Satu sisi, sesungguhnya kesadaran kebangsaan masyarakat Papua yang umumnya adalah masyarakat kesukuan, telah terbangun sejak tahun 1940-an.
Mengutip hasil penelitian Muridan S. Widjojo, “Ke-Papuaan baru, dibangun secara terbatas bersamaan dengan tumbuhnya lapisan kecil elit terdidik melalui Sekolah Pamong Praja yang didirikan oleh Pemerintah Belanda pada 1940-an. Di sana pendidikan administrasi pemerintahan dijalani. Pada kesempatan itu para pelajar Papua banyak berdiskusi tentang persoalan ke-Papuaan dan kemungkinan Papua Barat menjadi satu negara bangsa yang merdeka. Pada awal 1960-an sudah disiapkan bendera nasional, lagu kebangsaan, dan lambang negara. Pada 1 Desember 1961 dengan bantuan Belanda diproklamasikanlah Negara Papua Barat. Dari sini bibit nasionalisme Papua mulai tersemaikan.” (2001:1) [1]
Penduduk asli sebagai pemilik tanah Papua yang sah dalam kenyataannya hanya bisa mengais sisa-sisa mineral yang ditambang oleh perusahaan raksasa Freeport.
Namun, hampir sepanjang bergabungnya Papua dengan Indonesia, yang muncul hanyalah kekerasan demi kekerasan. Atas dalih sumbangan APBN terbesar merupakan hasil pajak dari PT. Freeport McMoran, negara mengukuhkan dominasi perusahaan asal Amerika Serikat ini dengan legalitas hukum yang sangat kuat.
Atas dalih yang sangat tampak bercorak liberal, PT. Freeport McMoran melakukan klaim bahwa dengan adanya PT. Freeport McMoran akan menekan angka pengangguran, memberdayakan masyarakat, melengkapi dan menunjang infrastruktur masyarakat setempat. Namun nyaris terlewatkan hal-hal terkait kerusakan lingkungan, upah pekerja yang minim, kekerasan akibat ketimpangan ekonomi, hingga kekerasan yang dilakukan aparat Indonesia yang dibayar oleh perusahaan PT. Freeport McMoran untuk mengamankan lahan. Dan juga guna menangkal masyarakat yang protes atas keberadaan PT. Freeport McMoran, yang sering dipropagandakan sebagai “separatis” oleh pemerintah pusat Indonesia sejak masa pemerintahan militer Jenderal Soeharto.
Dalam hal ini, masyarakat Papua terjebak dalam lingkaran konflik kekerasan. Dalam analisis konflik menurut Johan Galtung, diantaranya muncul apa yang disebut dengan kekerasan struktural dan kekerasan kultural.
Dalam konflik struktural, masyarakat Papua dihadapkan pada dominasi perusahaan PT. Freeport McMoran dalam melakukan eksplorasi dan yang berlanjut eksploitasi terhadap kekayaan alam masyarakat Papua yang memang sesungguhnya masyarakat Papua adalah masyarakat kesukuan tradisional yang sangat bergantung pada alam.
Pada awalnya apa yang kini nampak seperti danau kawah itu adalah gunung Grasberg yang kaya dengan kandungan tembaga, emas, perak dll.
Namun aparat keamanan Indonesia pun berperan besar atas terjadinya serangkaian kekerasan fisik terhadap masyarakat Papua, terlebih lagi, mengutip laporan dari organisasi transnasional yang bergerak di bidang pemantauan sumber daya lingkungan, korupsi, konflik bersenjata dan kerusakan lingkungan, Global Witness yang berjudul “Uang Keamanan Pertambangan Freeport dan Aparat Keamanan Indonesia” pada Juli 2005, bahwa ada hubungan erat antara Freeport, para investor dan TNI. [2]
Bahkan secara langsung, Global Witness menyampaikan dalam laporan penelitiannya bahwa operasi tambang Freeport telah dijaga oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) sejak tahun 1970-an. Global Witness memberi catatan pula bahwa jika PT. Freeport melakukan pembayaran “uang keamanan” terhadap aparat keamanan Indonesia ––yang di Indonesia sendiri tidak diatur secara yuridis maupun tidak terdapat dalam ketentuan pakta internasional–– PT. Freeport McMoran dapat terjerat masalah hukum atas dilanggarnya Foreign Corrupt Practices Act atau Undang-Undang Praktek Korupsi Luar Negeri yang merupakan undang-undang Amerika Serikat yang mengatur pembayaran dari perusahaan-perusahaan AS kepada para pejabat negara asing. [3]
Sedangkan implikasi langsung bagi Indonesia dan masyarakat Papua adalah berupa kekerasan oleh aparat keamanan Indonesia terhadap masyarakat Papua, khususnya masyarakat di sekitar daerah beroperasinya PT. Freeport McMoran, yakni kota Timika. Kekerasan yang sudah sangat sering terjadi ini memiliki efek domino pada kekerasan di wilayah lain di Papua. Akibat dominasi struktur negara dan korporasi ini, maka terjadilah konflik ekonomi yang terstruktur dan kekerasan langsung yang berujung pada pelanggaran-pelanggaran HAM di tanah Papua.
Ketimpangan pembangunan di Indonesia, sangat terasa sekali di Papua. Masyarakat yang umumnya adalah masyarakat kesukuan, harus tergeser kehidupannya dengan munculnya pembangunan yang hanya dimiliki oleh kalangan elit korporasi. Padahal sumber-sumber daya alam yang ada bahkan tenaga kerja sebagai pelaksana di lapangan yang tersedia berasal dari para putra Papua juga.
Dan bila dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia, khususnya antara Jawa dan Papua, sungguh sangat jauh jarak (gap) pembangunan infrastruktur mereka. Mulai dari pendidikan, sarana transporatasi, pelayanan kesehatan, akses pelayanan umum dan lain sebagainya.
Latar belakang atau tipe pemimpin Indonesia menentukan konstelasi politik di Papua, yakni berupa fragmentasi atas latar belakang calon presiden dari sipil atau calon presiden yang berasal dari militer. Konstelasi konflik dan politik “dianggap” naik jika presiden Indonesia berasal dari sipil. Hal ini dikarenakan, konflik terbuka muncul lebih eksplosif dibanding jika presiden terpilih berasal dari militer.
Di era 32 tahun kepemimpinan represif-militeristik jenderal Suharto, kebijakan politik di Papua diletakkan pada ujung senjata, sehingga benar-benar “aman dan terkendali”. Namun saat ini keleluasaan akses masyarakat Papua untuk menyampaikan aspirasi dan bahkan menyuarakan kepentingan dan bahkan tuntutan kemerdekaan muncul dengan kuat ketika presiden terpilih berlatar belakang sipil.
Konstelasi konflik yang naik itu diawali dengan asumsi bahwa keleluasaan presiden sipil dapat lebih terbuka dalam mendukung munculnya referendum kemerdekaan Papua sebagaimana yang telah diputuskan presiden Habibie atas Timor Leste. Belajar juga dari pengalaman perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua pada era presiden Gus Dur (Abdurrahman Wahid) yang cukup memberi bukti keleluasaan presiden non-militer (sipil).
Pemilihan umum presiden 2014 lalu, Joko Widodo yang berlatar belakang sipil, menang mutlak di wilayah Papua [4], karena presiden sipil tampak lebih diplomatis dibanding presiden militer dan secara psikologi politik lebih mendukung upaya-upaya perundingan dua belah pihak. Oleh karena itu, sesungguhnya masyarakat Papua menaruh harapan besar kepada presiden Joko Widodo dalam penyelesaian masalah Papua, diantaranya adalah mengenai keberadaan PT. Freeport Indonesia di wilayah Papua.
Desakan kemerdekaan Papua dengan jalan yang represif pun muncul dari pihak masyarakat sebagai dampak dari sikap represif yang dialami pada awal pemerintahan militeristik jenderal Suharto terdahulu. Hal ini mengindikasikan, bahwa jikalaupun di Papua tidak sedang muncul konflik terbuka, bukan berarti Papua menjadi wilayah yang telah benar-benar aman dan damai, namun meminjam istilah Johan Galtung, perdamaian di Papua masih pada tataran negative peace atau perdamaian negatif.
Konflik yang terjadi memang masih tetap berlangsung, karena belum adanya solusi dari tiap-tiap masalah yang ada. Misalnya masalah ekonomi, HAM, dan sosial-budaya yang terjadi di Papua masih merupakan PR yang belum tuntas. Sehingga sesuatu yang tampak aman dipermukaan, ternyata masih sangat mudah untuk disulut menjadi konflik lantaran belum adanya penyelesaian yang pasti dan permanen.
Penyelesaian yang pasti inilah yang sesungguhnya diharapkan mampu menghantarkan Papua menuju sebuah perdamaian yang positif. Yakni suatu perdamaian yang terbentuk karena proses penyelesaian masalah benar-benar menyentuh pada akar masalah yang ada sehingga mampu meniadakan potensi konflik agar tak muncul kembali.
The Habibie Center bekerjasama dengan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan meluncurkan hasil penelitian tentang potensi kekerasan yang terjadi di Indonesia sepanjang tahun 2015. Temuan dari penelitian tersebut menyajikan data berupa intensitas kekerasan di Papua berdasarkan Jumlah Insiden Kekerasan Menurut Tipe Konflik pada tahun 2014 [5]. Dalam insiden kekerasan tipe konflik sumber daya, Papua memiliki intensitas tertinggi yakni dengan nilai acuan indeks intensitas kekerasan sejumlah 56 setelah Jawa Timur yakni pada angka 61 dengan korelasi kekerasan tipe konflik separatisme yang tertinggi yakni pada angka 42.
Sedangkan dampak insiden kekerasan menurut tipe konflik sumber daya alam pada tahun 2014 [6], Papua menempati urutan tertinggi pula yakni korban tewas pada nilai acuan angka intesitas 22, korban meninggal dunia pada angka acuan 294 dan kerusakan dengan angka acuan 25. Seakan berbanding lurus dengan dampak insiden kekerasan tipe konflik separatis, Papua merupakan satu-satunya propinsi yang memiliki angka acuan indeks intensitas kekerasan separatisme 34 untuk korban tewas, 37 untuk korban luka-luka dan angka acuan pada posisi 6 bagi dampak kekerasan.
Berdasarkan atas angka acuan tersebut, disimpulkan nilai akhir indeks kekerasan tingkat propinsi di Indonesia tahun 2014 [7], Papua menempati urutan ketiga sebagai propinsi dengan intensitas konflik tinggi, yakni 16,57. Dan merupakan yang tertinggi setelah Sulawesi Utara dengan indeks intensitas kekerasan 19,72, lalu Sumatera Selatan dengan 19,60.
Namun yang tentu sangat mencengangkan adalah tingkat konflik sumber daya alam yang secara kuantitas tertinggi, berbanding lurus dengan konflik separatisme, yang dalam data temuan penelitian ini propinsi Papua merupakan propinsi di Indonesia yang memiliki konflik sumber daya alam tertinggi dengan angka acuan 9,75 yang merupakan satu-satunya propinsi yang memiliki intensitas konflik separatisme dengan angka 2,21.
Apa arti kode "FM?" Aslinya memang singkatan dari Freeport McMoran, tapi bisa juga dianggap sebagai singkatan dari Free-Massonry. Apakah hanya kebetulan?
Dari hasil penelitian tersebut, tampak bahwa konflik dan kekerasan sumber daya alam yang tinggi di wilayah Papua, seiring dengan munculnya konflik dan kekerasan separatisme. Ini adalah sebuah visualisasi fakta bahwa konflik sumber daya alam yang terjadi di Papua berbanding lurus dengan konflik separatisme.
Konflik sumber daya alam dan kasus separatisme, membentuk lingkaran-lingkaran konflik yang melibatkan antar kelompok masyarakat, kelompok masyarakat dengan perusahaan (pemodal), masyarakat dengan negara dan juga negara dengan perusahaan [8].
Kekerasan demi kekerasan yang terjadi di Indonesia, khususnya dalam hal ini adalah Papua, merupakan sesuatu yang harus diselesaikan. Komitmen antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat sangat penting dan menentukan dalam menciptakan Papua yang damai. Khususnya dalam menyikapi korporasi asing yang telah 48 tahun beroperasi di Indonesia tersebut.
Presiden Indonesia terpilih, yakni Joko Widodo kini tengah melakukan proses perundingan kontrak kerja PT. Freeport Indonesia. Banyak masyarakat berharap bahwa kedepan akan ada tindakan yang lebih konstruktif dari presiden bagi masyarakat Papua, salah satunya dalam hal yang terkait dengan kontrak PT. Freeport McMoran di Indonesia. Karena eksplorasi dan eksploitasi pertambangan emas dan tembaga terbesar di dunia ini layaknya kotak pandora yang bila dibuka sembarangan akan memiliki efek dan dampak yang bisa menyulut konflik struktural dan kultural di Papua.
Tak berbeda dengan PT. Freeport, pemerintah Indonesia, selama ini kerap memunculkan dalih bahwa Freeport adalah penyumbang APBN terbesar, yang membantu pembangunan infrastruktur di Papua, khususnya di wilayah Timika. Baik berupa pembangunan pendidikan, kesehatan dan akses publik lain yang seharusnya disediakan oleh negara.
Sesungguhnya dari sekian banyak kasus, tampak bahwa negara tidak hadir dalam melindungi masyarakatnya, padahal fungsi adanya negara adalah fungsi pemenuhan akan hak-hak dasar warga negaranya. Apalagi negara yang memiliki konstitusi yang cenderung berorientasi sebagai negara kesejahteraan, seperti yang tertuang dalam konstitusi Indonesia yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Bukan justru semakin melegalkan privatisasi dan membiarkan rakyat bertarung bebas dan lepas atas hidup yang dipertaruhkan dengan kompetisi yang tidak seimbang. Ibarat suatu ajang kompetisi di pusara eksplorasi sumber daya alam milik rakyat itu sendiri. Maka yang terjadi adalah perampasan hak rakyat yang dibalut dengan undang-undang, peraturan dan kebijakan yang legal secara hukum namun lebih menguntungkan pihak-pihak elit dan korporasi yang berkepentingan, dalam hal ini adalah PT. Freeport.
Jaminan uang keamanan yang dibayarkan perusahaan PT. Freeport McMoran kepada aparat keamanan sendiri sebenarnya tidak memiliki legalitas hukum. Hal ini pada akhirnya justru memunculkan perilaku koruptif (termasuk suap) yang berlanjut hingga memunculkan pelanggaran HAM tak berkesudahan di Timika serta efek domino terjadinya konflik di wilayah-wilayah lain di tanah Papua.
Dalam kompleksitas masalah Papua, salah satu cara menyudahi konflik dan memutus lingkaran kekerasan di Papua diantaranya adalah dengan renegosiasi kontrak kerja PT. Freeport McMoran di Indonesia. Bila dikaitkan dengan masalah kedaulatan, maka bukan hanya kedaulatan politik-tradisionalis yakni kedaulatan atas batas wilayah negara, yang kini terkenal dengan jargon “NKRI Harga Mati”, namun yang lebih dibutuhkan kini adalah “Negara Harus Hadir” untuk kembali berdaulat atas segala kekayaan sumber daya alam yang ada bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat Indonesia.
Bukan justru dimunculkan berbagai dalih yang tampak bercitra positif di permukaan namun sebenarnya menimbulkan riak-riak dan gelombang destruktif bagi warga negaranya. Oleh karena itu tak ada jalan lain mengenai PT. Freeport McMoran, renegosiasi adalah suatu keharusan yang harus dilaksanakan sebagai salah satu cara untuk memutus mata rantai lingkaran kekerasan struktural yang telah berlangsung 48 tahun lamanya. Dan penyelesaian masalah Freeport ini adalah suatu awal guna membuka peluang bagi penyelesaian masalah-masalah lain yang disebabkan atas absennya negara bagi masyarakat Papua.
[1] S. Widjojo, Muridan., Diantara Kebutuhan Demokrasi dan Kemenangan Politik Kekerasan: Konflik Papua Pasca Orde Baru. Hal. 2
[2] Global Witness, Uang Keamanan Pertambangan Freeport dan Aparat Keamanan Indonesia (USA: Global Witness publishing.2005) hal. 3
[3] Ibid.
[4] http://www.Papuapos.com, “Jokowi – Jk Menang Telak di Papua”, dalam http://www.Papuapos.com/index.php/utama/item/4662-jokowi-%E2%80%93-jk-menang-telak-di-Papua, 23 Oktober 2015.
[5] The Habibie Center, Indeks Intensitas Kekerasan tahun 2015, hlm. 12
[6] Ibid. hal, 14
[7] Ibid. hal, 16
[8] Sri Yanuarti, 2012, “Kemiskinan dan Konflik Papua Di Tengah Sumber Daya yang Melimpah”, Jurnal Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), vol. 9, no.1, 2012, Yayasan Obor Indonesia, hal. 38
Fatimah Suganda
Freelance Writer (Tim Riset)
https://www.selasar.com/politik/48-tahun-pt-freeport-mcmoran-dan-lingkaran-kekerasan-di-tanah-papua
No comments:
Post a Comment