Tuesday, October 8, 2019

Parpol, KPK, Politik Peradaban


Pada tahun 1982, dalam tulisan berjudul "Kita Perlu Satu Parpol Lagi?" (Kompas, 18/1/1982), saya menyampaikan betapa tidak terakomodasinya beberapa kalangan strategis masyarakat dalam sistem kepartaian kala itu.

Pembangunan ekonomi Orde Baru yang berlangsung sejak pertengahan akhir 1960-an telah menjadi alat intervensi mengubah komposisi dan distribusi struktur demografi 20 tahun kemudian, yakni pada 1980-an.

Walau tak signifikan secara kuantitas, unsur kaum terpelajar bebas mulai terlihat di dalam struktur demografi itu. Dan, bergabung dengan kalangan muda yang berartikulasi mendorong kelahiran Orde Baru (1967-1998) serta mereka yang tak puas dengan reorganisasi partai politik, pertambahan jumlah kaum terpelajar bebas ini kian membesar.


Inilah yang mendorong saya mengusulkan perlunya sebuah parpol baru. Sebab, Golkar, PPP, dan PDI, parpol-parpol yang diakui pemerintah kala itu, tak lagi mampu menampung aspirasi kebebasan kaum terpelajar. Dua tahun kemudian, justru posisi parpol berada dalam tekanan negara otoriter. Ini saya gambarkan dalam tulisan "Partai: Wakil Pemerintah untuk Rakyat?" (Kompas, 7/2/1984).

Pada masa itu parpol bukan saja tidak lagi bertindak sebagai wakil rakyat, melainkan juga secara ironis menjadi wakil pemerintah untuk rakyat. Dengan kata lain, di dalam sistem kepartaian masa itu, secara substansial, tak ada lagi wakil rakyat di dalam parlemen.


Kegelisahan moral-intelektual
Dua tinjauan politik yang saya buat ketika masih berstatus mahasiswa Fakultas Adab IAIN Ciputat ini merupakan refleksi kegelisahan moral-intelektual tentang posisi parpol. Tentu, dalam konteks teoretis, pelemahan akut parpol kala itu terdorong "kecelakaan" struktural, yaitu perubahan paradigma berpikir penguasa baru yang lebih menekankan kemampuan teknikal demi pembangunan ekonomi, nyatanya tak selangkah jalan dengan iklim budaya parpol yang lebih menekankan ideologi.

Sebagai akibatnya, sistem politik mengarah kepada apa yang disebut Karl Jackson dalam "The Bureaucracy in the Political Context: Weakness and Strength" (1978), sebagai bureaucratic polity: sistem politik sebuah masyarakat di mana keputusan-keputusan penting tingkat nasional tidak didasarkan pada artikulasi kepentingan massa, tetapi ditetapkan kelompok elite birokrasi secara sepihak. Sebagai akibatnya, parpol di dalam bureaucratic polity ini secara substansial menjadi idle (menganggur).


Persoalannya adalah bagaimana nasib suara rakyat? Dapatkah dipertanggungjawabkan secara etis bahwa di dalam sebuah masyarakat "demokrasi", seperti secara retorikal acap diungkapkan penguasa Orde Baru, aspirasi dan peran rakyat diabaikan dalam pembuatan kebijakan strategis tingkat nasional?

Bukankah tanpa menyertakan suara rakyat dengan jalan agregasi dukungan melalui parpol akan menimbulkan kesewenangan penguasa dan mengarah kepada political decay alias pembusukan politik, seperti postulasi Samuel Huntington, dan berakhir pada kehancuran bangsa secara keseluruhan?

Pertanyaan-pertanyaan yang mengungkapkan kegelisahan moral dan intelektual inilah yang mendorong pemikiran tentang betapa pentingnya penguatan parpol pada masa itu. Menggunakan perspektif Joel S Migdal dalam Strong Societies and Weak States (1988), penguatan parpol identik dengan the new distribution of social control (pembagian baru pengawasan sosial) guna menciptakan keseimbangan kekuasaan di dalam sebuah masyarakat politik.

Dengan kata lain, meruntuhkan kepongahan penguasa di dalam birokrasi negara melalui penguatan parpol sebagai agensi pengawas atas nama dan dukungan rakyat.


Saya suka dengan frasa the past is unfinishable (masa lampau tak pernah bisa berakhir). Frasa yang diciptakan pemikir Regis Debray dalam Civilization: How We All Became American (2019) ini menggambarkan bahwa pada esensinya, berbeda dengan budaya (seperti salah satu bahasa di wilayah Amazon), melalui proses hybridization (pencangkokan), peradaban tak pernah punah.

Dengan sedikit "meracau", kita juga bisa mengatakan bahwa parpol adalah salah satu agensi peradaban. Melalui logika silogisme, juga saya gunakan dengan cara "meracau", kemunculan parpol kembali ke panggung politik pasca-Orde Baru menunjukkan berkinerjanya frasa the past is unfinishable.

Dengan kata lain, walau telah ditekan oleh rezim "semi-otoriter" sedemikian rupa selama tiga dekade, melalui proses pencangkokan dengan elemen-elemen extrastate forces (kekuatan ekstra-negara, seperti kaum terpelajar, pers, dan penggiat masyarakat madani), parpol tetap sintas.


Menjauh dari politik peradaban
Persoalannya adalah bahwa kesintasan parpol ini mengubah struktur politik secara drastis. Sementara pencangkokannya dengan elemen-elemen kekuatan ekstra-negara melekang, parpol-parpol secara kolektif membongkar struktur dan sistem bureaucratic polity, dan menggantikannya dengan apa yang saya sebut  "rezim partai politik".

Ini berakibat ganda. Pertama, secara langsung atau tidak, parpol-parpol telah menggantikan kekuatan kaum birokrat di dalam negara. Dalam posisi ini, hampir semua kebijakan negara merupakan refleksi kepentingan partai politik. Kedua, dalam lebih ironi lagi, sama seperti di bawah bureucratic polity, rakyat tetap tak bisa berbuat apa-apa di bawah "rezim partai politik".

Hasilnya, seperti juga kaum birokrat dalam masa bureaucratic polity di masa Orde Baru, terdapat kesan "kepongahan" di kalangan petinggi parpol. Dalam arti kata lain, jika pepatah the persons can do no wrong lebih ditujukan kepada para penguasa Orde Baru. Kini, pada masa "rezim partai politik", suara itu lebih tepat ditujukan kepada elite parpol yang kini berkuasa.


"Kepongahan" inilah, menurut saya, yang menyebabkan parpol menjauh dari "politik peradaban". Apa yang saya maksud dengan frasa terakhir ini adalah, menggunakan konsep hibrida Regis Debray di atas, sikap keterbukaan konstruktif dalam mengakomodasi suara akal-budi di luar dirinya ketika mengambil keputusan publik.

Dalam pelaksanaannya, "politik peradaban" merupakan artikulasi kekuasaan seseorang atau sekelompok orang yang bukan saja terkikis dari rasa "pongah", melainkan juga mengakomodasi secara kontinu kinerja agen-agen yang berfungsi sebagai kekuatan korektif.

Dalam konteks "politik peradaban" inilah kita harus melihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Diketahui, sama seperti parpol yang bangkit kembali dan dewasa di masa reformasi 1998, kelahiran KPK merupakan usaha korektif dari kesalahan-kesalahan fundamental penyelenggaraan kekuasaan di dalam bureaucratic polity masa Orde Baru. Maka, sesuai dengan tugasnya, KPK secara tanpa pandang bulu melakukan aksi koreksinya atas setiap aktor kekuasaan yang melanggar.


Untuk ini, "posisi peradaban" KPK bahkan jauh lebih kuat. Sebab, sementara perpanjangan napas keberadaan parpol dewasa ini tegak pada basis buying votes, seperti diungkap dalam disertasi Burhanuddin Muhtadi (2018), KPK tegak justru di atas akal-budi.

Ini bukan saja dibuktikan berbagai survei tentang tingginya tingkat kepuasan rakyat atas kinerjanya, melainkan juga memperoleh dukungan agensi-agensi "peradaban" lain. Selain rakyat biasa, pusat-pusat keagamaan dan organisasi civil society serta media massa, pusat peradaban itu adalah perguruan tinggi.

Maka, melalui logika silogisme yang sebenarnya, bukankah usaha parpol melemahkan KPK, dengan rekayasa legislasinya di parlemen, sama dengan langkah menjauh dari "politik peradaban"? Dan bukankah para elite parpol harus menyadari bahwa dengan "politik peradaban" yang sama di masa Orde Baru, kaum terpelajar telah gelisah secara moral dan intelektual karena parpol dilemahkan dan dijauhkan dari rakyat? Bukankah dengan kegelisahan itu, melalui proses hibridasi peradaban, kaum terpelajar yang sama, mendukung dan berusaha menguatkan peranan parpol di dalam sistem politik Indonesia?

Fachry Ali,
Pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (LSPEU) Indonesia
KOMPAS, 7 Oktober 2019

No comments: