Maling, kecu, dan pencuri memiliki dua jenis pengertian. Pertama, makna ketiganya sama dengan isi kandungan ketiga kata itu. Jadi maling ya maling, kecu ya kecu, dan pencuri ya pencuri. Kita tak memerlukan sebuah kamus untuk memahami ketiganya.
Tapi maling, kecu, dan pencuri bila diucapkan dengan tekanan yang mengandung kemarahan atau kejengkelan, maka ketiga kata itu berubah dari dirinya sebagai kata benda yang bersifat kategoris, menjadi kata makian yang penuh mengandung nilai.
Di sini kelihatannya jelas ada pergeseran makna. Copet agak berbeda. Konotasinya, secara umum, juga maling. Tapi wilayah dan waktu “beroperasinya” lain. Pada umumnya pencopetan dilakukan pada siang hari, di suatu tempat yang penuh kerumunan orang-orang, yang berdesak- desakan.
Bisa juga dilakukan pada malam hari ketika korbannya sedang tidur. Di sini copet dan maling memiliki kesamaan dalam “etika” kerjanya —jika cara kerja tukang copet dan maling bisa dianggap mengandung etika— yaitu bahwa kedua-duanya bekerja dari “belakang”, diam-diam, di saat korbannya tidak sadar sepenuhnya.
Mungkin ada sedikit perbedaan antara keduanya: maling, terutama yang sangat profesional dan beroperasi dalam skala besar-besaran, biasanya bukan hanya menunggu korbannya lengah, tetapi sengaja membuat mereka lengah dengan menggunakan ilmu sirep. Ilmu ini dilontarkan dengan sengaja untuk membuat korbannya dan seluruh anggota keluarga mereka tertidur pulas.
Dengan begitu si maling bebas beroperasi tanpa terburu-buru. Kemampuan maling melontarkan ilmu sirep yang membikin korbannya terlelap sering diikuti tindakan menjengkelkan: si maling sempat makan dulu di dapur dengan tenangnya, baru kemudian mengumpulkan benda-benda yang diinginkannya, baru kemudian “minggat”.
Prinsipnya garong juga pencuri, tetapi si garong melakukannya dengan blak-blakan. Jika tuan rumah sudah tidur, si garong membangunkannya, minta dibukakan pintu. Dengan todongan senjata tajam atau yang lebih berbahaya lagi dengan senjata api, tuan rumah diminta secara paksa menunjukkan di mana barang-barang berharga miliknya disimpan.
Jika terjadi perlawanan, tuan rumah bisa dilukai dengan penuh kekerasan atau bahkan dibunuh dengan kejam. Kekerasan dan kekejaman terbuka menyertai proses penggarongan tadi. Adapun mengapa si garong berani melakukan itu, karena, pertama, si garong memang orang berilmu, kebal segala jenis senjata, atau ada unsur nekat, semata karena dia bersenjata.
Garong itu pencuri yang disertai kekerasan, kadang-kadang pembunuhan. Ada orang yang menggarong tetangga sendiri namun dengan cara menyamarkan dirinya. Wajahnya ditutup hingga tak dikenali tuan rumah. Tapi “drama” ini sering bersifat kecil-kecilan, tidak profesional, dan mudah ditelusuri jejaknya sebelum pada akhirnya ditangkap hampir tanpa kesukaran. Tapi garong profesional tidak takut ditangkap. Kantor polisi atau penjara mungkin dianggap sebagai “rumah” keduanya.
Berbagai model sajam (senjata tajam) yang sering dipakai melakukan kejahatan.
Garong yang hebat bisa lolos dari kejaran polisi dan massa yang marah. Bahkan, ada yang bisa lolos dari penjara melalui jalan yang kita tak bisa memahaminya karena dia memiliki ilmu-ilmu yang hebat. Selain itu, garong bekerja dengan rapi, didahului intelijen atau mata-mata, yang bekerja dengan baik.
Penggarongan yang sukses ditentukan beberapa hari sebelum hari terjadinya peristiwa itu. Intelijen memainkan peran sangat penting. Dalam tingkat tertentu, maling juga memiliki intelijen yang bekerja secara cermat beberapa hari sebelum pemalingan dilakukan. Bagi maling, ada hari tertentu dimana dia tak boleh melakukan tindakan “maling” atau mencuri.
Ada hari nahas yang harus dijauhi. Jika dia melanggar pantangan ini, dia bakal celaka. Tapi garong dan copet tak mengenal sama sekali perhitungan waktu seperti itu. Fenomena begal lebih unik. Ada unsur copet, ada pula unsur garong. Di dalamnya sikap nekat dan wujud kekerasan hadir secara mencolok.
Begal beroperasi di tempat-tempat kegelapan dan jauh dari wilayah hunian penduduk. Dengan kata lain, begal memilih wilayah operasi di daerah-daerah sepi dan seram serta menakutkan. Para begal juga membawa senjata. Korban yang melawan dilukai tanpa ragu-ragu atau dibunuh sekalian untuk menghilangkan jejak.
Orang biasa pada umumnya dengan sukarela menyerah. Yang penting selamat dan ini menggembirakan si begal. Dia dan rombongannya, bekerja cepat, efisien, tanpa mengeluarkan keringat. Tapi jika korbannya orang hebat dan berani melawan, kawanan begal itu harus bekerja keras dan lebih lama. Tak jarang si begal yang kalah dan lari ngacir.
Ada begal yang belum profesional dan cara menggertak korbannya pun keliru. Seharusnya dia bertanya: harta atau nyawa. Tapi begal yang masih “plonco” ini bertanya, dalam bahasa Jawa: banda (harta) atau yatra (uang), yang artinya sama-sama harta. Jadi dia bertanya: harta apa harta. Garong satu ini hanya menjadi lelucon. Nyalinya ciut dan kecut. Ketika digertak oleh korbannya, justru dialah yang ketakutan.
Tanpa bermaksud menghina, melecehkan, atau menurunkan derajat mereka yang luhur dan mulia, orang-orang kantoran yang korupsi itu, walau penampilannya gemerlap, sebenarnya, maaf beribu maaf, tidak lebih dari begal. Dana untuk rakyat dibegal di tengah jalan. Beras buat rakyat dibegal sebelum sampai ke tangan rakyat. Mereka begal agung, begal mulia, begal berpangkat tapi tak tahu malu.
Rumah mereka berisi barang colongan, copetan, dan garongan. Kekayaan mereka hasil nyolong, maling, membegal, merampok, dan sejenisnya. Kalau tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mereka punya pembela. Ada lawyer khusus yang membela mereka. Lawyer macam itu juga makan duit-duit garongan, copetan, begalan, dan malingan.
Maling, copet, garong, dan begal “asli” yang diburu-buru polisi itu tak seberapa. Namun maling, copet, garong, dan begal di kantoran lebih menakutkan karena bisa bikin rakyat jatuh melarat dan negara bangkrut. Mereka lebih berbahaya !!!
Mohamad Sobary,
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
KORAN SINDO, 30 Maret 2015
No comments:
Post a Comment