Albert Einstein (14 Maret 1879 - 18 April 1955)
Kalimat ini terdengar seperti renungan personal seorang ilmuwan tetapi sesungguhnya ia merupakan peringatan etis yang sangat mendasar. Peringatan bahwa manusia tidak pernah benar-benar mengetahui apa yang ia sentuh (eksplorasi dan eksploitasi?) dan karena itu harus lebih banyak menahan diri.
Kita masih belum mengetahui seperseribu persen pun dari apa yang telah diungkapkan alam kepada kita. (Albert Einstein)
Namun dalam konteks Indonesia, peringatan itu terdengar semakin sayup digantikan gema ambisi pembangunan yang nyaris tak mengenal batas. Pembangunan yang tidak disertai kerendahan hati dan berubah menjadi proyek yang membabi buta. Hutan dibuka atas nama konektivitas nasional. Lahan dibakar untuk transformasi ekonomi. Gunung ditambang demi devisa negara. Setiap kebijakan seolah dibuat dengan keyakinan bahwa manusia memiliki pengetahuan yang cukup untuk menata ulang alam.
Padahal sebagaimana diingatkan Einstein, kita bahkan tidak memahami sepersekian ilmu dari mekanisme ekologi yang menopang hidup manusia. Ilmu pengetahuan modern memang memberi kemampuan teknis tetapi belum dan bukan merupakan pemahaman total. Kita mampu membangun bendungan raksasa tetapi tidak memahami perubahan kecil pada siklus air yang dalam jangka panjang dapat menghancurkan peradaban. Kita mampu meratakan bukit untuk jalan raya tetapi tidak memahami implikasi jangka panjangnya bagi iklim mikro dan keberlangsungan satwa.
Lihatlah alam jauh lebih mendalam, maka Anda akan memahami segalanya dengan lebih baik. (Albert Einstein)
Paradoks terbesar pembangunan Indonesia hari ini adalah keyakinan bahwa percepatan ekonomi adalah pengetahuan yang pasti, sementara kerusakan ekologis hanya risiko yang dapat dikelola. Padahal sejarah modern menunjukkan bahwa kerusakan alam adalah utang yang selalu ditagih dengan bunga yang jauh lebih besar di kemudian hari.
Tetapi logika pemangku kebijakan sering kali menempatkan alam sebagai hambatan bukan sebagai ruang hidup. Hutan yang dulu menjadi jantung kehidupan kini dilihat sebagai ruang kosong yang menunggu untuk diefisiensikan. Padahal apa yang tampak kosong itu sesungguhnya adalah ekosistem yang memerlukan waktu ribuan tahun untuk tercipta.
Tatanan agung yang dilihat Einstein bukan sekadar metafora tetapi merupakan kenyataan ilmiah yang benar-benar masih amat rapuh. Alih fungsi hutan menjadi infrastruktur negara adalah contoh paling jelas tentang bagaimana manusia memperlakukan alam seperti papan catur. Sebuah daerah dianggap maju ketika memiliki jalan tol yang membelah hutan atau kawasan industri baru di daerah yang sebelumnya merupakan habitat satwa liar.
Ekspansi sawit memperlihatkan bentuk lain dari keyakinan berlebihan manusia. Sawit dijanjikan sebagai motor ekonomi baru tetapi kita jarang bertanya mengapa keberhasilan ekonomi harus selalu diukur dengan skala penguasaan lahan.
Dengan mengganti keanekaragaman hutan menjadi monokultur sawit, manusia sedang menghapus ingatan ekologis bumi. Kita menciptakan ruang yang tampak hijau tetapi sebenarnya mati secara biologis. Daun-daun pohon sawit yang tampak subur menutupi kenyataan bahwa di bawahnya telah berkurang banyak bahkan hancur kehidupan tanah yang dulu kaya akan berbagai macam mikroorganisme.
Para pengusaha tambang adalah para perusak hutan yang paling nyata.
Kita menggantikan keindahan struktur alam dengan pola bisnis yang mengabaikan kerumitan ekologis. Sebuah bentuk kesombongan manusia yang percaya bahwa alam akan selalu menyesuaikan diri tanpa batas.
Tambang adalah babak lain dari cerita yang sama tetapi dengan luka yang lebih dalam. Kawasan tambang yang menganga adalah seperti tubuh bumi yang dipaksa menyerahkan organ vitalnya bukan karena kebutuhan manusia tetapi karena ketamakan ekonomi. Kita menukar keindahan abadi hutan tropis dengan bongkahan mineral yang akan habis hanya dalam beberapa tahun saja.
Kita merusak sungai yang mensuplai kehidupan masyarakat setempat demi bahan baku industri global. Namun politik pembangunan sering memandang aktivitas tambang sebagai harga yang wajar untuk kemajuan nasional. Dalam kenyataan sesungguhnya tambang meninggalkan ruang kosong yang tidak bisa sepenuhnya pulih bahkan setelah beberapa generasi.
Apalagi para penambang ilegal, jelas merusak dan tanpa izin yang legal.
Inilah ironi dari proyek kemajuan yang terlalu yakin pada dirinya sendiri. Ia lupa bahwa bumi memiliki daya dukung yang terbatas dan bahwa setiap luka ekologis akan kembali menghantam manusia. Jika kita melihat seluruh fenomena ini dengan lensa filsafat sains maka krisis lingkungan Indonesia bukan semata masalah teknis tetapi masalah epistemologis.
Kita salah memahami posisi kita dalam alam. Kita bertindak seolah lebih tahu daripada alam itu sendiri. Kita percaya bahwa teknologi mampu mengatasi semua masalah. Padahal teknologi hanya memberikan solusi pada sebagian kecil dari apa yang telah kita rusak.
Ketika Einstein mengatakan bahwa alam adalah tatanan agung, ia sedang menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk kecil dalam sistem yang sangat besar. Kesadarannya bukan sikap pasrah tetapi sikap yang memahami batas. Dan batas inilah yang kini sedang kita langgar.
Sejumlah bangunan rusak pascabanjir bandang di Aceh Tamiang, Aceh, Kamis (4/12/2025). Berdasarkan data Pos Komando Tanggap Darurat Bencana Hidrometeorologi Aceh pada Selasa (2/12) sebanyak 1.452.185 jiwa terdampak bencana hidrometeorologi yang melanda 3.310 desa di 18 kabupaten/kota di Provinsi Aceh. (ANTARA FOTO/Bayu Pratama S)
Indonesia berada di persimpangan jalan yang menentukan. Kita bisa terus melaju dengan keyakinan bahwa ekonomi adalah pusat segalanya atau kita mulai menyadari bahwa keberlanjutan kehidupan jauh lebih penting daripada target angka pertumbuhan. Kita bisa terus menganggap bahwa manusia adalah penguasa alam atau kita mulai memahami bahwa manusia hanyalah bagian dari jaringan besar yang harus dijaga keseimbangannya.
Kerendahan hati yang dimaksud Einstein bukan sikap yang melemahkan pembangunan tetapi sikap yang membuat pembangunan menjadi lebih jangka panjang dan manusiawi. Sebab membangun tanpa menghormati alam hanyalah menunda keruntuhan.
Update (8 Desember 2025 pukul 18:04) Korban Banjir-Longsor Sumatra: 961 Orang Tewas-293 Masih Hilang. (CNBC Indonesia)
Pertanyaan akhirnya sederhana tetapi konsekuensinya tidak. Beranikah kita mengakui bahwa manusia tidak tahu segalanya. Atau kita akan terus mengingkari tatanan agung alam sampai akhirnya alam sendiri yang akan menunjukkan batasnya dengan cara yang paling menyakitkan.
Indonesia masih punya waktu untuk memilih tetapi waktu itu semakin tipis. Kita bisa mendengarkan peringatan Einstein atau mengabaikannya sampai suara alam berubah dari bisikan menjadi kemarahan yang tidak dapat lagi dihentikan.
Karunia Kalifah Wijaya
Penggiat dan Penggerak Taman Literasi Merdeka (TLM)
Editor Wisnubrata
Kompas.com, 7 Desember 2025








No comments:
Post a Comment