Monday, March 2, 2015

Politik Amien Rais


Keberadaan pemegang saham sebagai pihak dominan dalam sebuah perusahaan sangat lazim. Namun, keberadaan pemegang saham dalam konteks partai politik, sebenarnya tidak lazim dan tidak sehat.

Di Indonesia hampir seluruh partai politik dikelola seperti perusahaan oleh pemegang saham. Mereka sering memaksakan kehendak agar partai diurus sesuai keinginan mereka. Mereka sangat kuat dalam mendominasi pengelolaan partai politik bersangkutan. Tidak heran bila kemudian penentuan figur-figur sentral dalam kepengurusan partai politik, terutama ketua umum, harus melalui persetujuan pemegang saham tersebut.

Keinginan Amien Rais untuk menjadikan Zulkifli Hasan tampil sebagai ketua umum dan meminta Hatta Rajasa mundur dari pencalonan dalam Kongres IV Partai Amanat Nasional (PAN) pada tanggal 28 Februari- 3 Maret mendatang merupakan contoh paling aktual dari hal tersebut.

Sebagaimana diketahui, ada dua kandidat kuat ketua umum PAN pada kongres nanti, yakni Zulkifli Hasan dan Ketua Umum incumbent Hatta Rajasa.

Amien Rais, Hatta Rajasa, dan Zulkifli Hasan.

Dalam sejumlah kesempatan Amien Rais meminta para pemilik suara untuk memilih Zulkifli Hasan —notabene besan— sebagai ketua umum dalam kongres nanti. Di saat yang sama Amien Rais juga meminta Hatta Rajasa untuk mundur dari bursa pencalonan. Amien Rais berdalih hal itu dimaksudkan untuk melanjutkan tradisi PAN selama ini, dimana ketua umum cuma menjabat satu periode.

Padahal, pembatasan jabatan satu periode tidak diatur di dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai (AD-ART). Amien Rais berdalih pembatasan jabatan ketua umum satu periode dilakukan untuk regenerasi kepemimpinan partai. Hemat penulis, regenerasi kepemimpinan partai tetap dapat dilakukan tanpa harus memberikan batasan satu periode bagi jabatan ketua umum. Bila merujuk jabatan-jabatan publik —mulai dari bupati/walikota, gubernur hingga presiden— pembatasan jabatan lazimnya dilakukan dua periode, bukan satu periode.

Pembatasan jabatan satu periode juga dilihat publik sebagai sebuah hal tidak lazim. Pendapat publik itu terekam melalui survei terbaru Lembaga Survei Indonesi (LSI). Survei LSI mengenai “Partai Politik di Mata Publik: Evaluasi atas Kinerja Partai dan Regenerasi Politik,” menunjukkan 58,9% responden menginginkan kepemimpinan di partai dibatasi dua periode.

Survei ini secara tidak langsung menunjukkan keinginan Amien Rais agar ketua umum PAN cukup satu periode saja terlihat agak berlebihan dalam memandang isu regenerasi. Sudah menjadi rahasia umum bila Amien Rais memegang peran dominan selama 17 tahun perjalanan PAN. Penentuan ketua umum hingga arah koalisi PAN harus melalui persetujuannya. Maklum saja Amien Rais merupakan pendiri partai berlambang matahari terbit tersebut.

Hatta Rajasa dan Amien Rais.

Namun, hal itu tidak serta merta dapat menjadi justifikasi bagi Amien Rais untuk terus tampil dominan seperti pemegang saham. Dominasi pemegang saham tunggal di sebuah partai politik cuma akan membuat partai politik bersangkutan tidak kunjung bertransformasi menjadi partai modern, dimana mekanisme kontestasi diserahkan kepada kader-kader, bukan daulat orang-orang tertentu.

Di samping itu, dominasi pemegang saham tunggal di sebuah partai politik juga akan membuat partai politik bersangkutan tidak terinstitusionalisasi dengan baik. Menurut Scott Mainwaring (1998: 67-81), salah satu dimensi penting untuk melihat apakah sebuah partai politik telah terinstitusionalisasi dengan baik adalah tidak adanya dominasi personal dari seorang elite politik.

Dewasa ini dominasi personal seorang tokoh memang seakan telah menjadi fenomena umum dari kehidupan partai politik di Indonesia. Partai Demokrat sangat bergantung kepada figur Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selaku pendiri partai. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan identik dengan Megawati Soekarnoputri. Pengaruh Prabowo Subianto sangat kuat mewarnai setiap langkah dan kebijakan Partai Gerindra.

Partai Hanura tidak dapat melepaskan diri dari ketergantungan terhadap kepemimpinan Wiranto. Demikian pula dengan Amien Rais yang selalu menampilkan diri sebagai tokoh sentral di PAN, sehingga seolah-olah setiap kader yang hendak mencalonkan diri sebagai ketua umum harus mendapatkan restu politik dari tokoh gerakan reformasi 1998 tersebut.


Dominasi personal tersebut boleh jadi kemudian akan berujung kepada tren aklamasi dalam proses pemilihan ketua umum. Selain PAN dalam waktu dekat sejumlah partai politik lain juga akan menggelar kongres atau munas untuk memilih ketua umum. Partai Hanura akan menggelar munas bulan ini. Partai Demokrat melakukan kongres pada Maret mendatang. Satu bulan kemudian giliran PDIP menggelar kongres.

Para elite masing-masing partai politik akan berusaha sekuat tenaga agar dapat menang secara aklamasi tanpa ada calon lain tampil sebagai rival potensial. Meskipun telah berusia cukup tua figur-figur seperti SBY, Megawati, Wiranto, Prabowo, dan Amien Rais tidak akan dengan sukarela melepaskan kendali dan pengaruh politik mereka di partai politik masing-masing.

Dalam konteks itu keputusan Hatta Rajasa untuk tetap maju dalam bursa pencalonan ketua umum PAN dalam kongres mendatang —meskipun tanpa restu politik sang pendiri partai— akan menjadi ujian serius bagi eksistensi politik Amien Rais di masa depan. Kongres yang akan berlangsung di Bali akhir pekan ini akan menjadi ukuran bagi publik untuk melihat apakah Amien Rais masih memiliki pengaruh cukup kuat dalam menentukan arah perjalanan PAN atau tidak.

Bila Hatta Rajasa terpilih kembali untuk kali kedua sebagai ketua umum, maka dapat dikatakan pengaruh Amien Rais di PAN mulai luntur dan usang. Namun hal itu justru merupakan kabar baik bagi PAN sebagai langkah awal menuju partai modern yang tidak lagi melulu bergantung kepada titah seorang Amien Rais.

Bawono Kumoro,
Peneliti Politik di The Habibie Center
KORAN SINDO, 27 Februari 2015

No comments: