Suatu ketika seorang ahli sufi, Ibrahim bin Adham, bermimpi, ada dua malaikat turun ke bumi dan berbincang. "Tahun ini ada berapa orang jemaah yang hajinya diterima oleh Allah?" tanya salah satu malaikat kepada malaikat yang lain. Malaikat yang lain menjawab, "Dari sekian ribu orang jemaah, tak satu pun yang diterima kecuali seseorang dari Damaskus bernama Muwaffaq."
Setelah terbangun, Ibrahim berniat mencari kebenaran mimpinya itu. Ia pun bergegas menuju Damaskus mencari orang yang dimaksud. Setelah bertemu dengan Muwaffaq, Ibrahim menanyakan itu. Muwaffaq menjawab pertanyaan itu, "Sudah lama aku ingin berhaji, tetapi selalu kesulitan dana. Suatu saat aku mendapat untung besar dan aku pun berencana naik haji. Tetapi, saat hendak berangkat, aku mendapati anak-anak yatim di sekitar rumahku kelaparan hingga harus memakan bangkai keledai selama tiga hari. Akhirnya aku batalkan rencana pergi haji dan kuberikan ongkos hajiku itu untuk menolong mereka."
Kisah teladan tersebut sangat relevan dengan kondisi umat Islam Indonesia. Bayangkan, ratusan ribu umat Islam Indonesia setiap tahun pergi ke Mekkah untuk berhaji. Ada ratusan bahkan ribuan jemaah yang sudah pernah menunaikan haji. Mereka rela membelanjakan jutaan untuk menunaikan ibadah haji berkali-kali. Bahkan, anak-anak mereka yang masih muda pun ikut dibawa menunaikan haji. Bahkan, di luar musim haji pun, mereka juga amat antusias menunaikan umrah hingga puluhan kali.
Mereka tak menyadari bahwa di belakang mereka banyak orang tua yang antre untuk memperoleh jatah pergi haji. Mereka juga tak menyadari bahwa di sekitar mereka banyak orang miskin dan anak yatim yang menghadapi persoalan kemiskinan. Mereka pun lalai, jika dikumpulkan dan digunakan untuk membantu orang-orang miskin, dana haji itu akan lebih bermakna dan berpengaruh positif.
Wajar jika lalu mengemuka wacana "pengharaman" haji ulang (lebih dari sekali). Munculnya "gugatan moral" ini terkait antusiasme sebagian umat Islam untuk menunaikan ibadah haji berkali-kali di saat kondisi sosial masyarakat terpuruk dalam kemiskinan. Sayangnya, pemerintah dan ulama kita seolah-olah "buta" terhadap fenomena yang sebenarnya sudah lama berlangsung di negeri kita.
Haji semu
Jauh sebelumnya, para ulama mengkritik keras perilaku orang yang berkali-kali naik haji (ahlu al-hajj) sebagai orang yang tertipu dalam beribadah. Bahkan, Imam al-Ghazali menyebut ibadah haji yang mereka tunaikan itu adalah haji ghurur atau haji semu karena tidak punya dampak apa-apa bagi dirinya ataupun orang lain. Kritik keras yang dilontarkan ulama terhadap ahlu al-hajj didasarkan pada kondisi riil atau perilaku orang-orang yang sudah menunaikan ibadah haji.
Alih-alih meneladani tapak tilas Nabi Ibrahim yang sarat pengorbanan dan keikhlasan, banyak umat Islam yang bergelar haji mengambil jarak dengan orang miskin dan anak yatim. Ciri kemabruran haji sering dimaknai dengan meningkatnya kesalehan ritual tanpa memedulikan kesalehan sosial.
Padahal, dalam beribadah, semestinya ada skala prioritas. Ibadah haji yang kedua kali dan seterusnya hanyalah sunah, sementara memedulikan orang miskin dan anak yatim merupakan kebutuhan publik yang wajib dipikul bersama (fardhu kifayah).
Oleh karena itu, sebelum menunaikan ibadah haji untuk kesekian kalinya, umat Islam harus berpikir ulang, apakah sudah tidak ada lagi orang kelaparan di sekitarnya. Sebab, istilah "bagi yang mampu" (istitha’ah) yang menjadi alasan atau 'illat wajibnya menunaikan ibadah haji dalam Al Quran tak sekadar kesiapan materi dan mental, tetapi juga menyangkut kondisi sosial masyarakat di sekitarnya.
Dengan kata lain, menyerahkan dan mendayagunakan dana haji ulang untuk kepentingan fakir miskin, anak yatim, ataupun kepentingan sosial lainnya merupakan maslahat atau amal kebaikan yang jelas dan berimplikasi positif bagi dinamika sosial masyarakat ketimbang berhaji untuk kedua, ketiga, atau kesekian kalinya.
Fatwa haram
Dalam ajaran Islam, seseorang dibolehkan mengulang atau melakukan ibadah haji lebih dari sekali karena dua alasan syar’i (hukum).
Pertama, tidak terpenuhinya salah satu syarat dan rukun haji saat melaksanakan haji sehingga harus mengulang; dan kedua, untuk menghajikan orang lain (yang sudah meninggal) sebagai amanat yang harus ditunaikan.
Selain kedua alasan syar’i tersebut, hukum mengulang haji terbilang sunah. Namun, dalam kondisi tertentu, dengan mempertimbangkan etika dan kemaslahatan serta adanya perubahan 'illat (alasan) hukum berupa kebutuhan yang bersifat mendesak di saat masyarakat kita di landa krisis dan kemiskinan, hukum mengulang haji bisa bergeser menjadi makruh (lebih baik ditinggalkan), bahkan haram.
Kebijakan hukum seperti ini pernah berlaku pada masa pemerintahan Bani Umayah mengingat aspek maslahat dan kondisi sosial ketika itu. Bahkan, untuk mendukung kebijakan itu, Ibrahim bin Yazid al-Nakha’i, ulama yang pada masa itu, mengeluarkan fatwa bahwa sedekah itu lebih baik ketimbang berhaji untuk kedua kalinya.
Berkaca dari sejarah tersebut, para ulama Indonesia tentunya dapat pula mengeluarkan fatwa yang melarang, setidaknya membatasi umat Islam untuk menunaikan haji lebih dari sekali tanpa alasan hukum yang jelas. Hal ini didasarkan beberapa pertimbangan.
Pertama, dalam kondisi obyektif masyarakat yang dilanda keprihatinan, mengulang ibadah haji merupakan pekerjaan sia-sia (menghambur-hamburkan uang) dan mengabaikan kepedulian sosial.
Kedua, mengulang haji dalam konteks kepentingan politik berarti telah mengambil tempat atau kesempatan orang lain yang belum pernah menunaikan ibadah haji karena terbatasnya kuota jemaah haji.
Ketiga, mengulang haji cenderung menyuburkan egoisme dan gengsi beribadah bagi pelakunya dan menafikan ibadah sosial sekaligus akan mempertajam tingkat kecemburuan sosial di tengah masyarakat. Fatwa "haram" ini sangat penting untuk menumbuhkan etika berhaji di kalangan umat Islam Indonesia.
Sudah semestinya, di tengah kondisi kemiskinan yang makin menggunung, kita harus menahan diri untuk tak melaksanakan ibadah haji yang kedua kali atau kesekian kalinya. Kita alihkan saja dana haji mengulang tersebut untuk membantu saudara kita yang miskin dan kelaparan. Di sinilah kemabruran haji yang pernah berhaji, akan teruji.
Khaeron Sirin Dosen Fakultas Syariah Perguruan Tinggi Ilmu Al Quran (PTIQ) Jakarta
KOMPAS, 13 November 2008
Setelah terbangun, Ibrahim berniat mencari kebenaran mimpinya itu. Ia pun bergegas menuju Damaskus mencari orang yang dimaksud. Setelah bertemu dengan Muwaffaq, Ibrahim menanyakan itu. Muwaffaq menjawab pertanyaan itu, "Sudah lama aku ingin berhaji, tetapi selalu kesulitan dana. Suatu saat aku mendapat untung besar dan aku pun berencana naik haji. Tetapi, saat hendak berangkat, aku mendapati anak-anak yatim di sekitar rumahku kelaparan hingga harus memakan bangkai keledai selama tiga hari. Akhirnya aku batalkan rencana pergi haji dan kuberikan ongkos hajiku itu untuk menolong mereka."
Kisah teladan tersebut sangat relevan dengan kondisi umat Islam Indonesia. Bayangkan, ratusan ribu umat Islam Indonesia setiap tahun pergi ke Mekkah untuk berhaji. Ada ratusan bahkan ribuan jemaah yang sudah pernah menunaikan haji. Mereka rela membelanjakan jutaan untuk menunaikan ibadah haji berkali-kali. Bahkan, anak-anak mereka yang masih muda pun ikut dibawa menunaikan haji. Bahkan, di luar musim haji pun, mereka juga amat antusias menunaikan umrah hingga puluhan kali.
Mereka tak menyadari bahwa di belakang mereka banyak orang tua yang antre untuk memperoleh jatah pergi haji. Mereka juga tak menyadari bahwa di sekitar mereka banyak orang miskin dan anak yatim yang menghadapi persoalan kemiskinan. Mereka pun lalai, jika dikumpulkan dan digunakan untuk membantu orang-orang miskin, dana haji itu akan lebih bermakna dan berpengaruh positif.
Wajar jika lalu mengemuka wacana "pengharaman" haji ulang (lebih dari sekali). Munculnya "gugatan moral" ini terkait antusiasme sebagian umat Islam untuk menunaikan ibadah haji berkali-kali di saat kondisi sosial masyarakat terpuruk dalam kemiskinan. Sayangnya, pemerintah dan ulama kita seolah-olah "buta" terhadap fenomena yang sebenarnya sudah lama berlangsung di negeri kita.
Haji semu
Jauh sebelumnya, para ulama mengkritik keras perilaku orang yang berkali-kali naik haji (ahlu al-hajj) sebagai orang yang tertipu dalam beribadah. Bahkan, Imam al-Ghazali menyebut ibadah haji yang mereka tunaikan itu adalah haji ghurur atau haji semu karena tidak punya dampak apa-apa bagi dirinya ataupun orang lain. Kritik keras yang dilontarkan ulama terhadap ahlu al-hajj didasarkan pada kondisi riil atau perilaku orang-orang yang sudah menunaikan ibadah haji.
Alih-alih meneladani tapak tilas Nabi Ibrahim yang sarat pengorbanan dan keikhlasan, banyak umat Islam yang bergelar haji mengambil jarak dengan orang miskin dan anak yatim. Ciri kemabruran haji sering dimaknai dengan meningkatnya kesalehan ritual tanpa memedulikan kesalehan sosial.
Padahal, dalam beribadah, semestinya ada skala prioritas. Ibadah haji yang kedua kali dan seterusnya hanyalah sunah, sementara memedulikan orang miskin dan anak yatim merupakan kebutuhan publik yang wajib dipikul bersama (fardhu kifayah).
Oleh karena itu, sebelum menunaikan ibadah haji untuk kesekian kalinya, umat Islam harus berpikir ulang, apakah sudah tidak ada lagi orang kelaparan di sekitarnya. Sebab, istilah "bagi yang mampu" (istitha’ah) yang menjadi alasan atau 'illat wajibnya menunaikan ibadah haji dalam Al Quran tak sekadar kesiapan materi dan mental, tetapi juga menyangkut kondisi sosial masyarakat di sekitarnya.
Dengan kata lain, menyerahkan dan mendayagunakan dana haji ulang untuk kepentingan fakir miskin, anak yatim, ataupun kepentingan sosial lainnya merupakan maslahat atau amal kebaikan yang jelas dan berimplikasi positif bagi dinamika sosial masyarakat ketimbang berhaji untuk kedua, ketiga, atau kesekian kalinya.
Fatwa haram
Dalam ajaran Islam, seseorang dibolehkan mengulang atau melakukan ibadah haji lebih dari sekali karena dua alasan syar’i (hukum).
Pertama, tidak terpenuhinya salah satu syarat dan rukun haji saat melaksanakan haji sehingga harus mengulang; dan kedua, untuk menghajikan orang lain (yang sudah meninggal) sebagai amanat yang harus ditunaikan.
Selain kedua alasan syar’i tersebut, hukum mengulang haji terbilang sunah. Namun, dalam kondisi tertentu, dengan mempertimbangkan etika dan kemaslahatan serta adanya perubahan 'illat (alasan) hukum berupa kebutuhan yang bersifat mendesak di saat masyarakat kita di landa krisis dan kemiskinan, hukum mengulang haji bisa bergeser menjadi makruh (lebih baik ditinggalkan), bahkan haram.
Kebijakan hukum seperti ini pernah berlaku pada masa pemerintahan Bani Umayah mengingat aspek maslahat dan kondisi sosial ketika itu. Bahkan, untuk mendukung kebijakan itu, Ibrahim bin Yazid al-Nakha’i, ulama yang pada masa itu, mengeluarkan fatwa bahwa sedekah itu lebih baik ketimbang berhaji untuk kedua kalinya.
Berkaca dari sejarah tersebut, para ulama Indonesia tentunya dapat pula mengeluarkan fatwa yang melarang, setidaknya membatasi umat Islam untuk menunaikan haji lebih dari sekali tanpa alasan hukum yang jelas. Hal ini didasarkan beberapa pertimbangan.
Pertama, dalam kondisi obyektif masyarakat yang dilanda keprihatinan, mengulang ibadah haji merupakan pekerjaan sia-sia (menghambur-hamburkan uang) dan mengabaikan kepedulian sosial.
Kedua, mengulang haji dalam konteks kepentingan politik berarti telah mengambil tempat atau kesempatan orang lain yang belum pernah menunaikan ibadah haji karena terbatasnya kuota jemaah haji.
Ketiga, mengulang haji cenderung menyuburkan egoisme dan gengsi beribadah bagi pelakunya dan menafikan ibadah sosial sekaligus akan mempertajam tingkat kecemburuan sosial di tengah masyarakat. Fatwa "haram" ini sangat penting untuk menumbuhkan etika berhaji di kalangan umat Islam Indonesia.
Sudah semestinya, di tengah kondisi kemiskinan yang makin menggunung, kita harus menahan diri untuk tak melaksanakan ibadah haji yang kedua kali atau kesekian kalinya. Kita alihkan saja dana haji mengulang tersebut untuk membantu saudara kita yang miskin dan kelaparan. Di sinilah kemabruran haji yang pernah berhaji, akan teruji.
Khaeron Sirin Dosen Fakultas Syariah Perguruan Tinggi Ilmu Al Quran (PTIQ) Jakarta
KOMPAS, 13 November 2008