Bila seekor anjing mengibas-ngibaskan ekornya, bukan tanpa maksud. Menurut Amy, anjing itu ingin menyampaikan sesuatu, apa yang dirasakan. Banyak orang menganggap bahwa bila seekor anjing mengibas-ngibaskan ekornya, berarti anjing itu merasa senang.
Anggapan seperti itu, ada benarnya. Meskipun, kibasan ekor, yang sebenarnya merupakan bentuk komunikasi anjing dengan manusia atau binatang lain, sebagai pertanda bawa si anjing akan berlaku agresif.
Dalam film yang naskahnya ditulis oleh David Mamet itu, Conrad Brean (Robert De Niro) berperan sebagai spin doctor terkenal yang dipekerjakan presiden untuk mengalihkan perhatian publik dari skandal seks presiden. Tugasnya adalah menjaga, mengalihkan perhatian publik terhadap presiden, terutama menjelang pemilu. Sementara itu, Stanley Motss (Dustin Hoffman), seorang sutradara kondang dan sukses di Hollywood, ditugaskan oleh tim kepresidenan untuk membuat skenario film perang di Albania.
Setahun kemudian, setelah film itu dirilis, Presiden Bill Clinton tersangkut kasus skandal seks dengan Monica Lewinsky. Menjelang kasus itu terbongkar, Clinton memerintahkan penyerangan terhadap pabrik obat-obatan al-Shifa di Sudan (Agustus 1998). Dan, ketika akan menghadapi pemakzulan karena kasus tersebut, Desember 1998, Clinton memerintahkan penyerangan terhadap Irak. Publik di AS berpendapat serangan udara terhadap Sudan dan Irak itu sebagai pengalihan perhatian masyarakat (wag the dog) terhadap kasus yang menimpa Clinton.
Kini, serangan pesawat nirawak AS di Baghdad yang menewaskan Mayor Jenderal Qasem Soleimani, Komandan Brigade Al-Quds, unit elite di jajaran Garda Revolusi Iran pun dipandang sebagai taktik wag the dog yang dilancarkan oleh Trump. Skenario ini dilakukan untuk mengalihkan perhatian publik terhadap kasus pemakzulan (impeachment) terhadapnya dengan tuduhan penyalahgunaan kekuasaan.
Taktik mengalihkan perhatian masyarakat banyak, publik, tidak hanya terjadi di AS, tetapi juga terjadi di banyak negara termasuk di Indonesia. Banyak cara dilakukan untuk mengalihkan perhatian publik dari sebuah kasus, perkara, tragedi, atau juga sebuah tujuan politik, misalnya dalam kampanye pemilihan presiden yang baru lalu.
Informasi yang berseliweran tersebut beraneka ragam, dan banyak yang tidak menyangkut rekam jejak para calon atau program-program, atau berbagai persoalan dengan solusinya, melainkan lebih menyerang pribadi kandidat. Tidak aneh, kalau kemudian perhatian calon pemilih pun teralihkan.
Di sini media —apa pun platformnya— memainkan peran penting. Media massa entah cetak maupun elektronik, serta media sosial, kini juga dilihat sebagai salah satu kekuatan untuk mengalihkan perhatian masyarakat banyak. Dan karena media memiliki fungsi legitimasi di dalam dunia politik, maka tidak aneh kalau banyak politisi yang berusaha menyebarkan pengaruhnya melalui kekuatan media.
Itulah sebabnya, media seringkali dipandang sebagai alat kekuasaan yang efektif karena kemampuannya untuk membujuk pendapat dan anggapan serta mendefinisikan, membentuk, dan menggiring persepsi masyarakat. Yang lebih ekstrem lagi adalah apa pun yang terjadi bisa dibentuk bahkan diatur. Langkah selanjutnya adalah disebarluaskan ke dalam nafas kehidupan anggota masyarakat sehingga akan memengaruhi setiap ide dan pandangannya tentang sesuatu yang terjadi.
Tentu, ini sangat mencederai kehidupan masyarakat demokratis. Dalam masyarakat demokratis, setiap orang berhak atau memiliki hak untuk mendapatkan informasi, bebas mengakses sumber informasi publik yang obyektif, yang benar. Sementara media massa sebagai sarana pemenuhan informasi paling mainstream —juga media non-mainstream— tidak jarang justru mulai ditunggangi oleh kepentingan elite politik tertentu untuk kepentingannya sendiri atau kepentingan kelompoknya.
Ibarat kata, kadang kala media kurang cerdik membaca atau kurang tepat, kurang memiliki ketajaman penciuman untuk mengartikan "kibasan ekor anjing", apakah itu kibasan tanda senang atau siap-siap mau agresif untuk memperjuangkan kepentingannya.
Trias Kuncahyono,
Wartawan Kompas 1988-2018
KOMPAS, 7 Januari 2019