Thursday, September 23, 2010

Tirani Imitasi


Malam menjelang Idul Fitri, seorang teman berkirim pesan layanan singkat (SMS), ”Kamu terlalu sering mengkritik SBY, kini saat yang tepat untuk mohon maaf lahir dan batin.” Saya tersenyum membacanya dan membalas pendek, ”Baiklah kawan.”

Untuk Presiden SBY dan para letnan di lingkaran dalam Istana, mohon maaf lahir dan batin. Kalau penulis mengkritik, itu bukan karena alasan pribadi. Jalan mendaki dan sulit dipilih hanya agar terjadi keseimbangan politik dan kontrol kebijakan. Sejujurnya, daripada dicap nyinyir, sebenarnya lebih menarik mengamati tokoh-tokoh lokal karena bisa menumbuhkan optimisme. Selain genius, karakter mereka juga sepi ing pamrih rame ing gawe (bekerja tulus tanpa diberati pamrih).

Sebaliknya, politik Jakarta sudah dibanjiri karakter imitasi. Kepedulian elite nasional didominasi sebatas komitmen ketika berbicara di depan televisi, radio, koran, dan kibaran umbul-umbul. Akibatnya, ketika ada pendadakan seperti perusakan tempat ibadah dan tindak kekerasan, pemerintah terkesan lambat mengambil tindakan. Presiden tidak segera berdiri di podium Garuda dan mengatakan, ”Republik tidak dibangun atas dasar suku, agama, ras, dan antargolongan.” Kesan pengabaian pun akhirnya merebak tak terbendung.


Bukan sepi pamrih
Jika langkah Presiden seperti itu, ia akan menjadi sandaran bagi kegalauan dan kegetiran hidup rakyat. Namun, kalau yang diekspos rapat dulu, dari sisi waktu, momentum sudah mengempis. Warga yang menderita kehilangan pegangan dan kepercayaan. Apalagi yang keluar kemudian hanya pernyataan keprihatinan dan janji akan ada penyelesaian bijaksana dan adil.

Mencermati geliat Indonesia hari ini, saya merasa tidak ada lompatan yang luar biasa. Pertumbuhan ekonomi memang terjadi, tetapi kalah dinamis dibandingkan dengan Filipina dan Thailand yang didera demonstrasi terus-menerus. Posisi Indonesia sebagai tujuan investasi memang membaik, tapi tetap di bawah Vietnam.

Di sisi lain, luka di hati rakyat semakin melebar. Bukan saja biaya hidup menjadi semakin mahal, tetapi perasaan aman untuk beribadah pun telah terkoyak. Selain itu, kemiskinan juga masih menyebar, pengangguran dan angka putus sekolah tinggi, pasokan energi terbatas, jalur logistik semrawut, dan pembangunan infrastruktur berhenti pada slogan. Ini belum lagi kalau masalah-masalah yang menggantung, seperti kriminalisasi Komisi Pemberantasan Korupsi dan kasus Bank Century, ikut diperhitungkan. Republik seperti berjalan tanpa arah, mengapung begitu saja.


Situasi itu masih berlangsung, menurut hemat saya, adalah karena tidak efektifnya kepemimpinan nasional. Karakter sepi ing pamrih rame ing gawe yang kuat dan otentik belum tampak pada diri elite Republik. Citra justru menjadi sandaran utama untuk memelihara klaim keberhasilan program aksi kebijakan yang dijalankan.

Padahal, pemerintah sejatinya bisa melakukan apa pun demi kepentingan rakyat. Mengutip Jusuf Kalla, tugas pemerintah adalah memerintah, bukan mengimbau. Dengan demikian, Presiden bisa memerintah siapa pun dan menggerakkan apa pun untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang lebih baik. Dalam konteks ini, demi rakyat, tidak perlu takut jika harus mempunyai musuh sekalipun.

Akan tetapi, faktanya, Presiden, menteri, dan anggota Dewan secara umum belum bisa menjadi sandaran bagi keluh kesah dan kegetiran hidup rakyat. Bahkan, jika merujuk pada kampanye Pilpres 2009 di Pekanbaru, SBY malah mengkritik masyarakat. Ia mengatakan bahwa masyarakat Indonesia mempunyai penyakit tidak pandai bersyukur, tidak mudah berterima kasih, tidak jujur, dan tidak obyektif. Sementara itu, seperti yang kita saksikan, anggota Dewan cenderung asyik memikirkan diri sendiri dengan minta dana aspirasi, kunjungan kerja ke luar negeri, pembangunan gedung baru, dan lain-lain.

Rasanya saat ini sulit menemukan figur nasional yang berkarakter sepi ing pamrih rame ing gawe. Para elite pada umumnya hanyut pada pencitraan diri dan mengikuti arus oportunistik sehingga menjadi imitasi. Mereka telah melupakan visi dan misi ketika kampanye, yang akhirnya tak lebih dari sekadar spirit imitasi. Pendeknya, mereka telah berubah menjadi tirani imitasi.


Mudah rusak
Saat ini kita telah diperintah oleh kekuatan pencitraan sebagai realitas semu yang terpancar tanpa jeda dari iklan televisi, radio, koran, kibaran umbul-umbul, dan politik uang. Tirani imitasi itu membentuk kepercayaan kita bahwa Presiden, menteri, dan anggota Dewan sudah bekerja keras untuk rakyat. Ekonomi tumbuh pesat, kemiskinan menurun drastis, konsolidasi demokrasi berjalan sempurna, dan lain-lain.

Namun, yang namanya imitasi, meskipun penampilannya bagus, pasti mudah rusak, sobek, luntur, dan kusam. Untuk menyebut beberapa contoh, tampaknya ekonomi tumbuh, tapi sebenarnya keropos karena bersandar pada hot money. Demokrasi menguat, tapi sekadar prosedural, bukan substansial. Pendapatan per kapita naik, tapi kesenjangan sosial semakin ekstrem. Selain itu, penyelesaian semua masalah hanya diserahkan pada kebijakan waktu, bukan pada penetrasi negara yang kuat dan efektif.

Itulah gambaran Indonesia saat ini. Anda mau melanjutkannya? Saya tidak. Percayalah, Gusti ora sare (Tuhan tidak tidur).

Sukardi Rinakit
Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate dan Universitas Mercu Buana
http://cetak.kompas.com/read/2010/09/21/04135732/tirani.imitasi

No comments: