Keberadaan negara bangsa Indonesia tidak bisa lepas dari konstelasi global internasional. Bahkan bisa dikatakan, sejarah Indonesia merupakan perpanjangan tangan dari pertarungan kepentingan sosial, politik, ekonomi dan wacana yang sedang bermain di dunia internasional. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada negara-bangsa Indonesia dan para pendirinya, dapat dikatakan bahwa nama Indonesia adalah temuan linguistik-filologis dari seorang ilmuwan Jerman yang bernama A. Bastian. Ini berarti, setiap upaya untuk memberikan diagnosa dan terapi atas persoalan yang terjadi di Indonesia tanpa melihat keterkaitan dengan konstelasi global, niscaya akan menemui kegagalan. Hal ini terlihat dari kemacetan berbagai analisis dan gerakan yang dilakukan oleh para aktivis maupun intelektual dalam menuntut dan menyikapi perubahan di Indonesia. Kebanyakan mereka melihat Indonesia sebagai entitas tersendiri yang lepas dari konstelasi internasional. Akibatnya mereka hanya melihat persoalan secara parsial dan sektoral, sehingga tidak bisa menemukan akar persoalan yang sebenarnya.
Upaya negara-negara Barat dengan ideologi kapitalismenya guna mempertahankan kepentingan di negeri-negeri dunia ketiga melalui ideologi developmentalisme (pemba-ngunan) dapat dilihat dalam buku karya Vandana Shiva yang berjudul “Bebas dari Pembangunan”, penerbit Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Di sini dijelaskan bahwa
“pembangunan tidak lain dari sebuah proyek besar pasca zaman penjajahan oleh bangsa asing dari negeri‑negeri Utara atas bangsa-bangsa di negeri-negeri Selatan. Proyek ini ditawarkan sebagai sebuah model yang berlaku universal; bahwa kemajuan gaya Barat dapat pula dicapai di semua bidang oleh negara-negara berkembang, cukup dengan mengembangkan kaidah-kaidah ekonomi yang dikembangkan di Barat.”
Dengan cara ini negara-negara kapitalis berhasil memperkokoh pengaruhnya di Indonesia. Hal ini terus dipelihara oleh negara kapitalis disamping sebagai upaya mencari keuntungan secara ekonomis, juga sebagai upaya menangkal pengaruh kekuatan komunisme internasional.
Berakhirnya Perang Dingin
Pada tahun 1989 terjadi peristiwa yang monumental yaitu runtuhnya negara komunis Uni Sovyet. Peristiwa ini menandai berakhirnya era perang dingin, karena sejak saat itu berguguran pula negara-negara komunis di Eropa Timur. Peristiwa ini memberi-kan dampak yang cukup besar pada negara-negara dunia ketiga, khususnya yang memiliki hubungan dengan Amerika, termasuk Indonesia di bawah pemerintahan Orba.
Dengan berakhirnya perang dingin, maka negara-negara kapitalis tidak lagi membu-tuhkan buffer (tameng) untuk menghadapi komunisme. Akibatnya negara-negara dunia ketiga yang selama ini menjadi buffer lantas kehilangan peran. Karena hal ini menyebab-kan pemerintah Orba menjadi rapuh. Dengan hilangnya peran negara dunia ketiga sebagai buffer, maka negara-negara kapitalis hanya memiliki kepentingan bisnis dengan Indo-nesia. Oleh karena itu pemerintahan yang tidak menjalankan prinsip ekonomi pasar yang benar harus disingkirkan. Di lain pihak, sebagai dampak dari pembangunan ekonomi selama 32 tahun, timbul satu segmen masyarakat yang memiliki harapan-harapan berlebihan (rising expectations) atas kehidupan material yang bercorak konsumtif yang gagal dipenuhi oleh pemerintah Orba. Ketika dua keadaan ini bertemu, terjadilah gejolak sosial politik di Indonesia yang pada ujungnya bermuara pada proses lengsernya Soeharto, yang secara euphoria digembar-gemborkan sebagai reformasi.
Hal itu menunjukkan bahwa terjadinya proses reformasi sebenarnya bukan semata-mata merupakan perjuangan rakyat Indonesia, namun ada tangan-tangan gaib yang ikut bermain sehingga kekuatan politik Soeharto yang begitu kuat dan mengakar bisa runtuh hanya dalam waktu tiga bulan. Tangan-tangan gaib dimaksud adalah kekuatan kapitalis-me global internasional. Penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini bisa dilihat dalam Francis Fukuyama; The End of History dan Kenichi Ohmae; Borderless Capital, dimana oleh Ohmae diprediksikan akan terjadi Nation of Corporations (bangsa perusahaan) dan State of Markets (negara pasar).
Strategi Mempertahankan kepentingan
Setelah negara-negara dunia ketiga tidak dibutuhkan lagi oleh negara kapitalis, maka selanjutnya dibuat proyek sosial baru yaitu mengembangkan kepentingan kapitalisme internasional. Kembali di sini negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia menjadi sasaran dari proyek tersebut. Strategi untuk merealisasikan gagasan tersebut dilakukan dengan cara menghancurkan struktur dan fondasi ekonomi Indonesia. Pertama-tama hal ini ditandai dengan tekanan untuk melakukan liberalisasi sektor perbankan pada tahun 1988 yang mengakibatkan munculnya puluhan bank swasta. Pada tahun 1992 pengusaha swasta melakukan pinjaman devisa secara besar-besaran dengan menggunakan bank-bank swasta sebagai kendaraan. Meskipun pemerintah Orba membentuk Panitia Kredit Luar Negeri (PKLN) untuk mengontrol pinjaman luar negeri tersebut namun tetap terjadi pembengkakan utang swasta. Sementara PKLN hanya berhasil menahan pertumbuhan utang BUMN.
Mayoritas utang pengusaha swasta Indonesia dijamin oleh commercial paper yang memiliki jatuh tempo 5 tahun. Ketika jatuh tempo pembayaran lima tahun berikutnya, yaitu pada tahun 1997, terjadi gejolak moneter yang dahsyat, sehingga para pengusaha tersebut tidak dapat mengembalikan utangnya yang mengakibatkan merosotnya nilai tukar rupiah.
Untuk mengatasi krisis moneter tersebut, pada Januari 1998, Managing Director IMF, Michael Camdessus, berhasil "memaksa" Soeharto untuk menandatangani letter of intent yang menyangkut restrukturisasi perekonomian Indonesia, hal mana disambut dengan sorak-sorai para birokrat moneter dan para pakar ekonomi Indonesia yang bernaung di bawah wacana developmentalisme-modernisme. Apa yang terjadi tersebut, mengingatkan pada paralel sejarah ketika para priyayi birokrat yang bernaung di bawah payung kapital Belanda bersorak menyambut runtuhnya priyayi kraton sekian dasa warsa yang lalu.
Gejolak ini akhirnya bermuara pada terjadinya krisis sosial dan politik sehingga terpentaskanlah "opera sabun reformasi" yang menurunkan Soeharto dari tahta kekuasa-an yang telah dilestarikannya selama 32 tahun (lihat C. Geertz dalam Nagara: The State and Theatre in Bali).
Jelas di sini terlihat bahwa terjadinya reformasi bukanlah semata-mata keberhasilan masyarakat Indonesia dalam memperjuangkan kepentingannya melawan rezim hegemo-nik Soeharto. Lebih dari itu, reformasi adalah sebagai bagian dari skenario dunia internasional dalam mempertahankan kepentingannya di Indonesia. Karena ada kesama-an kepentingan antara kapitalisme global internasional dengan kekecewaan sebagian rakyat Indonesia yang mengalami rising expectations maka proses reformasi dapat berjalan. Hal ini tidak terjadi dalam dua puluh tahun terakhir, ketika rakyat memper-juangkan haknya yang telah dirampas oleh Soeharto. Ini terjadi karena Soeharto pada waktu itu masih dibutuhkan oleh rezim moneter kapitalisme internasional.
Disamping menggunakan strategi ekonomi, juga digunakan ekspansi wacana dan rekayasa sosial. Hal ini terlihat dalam berbagai teori sosial politik yang diluncurkan pasca-Perang Dingin. Pada tahun 1994, seorang intelektual Amerika, Samuel P. Huntington menulis sebuah buku yang berjudul Clash of Civilization. Dalam buku ini Huntington menjelaskan bahwa periode pasca-Perang Dingin akan diwarnai pertarungan peradaban antara peradaban Barat (WASP) dengan peradaban Timur (Islam dan Confucian). Pengaruh paling terasa dari antisipasi benturan peradaban tersebut adalah terjadinya sentimen anti Cina yang berlebihan di kalangan masyarakat Indonesia, hingga berujung pada terjadinya kerusuhan yang menuntut korban jiwa sebagaimana terjadi pada peristiwa kerusuhan 13-15 Mei 1998. Demikian pula, dari perspektif ini, kerusuhan di Ambon pada pertengahan Januari 1999 dapat dipahami sebagai konflik buatan antara Islam sebagai cermin budaya Timur dengan Kristen sebagai cermin budaya Barat. Jika dianalisis lebih dalam, hal ini bukan suatu kebetulan, karena masalah ini sudah ada sejak lama, lalu mengapa baru meletup sekarang?
Sementara itu pada tahun 1997 dua sosiolog Inggris, A. Giddens dan R. Dahrendorf mulai mensosialisasikan konsep supremasi sipil yang terdidik. Konsep-konsep dan pemikiran ini memiliki dampak dan pengaruh yang cukup besar bagi masyarakat Indonesia. Dampak dari pemikiran supremasi sipil yang terdidik adalah munculnya hujatan terhadap militer Indonesia secara berlebihan di satu sisi serta menjamurnya program diploma luar negeri. Semua ini dilakukan untuk mengamankan kepentingan kapitalisme internasional di Indonesia. Isu supremasi sipil diambil karena militer sudah tidak dibutuhkan lagi, dan justru dianggap sebagai faktor yang menghambat tumbuhnya ekonomi yang sehat dan dinamis. Proses penyingkiran ABRI ini dimulai sejak awal dekade 90-an dan mulai terasakan sejak tahun 1996, khususnya ketika bantuan pendidikan militer AS atas Indonesia mulai dihentikan.
Inilah beberapa strategi kapitalisme-global internasional yang memiliki dampak langsung terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara bagi bangsa Indonesia dalam konteks kekinian. Apa yang terjadi menunjukkan bahwa semua peristiwa itu tidak berdiri sendiri-sendiri melainkan memiliki keterkaitan kuat dengan kepentingan kapitalisme internasional dalam konteks borderless‑capital.
Tangan‑tangan Gaib di Balik Pemilu
Dalam rangka mempertahankan kepentingannya di Indonesia, kapitalisme inter-nasional tidak ingin melakukan perubahan yang mendasar atas sistem politik dan ekonomi yang ada di Indonesia. Agar hal itu bisa berjalan dengan baik, maka dibuatlah sebuah skenario yang bisa mengganti aktor-aktor yang sedang bermain. Dengan cara ini, secara retorik dapat dikatakan bahwa sesungguhnya telah terjadi reformasi di Indonesia melalui pergantian sejumlah tokoh yang bermain. Dalam rangka mewujudkan cita-cita tersebut, maka negara-negara Barat menyokong terjadinya Pemilu di Indonesia, sebagai mekanisme yang legal dan konstitusional untuk melakukan pergantian pemain. Maka bisa kita maklumi kalau dunia internasional memiliki antusiasme tinggi atas pelaksanaan pemilu di Indonesia.
Namun satu hal yang perlu diingat, melihat hasil pemilu yang ada, nampaknya hampir bisa dipastikan tidak akan terjadi perubahan kebijakan yang mendasar dalam sistem ekonomi dan politik Indonesia. Tokoh-tokoh yang akan naik dalam tampuk kepemimpinan masih didominasi oleh mereka-mereka yang mempertahankan wacana developmentalisme-modernisme. Melihat hal ini maka wajar-wajar saja bila para penga-mat, funding-agencies dan pemantau pemilu internasional pagi-pagi mengatakan bahwa pemilu di Indonesia sudah berjalan secara Jurdil dan Luber, penuh keterbukaan, bersih meski masih ada beberapa catatan di sana-sini.
Semua ini mengindikasikan adanya kenyataan buatan (virtual reality) yaitu suatu penampakan semu demokrasi dimana terdapat partai-partai peserta pemilu, panitia pemilu, pengawas pemilu, para pemilih, bahkan ada pula demonstrasi yang menuntut diusutnya kecurangan-kecurangan pemilu, yang semuanya itu hanya melegitimasi demokrasi prosedural tanpa membahas substansi kedaulatan rakyat itu sendiri (lihat Jean Baudrillard; Simulations, 1983). Dengan demikian, pemilu lebih merupakan mekanisme "pemutihan" politik dan pembaharuan aktor untuk mengokohkan kebijakan kapitalisme global di Indonesia.
Setelah berhasil melakukan mobilisasi massa untuk melakukan reformasi dan menjalankan pemilu dengan "baik", kini kekuatan kapitalisme global di Indonesia hampir tidak dapat dibendung lagi. Mereka tinggal membuat strategi-strategi lanjutan untuk memperkokoh posisinya. Pertama-tama yang akan dilakukan para pemilik modal negara-negara kapitalis adalah mengambil alih perusahaan-perusahaan Indonesia yang telah bangkrut dan tidak mampu membayar utang melalui sistem debt-to-equity swap. Dengan cara ini mayoritas saham perusahaan nasional akan jatuh ke tangan asing. Sementara itu, mayoritas negara-negara yang akan mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut adalah negara dari blok Allies yakni AS dan Inggris. Gejala ini terlihat dari besarnya peran dan pengaruh Citibank dan Standard Chartered Bank (masing-masing perusahaan dari AS dan Inggris) dalam proses penanganan restrukturisasi perbankan dan utang-utang perusahaan yang dilakukan oleh BPPN.
Sebagai ilustrasi, dari 60 bank nasional Thailand yang mengalami kebangkrutan, 58 diantaranya diambil alih sahamnya hanya oleh satu perusahaan keuangan Amerika bernama GE Capitals. Perusahaan yang sama tengah berusaha untuk mengambil alih saham Bank Niaga. Dapat pula dilihat kasus Bank Bali yang saat ini tengah diupayakan untuk diambil alih seluruh sahamnya oleh Standard Chartered Bank. Ilustrasi tersebut membuat kita layak berpikir bahwa pola pengambilalihan yang sama akan terjadi di negeri kita.
Disamping itu, untuk memperkuat pengaruhnya di Indonesia, negara-negara kapi-talis akan terus memberlakukan sistem demokrasi formal-prosedural, sementara pendi-dikan untuk membangun tradisi demokrasi yang benar, tampaknya belum akan dilakukan dalam tempo dekat. Dampak dari hal itu adalah bukan tidak mungkin akan terjadi pergantian pemenang pada setiap pemilu. Akan tetapi, selanjutnya akan sulit bagi partai-partai politik untuk melakukan konsolidasi kekuasaan.
Strategi lain yang tampaknya bakal digunakan untuk memperkokoh posisi kapitalis-me global di Indonesia adalah restrukturisasi di tubuh militer. Melihat gejala yang ada bukan tidak mungkin akan terjadi penghilangan atas jabatan Panglima TNI untuk diganti dengan jabatan Kepala Staf Gabungan yang akan dijabat secara bergiliran oleh masing-masing pimpinan dari ketiga angkatan. Dengan cara ini maka TNI tidak pula akan memiliki kemampuan untuk melakukan konsolidasi kekuasaan politik. Jika partai-partai politik dan TNI tidak mampu melakukan konsolidasi politik, rasanya akan sulit bagi bangsa Indonesia untuk merumuskan kebijakan pengembangan masyarakat dan pengem-bangan ekonomi yang baik, terpadu, dan berkesinambungan untuk jangka menengah maupun jangka panjang. Keadaan yang demikian hanya akan melahirkan kebijakan-kebijakan nasional jangka pendek yang bersifat adhoc, dan akibat logis berikutnya seluruh aspek kehidupan negara-bangsa Indonesia akan didikte oleh aktor-aktor kapitalisme global yang bergerak di pasar modal, pasar financial, pasar komoditi dan pasar informasi /media.
Membangun Masyarakat Baru
Menghadapi situasi yang demikian memang sulit, sebab kita tidak mungkin keluar dari cengkeraman kapitalisme global karena Indonesia telah ikut menjadi penandatangan APEC dan telah pula terdaftar sebagai anggota organisasi perdagangan dunia WTO . Yang paling mungkin untuk dilakukan adalah menerima keberadaan kapitalisme global secara sadar, kritis dan cerdas. Setelah itu langkah selanjutnya adalah merumuskan kepentingan kolektif nasional dengan melihat potret besar konstelasi politik internasional sebagai acuan, dengan tetap menjadikan kepentingan dan cita-cita kemerdekaan bangsa sebagai-mana dirumuskan dalam pembukaan UUD 45 sebagai titik pijak bersama.
Secara konseptual ada beberapa model sosio-ekonomi-politik yang saat ini berkem-bang di dunia, seperti bentuk welfare-state ala Eropa Barat daratan, the third-way ala Inggris, sosialisme-pasar ala Cina dengan pola satu negara dua sistem, kapitalisme-industrial-progresif ala Amerika Serikat, kapitalisme-retail ala India dan lain sebagainya.
Semua konsep dan model di atas bisa dipilih untuk menjawab tantangan berat yang dihadapi oleh negara-bangsa Indonesia saat ini. Semua terpulang kembali pada setiap elemen dari warga bangsa Indonesia untuk menentukan pilihan, sudah tentu dengan memperhitungkan pula keberadaan sumber daya alam dan manusia, keadaan geografi, demografi, kultur, sistem nilai, kondisi sosial dan infrastruktur yang ada.
Sumber:Telikungan Kapitalisme Global dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia, oleh Hasyim Wahid, dkk. 1999 LKiS Yogyakarta.
1 comment:
Jejak Sejarah Yahudi di Indonesia
Oleh Ridwan Saidi
SEJAK gerakan zionis internasional Freemasonry didirikan di Inggris tahun 1717, orang Yahudi lebih suka menyelubungi aktivitas mereka dengan selimut perkumpulan teosofi yang bertujuan "kemanusiaan". Pengumpulan dana dipusatkan di New York. Sejak 17 November 1875, pimpinannya adalah seorang Yahudi di Rusia, Nyonya Blavatsky. Jurnal The Theosofist, yang diterbitkan di New York, pada terbitan tahun 1881 menyiarkan kabar bahwa Blavatsky mengutus Baron van Tengnagel untuk mendirikan loge, rumah ibadat kaum Vrijmetselarij/Freemasonry di Pekalongan. Kota ini dipilih karena sejak 1868 berubah status dari desa menjadi kota, di samping dikenal sebagai konsentrasi santri di Jawa Tengah. Loge didirikan tahun 1883, tetapi tidak berkembang karena reaksi keras masyarakat berhubung praktek ritualisme mereka, yaitu memanggil arwah. Karena itu, penduduk menyebut loge sebagai gedong setan.
Pengalaman Pekalongan memaksa mereka mengalihkan kegiatan ke Batavia. Dua loge besar didirikan di Jalan Merdeka Barat (sebelumnya bernama Blavatsky Straat), dan Jalan Budi Utomo (sebelumnya bernama Vrijmetselarijweg). Dua loge itu, di samping loge yang didirikan di Makassar, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, menjadi pusat kegiatan ritual saja, untuk Yahudi Belanda dan Eropa, yang bekerja di Hindia Belanda di sektor birokrasi VOC/Pemerintah Hindia Belanda, dan swasta.
Hindia Belanda dianggap negeri yang aman sebagai wilayah operasi mereka, karena penduduk menganggap Yahudi Belanda/Eropa sebagai orang Nasrani. Di samping itu, Gubernur Hindia Belanda selalu menjadi pembina Rotary Club.
Aktivitas ritual belaka berujung pada kebuntuan: gerakan zionis jalan di tempat. Maka, gerakan zionisme intenasional untuk Asia, yang berpusat di Adyar, India, pada 31 Mei 1909 mengutus Ir. A.J.E. van Bloomenstein ke Jawa.
Untuk mengubah pola pergerakan, pada 12 November 1912 Bloomenstein berhasil mendirikan Theosofische Vereeniging (TV), yang kemudian mendapatkan rechtpersoon, pengakuan, dan dimuat dalam Staatblaad No. 543.
TV bekerja di kalangan intelektual dan calon intelektual bumiputra. TV pun membiayai Kongres Pemuda I, 1926. Kongres itu bahkan digelar di loge Broederkaten di Vrijmetselarijweg. Akibatnya, ormas pemuda memboikot kongres itu, dan reaksinya adalah, pada 27 dan 28 Oktober 1928 ormas pemuda menggelar Kongres Pemuda II yang menghasilkan Sumpah Pemuda.
Aktivitas zionis yang kian meningkat di Hindia Belanda tidak saja di kalangan masyarakat, melainkan juga di pemerintahan, menjelang dan pasca-Perang Dunia I itu, menggelisahkan orang-orang Jerman. Terutama peran Snouk Hurgronje, Belanda Yahudi, dalam Perang Aceh.
Seperti diketahui, Turki sebagai sekutu Jerman gagal membantu Aceh karena panjangnya garis supply. Kehadiran agen zionis internasional Sneevliet di Jawa, yang berhasil mengkader pemuda intelektual Indonesia, makin menguatkan tekad Jerman untuk meruntuhkan pemerintah zionis Hindia Belanda.
Hal itu tercium oleh agen Belanda. Tersebarlah isu bahwa H.O.S. Tjokroaminoto menerima dana 2 juta gulden untuk mengkudeta kompeni. Untuk mengonfirmasi kebenaran isu itu, Agus Salim ditugaskan menguntit Tjokroaminoto. Ironisnya, kewibawaan Tjokroaminoto malah mempesona Salim, dan tahun 1918 Salim mengetok kawat dari Surabaya, mengabarkan bahwa ia masuk SI (Sarikat Islam) dan berhenti sebagai agen.
Di bidang bisnis, orang Yahudi di Jakarta menguasai pusat bisnis elite di Pasar Baru, Jalan Juanda, dan Jalan Majapahit. Mereka menguasai perdagangan permata, jam tangan, dan kacamata. Pusat hiburan elite di Jakarta juga diramaikan oleh pemusik Yahudi Polandia. Akhirnya, Batavia menjadi salah satu kota zionis yang terpenting di Asia.
Maka, tidak mengherankan ketika Jepang sebagai sekutu Jerman merebut Indonesia dari tangan Belanda, Jepang melakukan kampanye anti-zionis itu. Tokoh-tokoh zionis Hindia Belanda, seperti Ir. Van Leeweun, dikirim ke kamp tahanan dan tewas di situ. Kesadaran anti-zionis juga merebak di kalangan rakyat. Dr. Ratulangi pada Maret 1943 memimpin rapat raksasa di Lapangan Ikada, mengutuk zionisme.
Usaha menghidupkan lagi gerakan zionisme masih dilakukan pascakemerdekaan. Pada 14 Juni 1954, berdiri Jewish Community in Indonesia, dipimpin Ketua F. Dias Santilhano dan Panitera I. Khazam. Di dalam anggaran dasarnya dinyatakan, perkumpulan itu merupakan kelanjutan dari Vereeniging Voor Joodsche Belangen in Nerderlandsch-Indie te Batavia, yang berdiri pada 16 Juli 1927.
Tidak jelas, apakah perkumpulan itu di masa reformasi kini masih eksis atau tidak. Namun, pembicaraan yang menyeruak akhir-akhir ini, tentang operasi zionis internasional di Indonesia, kiranya mempunyai dasar yang kuat. Baik ditilik dari sejarah kita maupun data muktahir, seperti kesaksian mantan Pangkopkamtib Jenderal Soemitro, yang termuat dalam memoarnya yang ditulis oleh Ramadhan KH. Di situ antara lain dikatakan, "Saya sendiri tidak pernah punya hubungan dengan Israel, paling-paling, saya ingat, saya pernah datang ke Jalan Tosari memenuhi undangan mata rantai Israel yang ada di Jakarta."
Post a Comment