Hemat saya, seruan semacam ini baik, tapi tidak akan efektif. Mengapa? Karena seruan ini tidak berpijak pada analisis sosiologi yang sahih atas kemunculan radikalisme.
Pertama, kampus adalah pasar gagasan yang di era digital ini semakin menjadi market place of ideas. Kampus bertugas membangun kemampuan berpikir kritis bagi mahasiswa. Di kampus mereka belajar mengunyah berbagai gagasan untuk membangun gagasan baru mereka sendiri ––dalam lingkungan yang lebih terkendali.
Kesalahan terbesar media utama (mainstream) bukan saja pada penyebaran hoax tapi pada penyembunyian fakta. Kesalahan media tidak hanya pencampuradukan kebenaran dengan kebathilan, tapi juga penyembunyian atas fakta kebenaran.
Radikalisme terjadi di mana-mana, termasuk di negara-negara yang mayoritas beragama Katolik, Kristen atau Budha dan Hindu. Ini juga sekaligus sering dikaitkan dengan rasisme. Di AS ras kulit putih Kristen menganggap kelompoknyalah yang paling patriotik.
Keempat, sekularisme ––sebagai paham yang memisahkan agama dengan politik–– yang dianut banyak negara-bangsa di dunia adalah paham radikal. Pancasilaisme sebenarnya juga merupakan paham yang radikal. Karena setiap isme apapun yang mampu menggelorakan dan inspiratif bagi para pendukungnya niscaya selalu bersifat radikal.
Jadi, daripada sibuk dengan pencegahan munculnya paham radikal di kampus-kampus, lalu membubarkan organisasi yang dituding radikal, lebih baik Pemerintah memastikan penegakan keadilan tanpa pandang bulu. Termasuk meninggalkan paham sekolahisme yang memandang keluarga dan masyarakat bukan merupakan satuan pendidikan yang sah. Karena satu-satunya yang dianggap sah dan paling benar hanyalah sekolahisme.
Prof. Ir. Daniel Mohammad Rosyid Ph.D
Guru Besar ITS, Surabaya
www.portal-islam.id, 8 Mei 2017
1 comment:
Yang jelas banyak rektor yang tidak faham lagi apa itu "Kebebasan Mimbar Akademik" karena menjadi partisan & simpatisan partai politik yang punya afiliasi dengan faham radikal & liberal ...
Post a Comment