuhan ialah hanya Yang-Berada yang merupakan asal menonjolnya yang-berada yang eksis. Jika kita melihat masalah tersebut dari sudut pandang yang lebih “afirmatif” dari analogi tentang yang-berada, maka kita bisa mengatakan bahwa mode eksistensi Tuhan (atau barangkali kita dapat menyatakan realitas Tuhan) terhadap mode eksistensi (atau realitas) manusia adalah seperti puncak gunung terhadap lembah di bawahnya, atau seperti matahari terhadap bulan, atau seperti apa saja kekuatan utama atau lebih tinggi lainnya yang kita ketahui terhadap kekuatan jadian atau lebih rendah lainnya yang relevan. Pembandingan semacam itu tidak memberi kita pengetahuan tentang Tuhan, tetapi benar-benar memberi kita cara penggunaan kata-kata untuk mengungkapkan keyakinan kita mengenai bagaimana pengalaman kita tentang Tuhan bisa dipaparkan dengan sebaik-baiknya. Dengan kata lain, pembedaan antara Yang-Berada dan yang-berada tidak menyiratkan bahwa Tuhan tidak nyata, tetapi bahwa realitas Tuhan pada dasarnya merupakan jenis kenyataan yang berbeda dengan realitas segala yang-berada yang kita ketahui. Sementara Tillich mengatakan bahwa, mengikuti peraturan, tidaklah benar mengatakan salah satu dari “Tuhan itu eksis” atau “Tuhan itu tidak eksis”, saya menambahkan bahwa dari sudut pandang logika sintetik yang lebih lentur, kita lebih baik mengatakan bahwa kedua proposisi ini benar dan maknawi, masing-masing dengan caranya sendiri. Ini lantaran Tuhan bukan sekadar yang terbesar dari semua yang-berada yang eksis: kita yang-berada mempunyai eksistensi; Tuhan ialah eksistensi—atau, sebagaimana yang tersurat oleh Macquarrie, Tuhan “membiarkan-berada” (lets-be) (PCT 141). Ini tentunya merupakan inti utama klaim Tillich bahwa Tuhan tidak secara harfiah “eksis”.
Analogi tentang yang-berada, seperti praktis segala penggunaan bahasa secara metaforis, mendapat maknanya dari logika sintetik. Bilamana kita memakai pertalian-yang-diketahui untuk memerikan pertalian yang tak diketahui, kita mengambil persamaan antara dua lawanan dengan cara yang tak pernah disahkan oleh logika analitik. Jika kita mencoba memahami proposisi “Tuhan adalah bapa saya” hanya dengan menggunakan logika analitik, kita terpaksa menyimpulkan bahwa proposisi tersebut non-akliah. Ini karena “bapa” ialah seorang pria yang turut menghasilkan bayi melalui hubungan seksual dengan seorang wanita. Jika Tuhan ialah “yang-berada yang besar”, maka mungkin ini bisa jadi; sebagian pemeluk agama yang memandang Tuhan dengan cara ini tidak kesulitan untuk memikirkan bahwa Tuhan (umpamanya) ialah seorang tua alim yang (dengan jalan yang sedikit-banyak supernatural) berhubungan seksual dengan Perawan Maria yang menghasilkan Yesus bayi. Namun kalau Tuhan melampaui tapal-batas alam yang-berada, maka konsepsi Tuhan sebagai bapa semacam itu, yang ditafsirkan dengan kekakuan analitik, tidak masuk akal. Walau demikian, jika kita terima logika sintetik sebagai alat yang sah untuk menyusun proposisi maknawi, maka kita bisa mengakui bahwa gagasan kebapakan Tuhan tidak dimaksudkan sebagai deskripsi harfiah tentang Tuhan, tetapi sebagai jalan yang mengejuti kita menuju pemerolehan wawasan yang lebih luas mengenai pengalaman kita tentang Tuhan. Dewasa ini orang-orang Kristen cenderung lupa akan apa yang pasti mengejutkan orang-orang Yahudi yang pertama kali mendengar Yesus berseru “Allah merupakan bapa kita!” Sekarang ini beberapa orang mencoba mengejuti orang-orang Kristen tradisional dengan cara serupa dengan berseru “Allah merupakan ibu kita!” Seruan semacam ini mungkin mengusik mereka yang hanya menerima logika analitik: bagaimana mungkin Allah merupakan tidak saja bapa kita tetapi juga ibu kita? Namun demikian, logika sintetik memperlihatkan bagaimana kedua klaim itu bisa benar dengan caranya sendiri-sendiri, masing-masing mendorong perkembangan wawasan yang sah menuju hakikat Yang-Berada.
Macquarrie (omong-omong, dialah pembimbing saya di Oxford) telah menyediakan bahasan yang berfaedah tentang kebermaknaan bahasa keagamaan pada umumnya, dan bahasa Tuhan pada khususnya, di bukunya, Principles of Christian Theology. Ia berpendapat bahwa bahasa Tuhan tidak hanya mengungkapkan suatu analogi abstrak, tetapi timbul dari tanggapan eksistensial terhadap suatu jenis pengalaman konkret pada yang-ada (PCT 139). Contohnya, jika seorang manusia mengalami rasa kecil dan hempasan oleh pesona keagungan, seolah-olah [berada] dalam kehadiran kekuatan yang lebih besar atau lebih tinggi yang secara tak terhingga melampaui segala kekuatan yang pernah dialaminya, maka orang itu mengungkapkan proposisi maknawi bilamana ia mengacu pada sumber misterius pengalaman ini (yakni Tuhan) sebagai “Yang Tertinggi” atau “Yang-Berada Yang Tertinggi”; begitulah Macquarrie meyakinkan kita. Bahkan bagi orang yang tidak lagi percaya bahwa Tuhan tinggal di suatu tempat yang secara harfiah “jauh tinggi di angkasa”, metafora “ketinggian” ini bisa dengan tepat mengungkap tanggapan mereka (yakni rasa rendah) sewaktu [berada] dalam kehadiran Tuhan.
Sering dianggap bahwa bahasa Tuhan semacam itu tidak mengacu pada sekadar pengalaman pribadi individu tentang Yang-Berada, tetapi sebagai doktrin yang mesti disetujui oleh setiap orang. Penggunaan dogmatik bahasa keagamaan ini juga bisa memiliki makna yang sah, asalkan bahasa tersebut mencerminkan tanggapan eksistensial terhadap pengalaman bersama (shared) tentang penyingkapan Yang-Berada di umat beragama yang bersangkutan. Di pasal yang membenarkan filsafat Wittgenstein yang terakhir, Macquarrie mengingatkan kita bahwa makna doktrin atau dogma pada hakikatnya ditentukan oleh penggunaannya pada umat beragama (PCT 124-125). Jika kata-kata yang dipakai untuk mengungkap dogma tidak relevan lagi dengan jenis tanggapan eksistensial terhadap Yang-Berada yang dialami oleh umat beragama yang bersangkutan, maka dogma itu kehilangan maknanya, dan harus dibuang atau diungkap dalam bentuk baru. Dengan kata lain, kaum yang beriman harus memandang keimanan mereka tidak sebagai mengandung makna analitik yang tetap, yang selalu bermakna di semua waktu dan semua tempat, tetapi sebagai ekspresi dari makna sintetik yang lentur, yang terkait langsung dengan kenyataan-hidup yang senantiasa-baru dan senantiasa-berubah.
Macquarrie juga mencatat bahwa bahasa Tuhan memiliki akar historisnya di dalam bahasa mitos (PCT 130-134). Ia memaparkan pandangan beberapa eksistensialis, bahwa mitos adalah bentuk cerita yang berupaya menjawab pertanyaan yang pada dasarnya subyektif, “Siapa saya?”, dalam bentuk yang diobyektifikasikan. Namun ia mengingatkan bahwa mitos juga mempunyai aspek yang benar-benar obyektif (134): “Bahasa mitos sesungguhnya mengenai keberadaan manusia, tetapi bahasa tersebut membicarakan keberadaan ini dalam hubungannya dengan Yang-Berada, dalam batas-batas bahwa Yang-Berada menyingkap sendiri.” Dengan kata lain, pengalaman tersebut adalah pengalaman tentang sesuatu yang obyektif, meskipun pengetahuan yang diungkapkannya terutama mengenai keadaan orang yang mengalami pengalaman tersebut. Kendatipun pada hari ini kita “hidup di zaman pasca-mitologis” (132), alam bahasa mitologis perlu dipahami karena hubungannya dekat dengan bahasa keagamaan: kedua tipe bahasa tersebut banyak bergantung pada penggunaan simbol.
Di Bagian Empat matakuliah ini, kita akan mengulas dengan agak rinci bagaimana simbol-simbol tertentu berfungsi dengan cara sedemikian itu supaya memungkinkan kita untuk menangani kebebalan kita akan kenyataan hakiki. Jadi, akan ada gunanya memberi catatan pendahuluan yang singkat tentang bagaimana simbol-simbol berfungsi dalam bahasa keagamaan. Menurut Macquarrie, simbol adalah segala hal di alam yang-berada yang tersingkap dan karenanya mengarahkan perhatian kita menuju alam Yang-Berada. Ia meminta perhatian pada karakter sintetik simbol-simbol tatkala ia mencatat bahwa simbol-simbol itu pasti mengandung “paradoks” (PCT 145): “Karena simbol adalah simbol itulah, maksudnya keduanya mewakili hal-hal yang disimbolkannya dan belum mencukupi, maka keduanya harus sekaligus diterima dan ditolak.” Macquarrie juga beberapa kali (contohnya 135-136) menyinggung definisi simbol yang disarankan oleh Tillich. Sebagaimana yang akan kita saksikan di Kuliah 31, Tillich mendefinisikan simbol sebagai lambang yang turut serta dalam realitas yang ditunjukkannya. Dengan kata lain, dalam pengertian tertentu simbol adalah realitas itu sendiri (A), biarpun dalam ertian lain, sebagai obyek empiris belaka, simbol itu bukan realitas (-A). Secara demikian, sebagian penulis menyebut hukum kontradiksi sebagai hukum “partisipasi”, yang mengatur situasi-situasi ketika “A berpartisipasi dalam –A”.
Perbedaan antara bahasa mitologis dan bahasa keagamaan adalah bahwa pemahaman mitologis itu tetap tak sadar akan alam simbolik kata-kata [di dalam]-nya, sedangkan pemahaman keagamaan yang murni itu mengakui simbol sebagai simbol. Macquarrie mengiaskan bahasa mitologis dengan aktivitas pengimpian dan bahasa keagamaan dengan aktivitas penafsiran impian (PCT 134). Seterusnya ia membahas sejumlah ciri khas penting simbol-simbol. Ia mengamati, umpamanya, bahwa simbol-simbol biasanya hanya berlaku “di dalam sekelompok orang yang sedikit-banyak terbatas” (136). Akibatnya, barangkali “tiada simbol pribadi”, di samping tiada “simbol universal”, karena obyek yang sama seringkali mempunyai makna simbolik yang berbeda di budaya-budaya yang berlainan. Bahkan, Macquarrie mengklaim bahwa “walaupun Yang-Berada itu ada dan karenanya berpotensi maujud di setiap yang-berada tertentu, sebagian lebih maujud daripada yang lain” (143). Maksudnya, terdapat “jangkauan partisipasi dalam Yang-Berada”, dari obyek impersonal yang cenderung kurang berpartisipasi sampai yang-berada personal yang lebih berpartisipasi. Maka, alasan bahwa simbol personal sangat lazim dalam bahasa keagamaan adalah bahwa simbol personal memiliki “jangkauan partisipasi terlebar dalam Yang-Berada dan sehingga pelambangannya terbaik.” Kita tahu ini benar karena yang-berada personal “tidak sekadar berada, tetapi membiarkan berada” (144). Manusia-manusia yang-berada pada khususnya tidak eksis belaka, seperti batu; mereka juga menciptakan. Inilah salah satu ciri khas utama konsepsi keagamaan tentang peran yang-ada.
Sebelum menyimpulkan kuliah ini saya hendak mengingatkan anda bahwa filsafat-filsafat sintetik, seperti eksistensialisme, kadang-kadang disajikan dalam bentuk yang seeksklusif dan seberat-sebelah filsafat analitik pada khususnya. Pada kenyataannya, kedua aliran pemikiran itu sekaligus menggunakan logika analitik dan sintetik: tepat seperti analisis linguistik yang mempunyai filsuf-filsuf positivis logis dan bahasa sehari-hari, eksistensialisme pun mempunyai penganjur “cara-cara” negasi dan afirmasi. Namun bagaimanapun, filsuf-filsuf analitik cenderung terlampau menekankan logika analitik, sementara para eksistensialis cenderung terlampau menekankan logika sintetik. Yang terakhir ini kadang-kadang menghasilkan pendekatan yang mengatakan peryataan seperti “Hanya pengalaman subyektif yang benar-benar penting; tradisi filsafat, sejauh mengabaikan pengalaman ini, bisa dibuang.” Namun seperti yang saya sebutkan di akhir Kuliah 16, tradisi itu adalah lahan yang memberi makanan kepada pengalaman itu sendiri; bila tradisi itu dibuang, maka pengalaman itu sendiri tak dapat dijelaskan.
18. Filsafat Hermeneutik: Wawasan dan Kembali ke Mitos
Dalam mitologi Yunani kuno, tampaknya ada “seorang” tokoh yang tampaknya sering menonjol di tengah-tengah yang lain lantaran jauh lebih simbolis daripada yang lain dalam membantu kita memahami hakikat dan makna logika. Dialah Hermes, putra “haram” dari Zeus dan Maya, putri tertua dari “Pleiades” (tujuh bersaudara, putri Atlas dan Pleione). Maya melahirkan dia sewaktu bersembunyi di gua; namun setelah tumbuh hampir mendekati ukuran anak kecil, ia menyelinap pada suatu malam, mencuri limapuluh lembu Apollo, dan menyembunyikannya di gua lain. Untuk mengecoh para pengejar, ia menutupi jejak kuku kaki lembu-lembu itu [dan membuat jejak lain] dengan sepatu pahatan sehingga jejak-jejak itu terlihat menuju arah yang berlawanan. Di gua itu ia menemukan api, lalu menyembelih dua ekor lembu menjadi duabelas potong, mempersembahkannya kepada dewa-dewa, masing-masing sepotong. Dengan menggunakan kulit kura-kura dan kulit dua lembu tersebut, ia membuat lyre pertama. Tatkala akhirnya Apollo menemukan tempat persembunyian itu, ia sangat terpesona oleh suara kecapi Hermes sehingga ia menyerahkan seluruh ternak tersebut sebagai tukaran alat musik itu, dan keduanya menjadi teman baik. Untuk menenangkan diri dengan musik seraya menggembala lembu, Hermes membuat seruling gembala dan mulai mempelajari seni nujum yang terlarang. Akhirnya Zeus menjadi sangat terkesan akan keterampilan nujum Hermes sehingga ia mengangkat dia menjadi utusan dari dewa-dewa abadi—salah satu tugas utamanya adalah memberi mimpi kepada yang fana.
Tidak seperti kebanyakan dewa Yunani, yang dianggap hanya mengatur satu atau dua aspek kehidupan, Hermes dipandang selaku aneka ragam lambang. Lantaran perbuatan awalnya, ia menjadi dewa bagi pencuri dan penipu, dengan kelicikan sebagai salah satu ciri utamanya. Namun ia juga dipuja selaku dewa bagi musisi, penggembala, pedagang, dan pengrajin, di samping dewa bagi pemain cinta dan penyihir (khususnya dipakai untuk memanterai orang yang dicintai). Di antara semua ciri khasnya, ciri penentu perannya yang lebih menonjol daripada dewa-dewa lainnya adalah tugasnya selaku utusan. (Menariknya, kata Yunani untuk “malaikat” juga secara harfiah berarti “utusan Dewa”.) Sebagai salah satu dari beberapa gelintir dewa yang dibolehkan melakukan perjalanan secara bebas antara alam insani dan alam ilahi, Hermes dapat dianggap sebagai dewa tapal batas—gelar yang kelayakannya terbukti di Gambar VI.3.
dewa-dewa
Hermes (bandingkan
Malaikat)
penafsiran
manusia
Gambar VI.3: Hermes selaku Utusan Dewa-Dewa
Aliran utama filsafat ketiga pada abad keduapuluh meminjam namanya, dengan alasan yang baik, mengingat sifat mitologis ini. Sebagaimana tugas Hermes ialah mengungkap makna tersembunyi dari dewa-dewa ke manusia-manusia, filsafat hermeneutik pun berusaha memahami persoalan paling dasar dalam kajian umum tentang logika atau filsafat bahasa: bagaimana pemahaman itu sendiri mengambil tempat bilamana kita menafsirkan pesan-pesan ucapan atau tulisan. Oleh sebab itu, kita dapat mengakui bahwa Hermes ialah representasi simbolik filsuf, yang tugas utamanya (begitu kita akui bahwa sebagai manusia kita bebal perihal kenyataan hakiki) adalah menafsirkan makna kata-kata.
Filsafat hermeneutik memiliki akar yang dalam di kebudayaan Barat. Bahkan, Aristoteles sendiri menulis buku berjudul Peri Hermeneias (Tentang Interpretasi), walau ini lebih berkenaan dengan pertanyaan-pertanyaan dasar logika daripada dengan persoalan yang saat ini kita kaitkan dengan hermeneutika. Bagi Agustinus, Aquinas, dan para Skolastik, hermeneutika adalah persoalan yang signifikan terutama (kalau bukan satu-satunya) karena ada hubungannya dengan bagaimana Bibel mestinya ditafsirkan. Karya pertama yang berusaha secara praktis obyektif menata prinsip-prinsip penafsiran semacam itu adalah Introduction to the Correct Interpretation of Reasonable Discourses and Books (1742), karya Johann Chladenius (1710-1759). Dengan menetapkan hermeneutika sebagai seni pemerolehan pemahaman pembicaraan secara lengkap (entah ucapan entah tulisan), ia mengusulkan tiga prinsip dasar yang harus selalu diikuti: (1) pembaca harus menangkap gaya atau “genre” pembicara/penulis; (2) aturan logika yang tak bisa berubah dari Aristotelian harus digunakan untuk menangkap makna setiap kalimat; (3) “perspektif” atau “sudut pandang” pembicara/penulis harus ditanamkan di dalam benak, terutama ketika membandingkan laporan yang berbeda tentang peristiwa atau pandangan yang sama.
Selama abad kedelapanbelas dan terutama abad kesembilanbelas, secara bertahap hermeneutika berkembang menjadi bidang baku telaah akademik, terutama bagi para teolog, lantaran kebermaknaannya dalam membantu penafsiran biblikal. Friedrich Schleiermacher (1768-1834) mengajar hermeneutika sebagai matakuliah khusus, dengan memperkenalkan banyak wawasan dan ciri baru yang dewasa ini masih dinilai penting. Salah satu teorinya yang paling terkenal adalah bahwa kemampuan kita untuk memahami teks dibatasi oleh “lingkaran hermeneutika”. Ini mengacu pada pertalian timbal-balik yang terdapat antara bagian-bagian teks (umpamanya, makna setiap kata, frase, dan sebagainya, yang dipertimbangkan dalam sorotan bahasa asal dan tatabahasanya) dan teks keseluruhan yang dipertimbangkan sebagai satu keutuhan yang maknawi (yang acapkali membutuhkan umpamanya pemahaman latarbelakang kultural dan psikologis penulis). Paradoksnya adalah bahwa kita harus memahami bagian-bagian dengan maksud menangkap keutuhannya. Dalam prakteknya, ini berarti bahwa tugas penafsir tak pernah selesai: semakin paham kita terhadap bagian-bagiannya, semakin akurat pandangan kita terhadap keutuhannya, dan sebaliknya. Saya pikir “lingkaran” tanpa akhir ini bahkan lebih tepat untuk dianggap sebagai spiral, dengan pemahaman kita terhadap teks itu yang tumbuh semakin lebar, dengan revolusi bagian-keutuhan masing-masing. Seperti yang tersirat di Gambar VI.4, ini mengisyaratkan sebuah cara pemahaman bagaimana hermeneutika menggabungkan sintesis dan analisis: sintesis adalah proses penggabungan bagian-bagiannya menjadi satu keutuhan; analisis ialah proses timbal-balik pembagian satu keutuhan menjadi bagian-bagiannya.
satu keutuhan
sintesis teks analisis
bagian-bagian
Gambar VI.4: Spiral Hermeneutik
Ada banyak cendekiawan dengan berbagai tingkat minat terhadap filsafat, seperti William Dilthey (1833-1911), yang turut memberi wawasan lebih lanjut untuk pemahaman kita tentang hermeneutika; tetapi fokus utama pekan ini adalah pada abad keduapuluh. Fokus semacam ini pada aktualnya cukup tepat, karena hanya melalui karya salah seorang filsuf paling istimewa abad itu filsafat hermeneutik sungguh-sungguh menjadi cara berfilsafat (sebagai lawan terhadap seperangkat prinsip penafsiran biblikal). Oleh sebab itu, mari kita bahas ide-idenya dengan lebih rinci, dengan suatu pandangan yang menuju pemerolehan pemahaman lebih lanjut tentang bagaimana filsafat hermeneutik merupakan sintesis filsafat analitik dan eksistensialisme, yang karenanya mewakili sesuatu yang paling dekat dengan filsafat yang “baik” di abad keduapuluh.
Dialah Hans Georg Gadamer (1900- ) yang perkembangannya dipengaruhi oleh filsafat Edmund Husserl (1859-1938) dan Martin Heidegger (1889-1976). Husserl menyusun metode filosofis yang bernama “fenomenologi”, yang mencakup proses yang disebut “periode transendental” (transcendental epoche), yang dengannya filsuf berupaya mereduksi fenomena ke sifat khasnya yang paling esensial dengan menempatkan segala yang non-esensial “di luar interval”. Dengan berfokus pada percakapan, Husserl mencoba menjelaskan bagaimana kata-kata menunjukkan realitas obyektif yang melampaui kata-kata itu sendiri. Heidegger, seorang murid Husserl, menggunakan ide-ide gurunya sebagai papan loncat bagi suatu filsafat baru yang menghargai hermeneutika sebagai tugas filosofis inti. Dalam bukunya yang amat berpengaruh, Being and Time (1927), Heidegger mengemukakan bahwa “Dasein” (sebuah istilah yang bermakna “yang-berada-di-sana”, tetapi dipakai sebagai nama untuk inti hakikat manusia yang esensial) mempunyai “prioritas ontologis” di atas semua yang-berada lainnya, karena seluruh manusia memiliki “keterbukaan” dengan sendirinya (in-built) menuju (atau “pra-pemahaman” tentang) Yang-Berada. Heidegger menunjukkan, masalahnya adalah bahwa melalui proses “penutupan”, kita “melupakan” hubungan initim kita dengan Yang-Berada. Adapun selama Yang-Berada tetap bersembunyi dari pemandangan kita, kita “terasing” dari akar-akar terdalam kita. Penutupan semacam ini terjadi karena kebanyakan ujaran kita (yakni penggunaan kata) timbul dari hubungan yang “tidak otentik” dengan Yang-Berada. Jadi, tugas filsuf adalah mengatasi masalah ini melalui proses “realisasi-diri” dengan syarat bahwa kita, mula-mula dan terutama, mengakui betapa kita dibatasi oleh sifat temporal kita. Sayangnya, Heidegger tak pernah menulis volume kedua [lanjutan dari] buku ini, yang di dalamnya ia menyatakan akan menafsirkan Yang-Berada secara demikian.
Gadamer, murid Heidegger, ialah seorang pendatang lambat. Seperti Kant, ia hampir berusia senja tatkala ia menulis adikaryanya, Truth and Method (1960). Buku ini, yang kadang-kadang dijuluki “Kitab Suci” filsafat hermeneutik Jerman, memperkirakan perbedaan tajam historis antara periode filsafat Pencerahan dan Romantik. Filsafat Pencerahan berpegang pada pandangan yang naif bahwa akal dapat memecahkan semua masalah manusia, asalkan kita mau membuang semua praduga dan memandang alam dari sudut pandang kebenaran universal yang obyektif. Filsafat Romantik menolak “prasangka terhadap parasangka” ini (TM 240), menggantinya dengan prasangka demi tradisi dan, bersama dengan ini, suatu penghormatan baru terhadap mitos. Jadi, para Romantik memandang alam dari sudut pandang kebenaran individual yang subyektif. Gadamer mengemukakan bahwa dengan sekadar mengatakan “tidak” terhadap sudut pandang lawan, gerakan ini melakukan kesalahan dasar yang sama dengan kesalahan Pencerahan: para filsuf di kedua tradisi tersebut cenderung tetap tak sadar akan prasangka mereka. Filsafat hermeneutik melampaui kedua gerakan itu dengan mengklaim bahwa memiliki suatu prasangka tidak terelakkan. Gadamer menyatakan, prasangka adalah buruk hanya bila merupakan hasil dari melihat bukti secara terlalu tergesa-gesa. Prasangka yang didasarkan pada rasa percaya kepada otoritas yang sah bukan hanya tidak buruk, melainkan juga merupakan langkah-niscaya dalam pemerolehan segala pengetahuan murni. Kuncinya adalah mengakui bahwa “otoritas” itu muncul bukan dari posisi orang, melainkan dari pengetahuan orang. Seseorang mematuhi orang lain dengan sukarela bukan melalui paksaan politis, melainkan melalui pengakuan bebas bahwa orang lain tersebut mengetahui apa yang ia bicarakan. Gadamer setuju bahwa tradisi merupakan sumber otoritas semacam itu yang seringkali paling andal; namun bila ini mengemukakan pengetahuan murni, kita harus dapat menyokongnya dengan akal juga. Seperti Kant pula, ia mengingatkan bahwa akal (yakni logika) belaka tidak selalu dapat dipercaya untuk mengarahkan kita menuju kebenaran.
Paradoks periode Romantik adalah bahwa, walau ini membangkitkan kesadaran historis manusia, periode ini lalai untuk mengakui bahwa keterbatasan kita, sebagai yang-berada dalam waktu, membatasi kemampuan kita untuk memahami sejarah kita sendiri dengan akurat. Pada jantung “masalah hermeneutik” (TM 245): “sejarah bukan milik kita, tetapi kita dimiliki olehnya.” Lantaran penafsir adalah dalam sejarah, proses penafsiran makna teks apa saja adalah tugas yang tanpa akhir. Pemahaman mensyaratkan kita untuk mula-mula mengatasi “rasa asing” terhadap teks atau obyek yang dipikirkan, dan kita melakukan hal ini dengan mengubahnya menjadi sesuatu yang lebih dikenal, sesuatu yang telah kita pahami. Inilah alasan mengapa prasangka merupakan bagian yang tak terelakkan dari proses pemahaman, dan mengapa menyadari prasangka kita sangat penting untuk penafsiran teks—atau sebetulnya segala segi pengalaman kita. Kesadaran bahwa penafsir berada di dalam rangkaian kesatuan historis yang sama tatkala menafsirkan apa saja adalah prinsip yang oleh Gadamer disebut “prinsip sejarah-efektif” (267).
Salah satu argumen pokok Gadamer dalam Truth and Method adalah bahwa “keyakinan naif akan metode ilmiah” (268) “menyebabkan penyangkalan seseorang akan kesejarahannya sendiri.” Pada aktualnya, upaya apa pun untuk mendapatkan kebenaran harus didasarkan pada suatu metode; dan metode apa saja yang kita pilih itu secara paradoksis pasti membatasi pandangan kita tentang apa yang benar. Ini karena, seperti yang saya tekankan pada berbagai gagasan di sepanjang matakuliah ini, kita bisa mengakui kebenaran sesuatu hanya bila kita memandangnya dari suatu perspektif. (Saya akan mengulas tema ini dengan lebih rinci di Kuliah 24.) Akan tetapi, metode ilmiah itu berbahaya khususnya dalam hal ini, para penganjur lantangnya cenderung memperlakukannya sebagai satu dan satu-satunya metode pencapaian kebenaran; namun dengan tetap bebal akan prasangka (atau “mitos”, seperti yang kita sebut di Bagian Satu) mereka sendiri, klaim-klaim semacam itu akhirnya bersembunyi sebanyak kebenaran yang mereka ungkap—kalau tidak lebih banyak. Sebaliknya, apresiasi filosofis terhadap prinsip sejarah-efektif memberi kita “kesadaran akan situasi hermeneutiknya” (268).
“Situasi”, menurut Gadamer (TM 269), adalah “sudut pandang yang membatasi kemungkinan pandangan.” Batas-batas situasi kita dinamai “horison”—istilah yang dipinjam oleh Gadamer dari Heidegger—kita. Yang penting dari penyadaran akan cakrawala pribadi kita sendiri ini adalah bahwa ini memberi kita rasa mawas (perspective) mengenai segala yang dapat kita lihat dari sudut pandang tertentu kita. Tanpa kesadaran semacam ini, orang cenderung peduli hanya terhadap kejadian yang terdekat dengan waktu sekarang. Filsafat hermeneutik memecahkan masalah ini dengan menyediakan rasa kesadaran historis—“horison masa lalu” (271)—yang memungkinkan kita untuk memperluas cakrawala kita sehingga ini memasukkan situasi orang lain (orang yang kata-katanya kita tafsirkan). Peleburan cakrawala-cakrawala ini terjadi bilamana kita tafsirkan kata-kata orang lain.
Dalam pengertian apakah kita dapat mengatakan bahwa filsafat hermeneutik, seperti yang tersaji oleh Gadamer dalam bentuknya yang paling lengkap dan sistematis, pada aktualnya mensintesis gerakan yang lebih awal, yakni analisis linguistik dan eksistensialisme? Salah satu dari banyak cara pembelaan klaim semacam ini akan mempertimbangkan bagaimana masing-masing cenderung memandang tugas berfilsafat. Para filsuf linguistik memandang sendiri bahwa mereka (idealnya) ialah analis ilmiah terhadap bentuk-bentuk bahasa yang obyektif, sedangkan para eksistensialis memandang sendiri bahwa mereka peramal yang menyeru manusia menuju penghargaan baru terhadap makna (atau kesia-siaan) pengalaman insani. Dengan menganggap bahwa filsafat pada dasarnya adalah percakapan untuk ditafsirkan, Gadamer menggabungkan bias analitik Wittgenstein dan bias sintetik Heidegger (seperti yang ditafsirkan oleh filsuf yang mengaku eksistensialis): filsafat adalah dan harus merupakan upaya, baik untuk menganalisis dan memahami bentuk-bentuk linguistik ekspresi maupun untuk mensintesis dan mengalami dorongan dan tarikan maknawi dari bentuk-bentuk tersebut ketika berkembang dalam komunitas-komunitas yang ditengahi-secara-historis. Sungguh, pelajaran inti yang diajarkan oleh filsafat hermeneutik kepada kita ketika kita memasuki abad keduapuluhsatu adalah sama esensialnya dengan pelajaran yang kita pelajari di Kuliah 10 tatkala kita bahas masalah mengacu-diri: bahwa kebenaran dapat “ditangkap” hanya selama kita mau mengakui mitos kita.
Salah satu cara penekanan pentingnya penyediaan ruang bagi prasangka kita adalah pembedaan antara “eksegesis” (membaca makna keluar dari teks) dan “eisegesis” (membaca makna anda sendiri ke dalam teks). Dewasa ini kebanyakan cendekiawan masih menganggap bahwa eksegesis merupakan satu-satunya pendekatan yang sahih terhadap penafsiran. Namun filsafat Gadamer memperlihatkan bahwa membongkar makna teks secara analitis (eksegesis) dan menambahkan wawasan kita sendiri terhadap kemungkinan makna teks secara sintetis (eisegesis) keduanya merupakan aspek penting proses hermeneutik. Salah seorang contoh cendekiawan yang tidak menanggung bias terhadap eisegesis ialah Kant, yang mengemukakan bahwa semua penafsiran biblikal yang berlangsung dalam konteks agama mestinya diberi interpretasi moral, meskipun itu bukan bagian dari makna harfiah teks—asalkan tidak bertentangan dengan makna tersebut. Pada Pekan XI kita akan berbicara lebih banyak tentang pandangan Kant tentang agama. Yang penting di sini adalah bahwa tanpa suatu ukuran eisegesis, pemahaman kita akan jauh dari wawasan dan juga jauh dari makna yang mendalam. Karena itu, sebelum menyimpulkan kuliah ini, mari kita merambah alam wawasan dengan lebih rinci sehubungan dengan pembedaan antara logika analitik dan sintetik.
Lantaran kita menyimpulkan tahap kedua dalam eksplorasi pohon filsafat kita, saya ingin memastikan bahwa batangnya, yakni logika, telah memberi anda beberapa wawasan baru mengenai bagaimana kita memahami kata-kata. Pada khususnya, saya harap anda sekarang memperhatikan betapa penting mengakui pertalian yang komplementer antara analisis dan sintesis dalam segala bentuknya. Ingatlah perbandingan yang dibuat di Kuliah 12 antara pembedaan ini dan pembedaan pandangan-wawasan (sight-insight): logika analitik sering menyediakan cara terbaik untuk memaparkan permukaan hal-hal yang kita lihat dan kita alami, sedangkan logika sintetik membawa kita menerobos permukaan, memasuki pendalaman ide-ide baru. Namun ide-ide baru tidak bisa berdiri sendiri. Jika kita memiliki wawasan dan kemudian membiarkannya begitu saja, ini tidak akan menghasilkan buah. Oleh sebab itu, penemuan sintetik wawasan baru harus selalu diikuti dengan kritisisme analitik; dan kritisisme ini hanya dapat dilakukan dengan tepat oleh orang yang terbenam sepenuhnya dalam tradisi itu. Dengan sedikit perubahan terhadap Gambar IV.6, kita dapat melukiskan cara pemerian pertalian komplementer ini antara analisis dan sintesis, pandangan dan wawasan, kritisisme dan penemuan, seperti yang terlihat di Gambar VI.5.
Wawasan
penemuan (sintesis)
kritisisme (analisis)
pandangan
Gambar VI.5: Analisis dan Sintesis sebagai Fungsi-Fungsi Komplementer
Mengingat-ingat peta ini selama kita menelaah Bagian Tiga dari matakuliah ini ternyata bisa cukup berfaedah dalam menuntun perenungan kita mengenai hakikat kealiman. Dalam rangka persiapan kuliah pekan mendatang yang akan mendiskusikan pertanyaan “Apakah kealiman itu?”, saya harap anda masing-masing membaca cerita pendek, Jonathan Livingston Seagull karya Richard Bach. Meskipun kata “kealiman” tak pernah muncul di cerita itu, saya ingin anda, sewaktu membacanya, mencari isyarat apa saja yang bisa dipegang sebagai hakikat kealiman. Bach bukan filsuf, sehingga bukunya bukan bacaan lazim yang diperlukan untuk tugas kelas filsafat; namun ia orang yang menulis dengan wawasan, dan yang tulisannya sering menyulut api wawasan yang membara di dalam pembaca-pembacanya. Karena itu, harapan saya adalah bahwa diskusi tentang kisah populer seekor burung yang mencari kealiman itu akan memberi kita wawasan yang bisa berlaku sebagai pengantar yang tepat terhadap Bagian Tiga.
Pertanyaan Perambah
1. A. Mengapa kebenaran matematis dan alamiah sering cocok?
B. Apakah makna kata atau proposisi berbeda dengan penggunaannya?
..............................
..............................
2. A. Apa fungsi sintesis, kalau ada, dalam analisis linguistik?
B. Mungkinkah ada bahasa yang analitik seluruhnya?
..............................
..............................
3. A. Mengapa ada sesuatu, bukan yang-tiada sama sekali?
B. Adakah jalan tengah antara cara negasi dan afirmasi?
..............................
..............................
4. A. Bisakah kita mengatakan sesuatu yang benar secara harfiah mengenai Tuhan?
B. Apakah eksegesis ataukah eisegesis yang lebih penting untuk pemahaman yang baik?
..............................
..............................
Bacaan Anjuran
1. Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus 2nd Edition, terj. D.F. Pears dan B.F. McGuinnes (London: Routledge & Kegan Paul, 1974[1961]), §§ 1, 6.1-3, dan 7.
2. Alfred Jules Ayer, Language, Truth and Logic 2nd Edition, Bab Satu, “The Elimination of Metaphysics” (LTL 33-45).
3. Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations 2nd Edition, terj. G.E.M. Anscombe (Oxford: Basil Blackwell, 1968[1953]), §§ 1-25.
4. Bertrand Russel, The Problems of Philosophy (New York: Oxford University Press, 1997[1912]}, Bab 15, “The Value of Philosophy”, pp. 153-161.
5. John Macquarrie, Principles of Christian Theology, Bab 6, “The Languange of Theology”, (PCT 123-148).
6. Paul Tillich, Systematic Theology, vol. 1 (Chicago: The University of Chicago Press, 1951), terutama Bagian II, “Being and God”, pp. 163-289.
7. “Hermes” (http://web.uvic.ca/grs/bowman/myth/gods/hermes_t.html), yang dikelola oleh Laurel Bowman.
8. Hans Georg Gadamer, Truth and Method 2nd Edition, Bagian Kedua, §§ II.1, “The Elevation of the Historicality of Understanding to the Status of Hermeneutical Principle” (TM 253-274).
Catatan Penerjemah
Alat musik semacam kecapi berbentuk U.
Untuk alternatif, lihat http://www.kfs.org/~jonathan/witt/t6en.html http://www.kfs.org/~jonathan/witt/t7en.html
Untuk alternatif, lihat http://www.ditext.com/russell/rus15.html